Label

Sabtu, 28 Februari 2015

Cello & Diari




Puisi-puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Harian Indo Pos, 1 Maret 2015)

Diari

Januari digambar oleh senja berwarna ungu
dan di gugusan awan kuletakkan pikiranku.
Kegembiraanku seperti susunan pematang
tempat kanak-kanak menerbangkan layang-layang.

Orang-orang bicara tentang resolusi ekonomi
yang lain menjadi para pecandu televisi.
Tetapi semalam, kuistirahatkan kata-kataku
persis ketika kau sedang nyenyak tertidur.

Bagaimana aku bisa menulis puisi
bila aku tak mencintai hidup ini?
Kertas-kertasku kuumpamakan tanjung dan hutan
dan bahasa adalah gelegar ombak dan riuh hujan.

Traktat-traktat politik acapkali jadi letih
tentang bagaimana kebahagiaan bisa diraih.
Setiap hari kita kehilangan akal karena berita
yang telah membunuh anak-anak bahasa.

Kita ditipu oleh para analis dan para selebriti
yang menyamar sebagai para da’i.
Di kanal-kanal yang lain, para agen finansial
seenaknya saja merekayasa usia kita.  

Hari ini, sayang, dunia ternyata
pentas-pentas sandiwara kaum korporat
dan para pemilik senjata. Dan para politisi
sama lucunya dengan lidah-lidah kaum akademisi.

(2015)


Cello

Pukul 24.01, ketika waktu
bukan tentang tahun
atau jadwal harian
perusahaan, seorang lelaki
merenungi januari

yang ditinggalkan musim.
Ia bayangkan
senja yang matang
yang sebenarnya agak samar
lewat jendela kaca

seruang kerja.
Ia bayangkan magrib
yang sebentar lagi hilang
ke haribaan semesta
yang dikaguminya.  

Di seruang yang dingin itu
teka-teki langit
dan bintang-bintang
direnunginya bersama sealun musik
Yehudi Menuhin.

Ia bayangkan waktu
seperti sebuah rumus
fisika kuantum
di gugusan rambutmu
yang agak pirang itu.

Tuhan tak melempar dadu,
pikirnya, agak ragu
dan ada yang lebih mempesona
ketimbang rumus fisika
atau pun misteri matematika.

Tapi malam itu,
dingin yang terlanjur menyerbu
tak lagi bisa ia bendung.
Seperti ketika rindu
merimbun sepasang matamu.  

(2015) 


Esai Kecil Tentang Alice di Negeri Ajaib



"Aku terlambat, aku terlambat, aku terlambat!" Ketika mengikuti Kelinci Putih masuk ke lubang kelinci, Alice tahu-tahu sampai di Negeri Ajaib, tempat segala hal yang sangat tidak biasa. Maka Alice pun mengalami petualangan seru bersama Kucing Cheshire yang selalu nyengir, Mad Hatter, dan Ratu Hati yang kejam. Alice in Wonderland adalah salah satu novel klasik untuk anak-anak yang juga menarik dibaca orang dewasa. Novel tersebut menghadirkan nuansa satir yang jarang ditemui dalam genre children’s literature. Dengan lihai, Lewis Carroll memberi sentuhan ganjil ke dalam petualangan Alice yang penuh kejutan. Plot cerita yang di luar akal sehat menjadikan Lewis Carroll penulis yang unggul dalam kategori nonsense literature.

Alice in Wonderland disusun ke dalam bagian-bagian yang mengurutkan petualangan Alice di Negeri Ajaib. Yang cukup membuat prosa ini unik adalah cara penulisnya dalam membangun penokohan diperkuat dengan dialog eksentrik yang bisa membuat pembaca takjub. Sedangkan hal lain yang membuat Alice in Wonderland istimewa adalah kritik tersiratnya (kritik implisit atau kritik tak langsung) terhadap masyarakat yang disampaikan melalui karakter Alice itu sendiri. Tokoh-tokoh yang Alice temui di negeri ajaib merupakan simbolisasi orang dewasa di dunia nyata; tetap membingungkan meski Alice telah berusaha  memahami mereka. Elemen ini tentu sangat menarik mengingat Alice in Wonderland ditulis pada masa Victoria, dimana buku tersebut justru diterbitkan untuk menginternalisasi nilai moral ke dalam masyarakat.

