Label

Jumat, 31 Juli 2015

Akhirnya Kutemukan Kebenaran



Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi (ulama dan penulis Tunisia)

Banyak sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Ahlu Bait (Syi’ah). Dan tidak mungkin bagiku menyebutnya secara rinci di sini kecuali sebagiannya saja.

[1] Nas Khilafah
Aku telah berjanji pada diriku ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak berpegang pada sebarang dalil melainkan ia benar-benar dianggap shahih oleh kedua mazhab, dan membiarkan setiap dalil yang hanya diriwayatkan oleh satu mazhab saja. Lalu aku mulai menelaah tentang pemilihan (khilafah) antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, dan khilafah (kekhalifahan) pada dasarnya apakah hak Ali bila dilihat dari sisi nash seperti yang diklaim oleh mazhab Syi’ah, atau ditentukan oleh syura seperti yang dikatakan oleh mazhab Sunni. Apabila mereka yang menelaah subjek ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, maka mereka akan dapati bahwa nash yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nash yang tak terbantahkan. Seperti sabda Nabi saw: “Siapa yang menganggap aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya”. Hadis ini beliau ucapkan sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir yang dikenal dengan haji wada’. Usai pengangkatan, berduyun-duyun orang datang mengucapkan selamat kepada Ali, termasuk Abu Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata: “Selamat untukmu wahai Putera Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula setiap orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.[1]

Hadis ini telah disepakati keabsahannya oleh Sunni dan Syi’ah. Referensi yang kusebutkan dalam telaahku ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah saja. Itupun bukan semua. Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari apa yang kusebutkan. Untuk memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku mengajak para pembaca untuk menelaah kitab al Ghadir karya al Allamah al Amini. Buku ini setebal tiga belas jilid. Dan penulisnya telah mendaftarkan nama para perawi hadis ini dari golongan Ahlu Sunnah yang cukup banyak. Adapun ijma’ yang dinyatakan sebagai dasar dipilihnya Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah, lalu kemudian ia dibaiat di masjid adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai ijma’ sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali, Abbas dan anggota Bani Hashim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu juga Usamah bin Zaid, Zubair, Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, Miqdad bin al Aswad, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu Buraidah al Aslami, Barro’ bin Azib, Ubay bin Ka’ab, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Ubadah, Qais bin Sa’ad, Abu Ayub al Anshori, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Sa’ ad dan lain sebagainya.[2]

Di mana ijma’ yang dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali saja yang tidak membaiat, maka itu sudah cukup sebagai bukti tercelanya ijma’ seumpama itu. Hal ini karena beliau adalah satu-satunya calon Khalifah yang ditunjuk oleh Rasul saw, apabila kita katakan bahwa nash tersebut tidak menunjuknya sebagai khalifah secara eksplisit. Sebenarnya bai’ at pada Abu Bakar terjadi tanpa syuro atau musyawarah. Bai’at itu diambil ketika orang-orang sekitarnya, terutama ahlul halli wal ‘aqdi, sedang bingung dan sibuk dalam mengurus jenazah Nabi saw. Saat itu penduduk kota Madinah sedang berkabung atas wafatnya Nabi mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk mem bai’ at sang khalifah.[3] Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma’? Umar sendiri pernah berkata bahwa bai’at yang diambil waktu itu adalah tergesa-gesa, dan Allah telah memelihara kaum muslimin dari kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa siapa saja yang mengulangi cara bai’at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau paling tidak bai’atnya tidak sah dan tidak diakui.[4]

Imam Ali pernah berkata tentang haknya ini, yang antara lain: “Demi Allah, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar) telah memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu bahwa kedudukanku dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda”[5] (Nahjul Balaghah). Sa’ad bin Ubadah pemuka kaum Anshar yang menyerang Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah dan berusaha mati-matian untuk mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena sakit dan tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia’t Abu Bakar: “Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai’at kalian sampailah kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta kupukulkan pedangku dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan kaumku. Demi Allah, seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membai’at kalian niscaya aku tetap tidak akan memberikannya, sampai aku berjumpa dengan Tuhanku.” Sa’ad bin Ubadah tidak shalat sama-sama mereka dan tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak mau haji bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau memerangi mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang membaiatnya untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah sikap Sa’ad terhadap Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode pemerintahan Umar.[6]

