Label

Senin, 17 Februari 2014

Surat Untuk Penyair Muda




Surat ini merupakan surat pertama dari kompilasi sepuluh surat yang ditulis oleh seorang penyair Jerman, RAINER MARIA RILKE, kepada seorang calon penyair muda bernama FRANZ KAPPUS yang berusia 19 tahun dan bingung memilih antara karir sebagai anggota militer atau penulis. Saat itu Kappus memutuskan untuk mengirimkan puisi-puisinya kepada seorang penyair ternama berusia 27 tahun. Tak disangka, gayung pun bersambut. Diterbitkan dalam format buku pada tahun 1929, tiga tahun setelah kematian Rilke, rangkaian surat tersebut ditulis dalam periode 6 tahun (1902-1908). Buku ini dianggap sebagai “panduan bagi penulis” oleh kalangan sastrawan dan penikmat sastra dunia, karena kualitas nasihat yang sifatnya sangat mendalam. Fiksi Lotus menghadirkan SURAT PERTAMA dari koleksi LETTERS TO A YOUNG POET karena elemen-elemen pembahasan yang unik dalam membangun pribadi seorang penulis. Selamat menikmati!

Paris, 17 Februari 1903

My dear sir,

Surat yang Anda kirim baru tiba di tangan saya beberapa hari lalu. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan kepada saya lewat surat tersebut. Rasanya sulit bagi saya untuk membalas lebih daripada itu.

Saya tidak bisa mengomentari karya Anda; karena saya bukan orang yang suka mengkritik karya orang lain. Bagi saya, kritikan terhadap karya seni adalah bentuk apresiasi yang paling kerdil: karena lumrahnya kritikan selalu melahirkan kesalah-pahaman. Tidak semua hal di dunia ini dapat kita mengerti atau sampaikan dengan baik, terlepas dari apa yang dikatakan orang selama ini. Sebagian besar hal penting di dunia ini juga sangat sulit untuk dijelaskan, dan di atas semua itu karya seni adalah hal yang paling sulit untuk dimengerti. Seni adalah hal yang misterius, namun berbeda dengan hal-hal duniawi, ia terus hidup dan bertahan sepanjang masa.

Setelah menyampaikan pembukaan, sekarang ijinkanlah saya untuk mengatakan bahwa bait-bait puisi yang Anda kirimkan tidak memiliki kepribadian, meskipun saya melihat adanya sebuah awal yang cukup menjanjikan. Sesuatu yang sifatnya sangat personal. Saya sangat merasakan ini terutama di puisi terakhir, “My Soul.” Dalam bait-bait yang Anda tulis, saya merasakan ada sesuatu dalam diri Anda yang ingin Anda tunjukkan lewat kata dan nada. Lantas  dalam puisi yang bertajuk, “To Leopardi” saya melihat adanya rasa kagum yang ingin Anda haturkan bagi sang penyair kenamaan, Giacomo Leopardi. Beliau dikenal sebagai seorang penyendiri semasa hidupnya.

Meski begitu, puisi-puisi yang Anda kirimkan masih belum bisa berdiri sendiri, belum mandiri, termasuk puisi yang Anda dedikasikan untuk Leopardi. Surat yang Anda tulis juga menandakan kelemahan-kelemahan yang sama seperti yang saya temukan dalam bait-bait puisi yang Anda susun.

Anda tanya apakah menurut saya puisi-puisi Anda bagus. Anda bertanya pada saya. Anda pasti sudah pernah menanyakan hal yang sama kepada orang lain. Anda mengirimkan bait-bait ini ke berbagai majalah dan berharap mereka bisa diterbitkan. Anda membandingkan bait-bait ini dengan bait-bait karya orang lain; dan Anda merasa terganggu saat ada seorang editor yang menolak karya Anda. Sekarang (karena Anda telah meminta nasihat saya) saya minta Anda untuk menghentikan semua itu.

Selama ini Anda hanya melihat keluar, dan pada saat ini hal itu adalah satu-satunya yang mengganggu kreativitas Anda. Tidak ada orang yang bisa menasihati Anda atau membantu Anda untuk menjadi penulis yang lebih baik—tidak seorangpun. Hanya ada satu cara bagi Anda untuk melakukannya: Anda harus melihat ke dalam diri Anda sendiri. Carilah alasan kenapa Anda ingin menulis; rasakan apakah alasan itu telah menanamkan akarnya jauh ke dalam diri Anda, hati Anda, hingga Anda lebih baik mati daripada diharuskan berhenti menulis. Di atas semua itu, Anda perlu memberanikan diri untuk bertanya kepada diri Anda sendiri: haruskah Anda menulis? Carilah jawabannya di dalam diri Anda. Jika jawaban dari pertanyaan itu sifatnya positif; atau bila Anda menjawab pertanyaan itu dengan lugas dan sederhana: “Saya harus menulis,” maka saya sarankan bagi Anda untuk mulai membangun hidup Anda sesuai dengan jawaban tersebut. Setiap momen dalam hidup Anda harus Anda dedikasikan untuk menulis. Ini adalah kesaksian Anda.

Setelah itu, dekatkan diri Anda kepada Alam. Lalu cobalah, seperti orang yang baru lahir, untuk menggambarkan semua yang Anda lihat, dengar, alami, cintai dan rindukan. Jangan menulis bait-bait puisi cinta; hindarilah bentuk-bentuk tulisan yang generik dan ‘cetek’: karena tulisan macam ini sangat sulit untuk dilakukan dengan sempurna. Dibutuhkan kemampuan yang sangat hebat dan dewasa bagi seorang penulis untuk menguasai tulisan seperti itu, karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Oleh sebab itu, hindarilah tema-tema generik dan cari tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari Anda: jabarkan kesedihan Anda dan hasrat dalam hidup Anda. Jabarkan pikiran yang melintas di kepala Anda dan apa-apa saja yang menurut Anda indah. Jabarkan semua itu dengan penuh kasih sayang, dengan kesungguhan, dengan ketulusan dan kerendahan hati—dan selalu gunakan hal-hal yang ada di sekeliling Anda untuk berekspresi dalam tulisan. Gunakan imaji-imaji dari mimpi Anda, serta obyek-obyek dari memori Anda.

Jika keseharian Anda tampak membosankan, jangan salahkan keadaan, tapi salahkan diri Anda sendiri. Itu artinya Anda tidak memiliki kemampuan berseni yang cukup untuk menguak kekayaan dari kehidupan yang terkesan monoton; karena bagi seorang pencipta, tak ada kata bosan ataupun monoton.

Bahkan jika Anda sedang mendekam di dalam sel penjara, dikekang oleh empat tembok tebal, masih ada yang dapat Anda tulis—bukankah Anda masih memiliki kenangan masa kecil Anda? Memori yang diisi dengan segala hal unik dan menarik? Alihkan perhatian Anda ke sana. Angkat semua kesan yang Anda sematkan dalam masa lalu Anda; maka dengan begitu kepribadian Anda juga akan semakin kokoh, Anda akan tenggelam dalam kesunyian dan masa lalu Anda akan kembali—menelan suara-suara lain yang ada di sekitar Anda.

Dari perjalanan ini, melihat ke dalam diri Anda sendiri, menyerap semua sensori yang ada di masa lalu Anda—bait-bait itu akan datang dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Anda takkan repot-repot bertanya kepada orang lain apakah bait-bait itu bagus atau tidak. Anda juga takkan perduli apakah para editor tertarik atau tidak terhadap karya Anda: karena di dalam karya itu Anda akan melihat jati diri Anda, sebuah fragmen dan suara dari kehidupan Anda sendiri.

Suatu karya seni dianggap bagus jika datangnya dari sebuah kebutuhan. Oleh sebab itu, orang akan selalu berusaha menghakimi penciptanya. Tak ada cara lain untuk memahami suatu karya seni.

Karena itu, my dear sir, saya tidak punya nasihat lain untuk Anda, kecuali ini: lihatlah ke dalam diri Anda sendiri dan uji kedalaman hati Anda—jelajahi seluk-beluk kehidupan Anda, dan di tengah semua itu, Anda akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang perlu Anda lontarkan: haruskah Anda menulis?