Hal menarik lainnya adalah menyangkut penulisnya, Lewis Carroll, yang memiliki latar belakang sains yang menulis Alice in Wonderland dengan cara yang tidak biasa. Genre “nonsense literature” yang ia usung menyajikan permainan kata, rima absurd, dan teka-teki tanpa jawaban. Ia juga menciptakan kosakata baru, seperti “uglification” dan “muchness”. Sebagai ahli matematika, sang penulis tak lupa menyematkan konsep matematika dalam Alice in Wonderland. Salah satu contohnya dapat dilihat pada Bab 7, A Mad Tea-Party. March Hare, Hatter, dan Dormouse berpendapat bahwa kalimat yang dibalik tidak pernah berarti sama. Hatter berkata, "Why, you might just as well say that 'I see what I eat' is the same thing as 'I eat what I see'!" Dalam ilmu matematika, hal yang mereka bicarakan dikenal dengan konsep hubungan invers.

Yang penting untuk juga diketahui adalah bahwa Lewis Carroll adalah nama pena dari Charles Lutwidge Dodgson, seorang ahli matematika, pendeta, dan fotografer asal Inggris. Dodgson dibesarkan dari keluarga Kristen yang taat. Ia seringkali terlihat canggung ketika berinteraksi dengan orang lain. Tubuhnya kurus kering dan tinggi menjulang. Dodgson kehilangan salah satu indra pendengarannya akibat demam tinggi sewaktu kecil. Ia juga selalu gugup dan terbata-bata ketika berbicara. Kelak, kekurangan tersebut ia tuangkan ke dalam karakter Dodo dalam cerita Alice in Wonderland.

Sebagai penulis yang memiliki latar-belakang sains, karier menulis Dodgson diawali dengan puisi dan cerita pendek. Karya-karyanya bernuansa humoris, absurd, dan terkadang satir. Pada tahun 1856, ia menerbitkan karya pertama yang membuatnya terkenal. Karya tersebut adalah puisi romantis berjudul Solitude yang diterbitkan di majalah The Train. Pada saat itu, ia mulai memakai nama “Lewis Carroll”. Pseudonym tersebut berasal dari namanya yang diutak-atik ke dalam bahasa Anglikan dan Latin. “Lewis” adalah bentuk anglikan dari “Ludovicus”, yang merupakan bahasa Latin dari “Lutwidge”. Sedangkan “Carroll” adalah bentuk Irlandia dari Carolus, adaptasi “Charles” dalam bahasa Latin. “Charles Lutwidge” diubah menjadi “Carolus Ludovicus” dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris menjadi “Carroll Lewis”. Belum puas bermain kata, Dodgson membalik nama tersebut menjadi “Lewis Carroll”.

Pertanyaannya adalah siapa dan seperti apa karakter Alice itu sendiri? Ia adalah seorang gadis cilik yang tidak menyukai buku (yang hanya berisikan tulisan tanpa gambar atau minus ilustrasi, dan akhirnya membosankan dan membuat pening kepala ketika membacanya), yang kemudian melihat hal ganjil ketika sedang menemani kakaknya di bank. Apa hal ganjil tersebut? Tak lain seekor kelinci yang tidak biasa, seekor kelinci yang bisa berbicara dan memegang arloji! Rasa ingin tahu atau kuriositas gadis cilik ini membawanya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya –yah dunia ajaib alias wonderland.

Singkatnya, hari itu Alice sungguh mengalami hari yang sangat tidak biasa –sebuah hari yang memang aneh (dan absurd). Bayangkan saja oleh kita bila kita menjumpai sebuah botol yang bertuliskan “drink me” (yang dialami Alice tersebut), di mana cairan di dalam botol tersebut membuat tubuh Alice mengecil. Untungnya, ada sebuah kue kecil yang bertuliskan “eat me”, yang membuatnya membesar kembali, namun tidak seperti ukuran tubuh Alice sedia-kala sebelum mengecil, tapi melampaui ukuran asli tubuh Alice.

Inilah awal petualangan Alice di negeri ajaib, di mana ia bertemu dengan berbagai macam hewan-hewan aneh dan unik yang bisa beraktivitas layaknya manusia: seekor tikus yang bisa berbicara, burung dodo, seekor ulat yang sedang menghisap shisha, hingga prajurit-prajurit yang mempunyai tubuh selembar kartu remi. Tentu juga kejadian-kejadian yang tidak terduga yang ia alami, seperti dijamu minum teh dalam perjamuan yang sedikit gila hingga berbalap lari dengan hewan-hewan tadi. Dan yang tak kalah aneh, ada juga ikan dan katak yang berkaki manusia, hingga seekor kucing yang gemar nyengir.