Apabila bai’at tersebut dilakukan secara tergesa-gesa di mana Allah telah memelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri, arsitektur rencana ini dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin karenanya. Dan apabila khilafah ini merupakan “pakaian” Abu Bakar saja, (seperti yang diibaratkan oleh Imam Ali karena dia bukan empunya yang sah). Dan apabila bai’at ini diambil secara zalim seperti vang dikatakan oleh Sa’ad bin Ubadah, pemuka Anshor yang memisahkan diri dari jamaah karenanya. Dan apabila bai’at ini tidak sah secara syari’at mengingat sahabat-sahabat yang besar seperti Abbas paman Nabi tidak memberi-nya, lalu apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abu Bakar? Jawabnya: tidak ada alasan dari kalangan Ahlu SunnahWal Jamaah. Dengan demikian maka benarlah alasan dan hujjah Syi’ah dalam hal ini, karena nash tentang kehalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri, namun mereka telah menakwilkannya karena ingin memelihara “kemuliaan” sahabat. Tetapi bagi orang yang insaf dan adil, dia tidak akan memperoleh sebarang alasan kecuali harus menerima kenyataan nash ini. Terutama apabila ia ketahui rangkaian peristiwa yang menyelubungi sejarah ini.[7]

[2] Perselisihan Antara Fatimah dan Abu Bakar
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi’ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah, meskipun ia tidak menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah rnenzalirni Perempuan Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Zahra’ dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash al Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bih Abi Thalib. Kami telah temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini. Di antaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Zahra’, (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai’at Ali. Mereka menjawab: ”Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai’at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak akan berpaling darinya.” Ali berkata: “apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuutus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?” Fatimah menyahut, “Abul Hasan (Ali) telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya.”[8]

Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiaannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun. Semua ini telah menyebabkan Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[9] Untuk pembuktian ini saya sendiri telah berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak di Baqi’, di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.

Alhasil, aku berkesimpulan bahwa Fatimah Zahra’ sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnva yang intensif dalam bidang sejarah. Aku juga mendapati bahwa penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah tanah pekuburan Jannatul Baqi’. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, semantara kebanyakan sahabat lain dikuburkan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi’. Hatta Malik bin Anas, imam mazhab Maliki, seorang Tabi’it-Tabi’in (generasi keempat setelah Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.

Hal ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi. Pada mulanya kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di Baqi’. Ketika Mua’wiyah menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi’, agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke Baqi’ pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali. Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah Zahra’ as adalah orang pertama yang menyusul kepergian avahnva. Antara wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja. Demikian pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi -anehnya-beliau tidak dikuburkan di sisi ayahnya! Apabila Fatimah Zahra’ berwasiat agar dikebumikan secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara datuknya Muhammad saw? Aisyah melarang jasad Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan menunggangi baghalnya sambil berteriak, “jangan kuburkan di rumahku orang yang tidak kusukai.” Bani Umayah dan Bani Hasyim saling berhadapan nyaris perang. Tetapi Imam Husain kemudian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah saudaranya untuk “tabarruk” pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di Baqi’. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun darah karenanya. Dalam kontek ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:

Kau tunggangi onta[10]
Kau tunggangi baghal[11]
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi gajah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya

Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas. Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar, karenanya dia melarangnya dari Fatimah, Lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam al Qur’an suatu ayat yang memberikan hak waris pada istri tapi melarangnya anak perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri diberi segala sesuatu? Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak-pusaka ini.

Ibnu Abil-Hadid al-Mu’tazili dalam bukunya Syarhu Nahjul Balaghah pernah berkata: ”Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada periode pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman berkata kepada Aisyah: ”Engkau bersama orang yang duduk ini pernah datang membawa seorang badui yang masih bersuci dengan air kencingnya menyaksikan Nabi saw bersabda: “Kami para Nabi tidak meninggalkan harta pusaka. Jika memang benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan pusaka, kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumahnya Utsman sambil marah-marah dan berkata: “bunuh si na’thal. Sungguh, dia telah kufur.”[12]