Setelah Anda menemukan jawabannya, terimalah dengan tangan terbuka. Jangan mempertanyakan jawaban itu sendiri. Mungkin Anda memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang penyair. Maka terimalah takdir Anda dengan keberanian—pikul bebannya, dan rayakan kebesarannya…namun jangan pernah bertanya apa timbal baliknya dari orang lain.

Seorang pencipta harus bisa menciptakan dunianya sendiri dan mencari semua yang dia butuhkan dari dalam dirinya, serta bersandar hanya pada Alam.

Namun ada juga kemungkinan bahwa setelah Anda melakukan perjalanan ke dalam diri Anda sendiri, Anda akan mendapati bahwa Anda tidak mau jadi seorang penyair (seperti yang sebelumnya saya katakan, jika Anda bisa hidup tanpa menulis, maka jangan coba-coba untuk jadi penulis). Meski begitu, saya berjanji bahwa perjalanan pencarian jati diri yang saya sarankan takkan sia-sia—apapun hasilnya. Anda akan menemukan jalan hidup Anda—dan saya harap jalan itu membawa Anda pada kemakmuran dan kesejahteraan.

Apa lagi yang bisa saya katakan kepada Anda? Menurut saya semua yang penting telah saya utarakan dalam surat ini. Lagipula saya hanya ingin menasihati Anda agar terus mengembangkan diri Anda tanpa ada campur tangan orang lain. Tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa mengganggu proses tersebut kecuali keinginan Anda untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Anda jangan sekali-sekali mengharapkan orang lain untuk menjawab pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri Anda sendiri. Carilah waktu yang tepat, yang sunyi, di mana Anda bisa berpikir jernih.

Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mengetahui bahwa Anda mengenal Profesor Horaček; saya sangat mengagumi beliau dan selalu mensyukuri kehadiran beliau dalam hidup saya. Jika Anda bertemu dengan beliau, tolong sampaikan rasa hormat saya. Selain itu, saya juga sangat tersanjung beliau masih mengingat saya—saya sungguh menghargai itu.

Bersama dengan surat ini, saya mengembalikan puisi-puisi yang Anda lampirkan sebelumnya. Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap saya; dan saya berharap bahwa lewat surat balasan ini, Anda juga merasakan kepercayaan yang sama dari saya. Saya harap surat ini dapat menjadi awal suatu pertemanan.

Yours faithfully and with all sympathy,
Rainer Maria Rilke

2012  © Fiksi Lotus & Rainer Maria Rilke. Sumber:  http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1/

Ziarah Ke Negeri Para Penyair


Oleh Ahmad Fadhil (Pengajar di IAIN Maulana Hasanuddin Banten)

Penyair Iran sangat beruntung karena selalu mendapat sanjungan dan dihargai layaknya pahlawan nasional. Nama mereka diabadikan sebagai nama jalan. Pusara mereka dipayungi kubah dan dipagari taman-taman indah. Ada pusara Hafiz di Shiraz. Pusara Hafiz adalah taman yang megah dilengkapi dengan perpustakaan, museum, pusat riset, dan kedai teh, juga beberapa ruangan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Pada hari wafatnya para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di sana. Ada pusara Khayyam dan Attar di Nishapur. Pusara didesain sedemikian rupa hingga orang segera mengagumi prestasi orang yang berbaring di dalamnya. Khayyam yang ahli astronomi atap pusaranya didesain seperti bintang-bintang. Hari kelahiran Khayyam, 18 Mei dikenang masyarakat Iran dengan menggelar berbagai festival untuk menghidupkan kembali semangatnya.

Gadis muda berziarah. Mengusapkan tangan ke pusara, berdoa, berbagi kesedihan dan kegalauan, atau membaca syair-syair warisan sang penyair. Mengelana ke suatu makam, seperti ke makam Khayyam, melihat prestasi penghuni makam itu dihargai orang-orang sebangsanya, bahkan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, sangat membahagiakan. Filsuf pun berziarah. Sebab, orang datang ke pusara, bukan sekadar untuk tujuan-tujuan tersebut, tapi juga untuk mendekat kepada cahaya ilmu dan pemilik sumber cahaya itu. Afifah bercerita bahwa Mulla Sadra, bila persoalan tak terpecahkan menjejali kepalanya, maka terkadang dia rela berjalan kaki puluhan kilometer dari Kahak ke tempat peristirahatan terakhir Sayidah Masumeh di Qom demi tujuan tersebut.

Syair berkembang di Iran boleh jadi karena mereka mencermati perkataan imam Syiah, Ja‘far al-Sadiq, diriwayatkan telah berkata: من قال فينا بيت شعر بنى الله له بيتا في الجنة. “Orang yang menggubah sebait syair tentang kami, Allah akan membangunkan untuknya satu rumah di surga.” Dalam riwayat lain dia berkata: ما قال فينا قائل بيتا من الشعر حتى يؤيد بروح القدس. “Tidaklah seseorang menggubah sebait syair tentang kami, kecuali Allah akan meneguhkan dirinya dengan Ruhul Qudus.” Dan ‘Ali al-Rida, yang wafat karena memakan anggur beracun yang diberikan al-Ma’mun, yang pusaranya sudah diziarahi Afifah, diriwayatkan berkata: ما قال فينا مؤمن شعرا يمدحنا به إلا بنى الله تعالى له مدينة في الجنة أوسع من الدنيا سبع مرات يزوره فيها كل ملك مقرب. “Tidaklah seorang mukmin menggubah puisi untuk kami, kecuali Allah akan membangunkan untuknya satu kota di surga yang tujuh kali lebih luas daripada dunia dan di rumah itu dia akan diziarahi semua malaikat.”

Tanah Air Pengelana

“Begitu jauh perjalanan yang ia tempuh, tak dapat memalingkannya dari kampung halaman.” Kata-kata ini adalah komentar Afifah untuk Attar yang kembali ke kampung halamannya di Nishapur setelah berkelana untuk belajar hakikat hidup selama 39 tahun. Lalu, Afifah mengatakan, “Setiap orang memang akan memimpikan tanah kelahirannya. Begitu juga kami yang masih dalam perantauan.”

Selalu ada Indonesia di setiap tempat yang dikunjungi Afifah.

Di Isfahan, saat dia mulai menjauhi gerbang Meydan Emam, ingatannya melompat pada kota-kota tua di Indonesia yang mirip satu sama lain dalam hal adanya Masjid Agung, pemerintahan daerah, dan alun-alun yang sering menjadi pasar kaget pada hari-hari libur (h. 10). Ketika mengunjungi Mausoleum Khayyam, Afifah teringat pada Umar Kayam, lalu sedih karena para penyair di Indonesia akan sulit mendapatkan penghargaan berupa tugu yang memukau, taman seluas 20.000 meter persegi dengan pepohonan rindang, dilengkapi juga dengan museum dan galeri untuk totalitas kiprahnya. (h. 112-113). Saat menjelajah ke Dusun Kahak yang terpencil, untuk melihat rumah tempat tinggal filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Islam, yaitu Mulla Sadra, saya pikir Afifah akan kesulitan mendapatkan hubungannya dengan Indonesia. Tapi, di sana Afifah teringat pada Henry Corbin, filsuf Perancis yang mengunjungi Iran pada 1945, dan segera teringat pada angka istimewa warga Indonesia. “Jika pada tahun itu para orangtua dan kakek kita baru saja lega menghirup udara kemerdekaan, Corbin telah melakukan penjelajahan pemikiran filsafat Islam jauh ke jantung Persia.” (h. 124).

Daerah utara Iran, Shomal, mengingatkan Afifah pada alam Indonesia. Pegunungannya yang berjajar, bukit-bukitnya yang lebat timbul tenggalam di antara kelokan jalan, lalu kabut tipis, udara segar, dan orang-orang memetik daun teh walau tanpa suara kecapi dan seruling (h. 147). Dan Gilan, salah satu provinsi di Shomal, adalah tempat lahir Abdul Kadir Jaelani, pendiri tarekat Naqsyabandiyyah yang banyak pengikutnya di Indonesia. Dan, penduduk Gilan bermakanan pokok nasi, berbeda dengan mayoritas warga Iran yang hanya menyantap nasi pada saat makan siang (h. 148). Bahkan, pada bulan Ramadan, kata Afifah, “Ada ‘setangkup rindu’ yang mengendap-endap pada negeri di seberang sana (h. 182).” Ini kan Katon banget. Wajar. Dia kuliah di Jogja. Penerbit bukunya juga berkantor di Jogja.