Demikianlah sekilas cerita Alice in Wonderland yang ditulis oleh Lewis Caroll pada tahun 1865, yang dibagi menjadi 12 bab utama, dimana tiap bab-nya berkaitan satu sama lain, tetapi dengan tema-tema utama pada masing-masing bab-nya. Misalnya bab 5, “Advice from Caterpillar”, di mana bab ini berisi cerita tentang Alice yang berhadapan dengan seekor ulat yang merokok alias menghisap shisha. Si ulat ini merupakan seekor ulat yang bisa dikatakan bijak. Dia memberi Alice nasihat tentang bagaimana caranya untuk berubah wujud jadi kecil atau besar.

Tentang hal-hal yang besar-kecil ini dikatakan bahwa Lewis Carroll menulis bab ini dalam keadaan sedang migrain dan epilepsi, sehingga disebutkan bahwa dalam imajinasinya, benda-benda seolah membesar dan mengecil. Kejadian ini bahkan dijadikan nama penyakit, yaitu sindrom Alice in Wonderland, yang mana sindrom ini terjadi pada anak kecil yang mengalami gangguan saraf, sehingga seolah-olah benda-benda yang dilihat oleh seorang anak kecil cenderung membesar dan mengecil. Soal inilah yang membuat buku ini sebenarnya tidak layak dikategorikan buku anak-anak. Bayangkan saja, seekor ulat yang sedang menghisap shisha (alias merokok). Sehingga dikatakan bahwa Alice in Wonderland adalah bacaan lintas usia –meski dianggap secara populer sebagai bacaan anak-anak.

Alice di Negeri Ajaib


Oleh Alikta Hasnah Safitri

Judul Buku: Petualangan Alice (Alice di Negeri Ajaib dan Alice Menembus Cermin). Penulis: Lewis Carroll. Penerjemah: Agustina Reni Eta Sitepoe. Penerbit: PT Elex Media Komputindo. Tahun Terbit: 2010. Jumlah Halaman: 282 halaman.

Charles Lutwidge Dodgson atau lebih dikenal dengan nama samarannya: Lewis Carroll, selain sebagai penulis sebenarnya dikenal juga pada zamannya sebagai dosen matematika di Universitas Oxford. Karya monumentalnya sebagai pengarang adalah kisah klasik anak-anak Alice’s Adventures in Wonderland, Through the Looking Glass, serta puisi Hunting of the Shark and Jabberwocky.

Cerita Petualangan Alice di Negeri Ajaib dibuat spontan olehnya ketika menemani anak-anak keluarga Henry Liddell, Dekan Gereja Kristus Oxford, berperahu ria di sungai Thames dalam perjalanan piknik menuju Godstow. Atas permintaan Alice Liddell, Lewis Carroll menuliskan dongengnya tentang Alice dalam sebuah buku yang pada awalnya berjudul Alice’s Adventures Under Ground. Judul ini kemudian berubah lagi menjadi Alice Among the Fairies, lalu Alice’s Golden Hour, dan terakhir Alice’s Adventures in Wonderland yang kita kenal hingga kini

Buku Petualangan Alice terbitan PT Elex Media Komputindo ini memuat dua cerita sekaligus, yakni Alice di Negeri Ajaib dan Alice Menembus Cermin. Namun kali ini, peresensi hanya akan membahas kisah pertama tentang Petualangan Alice di Negeri Ajaib.

Petualangan Alice di negeri ajaib dimulai ketika seekor kelinci putih berjas panjang dengan mata merah muda berlari di dekatnya ketika ia sedang duduk di tepi sungai bersama kakak perempuannya. Alice pun mengejar kelinci itu hingga masuk ke dalam sebuah lubang besar.

Setelah terjatuh jauh turun ke bawah, ia menyadari bahwa kini ia tengah berada dalam sebuah ruangan dengan banyak pintu yang terkunci. Di atas meja, ia melihat sebuah kunci untuk pintu yang sangat kecil dan sebuah botol minuman berlabel “Minum Aku”. Alice meminumnya dan tubuhnya mengecil seketika, sementara kunci untuk pintu kecil itu masih berada dia atas meja yang tinggi.