[3] Ali Lebih Utama Untuk Diikuti
Di antara sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Syi’ah dan meninggalkan tradisi para leluhur adalah pertimbangan akal dan naqal (aqliyah dan naqliyah) antara Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Seperti yang kusebutkan pada halaman-halaman yang lalu bahwa aku sepenuhnya berpegang pada ijma’ yang disepakati oleh Ahlu Sunnahdan Syi’ah. Aku juga telah menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini. Di sana tidak kuternui sebuah ijma’ atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi’ah telah sepakat tentang keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nash-nash berbagai kitab rujukan dua mazhab itu. Sementara tentang keimamahan Abu Bakar hanya dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di atas telah kami sebutkan ucapan Umar tentang pembai’atan terhadap Abu Bakar. Demikian juga tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Syi’ah di kitab-kitab mereka. Semua bersandar pada sanad dan otentisitas yang tak dapat digugat, termasuk oleh kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga diriwayatkan melalui berbagai jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat telah meriwayatkan hadis berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan sebagaimana Ali bin Abi Thalib.”[13] Al Qodhi Ismail dan an Nasai serta Abu Ali an Naisaburi berkata: “Tidak satupun hadis-hadis keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali”[14]

Meskipun Bani Umayah telah memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur untuk mencaci, mengutuk, serta tidak menyebut-nyebut tentang keutamaan Ali, bahkan melarang siapa pun untuk menggunakan namanya, bagaimanapun keutamaan-keutamaannya tetap memancar dan menguak ke permukaan. Imam Syafi’i berkata berkenaan dengan ini: “Aku sungguh takjub akan seseorang yang karena dengki. musuh-musuhnya telah menyembunyikan keutamaannya, dan karena takut, para pecintanya tidak berani menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja keutamaannya tersebar dan memenuhi lembaran-lembaran buku.” Berkenaan dengan Abu Bakar juga telah kutelaah dengan kritis dan teliti dari berbagai kitab dua mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunni yang menyebut tentang keutarnaannya juga tidak dapat menyaingi keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Itupun diriwayatkan oleh putrinya Aisyah yang kita kenal bagaimana sikapnya terhadap Imam Ali, dimana beliau berusaha keras untuk menonjolkan ayahnya walau dengan menciptakan hadis-hadis sekalipun, atau diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang yang terbilang jauh dengan Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan bai’at pada Imam Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya sebagai Imam. Dia pernah berkata bahwa orang yang paling utama setelah Nabi adalah Abu Bakar kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang pun yang lebih utama dari yang lainnya, semua adalah sama.”[15] Yakni Abdullah bin Umar ingin mengatakan bahwa Imam Ali adalah manusia awam biasa yang tidak memiliki sebatang keutamaan. Aneh memang. Bagaimana Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan dirinya dari fakta-fakta yang telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa tiada suatu hadispun berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib! Apakah Abdullah bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali bin Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya politik, yang telah memutar-belit segala kebenaran dan menciptakan berbagai keanehan.

Mereka yang meriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar antara lain adalah Amr bin A’sh, Abu Hurairah, Urwah dan Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah lawan-lawan Ali dan memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai keutamaan untuk musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari seseorang yang pernah memeranginya lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaannya.”[16] Tapi Allah berfirman: “Sebenarnya mereka merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar” (86: 15, 16, 17). Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat terungkap atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan yang zalim menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas tidak kurang dari Bani Umayah dalam membenci, mendengki dan memperdaya kaum kerabat Nabi saw. Sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata:

Apa yang dilakukan oleh putra-putra
Banu Harb terhadap mereka
Walau sunguh dahsyat
Tapi tidaklah sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak pelanggaran terhadap
agama yang kalian lakukan
Dan berapa banyak darah keluarga
Rasulullah yang kalian tumpahkan
Kalian mengaku sebagai pengikutnya
sementara tangan kalian penuh
berlumuran darah anak-anaknya yang suci.