Saat melihat orang Iran pun saya menduga dalam cara tertentu Afifah terkenang pada orang-orang Indonesia. Gadis Iran katanya cantik, terbius oleh benda-benda antik yang datang jauh dari masa lalu (h. 11), tapi juga menikmati olahraga ski, pendaki gunung, sampai menjadi sopir taksi dan sopir bis yang seperti sopir-sopir lainnya, suka mengebut (lihat foto dan ceritanya di halaman 170 dst). Pemuda Iran katanya bagaikan bidadara yang dikirim Tuhan dari nirwana, tidak saja ramah selama perjalanan, tapi juga menolak bayaran. Pemandu wisata orang yang terlihat jauh lebih muda dari para turis, begitu menguasai lokasi, mampu membuat wisatawan khusyuk menghayati setiap kalimatnya (h. 13).  Pasangan kakek nenek, pada usia menjelang 70 tahunan, masih semangat melakukan perjalanan panjang berdua-duaan. Sopir: Husain sopir angkutan yang senang berpetualang dan berminat pada dunia fotografi hingga ikut kursus fotografi tiga kali dalam seminggu (h. 160).

Pelajaran dari buku The Road To Persia

Buku The Road To Persia, menurut saya, memberi pelajaran untuk memberi perhatian yang seimbang antara perjalanan dan menulis kisah perjalanan. Jangan asyik melakukan perjalanan, lalu lupa menuliskannya. Dia menulis sebelum, di dalam, dan setelah melakukan perjalanan. Ada satu tulisan yang merupakan gabungan dari lebih dari satu perjalanan. “Bidadari di Lorong Sejarah” adalah kisah dua perjalanan pada waktu yang berbeda, yaitu ke Bukit Ganjnameh, lalu ke Bukit Hegmataneh. Ada satu perjalanan (?) yang diceritakan dalam beberapa tulisan, seperti perjalanan ke Gilan yang diceritakan dalam “Eksotika Rudkhan Castle dan Lelaki Senja” dan “Masouleh Desa Seribu Tahun di Utara Iran”. Ada banyak perjalanan yang diceritakan dalam banyak tulisan, seperti Isfahan. Ada “Surga di Tepian Zayandeh”. Dan, ada banyak perjalanan yang diceritakan dalam satu tulisan, perjalanan Haram Sayyiddah Maksumah.


Pesan Afifah dari buku ini adalah perjalanan merupakan salah satu jalan untuk meraih kesehatan mental baik sebagai individu maupun masyarakat. Kesehatan mental ini diperoleh dengan kata kunci keseimbangan. Misalnya, keseimbangan antara material dan spiritual. Afifah melihat bagaimana pola Meydan Emam dan kota-kota tua di Indonesia mengajarkan semangat keseimbangan material dan spiritual. Lalu keseimbangan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam. Afifah juga melihat keseimbangan antara tradisi lokal dengan Islam dengan orang yang mengisahkan bahwa bangsa Iran, seperti bangsa Indonesia, tetap mempertahankan bahasa lokalnya; berbeda dengan bangsa Mesir yang terarabisasi sepenuhnya. Harus ada al-khidmah al-mutabadilah, sumbangsih timbal balik, antara Islam dengan tradisi lokal. Lalu, ada keseimbangan antara modernitas dengan tradisionalitas dan pembangunan fisik dengan pembangunan integritas budaya. Afifah melihat infrastruktur jalanan di Iran sangat baik hingga ke daerah-daerah pelosok (h. 133). Kegiatan warga di pelosok desa tidak terganggu oleh hilir mudik turis yang datang membawa mobil-mobil keluaran terbaru. Kehadiran modernitas tidak banyak mengubah tatanan dan pola interaksi masyarakat. Hotel bintang lima di pelosok Kandovan tidak merusak keseimbangan sosial. Masyarakat justru merasa menjadi bagian keluarga besar pengelola karena mereka dilibatkan sejak dalam proses pembangunannya (h. 135-136). (*) 


Senin, 10 Februari 2014

Setan Kober, Pedang Zulfikar, Wali Songo


Pada masa Brawijaya I dari Majapahit hingga turun ke empat tahta penerusnya, yaitu ketika “sir wingit” telah merasuki tubuh makhluk hidup, dan kala keseimbangan bathin sudah di ambang keumuman, saat itulah kesaktian merupakan bentuk ilmu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia hingga suatu keterbatasan tidak lagi menjadi penghalang. Terciptalah zaman di mana manusia dan makhluk tak kasat mata saling berkomunikasi secara bebas. Wahyu ning zaman para Dewa, menjadikan masa kala itu disebut Kejawen Jawi, yang mengedepankan makna keluhuran bagi umat manusia. Sementara itu, perjalanan pulau Jawa, sejak zaman Sanghyang Bangau (atau sebelum masa Wali Songo), seluruh peradaban manusia pada masa itu terbagi menjadi tiga golongan: Manusia, Lelembut, dan Siluman dari bangsa Seleman. Dari seluruh golongan ini akhirnya terpecah menjadi dua bagian, yaitu  aliran putih dan hitam. Sedangkan kisah terbaginya golongan ini pada akhirnya mendatangkan peperangan hingga turun sampai ke zaman di mana Wali Songo dilahirkan.

Syahdan, tersebutlah nama dari sekian banyak para tokoh sakti beraliran hitam kala itu yang bernama dan bergelar "Setan Kober", yang tak lain sosok setengah siluman yang banyak membawa risalah pertumpahan darah bagi seluruh umat manusia. Setan Kober, yang bak Dajjal, memang nama yang sangat melegenda bagi seluruh aliran hitam sejak kerajaan Majapahit pertama didirikan. Konon, ia belum pernah terkalahkan oleh jawara dan pendekar mana pun pada masa kejayaannya. Setidak-tidaknya, Setan Kober telah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya pernah menjabat sebagai guru besar tujuh aliran sekaligus selama 473 tahun lamanya. Di antara tujuh aliran yang dimaksud adalah bangsa manusia, lelembut dari alam laut, bangsa jin segala penjuru alam, bangsa togog dari zaman purwacarita, bangsa siluman seleman, bangsa perkayang bumi lapis tiga dan bangsa ngahyang.

Dari sini dapatlah diceritakan bahwa asal-usul Setan Kober terlahir dari seorang Banaspati Agung di zaman purwacarita sepuluh bernama Raja Lautan, yang berasal dari keturunan siluman seleman / bangsa api. Berdasarkan hikayat Raja Lautan sebenarnya pernah dikalahkan satu kali dalam hidupnya oleh Nabi Khidir AS, tepatnya di masa kejayaan Raja Dzulkarnain (Cyrus Agung dari Persia) yang masyhur itu. Sementara itu, berdasarkan penerawangan dan kotemplasi, Setan Kober mempunyai tempat tinggal selayaknya manusia pada umumnya, yaitu di dalam Hutan Panji, di daerah perbatasan antara Cibogo dan Benda Kerep, dan hal ini juga tersirat dalam bukunya RA Suladiningrat yang berjudul "Babad Tanah Cirebon".  Begitulah, rumah Setan Kober hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari tulang belulang binatang dan manusia. Dan di belakang rumahnya berdiri kokoh satu pendopo yang terbuat dari beraneka tulang macan, kijang, kerbau, dan singa. Sedangkan kesehariannya lebih banyak ia habiskan di pendopo untuk mengajarkan beragam ilmu kepada muridnya yang berasal dari beragam golongan, dan bila ia memiliki waktu senggang, ia banyak mengarahkan waktunya untuk menciptakan bilahan keris sakti mandraguna.