Tak lama, ia menemukan kue dengan label “Makan Aku”, Alice memakannya dan tubuhnya pun membesar hingga membentur langit-langit ruangan. Segera setelahnya ia mengambil kunci dan menuju pintu, namun karena ukuran tubuhnya, ia hanya bisa berbaring miring sambil terus menangis hingga membentuk kolam air mata.

Di negeri Ajaib, Alice bertemu dengan sekelompok hewan yang bermusyawarah mengadakan sayembara untuk mengeringkan tubuh mereka setelah terjatuh di kolam air mata. Ia juga bertemu seekor ulat bulu yang duduk di atas jamur sambil menghisap hookah. Ulat bulu itu menanyakan jati diri Alice dan memberikan beberapa petuah padanya.

Alice melanjutkan perjalanannya dan masuk ke dalam sebuah rumah. Di rumah itu, ia bertemu pelayan berkepala ikan, sang putri dengan bayi berbentuk bintang laut, juga kucing Chessire yang selalu menyeringai. Alice juga menghadiri upacara minum teh yang aneh dengan Pembuat Topi, Terwelu Maret, serta Tikus Muscardinus. Walau meja perjamuan sangat luas, namun ketiga peserta jamuan berdesak-desakan di satu sudut meja.

Setelahnya, ia masuk ke dalam pintu yang membawanya menuju lapangan kriket. Disana ia mendapati para tukang kebun berbentuk bujur dan pipih dengan tangan dan kaki di kedua sudutnya sedang mengecat mawar putih menjadi merah.

Karena menentang perintah Ratu, ia mendapat tantangan untuk bertanding kriket, bolanya adalah para landak, pemukulnya adalah burung flamingo, dan para prajurit harus melengkungkan diri masing-masing dan berdiri di atas kaki dan tangan mereka sehingga membentuk busur.

Sepanjang permainan, Ratu selalu berkata “Penggal kepalanya!”, sehingga Alice merasa tidak nyaman. Setelah beradu pendapat, Ratu pun menghentikan permainan dan menyuruh seekor Gryphon membawa Alice bertemu kura-kura tiruan.

Di akhir kisah, Alice dituduh mencuri kue tarcis Sang Ratu, namun Alice mengelak dari tuduhan itu karena tak adanya bukti. Saat kemarahannya meledak, ia terbangun di pangkuan kakaknya dan menceritakan mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Tak lama kemudian, sang kakak pun bermimpi hal serupa, meski ia tahu bahwa bila matanya dibuka, negeri ajaib itu akan hilang dan berubah menjadi kenyataan yang membosankan.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh siswa sekolah dasar. Selain menghibur dan membangkitkan imajinasi anak-anak yang tak terbatas, sosok Alice yang jujur, polos, dan berani patut menjadi teladan bagi anak-anak seumurannya. Alice juga tak pernah menunjukkan sikap jijik pada setiap karakter aneh yang ditemuinya.

Lewis, secara implisit mengajak para pembacanya untuk tak menilai seseorang dari tampilan luar semata, bersikap terbuka terhadap perbedaan, serta menjunjung tinggi kesopan-santunan.

Sayangnya, logika fantasi dalam permainan kata dan bahasa yang sudah tertata apik dalam buku ini tak bisa ditangkap oleh pembaca karena buku ini merupakan karya terjemahan. Akan lebih baik setelah membaca karya ini, pembaca juga membaca karya aslinya yang berbahasa Inggris.

Kamis, 05 Februari 2015

Penyair Menurut Martin Heidegger


Oleh Nara Sambulawa (Elfridus Silman, SMM, SS)
 
and what are poets for in a destitute time?[1] Demikian Martin Heidegger[2] (1889-1976) memulai kalimat awal essay-nya yang berjudul, What are Poets for. Pertanyaan ini, juga diajukan oleh seorang penyair  besar Jerman abad 20, yakni Hölderlin,[3] dalam puisinya yang berjudul Bread and Wine. Sebuah pertanyaan menukik yang menyentuh persoalan hakekat seorang penyair. Heidegger menyukai puisi-puisi Hölderlin. Kesukaan tersebut memberi penegasan bahwa ia seorang penikmat puisi. Essay-nya, tentang What are Poets for, memberi ulasan mendalam soal “siapakah manusia itu”? Bagi, Martin Heidegger puisi adalah bahasa tertinggi. Bahasa puisi mampu membawa orang pada pengertian mendalam tentang otentisitas manusia beserta segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam kehidupan.