Setelah ucapan-ucapan itu semua dan setelah kekaburan menjadi terang maka biarlah Allah yang menjadi Hujjah Yang Unggul, dan manusia tidak lagi mempunyai alasan dihadapanNya. Walaupun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan mempunyai kekuasaan seperti yang kita ketahui, walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan segala bonus dan upah kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman, walaupun riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan begitu banyak dan memenuhi lembaran-lembaran buku, walaupun itu semua dilakukan namun ia tetap tak dapat menyamai bahkan sepersepuluh dari keutamaan Ali. Bahkan jika Anda teliti hadis-hadis yang diriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar maka Anda akan dapati bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang dicatat oleh sejarah tentang berbagai tindakannya. Bukan saja ia bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam “hadis” itu bahkan juga bertentangan dengan akal dan syara’. Dan ini telah kami jelaskan ketika membicarakan hadis yang bermaksud:

“Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat”. Seandainya Rasulullah saw tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka beliau tidak akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan seperti Usamah bin Zaid; dan beliau juga tidak akan enggan untuk memberikan kesaksian padanya sebagaimana yang pernah beliau berikan kepada para syuhada di Uhud. Nabi pernah berkata kepadanya: “Sungguh aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan sepeninggalku kelak”, sampai Abu Bakar Bakar menangis.[17] Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar dan melarangnya membacakannya.?[18] Beliau juga tidak akan berkata pada hari pemberian panji dalam peperangan Khaibar: “Akan kuberikan panjiku ini esok kepada seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya. Dia senantiasa akan maju dan tidak pernah akan berundur sedikitpun. Sungguh Allah telah menguji hatinya dengan iman. “Kemudian Nabi memberikannya pada Ali dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar.”[19]

Seandainya Allah tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman seluruh ummat Muhammad saw maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk menggugurkan amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari suara Nabi.[20] Seandainya Ali dan sahabat-sahabatnya tahu bahwa Abu Bakar memiliki keimanan yang demikian tinggi maka mereka tidak ada alasan untuk menolak memberikan bai’at kepadanya. Seandainya Fatimah Zahra’, penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian derajat imannya Abu Bakar maka dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak akan enggan berbicara dengannya, menjawab salamnya, berdo’a untuk kecelakaannya pada akhir setiap sholatnya,[21] atau tidak mengizinkannya (seperti yang diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya. Seandainya Abu Bakar sendiri tahu tentang ketinggian imannya maka beliau tidak akan mendobrak rumah Fatimah Zahra’ walau mereka telah menutupnya sebagai tanda protes. Abu Bakar juga tidak akan membakar al Fujaah al Salami dan akan menyerahkan kepada Umar atau Abu Ubaidah perkara khalifah pada hari Saqifah itu.[22] Seorang yang mempunyai derajat iman sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat yang ada tentu tidak akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas sikapnya terhadap Fatimah. Tindakannya yang membakar al Fujaah al Salami serta kekhalifahan yang dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia, dan sekadar menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah iman orang seperti ini setaraf dengan iman seluruh ummat Islam, bahkan lebih berat?

Jika kita teliti hadis yang bermaksud: “Seandainya aku harus mengambil seorang sahabat (khalil) maka akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku”, hadis ini serupa dengan hadis sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari persaudaraan-terbatas (Muakhoh sughro) di Mekah sebelum Hijrah, dan pada hari persaudaraan besar (Muakhoh kubro) di Madinah setelah Hijrah. Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya menjadikan Ali sebagai saudaranya, sampai beliau berkata: “Engkau adalah saudaraku di Dunia dan di Akhirat.”[23] Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan enggan mengikat tali persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akhirat. Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang. Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah referensi Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi’ah memang mereka telah menolak kesahihan hadis ini. Mereka mengatakan dengan alasan yang sangat kuat bahwa ia diciptakan tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.

Jika kita tinggalkan sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan dosa yang pernah dilakukannya, maka kini tidak akan menemukan satu dosa pun yang pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib yang pernah tercatat dalam buku dua mazhab ini. Sementara itu kita temukan dari orang-orang selainnya perbuatan-perbuatan dosa yang tidak sedikit. Hal ini bisa kita temukan dari berbagai buku Ahlu Sunnah, seperti buku-buku hadis, buku sirah dan dan sejarah. Hal ini berarti bahwa ijma’ dua mazhab adalah hanya Ali sajalah yang tidak terbukti melakukan sebarang dosa, sebagaimana sejarah juga menegaskan bahwa bai’at yang pernah diberikan secara benar hanya bai’at yang diberikan kepada Ali semata-mata. Beliau enggan menerima jabatan Khalifah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan Anshor. Beliau juga tidak memaksa orang yang enggan memberikan bai’at padanya. Sementara bai’at Abu Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah memelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh Umar. Kekuasaan Umar diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu Bakar kepadanya, sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi semacam secara komedi. Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon khalifah dan mewajibkan mereka rnemrlih satu di antaranya. Beliau berkata, “apabila empat orang sepakat dan dua orang yang lain menentang maka bunuh yang dua. Apabila enam orang ini berpecah tiga tiga dan membentuk dua kelompok, maka pilihlah pendapat kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin A’uf Apabila waktu telah berakhir sementara mereka belum sepakat menemukan sang “khalifah” maka bunuh saja mereka semua.”