Konon, keris buatan asli tangan Setan Kober ia berikan pada Pangeran Arya Panangsang, sebelum terbunuh oleh Jaka Tingkir. Tak diragukan lagi, di masa raja-raja di tanah Jawa, nama Setan Kober selalu disebut-sebut sebagai orang nomor satu di dunia persilatan yang banyak dimanfaatkan oleh para raja Jawa sebagai pembunuh bayaran. Bahkan, di masa Brawijaya Ke V, ia juga seringkali menjadi ahli strategi perang istana Majapahit demi mengalahkan ratusan panglima pilihan seluruh kerajaan yang ada di belahan dunia. Namun namanya mulai surut dan akhirnya ngahyang selamanya karena didera perasaan malu yang tak tertahankan setelah ia dikalahkan oleh jawara sakti yang tak lain Pangeran Suta Wijaya Gebang. Dan inilah kisahnya.

Di masa perang antara Majapahit dan Demak Bintoro, yang pada saat itu dipimpin Raden Fatah, dengan dibantukan 101 Waliyullah di bawah komando panglima besar Sunan Kudus, selama tujuh belas tahun, dua kerajaan ini pernah terlibat perang sengit, yang juga melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin Banten sebagai panglima perang Demak yang saat itu baru saja dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana di Demak. Sebanyak 24 kali mereka bertemu dalam peperangan hebat, di mana 18 kali Majapahit menyerang Demak, dan 6 kali Demak balik menyerang Majapahit. Dalam puluhan peperangan antara Demak dan Majapahit itu, wilayah yang pernah menjadi medan pertempuran itu di antaranya adalah Magelang, Sragen, Banyuwangi, Kudus, Klaten, Tidar, Madura, Lasem, Purworejo, Yogya, Batang, Semarang dan Surabaya. Dengan strategi yang matang, Setan Kober yang kala itu menjadi bagian kerajaan Majapahit mulai menyebar aksinya di beberapa pelosok desa terpencil dengan cara membunuh satu persatu para jawara Islam yang dianggapnya telah berkomplot dengan kerajaan Demak Bintoro.

Setan Kober pun mulai menyusun kekuatan dengan mendatangi para dedengkot aliran hitam di penjuru pelosok desa. Di antara nama-nama aliran hitam yang pernah bergabung dengannya adalah Pangeran Tepak Palimanan, Pangeran Telaga Herang, Pangeran Pucuk Umun Banten, Pangeran Lodaya Indramayu sebelum masuk Islam, Pangeran Samber Nyawa dari daerah Cuci Manah, Pangeran Kebo Kinabrang dari gunung Tangkuban Perahu, Ki Gede Jalu dari Brebes, Ki Gede Kapetakan, Ki Gede Lewimunding, Ki Gede Tegal Gubug sebelum masuk Islam, Ki Gede Purba Lanang, Siluman Air daerah Gunung Tidar Jawa Tengah, Ki Janggala Wesi dari siluman seleman, dan yang lainnya. Begitulah, pada pertempuran ketujuhbelas, kerajaan Islam Jawa pernah dikalahkan dengan terbunuhnya beberapa Waliyullah, yang di antaranya adalah Sunan Udung, Sunan Pajang, Sunan Beling, Sunan Persik, Sunan Odong, Sunan Rohmat, Sunan Qoyyim dan Sunan Menjangan atau Pangeran Samber Nyawa. Namun, dalam sejarah lain menyebutkan bahwa kekalahan kerajaan Islam pada waktu itu adalah tak lain karena bangsa Waliyullah, tidak semuanya turun ke medan laga dikarenakan mereka sedang berkabung atas wafatnya Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, hingga para Waliyullah lebih banyak ta’ziah datang ke daerah Ampel ketimbang turut perang.

Sementara itu, di lain pihak, setelah kekalahan Kerajaan Islam tersebut mulai menjadi buah bibir di kalangan masyarakat luas. Mendengar hal tersebut, Sunan Gunung Djati, Pangeran Walangsungsang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sultan Maulana Hasanuddin Banten, mulai merapatkan barisan, dengan jalan memilih di antaranya untuk mencari beberapa tokoh aliran hitam.  Persis, pada saat itu, yang diutus untuk menandingi kesaktian para jawara dan pendekar aliran hitam di antaranya adalah Pangeran Walangsungsang atau Mbah Kuwu Cakrabuana, Sunan Kalijaga, Pangeran Arya Kemuning, Syeikh Muhyi Muda Tasik, Nyimas Gandasari Cirebon, Panguragan, Syeikh Suta Wijaya Gebang, Maulana Hasanuddin Banten alias Pangeran Sabakinking, Syeikh Sapu Jagat dan Syeikh Magelung Sakti. Atas mandat Sunan Gunung Djati, mereka bergerak dengan cara terpisah, dan lewat perjalanan panjang selama tujuh tahun lamanya, mereka akhirnya bisa menaklukkan seluruh bangsa aliran hitam. Namun hal semacam itu bukan berarti mereka mudah menandingi ilmu dedengkot para aliran hitam, melainkan butuh perjuangan dan kesiapan matang, sebab dalam menjalankan tugas ini mereka juga pernah dikalahkan sewaktu duel kesaktian dengan para dedengkot aliran hitam.

Pangeran Arya Kemuning, misalnya, pernah berhadapan dengan dedengkot aliran hitam yang bernama Pangeran Telaga Herang, dan Pangeran Arya Kemuning pun dapat dikalahkan dengan mudah. Barulah, saat perang tanding dengan Syeikh Muhyi Muda Tasik, Pangeran Telaga Herang kalah telak, dan akhirnya ngahyang sampai sekarang. Begitu pun Nyimas Gandasari, yang kala itu ditugaskan untuk menangkap Pangeran Pucuk Umun Banten, mengalami kekalahan dalam adu kesaktian. Dan barulah, kala Mbah Kuwu Cakrabuana turun ke medan laga, Pangeran Pucuk Umun Banten bisa dikalahkan, dan akhirnya ngahyang selamanya. Adu kesaktian ini terjadi di pantai Karang Bolong, di mana Karang Bolong itu sendiri pada mulanya adalah sebuah bukit yang akhirnya berlubang karena ajian dan kesaktiannya Pangeran Pucuk Umun Banten.

Begitu pula, Sunan Kalijaga pernah dikalahkan oleh pangeran Tepak Palimanan dalam penaklukkan wilayah Cirebon. Kekalahan Sunan Kalijaga, akibat campur tangan Prabu Siliwangi yang merupakan leluhurnya orang-orang sakti di Banten dan Pajajaran. Dan barulah, setelah kedatangan pangeran Arya Kemuning dan Mbah Kuwu Cakrabuana, Pangeran Tepak Palimanan, bisa terbunuh dengan kepala terpotong dari raganya. Adu kesaktian dan kekuatan ini terjadi di puncak bukit Palimanan, yang bernama Gunung Tugel.

Sekarang kita kembali ke cerita pertempuran antara Pangeran Suto Wijaya Gebang dengan Setan Kober, di daerah Hutan Panji, yang tidak bisa dihindarkan lagi, di mana kedua musuh bebuyutan ini saling mengerahkan kesaktiannya hingga sampai 40 hari lamanya. Dan perkelahian panjang ini akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Suta Wijaya, hingga Setan Kober akhirnya ngahyang selamanya di Hutan Panji. Kisah terkalahkannya Setan Kober ini akhirnya jadi perbincangan banyak orang, sehingga Mbah Kuwu Cakrabuana, selaku gurunya sangat khawatir. Alasannya tak lain adalah karena sejak kejadian itu, Pangeran Suta Wijaya diangkat menjadi seorang pemimpin oleh seluruh bangsa gaibiah, yang membuat Mbah Kuwu Cakrabuana merasa khawatir bila ilmu yang beliau berikan selama ini disalah gunakan oleh murid-muridnya. Dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa ilmu Pangeran Suta Wijaya Gebang dapat dikatakan sebagai salah-satu ilmu yang juga paling ditakuti oleh seluruh bangsa siluman atau gaibiyah, selain ilmu yang juga dimiliki segelintir orang di Banten. Ilmu yang dimilikinya itu tak lain adalah "Syahadat Majmal", di mana ilmu ini bila dibacakan maka seluruh gaibiyah yang ada akan mengikuti ucapan kita. Demikianlah, dalam perang tanding melawan Setan Kober, ilmu inilah yang menjadi andalannya, hingga Setan Kober sendiri harus menerima kekalahannya dengan tubuh terbakar.