Pertanyaan Heidegger, “untuk apa para penyair”? bukan pertama-tama mempertanyakan tujuan kehadiran seorang penyair di telinga dan mata para pengagumnya, melainkan mengantar manusia pada jalan ekspolorasi filosofis tentang keberadaannya. Apakah yang dapat menciptakan syair-syair? Rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, angin, ataukah bunga? Tentu tidak. Hanya seorang penyair yang dapat mengungkapkan bahwa rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, dan bunga, bisa berkata dan bersyair. Hanya manusia yang dapat menciptakan syair-syair. Bagi Heidegger, manusia yang dapat menciptakan syair adalah manusia otentik, yang secara eksisitensial berada dalam Destitute time. Namun, apakah manusia  otentik itu?

Dalam karyanya, Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger mengulas tentang manusia sebagai realitas Ada yang bereksistensi, dalam kemenduniaan dan kemewaktuan. Heidegger menyebut manusia dengan terminologi yang khas, yaitu Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman merupakan bentukan dari kata dasar, Da (secara harafiah berarti; di sini/di sana) dan Sein (menjadi/ada)[4].  Problem linguistik ini kerap kali mengakibatkan inkonsistensi dan ketidaktepatan dalam penerjemahan konsep Dasein Heidegger. Term ini secara tepat dapat diterjemahkan dengan “Ada-di-sana”. Sebab, bagi Heidegger, manusia bukanlah seperti yang kita lihat “di sini”. Tetapi manusia adalah dia, yang memiliki segala kekayaan “di sana[5]”. “Di-sana”, tidak merujuk pada suatu tempat. Tetapi memaksudkan makna kedalaman manusia yang tidak terlihat.[6] Keistimewaan manusia (Dasein) dari antara benda-benda (seiendes) adalah kemampuannya untuk mempertanyakan dirinya, dan segala sesuatu yang terlingkup oleh kesadarannya. Manusia “yang bertanya” mengindikasikan sebuah pencarian makna.

Manusia paling otentik adalah manusia yang berada dalam destitute time. Destitute merupakan sebuah karakter situasional ketiadaan uang, makanan, rumah, kepemilikan[7] atau apa pun yang membuat hidup itu bermukim pada zona nyaman. Dalam destitute time manusia mengalami situasi naturalnya sebagai manusia. Heidegger menguraikan destitute time secara radikal dengan menginterpretasi kata abyss, sebagaimana yang telah digunakan Hölderlin. Abyss (abyground) adalah dasar, di mana akar menusuk dan berpijak.[8] Di situlah manusia menemukan kodrat naturalnya. Manusia mengalami eksistensinya sebagai manusia murni, dengan kesadaran penuh akan Ada-nya. Ia mengalami dirinya sebagai manusia yang mencari makna sekaligus lapangan pencarian makna itu[9]. Dan, siapakah seorang penyair dalam Destitute time? Ia adalah figur yang menemukan originalitas manusia yang terjalin secara relasional-eksistensial dengan segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam hidup.

Menjadi penyair dalam destitute time artinya menghadirkan/menyingkapkan segala sesuatu untuk menemukan orisinalitasnya[10]. Ia menyingkapkan otentisitas dirinya dan segala sesuatu yang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya. Ia bernyayi tentang makna keberadaan dirinya dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Musikalitasnya tereksplorasi dalam keindahan kata. Ia adalah figur dewa yang menyingkapkan orisinalitas makna dari realitas “menjadi manusia”. Maka hakekat seorang penyair yakni sebelum dia sungguh-sungguh menjadi seorang penyair, ia berada dalam situasi destitute time. Dalam situasi itu, ia menciptakan sebuah pertanyaan puitis bagi seluruh keberadaan dan panggilannya menjadi penyair[11].  Pertanyaan puitis itulah, yang menjadi sarana penyingkap kebenaran. Dan setiap pertanyaan selalu mengindikasikan adanya pencarian. 