Ceritanya panjang dan aneh sekali. Alhasil, Abdurrahman bin A’uf , mula-mula, memilih Ali dengan syarat beliau memerintah berdasarkan pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Sunnah Syaikhain, yakni Sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan Utsman menerimanya. Maka jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari majlis itu, dan beliau telah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah diucapkannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah as Syiqsyiqiyah. Setelah Ali, Muawiyah yang ‘memegang’ jabatan khalifah. Di tangannya khalifah telah digantikan dengan dinasti kekaisaran yang berpindah-tangan dari generasi ke generasi Bani Umayah. Kemudian berpindah pula ke tangan Bani Abbas. Khalifah berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang khalifah atau dengan kekuatan pedang atau penggulingan. Sistem bai’at yang paling benar yang pernah terjadi dalam sejarah lslam, sejak zaman para khulafa’ hingga ke zaman Kemal Ataturk yang telah menghapus sistem kekhalifahan, hanya bai’ah yang pernah diberikan kepada Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib saja.

Hadis-Hadis Berkenaan dengan Ali Menyirat Arti Wajib Ikut
Di antara hadis-hadis yang mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam Ali adalah hadis yang diriwayatkan oleh berbagai Kitab Sahih Ahlu Sunnah yang telah dijelaskan kesahehannya, sementara di dalam mazhab Syi’ah sendiri mereka memiliki hadis-hadis serupa itu berlipat-ganda. Namun saya, seperti biasa, tidak akan berhujjah dan berpegang kecuali kepada hadis-hadis yang telah disepakati oleh kedua mazhab. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:

[1] Hadis yang berbunyi: “Aku kota ilmu dan Ali gerbangnya.”[24]

Hadis ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menentukan teladan yang mesti diikuti setelah Nabi saw. Mengingat orang yang berilmu adalah lebih utama untuk diikuti dibandingkan dengan orang yang jahil. Allah berfirman: “Katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” Dan firman-Nya: “Apakah seseorang yang menunjukkanrnu kepada kebenaran lebih utama untuk diikuti ataukah orang yang tidak membimbingmu kecuali ia perlu dibimbing. Maka bagaimana kalian membuat keputusan?“ Jelas bahwa orang alimlah yang tahu membimbing sementara orang jahil perlu mendapatkan bimbingan, bahkan ia perlu bimbingan lebih dari orang lain. Dalam hal ini sejarah telah mencatatkan kepada kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling alim tanpa sedikitpun bantahan. Dahulunya mereka merujuk kepada Ali di dalam perkara-perkara yang pokok. Dan kita tidak pernah tahu yang Ali pernah merujuk kepada mereka walau satu kali sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar: “Semoga Allah tidak menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abul Hasan (Ali) tidak hadir di sana.” Umar berkata: “Kalaulah Ali tiada, maka celakalah Umar”[25] Ibnu Abbas berkata: “Apalah ilmuku dan ilmu sahabat-sahabat Muhammad dibandingkan dengan ilmu Ali. Perbandingannya bagaikan setetes air dengan tujuh samudera.” Imam Ali sendiri berkata: “Tanyalah aku sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah, tiada persoalan yang kalian hadapkan padaku sampai hari kiamat kecuali aku beritahu kalian apa jawabannya. Tanyakan kepadaku tentang Kitab Allah. Demi Allah, tiada suatu ayatpun kecuali aku tahu dimana ia diturunkan, di waktu malam atau siang, di tempat yang datar atau di pegunungan.”[26]