Sementara itu, dalam kisah lain diceritakan, setelah satu tahun Setan Kober dikalahkan, Pangeran Suta Wijaya Gebang akhirnya dipanggil menghadap Mbah Kuwu Cakrabuana: “Ananda, bagaimanapun  juga dirimu telah menjadi orang yang ditakuti seluruh makhluk tak kasat mata. Namun menurutku jauhkan ilmu itu, sehingga antara manusia dengan bangsa gaib ini tetap lestari selamanya. Sebab kasihan bagi yang lain, dengan adanya ilmu yang ananda miliki sekarang, maka seluruh bangsa gaib akan punya batasan tertentu yang menjadikan mereka percaya hanya pada Ananda".  Mendengar hal itu, dengan patuh Pangeran Suta Wijaya mengiyakannya, tanda ia setuju dengan ucapan gurunya. Namun lain sifat, lain pula kenyataannya. Meski Pangeran Suta Wijaya sudah menerima mandat gurunya itu, tetapi para muridnya yang berasal dari bangsa siluman dan alam gaib lainnya hanya tunduk pada majikannya, bukan pada orang lain, hingga meski Mbah Kuwu Cakrabuana adalah gurunya pangeran Suta Wijaya, dengan cara sembunyi tangan akhirnya mereka tidak menerima pengakuan Mbah Kuwu Cakrabuana, dengan cara menyerang seluruh keraton Pakung Wati Cirebon. Tentu saja, Mbah Kuwu Cakra Buana tidak tinggal diam. Beliau langsung menghadapinya dengan pusaka "Golok Cawang" (Pedang Zulfikar), dan akhirnya seluruh bangsa gaib bisa dikalahkan dengan mudah. (*)

Jumat, 07 Februari 2014

Imam Ali dalam Matsnawi Rumi


“Wahai yang berziarah ke Najaf, ke makam Ali, ketahuilah di sana terbaring mutiara Ka’bah” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)

Pembimbing terakhir-wali adalah Allah, disusul, secara berurutan, oleh: Nabi Muhammad saw dan dua belas imam. Sebagaimana Nabi saw dan 12 Imam adalah manifestasi ‘Manusia Sempurna’ (Imamah dalam literatur Syiah), dan ‘Manusia Sempurna,’ bersesuaian dengan identitas yang sama. Bahwa esensi ‘Manusia Sempurna’ dalam tasawuf dimaknai dengan ‘Imamah’—prinsip Syi’isme yang membedakan—mengindikasikan bahwa sufi, tanpa memperhatikan praktik keagamaan yang mereka ikuti, taklid, dalam hal ini adalah Muslim Syiah. Dalam pandangan irfani, ada dua aspek yang berbeda dari wilayah: “Wilayah umum” (wilayah ‘ammah ) dan “wilayah khusus” (wilayah khashshah). Wilayah pertama, wilayah umum (harfiah: bintang) mengandung dua level:

1. Level pertama dimulai dengan “pengosongan,” takhliyah,” dan berakhir dengan stasiun “kedekatan (melalui) amal-amal sunah—qurb nawafil. Ketika Allah menjadi mata, telinga, dan lidah hamba-Nya, pencari kebenaran (salik) mencapai keadaan (maqam) hakikat keyakinan (haqqul yaqin).

2. Level kedua berhubungan dengan mereka yang fana dalam al-Haqq—yang tetap dalam eksistensi Raja Keberadaan. Tahapan terakhir dari keadaan ini disebut sebagai maqam qaba qausayn.

“Wilayah khusus” hanya dipegang oleh Nabi Muhammad saw dan para penerus Ilahinya dari Ahlulbait (keluarga Nabi saw, secara khusus, putrinya Fathimah, suaminya, Ali, dan anak-anak mereka, Hasan dan Husain). Wilayah khusus tersebut berlanjut dari maqam qaba qausayn, sampai pada tercapainya “maqam manifestasi Tajaliyah Zati” dan maqam aw adna.

Pada tahapan tersebut, mereka yang memegang wilayah ini memahami level batin ketujuh, bathn haftom kalam Allah, yakni firman Allah, al-Quran. Tercatat dalam satu hadis, mengenai al-Quran, bahwa “Al-Quran memiliki level pengertian lahiriah dan level pengertian batiniah yang mencakup tujuh makna batin yang dalam” (Allamah Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jil.3, hal.72).

Para pemangku wilayah khusus, wali, seperti pohon besar yang darinya abdal, nuqaba, dan awtad semata-mata bayanngan. Karena, setiap zaman ada satu Manusia Sempurna, quthub, dengan semua makhluk spiritual lainnya di zaman tersebut di bawah bayangannya (lihat bait-bait 1924-2305 Buku Ketiga Matsnawi Rumi dan ulasan Mulla Hadi Sabzawari atas bait 2003 Buku Ketiga Matsnawi). Maulana mengatakan bahwa wilayah khusus memiliki dua aspek, wilayah Syamsiah (matahari), dan wilayah Qamariah (bulan) (Buku Ketiga, bait 3104-3106).

Manifestasi wilayah Syamsiah adalah wilayah Muhammadiyah, dipegang oleh Nabi Muhammad Mustafa), sementara wilayah Qamariah, merujuk secara khusus kepada Ahlulbaitnya, Yang Allah tunjuk untuk mewarisi otoritas Nabi saw dan melanjutkannya. Menurut Matsnawi Buku Pertama, bait 2959-2980, wilayah Alawiyah, yakni wilayah Imam Ali dan para pewaris otoritas, termasuk pada wilayah Muhammadiyah. Menurut Buku Pertama, bait 3761-3766, wilayah Qamariyah Imam Ali termasuk pada wilayah Syamsiah Nabi Muhammad saw. Rumi mendasarkan ulasan-ulasan atas wilayah khususnya Imam Ali pada perkataan Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.”

Dalam cerita pertama di awal Buku Pertama Matsnawi, “Raja dan Pelayan,” Manusia Sempurna—Pir, atau Hakim Haziq dimunculkan dengan merujuk pada salah satu gelar Imam Ali Murtadha, kepadanya ia kemudian terus menjelaskan sebagai “orang yang memegang otoritas atas manusia, Mula al-Qum.” (Matsnawi Buku Pertama, bait 99-100).

Dalam cerita terakhir Buku Pertama, Sebuah Kisah tentang Imam Ali, Rumi membahas nafsul muthmainnah (bait 3721-3391) dan mengenalkan Imam Ali sebagai seorang pemangku wilayah khusus. Dalam Buku Terakhir, ia kembali memunculkan wilayah Imam Ali didasarkan pada perkataan Nabi saw, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya". Jil.6, bait 4538. Maka itu, Matsnawi Rumi bermula dan berakhir dengan wilayah Imam Ali. Bukti tekstual selanjutnya dalam Matsnawi mendukung penerimaan Rumi atas wilayah Imam Ali dan superioritasnya atas para sahabat Nabi saw lainnya.

1. Rumi menyebut Imam Ali as, Amirul Mukminin (Pemimpin orang-orang beriman), diterjemahkan oleh Nicholson sebagai “Pangeran orang-orang Mukmin,” dalam cerita yang diberi judul Imam Ali. (Buku Pertama, pembukaan setelah bait 3720).

2. Rumi menyebut Imam Ali, “Orang yang beramal secara ikhlas”—“Belajarlah bagaimana beramal secara ikhlas dari Ali.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan pertama).

3. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Allah”—“Ketahuilah, bahwa Singa Allah (Ali) disucikan dari segala tipudaya.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan kedua).

4. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap nabi”—“Ali, kebanggaan setiap nabi.” (Buku Pertama, bait 3723).

5. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap wali”—“Ali, kebanggaan setiap nabi dan setiap wali.” (Buku Pertama, bait 3723).

6. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “wajah yang di hadapannya bulan membungkuk perlahan”—“Ia menyiratkan ketenangan yang di hadapan wajah tersebut, bulan membungkuk perlahan sebagai pengganti ibadah.” (Buku Pertama, bait 3724).

7. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Tuhan”—“Dalam kegagahan engkau adalah Singa Tuhan; dalam kedermawanan siapa yang mengetahui sebenarnya dirimu?” (Buku Pertama, bait 3732).

8. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seluruh pikiran dan penglihatan”—“Wahai Ali, engkau adalah seluruh pikiran dan penglihatan, ceritakan sedikit dari apa yang telah kaulihat.” (Buku Pertama, bait 3745).

9. Rumi menyebut Imam Ali sebagai, “rajawali empyrean”—“Katakan, wahai rajawali empyrean yang menemukan mangsa baik, apa yang telah kau lihat di waktu ini dari Pencipta?” (Buku Pertama, bait 3750).

10. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “alim yang melihat yang gaib”—“Matamu telah belajar melihat yang gaib ketika mata-mata dari para pengamat tertutup.” (Buku Pertama, bait 3751).

11. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang diridai oleh Allah”—“Tunjukkan rahasia, wahai Ali, engkaulah orang yang diridai oleh Allah.” (Buku Pertama, bait 3751, bagian pertama).

12. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kemudahan yang baik”—“Wahai engkau yang kemudahannya baik, setelah nasib yang buruk.” (Buku Pertama, bait 3752).

13. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bola rembulan (wilayah Qamariah)”—“Darimu sinar memancar kepadaku, seperti rembulan, bagaimana bisa engkau menyembunyikannya? Tanpa lidah, engkau lecutkan berkas-berkas cahaya, seperti bulan. Namun jika bola-bola rembulan datang untuk berbicara, secara cepat ia lebih memimpin para pejuang malam jalan (benar). Mereka menjadi aman dari kesalahan dan ketundukkan: suara bulan menyebar ke atas suara jiwa yang jahat.” (Buku Pertama, bait 3759-3761).

14. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya di atas cahaya”— “Dalam sebanyak bulan (bahkan) tanpa berbicara menunjukkan jalan, ketika ia bicara ia menjadi cahaya di atas cahaya.” (Buku Pertama, bait 3762).

15. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu kota ilmu (Ali pintu wilayah Muhammadiyah)”—“Karena engkau adalah pintu kota ilmu, karena engkau adalah sinar mentari rahmat (Nabi Muhammad saw)” (Buku Pertama, bait 3763). Bait ini merujuk kepada Nabi Muhammad yang berkata, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka siapasaja yang mencari ilmu, hendaknya masuk melalui pintunya.”

16. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘pintu rahmat’—“Teruslah terbuka selamanya.” (Buku Pertama, bait 3765).

17. Rumi menyebut Imam Ali yang mengatakan, “Jalan masuk aula yang siapa pun tidak seperti ia.” (Buku Pertama, bait 3765) Ini merujuk pada surah al-Ikhlash.

18. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ”matahari wilayah”—“Bicaralah, wahai Pangeran orang beriman, agar jiwaku bisa bersenyawa di dalam tubuhku seperti sebuah embrio. Bagaimana embrio mempunyai sarana-sarana (untuk bersenyawa) selama periode ketika ia dikuasai (oleh bintang-bintang)? Ia muncul (berputaran) dari bintang-bintang menuju matahari. Ketika waktu tiba bagi embrio untuk menerima ruh (penting) Pada waktu itu, matahari menjadi penolongnya. (Buku Pertama, bait 3773-5).

Bait-bait ini mengacu pada wilayah Qamariah Ahlulbait dalam wilayah Syamsiah dari Nabi Muhammad saw. Di sini, Rumi menjelaskan bahwa mereka yang memangku wilayah umum atau bintang hanyalah bintang-bintang apabila dibandingan dengan Ali yang, seperti matahari, menggambarkan manusia sempurna atau Syekh sempurna. Dengan demikian, sementara mereka yang memegang wilayah umum (wilayah ‘ammah) bisa membantu seorang pencari kebenaran (salik), bimbingan lengkap hanya dapat diperoleh melalui mereka yang memangku wilayah Syamsiah—suatu referensi kepada Imam Ali dan para penggantinya. Di sini, Rumi menyajikan ketiga jenis wilayah yang digambarkan di dalam pengantar: wilayah Syamsiah, wilayah Qamariah—aspek-aspek wilayah khusus (wilayah khashah), dan wilayah umum (wilayah ‘ammah), yang juga disebut wilayah bintang (wilayah najmiyah). Semua ini bisa dipandang level-level rendah dan tinggi dari wilayah.

19. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari”- “Ketika saatnya bagi embrio untuk menerima ruh (vital), pada saat itu matahari menjadi penolongnya. Embrio ini dibawa ke dalam gerakan oleh matahari, karena matahari dengan cepat memberkatinya dengan ‘ruh.” Buku Pertama, bait 3775-3776. Dalam perjalanan ruhani menuju Allah, embrio, salik, taat kepada wilayah Alawiyah, sampai pada tujuannya.

20. Rumi menyebut seluruh pesuluk mempunyai kemampuan untuk itu, jika mereka menyadari bahwa hal itu memiliki suatu hubungan tak terpisahkan dengan wilayah Alawiyah, yakni, wilayah Syamsiah Imam Ali—“Dengan cara tersembunyi yakni jauh dari persepsi indrawi kita, matahari di langit mempunyai banyak cara.” (Buku Pertama, bait 3779). Adalah melalui hubungan inherenlah, bersama wilayah Syamsiah Ali, yang ada di balik indra-indra fisik, pesuluk mampu berkembang.

21. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “rute jalan ruhani” (wilayah)—“Dan cara yang ia menjadikan (permata) rubi merah dan cara yang dengannya ia memberi cahaya-menerangi ke sepatu kuda (besi) Dan cara yang dengannya ia menjadikan matang buah, dan cara yang dengannya ia memberikan hati kepada orang yang bersedih.” (Buku Pertama, bait 3781-82). Ayat-ayat ini merujuk pada surah al-Adiyat yang diturunkan untuk menerangi kedudukan Imam Ali.

22. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seekor rajawali dengan sayap yang bersinar”—“Katakanlah, wahai rajawali dengan sayap yang bersinar.” (Buku Pertama, bait 3783, bagian pertama).

23. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang belajar dari dan menjadi familiar dengan Raja Hakiki alam semesta”—“Yang belajar dari Sang Raja dan ‘Lengan-Nya.” (Buku Pertama, bait 3783, bagian dua).

24. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘rajawali agung yang menangkap Anga.” —“Katakanlah, wahai rajawali yang menangkap Anga, wahai Engkau Yang menaklukkan pasukan oleh dirimu sendiri.” (Buku Pertama, bait 3784).

25. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “satu umat”—“Engkau sendiri adalah (satu masyarakat utuh) engkau yang satu dan seratus ribu. Katakanlah, wahai engkau pemilik rajawali, budakmu jadi mangsa.” (Buku Pertama, bait 3785).

Ayat ini merujuk pada suatu ayat al-Quran yang di dalamnya Allah mengatakan kepada kita bahwa semua manusia adalah umat yang satu. Lihat surah al-Baqarah ayat 213. Sementara, semua manusia memiliki potensi, hanya sebagian manusia yang benar-benar mengikuti wilayah Ali, orang yang taat kepada Allah.

26. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “hamba Allah”—“Ia berkata, ‘Aku menggunakan pedangku karena Allah. Aku adalah hamba Allah. Aku tidak di bawah perintah tubuh.’” (Buku Pertama, bait 3787).

27. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘Singa Allah’—“Aku adalah Singa Allah, bukan singa nafsuku.” (Buku Pertama, bait 3788, bagian pertama).

28. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “ia yang tangannya menyaksikan agamanya”—“Perbuatanku memberi kesaksian atas agamaku.” (Buku Pertama, bait 3787, bagian kedua).

29. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “manifestasi kehendak Allah”—“Dalam peperangan, aku adalah manifestasi kebenaran dari, “Bukan engkau yang melempar batu ketika engkau engkau melempar.’ Tetapi pedang dan pelempar adalah Matahari (Ilahi)” (Buku Pertama, bait 3789). Ini merujuk pada surah al-Anfal: 17.

30. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang lebur di dalam Allah”– ‘Aku telah membuang beban ‘diri’ dari jalan itu.” (Buku Pertama, bait 3790, bagian pertama).

31. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang tauhidnya adalah tauhid “esensial”—“Aku telah menganggap (sesuatu) selain Allah sebagai non-eksisten.”’ (Buku Pertama, bait 3790, bagian kedua).

32. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Bayangan Tuhan”– “Aku adalah bayangan, Matahari adalah Tuhanku.” (Buku Pertama, bait 3791, bagian pertama). 

Wilayah Ali adalah dari Allah

33. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kepala rumah-tangga Allah”– “Aku adalah kepala rumah-tangga, bukan tirai (yang menghalangi pendekatan) kepada-Nya.” (Buku Pertama, bait 3791, bagian kedua).

Fungsi Ali adalah membimbing manusia kepada Allah

34. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang dipenuhi dengan mutiara penyatuan dengan Allah”– “Aku dipenuhi dengan mutiara penyatuan seperti pedang bertatahkan permata.” (Buku Pertama, bait 3792, bagian pertama).

35. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pembaru kehidupan spiritual”—“Dalam perang, aku menghidupkan kembali, tetapi tidak membunuh manusia.” (Buku Pertama, bait 3792, bagian dua).

36. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pelaju level-level esensi spiritual dan moralitas Ilahi”—“Darah tidak menutup cahaya pedangku: Bagaimana angin harus menyapu jauh awan-awanku?” (Buku Pertama, bait 3793).

Komentator besar Matsnawi-nya Rumi, Akbar Abadi mengatakan bahwa ‘Pedang dan awan-awan di sini merujuk pada level tinggi esensi spiritual Ali. Angin merujuk pada moralitas negatif (akhlaq nafsani) dan kilauan pedang merujuk pada moralitas Ilahi. Referensi penting bahwa sifat-sifat negatif tidak mengganggu kualitas-kualitas sempurna Ali. (Lihat Akbar Abadi, Syarh Mathnawi, Buku 1, hal. 307).

37. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “gunung ketabahan, kesabaran, dan keadilan”–“Aku bukan jerami, aku gunung ketabahan, kesabaran dan keadilan: Bagaimana bisa angin kemarahan mengangkat gunung?” (Buku Pertama, bait 3794).

38. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bangunan Allah adalah bangunan Ali”– “Aku adalah gunung dan wujudku adalah bangunan-Nya. Jika aku menjadi seperti jerami, anginku (yang menggerakkanku) adalah zikir kepada-Nya.” (Buku Pertama, bait 3797).

39. Dengan merujuk kepada Imam Ali, Rumi menulis, “Pemimpinnya adalah cinta Allah”—“Kecintaanku tidak digerakkan melainkan dengan tiupan-Nya; kaptenku adalah kosong melainkan kepada Cinta kepada Yang Tunggal.” (Buku Pertama, bait 3798).

40. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “penindas kemarahan”—“Kemarahan, raja diraja bagiku tiada lain adalah budak: Bahkan kemarahan saya telah ikat di bawah pengekangan.” (Buku Pertama, bait 3799).

41. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang tenggelam dalam cahaya Allah”–“Aku tenggelam dalam cahaya sekalipun atapku hancur.” (Buku Pertama, bait 3801, bagian pertama).

42. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “taman surga”– “Saya telah menjadi sebuah kebun sekalipun saya digelari Bapak Tanah (Abu Turab)” (Buku Pertama, bait 3801, bagian kedua). Ayat ini merujuk pada hadis yang di dalamnya Nabi saw menjuluki Ali sebagai Abu Turab.

43. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pecinta Allah”–“Agar namaku adalah ‘Dia mencintai karena Allah. Agar keinginanku adalah ‘Dia membenci karena Allah.” (Buku Pertama, bait 3803).

44. Rumi menyebut manifestasi ‘kemurahhatian’ Ali sebagai “memberi karena Allah”—“Bahwa kemurahhatianku adalah ‘Dia memberi karena Allah.’” (Buku Pertama, bait 3804, bagian pertama).

45. Rumi merujuk pada manifestasi penyembunyian Ali sebagai “penyembunyian karena Allah”—“Bahwa wujudku adalah ‘Dia menyembunyikan karena Allah.’” (Buku Pertama, bait 3804, bagian kedua).

Bait 3803 dan 3804 merujuk pada sebuah hadis, “Keimanan dari siapasaja yang memberi karena Allah atau menyembunyikan karena Allah atau mencintai karena Allah atau membenci karena Allah atau menikah karena Allah, akan mencapai kesempurnaan.” (Foruzanfar, Ahadith Matsnawi, hal.37, Tehran 1361).

46. Rumi merujuk pada Imam Ali sebagai “kepunyaan Allah sepenuhnya”—“Aku kepunyaan Allah sepenuhnya, aku bukan milik yang lain.” (Buku Pertama, bait 3805, bagian kedua). Kehendak dan wujud Imam Ali dilingkari oleh kehendak dan eksistensi Allah.

47. Dengan merujuk pada Imam Ali, Rumi menulis, “Perbuatan Ali adalah karena Allah saja yang bersumber dari makrifat terangnya atas Allah”—“Dan bahwa yang aku lakukan karena Allah adalah (tidak dilakukan dengan) selaras, bukan fantasi atau pendapat, ia hampa kecuali intuisi.” (Buku Pertama, bait 3806).

Ilmu Ali adalah intuitif ketimbang teoretis

48. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang terpikat kepada Allah semata”—“Aku telah dibebaskan dari usaha dan pencarian, aku telah mengikat lengan bajuku pada rok Allah.” (Buku Pertama, bait 3807).

49. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang melihat Ali di mana-mana”—“Jika aku terbang, aku melihat tempat yang kepadanya aku mendaki; dan jika aku memutar, aku melihat poros yang padanya aku berputar.” (Buku Pertama, bait 3808).

50. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari dan rembulan, wilayah Qamariah dan Syamsiah”—“Aku adalah rembulan dan matahari di depanku sebagai pemanduku.” (Buku Pertama, bait 3809, bagian kedua).

51. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu ilmu Tuhan”—“Masuklah, aku akan buka pintu tersebut bagimu.” (Buku Pertama, bait 3841).

52. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang memberikan harta karun abadi kepada para pengikutnya”—“Apa yang kemudian aku berikan kepada pelaku kebajikan? Ketahuilah oleh kalian, aku berikan harta karun dan kerajaan-kerajaan yang abadi.” (Buku Pertama, bait 3843).

53. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “tuan ruh”—“Tetapi, jangan bersedih: Aku pemberi syafaat kalian; aku adalah pemilik ruh, aku bukan pelayan tubuh.” (Buku Pertama, bait 3942).

54. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “matahari agung”– “Tubuh ini tidak punya nilai dalam pandanganku: Tanpa tubuhku, aku adalah agung (dalam ruh), matahari ruh.” (Buku Pertama, bait 3943).

55. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “petunjuk para raja”—“Secara lahiriah ia berjuang dengan kekuatan dan otoritas, tetapi (hanya) ia yang bisa memperlihatkan kekuasaan jalan dan penilaian yang benar. Bahwa dengan ia, ruh lain bagi kekuasaan; ia bisa menghasilkan buah bagi pohon palem dari kekhalifahan.” (Buku Pertama, bait 3946-47).

56. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan Ilahi”—“Engkau benar-benar timbangan dengan sifat adil dari Yang Tunggal (Allah).” (Buku Pertama, bait 3981, bagian pertama).

57. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan yang dengannya para wali ditimbang”—“Tidak, engkau adalah puncak setiap keseimbangan.” (Buku Pertama, bait 3981, bagian kedua).

58. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya wilayahnya adalah cahaya wilayah Allah”—“Aku adalah pelayan dari mata pencari lampu yang dengannya lampu menerima keagungannya.” (Buku Pertama, bait 3984).

59. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “mutiara dari samudera cahaya Allah”—“Aku adalah pelayan dari gelombang samudera cahaya yang membawa mutiara seperti ini ke dalam pandangan.” (Buku Pertama, bait 3985).

60. Rumi menyebut Imam Husain sebagai “raja agama, kemegahan, dan ruh murni”—“Suatu ruh megah lari dari penjara; mengapa kita harus merobek pakaian-pakaian kita dan bagaimana kita harus mengunyah tangan-tangan kita. Karena mereka (Husain dan keluarganya) adalah raja-raja agama (hakiki), inilah saat kebahagiaan bagi mereka ketika mereka memutuskan ikatan-ikatan mereka.” (Buku Keenam, ayat 797-8).

Dalam Buku Keenam Matsnawi Rumi menyebut, dengan penghormatan yang mendalam, Imam Husain putra Imam Ali sebagai ruh agung dan Raja Agama. Meskipun sangat kesal karena peristiwa itu, ia memasukkan Hari kesyahidan Imam Husain (Asyura), sebagai hari duka cita bagi ruhnya.

Rumi menganggap kecintaan kepada Imam Husain sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang sama sebuah telinga mencintai mutiara.

Ia menggambarkan Nabi Muhammad saw sebagai wujud telinga dan Imam Husain adalah mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?

Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan Mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh.” (Buku Keenam, bait 790-92.) Bait 776-805 secara khusus merujuk pada umat Syiah di Kota Halab, yang kepada mereka Maulana mengritik karena memiliki ruh-ruh yang tertidur. Ia menyuruh mereka untuk meratap demi ruh-ruh mereka yang sama halnya dengan orang yang mati. Kemudian ia menyebut Ruh Agung Imam Husain yang lari dari penjara dan tetap hidup. Sebagian komentator telah menyalahpahami ini dengan mengatakan bahwa Rumi menentang Syiah yang darinya referensi-referensi di atas ia sama sekali tidak begitu (tidak menentang Syiah).

Dari pemahaman sinoptis atas Matsnawi, setiap dari enam buku Matsnawi mengandung dua belas wacana. Jadi, total ada 72 wacana. Repetisi dua belas wacana bukanlah kebetulan melainkan sebaliknya suatu penghormatan kepada masing-masing Dua Belas Imam Ahlulbait, pewaris dan penerus wilayah keruhanian Nabi Muhammad saw. Tujuh puluh dua wacana sama dengan jumlah tujuh puluh dua sahabat Imam Husain yang syahid bersamanya di Karbala. Sejak kelahiran mereka, sama’ dalam Tarekat Maulawiah menghormati para syahid Karbala. Di makam Maulana Rumi yang terletak di Konya, nama-nama empat belas maksum, dari Nabi saw hingga Imam Keduabelas (yakni, Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, Muhammad bin Hasan al-Mahdi) ditatahkan pada dinding-dinding ruang pemakamannya.

Bukti tekstual ini mengilustrasikan bahwa Maulawi Rumi adalah Syiah hakiki dari kebenaran Syi’isme, tasyayyu’ haqqiqi, dan pengikut Imam Ali. Mengenai hal ini, Dr. Shahram Pazouki mengatakan:

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ini adalah bahwa prinsip paling penting yang dimiliki oleh Syi’isme dan tasawuf adalah persoalan Imamah atau Walayah. Wali adalah mediator dan pembimbing Tuhan yang melalui mereka Allah menyelamatkan manusia. Poin yang harus dicatat di sini adalah bahwa, berkebalikan dengan apa yang secara umum ditegaskan, Syi’isme pada mulanya bukanlah gerakan politik melawan para khalifah atau mazhab fikih, yang sejajar dengan mazhab fikih Suni, atau mazhab kalam (teologi) yang dekat Muktazilah. Syi’isme adalah sebuah jalan keikhlasan yang didasarkan pada konsep walayah, sementara perbedaan-perbedaan dalam fikih, politik, dan teologi adalah isu-isu sekunder di luar dari inti utama ini. Dengan demikian, dalam Syiah hakiki, orang percaya bahwa Allah dimakrifati bukan dengan penalarannya dan spekulasinya sendiri, atau pun melalui hadis-hadis yang diturunkan kepada yang lainnya, namun melalui penyerahan dan ketundukan total kepada wali dan berjalan di atas Jalan Cinta.

Maka itu, kita melihat bahwa dalam Matsnawi-nya, Maulana Jalaludin Rumi membicarakan seluruh empat khalifah pertama, namun nada pembicaraannya berbeda sepenuhnya ketika ia sampai kepada Ali, karena ia mengetahuinya sebagai wujud sang wali sepeninggal Nabi saw.” (Pazouki, Shahram. (2003) “Spiritual Wilayah” dalam S.G. Safavi(ed), Rumi’s Thoughts. Tehran: Salman Azadeh Publication)

Bibliografi
Lihat Kehidupan Rumi: Aflaki, Ahmad, Manaqeb al-‘Arefin, Tehran, 1983.
Alavi, Mahvash, Maulana, Khodawandegar-e Tariqat-e Ishq, Tehran, 1998.
Chittick, William, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Foruzanfar, Badi’a al- Zaman, Mawlavi, Tehran, 1971/1354.
Golpinarli, Abdulbaki, translated into Farsi by Sobhani, Tofiq, Mowlana, Tehran, 1996.
Iqbal, Afzal, Rumi, Lahore, 1991.
Lewis, Franklin, Rumi: Past and Present. East and West, Oxford, 2,000.
Sepahsalar, Faridun, Mowlavi, Tehran, 1983.
Syamsuddin Syirazi, Maqalat-e Shams Tabrizi. ed. Mohamad ‘Ali Movahed, Tehran, 1990.
Zarrinkub, Abdul Hosayn, Pele-pele Molaqat ta Khoda, Tehran, 1994.
2. Untuk laporan selengkapnya ihwal pemikiran teologis dan spiritual Maulana Rumi, lihat:
Chittick, William.C, The Sufi Path of Love. SUNY, New York, 1983.
Chittick, William C, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Este’lami, Muhammad, diedit dengan komentar, Masnavi-ye Jalal al-Din Mohammad-e Balkhi, 7 jilid, (edisi keenam), Tehran, 2000/1379.
Schimmel, A, The Triumphal Sun. Fine Books, London, 1978.
Homaei, Jalal al-Din, Mowlawi Nameh, Tehran, 1996/1374.
Ja’fari, Mohammad Taqi, Mowlawi wa Jahanbinih dar Maktabhay-e Sharq wa Gharb, Tehran, 1992/1370.
Safavi, Seyed G, Rumi’s Thought, Tehran, 2003.
Safavi, Seyed Ghahreman, The Structure of Rumi’s Mathnawi, London, 2006.
Turkmen, Erkan, The Essence of Rumi’s Mathnavi Including his Life and Works, Konya, 2004.
3. Lihat literatur Persia klasik:
Arberry, A J, Classical Persian Literature. George Allen and Unwin, London, 1958.
Baldick, J, “Persian Sufi Poetry up to the Fifteenth Century” dalam Morrison, G. (ed) History of Persian Literature, Brill, Leiden, 1981.
De Bruijn, JT P, Persian Sufi Poetry, Curzon, Richmond, 1997.
4. Lihat tentang Syi’isme spiritual Rumi:
Ashtiani, Seyed, Jalal al-Din, Sharh-e Moqadameh Qaysari, Masyhad.
Homaei, Jalaluddin, Mowlawi nameh, Tehran, 1995/1374.
Khowrazmi, Kamal al-Din Hossein bin Hassan, Jawaher al-Asrar wa Zawaher al-Anwar, Sharh-e Mathnawi. Ed, Shariat, M.J., Isfahan.
Khowrazmi, Taj al-Din Hossein, Sharh-e Fosos al-Hekam, ed. Najib Mail Harawi, Tehran, 1985/1364.
Safavi, Seyed, G, Rumi’s Thoughts, Tehran, 2003.
—————–, The Structure of The Rumi’s Mathnawi. London, 2006.
(Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari “Rumi’s Spiritual Shiism” dalam Jurnal Transcendent Philosophy, London Academy of Iranian Studies).