Jalan penyingkapan itu ditempuh dengan mengalami sendiri ketersembunyian hakekat segala sesuatu (manusia, benda-benda, peristiwa) dalam bentuk kontemplasi.[12] Dalam kontemplasinya, ia menyingkap ketersembunyian hakekat segala sesuatu menjadi ketaktersembunyian. Lain kata, segala yang tersembunyi akan menjadi tampak dalam kontemplasi.  Setiap syair, merupakan jawaban atas manefastasi dari hakekat manusia beserta segala sesuatu yang ada.  Dan puisi tidak secara langsung menerangkan hakekat dari segala sesuatu yang ada[13]. Ia menerangkan sesuatu melalui simbol, dengan teknik pengunaan diksi yang indah. Namun, hakekat puisi tidak terutama pada diksi, atau pada pesan yang memukau wilayah rasa, melainkan  dialami sebagai sebuah orgasme akal budi. Sebab, in se seorang pemikir itu adalah seorang penyair, demikian pun sebaliknya. Teknik merangkai kata-kata indah juga tak dapat diabaikan. Sebab, menciptakan puisi itu adalah “the work of art.

Pertanyaannya adalah bagaimana pesan puisi sampai pada pendengar atau pembacanya? Sesungguhnya, pesan orisinalitas puisi tidak akan sampai pada pendengar atau pembacanya, jika pendengar atau pembaca tidak masuk di jalan yang sama dengan sang penyair dalam destitute time-nya. Dengan kata lain, pembaca harus masuk dalam kerangka kontemplasi penyairnya.

Lihat saja, Chairil Anwar tampak menjadi salah satu dari antara beribu tulang berserak antara Kerawang-Bekasi, dalam puisinya Kerawang Bekasi. Ia dengan kesadaran penuh bahwa ada satu titik yang mengakhiri eksistensi manusia. Titik itu mengubah segalanya. Tak ada lagi situasi eksistensial yang menandakan kehidupan. Kegelapan tanpa suara. Sebagai penyair, Anwar bertanya tentang hakekat dari tulang-tulang berserakan itu, yang  akhirnya dapat bersuara, seolah ia ada dalam dunia mereka. Hanya orang sadar sebagai manusia saja yang akan mengalami, menjadi tulang tanpa suara, yang dapat menangkap pesan kematian. Hanya orang yang peka akan situasi ketertindasan yang dapat merasakan bias terror. Anwar mampu menggeledah suara harapan dari beribu tulang yang berserakan antara Kerawang dan Bekasi.

Seorang penyair seperti Hölderlin, Chairil Anwar, adalah penyingkap kebenaran. Jalan penyingkapan itu adalah sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan puitis yang mengitari imaginasinya dalam situasi destitute time. Panggilan menjadi penyair adalah panggilan untuk mencari jawaban atas pertanyaan “siapakah manusia?” Dengan sikap kontemplatif atas pengalaman kemenduniaan dan kemewaktuannya, sang penyair dapat menampakan kebenaran tentang realitas dirinya sebagai manusia, segala benda dan peristiwa yang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya.*** Purakasastra Edisi 2 Tahun 1-November 2014


[1] Martin Heidegger, What are Poets For? dalam Poetry, Language, Though, New York: Harper Perennial Classic, 2001, hlm 89.
[2] Martin Heidegger, filsuf besar abad 20 asal Jerman. Pada 1923 ia menjadi professor di Universitas di Marburg. Pada 1927 ia menerbitkan karya besarnya berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu). Gagasan filsafatnya banyak mempengaruhi berbagai bidang penelitian yang luas. Tradisi filsafat yang digeluti dan diwariskannya: Fenemenologi, Eksistensialisme, dan Hermeneutika. Dalam bidang Fenomenologi ia banyak berguru pada Edmund Husserl. Dalam bidang Eksistensialisme ia banyak berguru pada Nietzche dan Sorren Kierkegaard. Murid-muridnya yang menjadi filsuf terkemuka antara lain; Hanna Arendt, Hans Gadamer, Hans Jonas, Emanuel Levinas, Jacques Derrida, Jean-Paull Sartre, Leo Strauss, dll. Selain, karya besar Sein und Zeit, ratusan essay filsafat ditulisnya, termasuk beberapa diantaranya berkaitan dengan puisi (The Thinker as Poet, What are Poets for?, Language, Poetically Man Dwells).
[3] Johann Christian Freiderich  Hölderlin (1770-1843), penyair besar Jerman, kerap dikelompokan dalam aliran Romantisme.
[4]Bdk. Magda King, Heidegger’s Philosophy: A Guide To His Basic Thoght, New York:The Macmillan Company, 1964, hlm 66.
[5]Prof. Dr. Eko Armada Riynto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 41.
[6]Ibid.
[7] Bdk. Cambrige Advanced Learner’s Dictionari, third edition.
[8] Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 89.
[9]Ibid.
[10] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 90.
[11] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 91.
[12] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 93.
[13] Bdk. Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 95