Sedangkan Abu Bakar ketika ditanya makna Abban dari firman Allah: wa fakihatan wa abban , beliau berkata: “Langit mana yang dapat melindungiku, bumi mana yang dapat kujadikan tempat berpijak daripada berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang tidak kuketahui.” Umar bin Khattab pernah berkata: “Semua orang lebih faqih dari Umar, hingga wanita-wanita.” Ketika beliau ditanya tentang suatu ayat dalam Kitab Allah, beliau marah sekali pada orang yang bertanya itu, lalu memukulnya dengan cambuk sampai melukainva. Katanya:” Jangan kalian tanya tentang sesuatu yang jika nampak kepada kalian, maka kalian akan terasa tidak enak.[27] Sebenarnya beliau ditanya tentang makna Kalalah, tapi tak tahu menjawabnya. Di dalam tafsirnya, Thabari meriwayatkan dari Umar yang berkata: “Seandainya aku tahu apa makna Kalalah maka itu lebih kusukai daripada memiliki seperti istana-istana di Syam.” Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari Umar bin Khattab yang berkata: “Tiga hal yang apabila Rasulullah saw telah menjelaskannya maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya: alKalalah, ar-Riba dan al Khilafah.” Subhanallah! Mustahil Rasulullah diam dan tidak menjelaskan perkara-perkara itu.

[2] Hadis yang berbunyi: “Hai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”

Hadis ini seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berakal menyirat makna keutamaan dan kekhasan Amir al-Mukminin Ali di dalam menyandang kedudukan wazir, washi dan khalifah, sebagaimana Harun yang menjadi wazir, washi dan khalifahnva Musa ketika beliau berangkat menemui Tuhannya. Ia juga menyirat arti bahwa kedudukan Imam Ali adalah umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka memiliki kemiripan; melainkan kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh hadis itu sendiri. Ia juga berarti bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling utama dan paling mulia setelah Nabi saw itu sendiri.

[3] Hadis yang berbunyi: “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Alilah pemimpinnya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya, dan musuhilah mereka yang memusuhinya. Jayakanlah mereka yang menjayakannya, dan hinakanlah mereka yang menghinakannya, liputilah haq bersamanya di manapun dia berada.” Hadis ini saja sudah cukup untuk menolak dugaan orang yang mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman atas seseorang yang telah dilantik oleh Rasulullah saw sebagai pemimpin kaum mukminin setelahnya. Mereka yang mentakwilkan kalimat maula dalarn hadis ini dengan arti sebagai pecinta dan pembantu semata-mata karena ingin memalingkan arti yang sebenarnya dengan alasan ingin memelihara kemuliaan para sahabat. Karena ketika Nabi saw menyampaikan pesannya ini beliau berkhutbah dalam keadaan matahari panas terik. Katanya: “Bukankah kalian menyaksikan bahwa aku adalah lebih utama dari orang-orang mukminin atas diri mereka sendiri?” Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau melanjutkan: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali maulanya…”

Nash ini sangat jelas dalam melantik Ali sebagai khalifah untuk ummatnya. Orang yang berakal, adil dan insaf tak dapat menolak pengertian maksud hadis ini lalu menerima takwilan yang direka oleh sebagian orang demi menjaga kemuliaan sahabat dengan mengorbankan kemuliaan Rasul saw. Karena dengan demikian ia telah meremehkan dan mencela kebijaksanaan Rasul yang telah menghimpun ribuan manusia dalam keadaan cuaca yang sangat terik dan panas hanya semata-mata karena ingin mengatakan bahwa Ali adalah pecinta kaum mukminin dan pembela mereka. Bagaimana mereka akan menafsirkan ucapan selamat yang diberikan oleh barisan orang-orang mukminin kepada Ali setelah pelantikan itu, yang sengaja diciptakan oleh Nabi saw? Pertama-tama adalah para istri Nabi, kemudian Abu Bakar dan menyusul Umar yang berkata: “Selamat, selamat untukmu wahai putra Abu Thalib. Kini kau adalah pemimpin orang-orang mukrninin, laki-laki atau perempuan.” Fakta sejarah juga telah menyaksikan bahwa mereka yang mentakwil adalah orang-orang yang berdusta. Celakalah apa yang mereka tulis dengan tangan mereka. Firman Allah: “Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui” (al Baqarah: 146).

[4] Hadis: “Ali dariku dan aku dari Ali. Tiada siapa yang mewakili tugasku kecuali aku sendiri atau Ali”.[28] Hadis ini juga dengan jelas menyatakan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya orang yang diberikan kepercayaan oleh Nabi untuk mewakili tugasnya. Nabi nyatakan ini ketika beliau mengutusnya untuk mengambil dan membacakan surah Baraah yang pada mulanya diserahkan pada Abu Bakar. Abu Bakar kembali dan menangis. Katanya, “Duhai Rasulullah, apakah ada ayat turun berkenaan denganku?” Rasulullah menjawab: “Allah hanya menyuruhku atau Ali saja yang melaksanakan tugas ini.” Hadis ini juga mendukung sabda Nabi yang lain kepada Ali: “Engkau hai Ali, menjelaskan kepada ummatku apa yang mereka perselisihkan setelah ketiadaanku.”[29] Jika tiada orang yang diberikan kepercayaan oleh Rasulullah kecuali Ali, dan Alilah yang paling layak untuk menjelaskan kepada ummat ini segala permasalahan yang dihadapi, maka kenapa orang yang tidak tahu akan makna kalimat abba dan kalimat kalalah mengambil alih haknya? Sungguh ini adalah musibah besar yang menimpa ummat ini, dan yang menghalanginya dari menjalankan tugas penting yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Telah cukup hujjah dan alasan dari Allah, dari RasulNya dan dari Amir al Mukminin. Mereka yang ingkar dan tidak patuh kelak harus mengajukan alasan di hadapan Allah swt. Allah berfirman: “Apabila dikatakan kepada mereka: marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab: cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk.” (al Maidah: 104).

[5] Hadis ad Dar Yaum al Indzar: Bersabda Nabi saw sambil menunjuk kepada Ali: “Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia.”[30] Hadis ini juga terbilang di antara hadis-hadis shahih yang di nukil oleh para ahli sejarah ketika bercerita tentang peristiwa pertama yang terjadi pada masa periode awal dari era kebangkitan Nabi saw. Mereka menganggap hadis ini sebagai bagian dari mukjizat Nabi saw. Namun politik telah merobah dan memalsukan kebenaran-kebenaran dan fakta-faktanya. Tidak aneh memang. Karena apa yang pernah terjadi di zaman kegelapan tersebut kini berulang lagi di zaman sekarang. Lihatlah Muhammad Husain Haikal. Beliau telah mencatat hadis ini secara sempurna dalam kitabnya “Riwayat Hidup Muhammad” halaman 104, cetakan pertama tahun 1354 H. Tetapi dalam cetakan kedua dan seterusnya sebagian dari isi hadis nabawi ini, yakni kalimat “washiku dan khalifahku setelahku” dihapus dan digunting. Mereka juga telah menghapus dari kitab Tafsir Thabari jilid 19 halaman 121 bagian dari sabda Nabi berikut “Washiku dan khalifahku” , dan menggantinya dengan kalimat “Inilah saudaraku dan begini dan begitu…”!! Mereka lalai bahwa Thabari telah menyebutnya secara sempurna dalam kitab sejarahnya jilid ke 2 pada halaman 319. Lihatlah betapa mereka telah merobah kalimat dari tempatnya yang asal dan memutar-balikkan fakta-fakta. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tetap akan menyalakan cahaya-Nya.

Ketika aku masih menelaah dan mengkaji, aku ingin menyaksikan dengan mataku sendiri segala apa yang telah terjadi. Aku cari buku Riwayat Hidup Muhammad cetakan pertama. Akhirnya kujumpai juga setelah mengarungi berbagai liku-liku yang sulit dan melelahkan. Alhamdulillah atas semua ini. Yang penting aku telah saksikan sendiri perobahan itu. Aku tambah yakin bahwa tangan-tangan jahat berupaya dengan segala usaha untuk menghapuskan kebenaran-kebenaran yang memang telah terbukti ada. Karena mereka menganggap bahwa ini adalah dalil kuat yang akan digunakan oleh “musuhnya”!

Tetapi bagi seorang peneliti yang adil ketika menyaksikan perobahan seumpama ini akan merasa bertambah yakin. Tanpa ragu-ragu dia akan berkata bahwa pihak kedua yang enggan menerima dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat. Mereka hanya melakukan makar dan tipu muslihat serta memutar balik fakta walau dengan membayar mahal sekalipun. Mereka telah mengupah penulis-penulis tertentu dan mengulurkan kepada mereka berbagai kekayaan, gelar dan ijazah-ijazah perguruan tinggi yang palsu, agar dapat menuliskan segala sesuatu yang mereka inginkan baik buku atau makalah-makalah tertentu. Yang penting tulisan itu mencaci Syi’ah dan mengkafirkan mereka, serta membela dengan segala upaya (walau itu batil) “kemuliaan” sebagian sahabat yang telah belok dari kebenaran dan yang telah merobah hak menjadi batil sepeninggal Rasul saw. Firman Allah: “Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu, hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah jelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (al Baqarah: 118). Maha Benar Allah Yang Maha Agung.

Catatan:
[1] Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal. 241; Siyar al-Alamin Oleh Imam Ghazali hal. 12; Tazkirah al-Khawas Oleh Ibnu al-jauzi hal. 29; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 169; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 397; al-Bidayah wan Nihayah Oleh Ibnu Kathir ji1. 5 hal. 212; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 50; Tafsir ar-Razi jil.5 hal. 63; Al-Hawi Lil Fatawi Oleh Suyuthi jil. 1 hal. 12
[2] Tarikh Thabari, Ibnu Athir, Suyuthi, al-Isti’ab dll.
[3] Tarikh al-Khulafa Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal. 8
[4] Sahih Bukhari jil. 4 hal. 127
[5] Syarh Nahjul Balaghah Oleh Muhammad Abduh jil. 1 hal. 34
[6] Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal. 17
[7] Lih. as-Saqifah Wal Khilafah Abdul Fattah Abdul Maksud dan as-Saqifah Syaikh Muhamad Ridha al-Muzaffar
[8] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal 19; Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid
[9] Shahih Bukhari jil. 3 hal 36; Sahih Muslim jil. 2 hal 72
[10] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta
[11] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat dengan pusara datuknya.
[12] Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil. 16 hal. 220-223
[13] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 107; Manaqib al-Khawaizmi hal. 3,9; Tarikh al-Khulafa’ hal. 168; Sawiq al-Muhriqan hal. 72; Tarikh Ibnu Asakir jil. 3 hal. 63; Syawahid at-Tanzil jil. 1 hal. 10
[14] Riyadh Nadhirah jil, 2 hal 282 Sawaiq al-Muhriqah hal. 118, 72
[15] Shahih Bukhori jil. 2 hal. 202
[16] Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori jil. 7 hal. 83; Tarikh al-Khulafa’ hal. 199; Sawaiq al-Muhriqah hal. 125
[17] Muwatto’ Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi al-Waqidi hal. 310
[18] Shahih Turmizi jil. 4 hal. 339; Musnad Ahmad bin Hanbal jil, 2 hal 319; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 51
[19] Shahih Muslim
[20] Shahih Bukhori jil. 4 hal. 184
[21] Al-Imam was-Siyasah jil. 1hal. 14; al Jahiz hal. 301; A’lam an-Nisa jil. 3 hal. 12,15
[22] Tarikh al-Khawas hal. 23; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 107; Tarikh Masu’di jil. 1 hal. 414
[23] Tazkirah al-Khawas hal. 234; Tarikh ibnu Asakir jil. 1 hal.107; Manaqib al-Khawarizmi hal. 7; Fushul al-Muhaimmah Oleh al-Maliki hal. 21
[24] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 127; Tarikh Ibnu Kathir jil.7 hal. 358
[25] Al-Isti’ab jil. 3 hal. 39; Manaqib al-Khawarizmi hal. 48; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 194
[26] Ibid jil. 2 hal. 198; Tarikh Khulafa’ hal. 124; Al-Itqan jil. 2 hal. 319; Fath al-bari jil. 8 hal. 485; Tahzib at-Tahzib jil. 7 hal. 338
[27] Sunan ad-Darimi jil. 1 hal. 54 Tafsir Ibnu Kathir jil. 4 hal. 232; Ad-Dur al-Manthur jil. 6 hal. 111
[28] Sunan Ibnu Majah jil. 1 hal. 44; Khasais Nasai hal. 20; Sahih Turmizi jil. 5 hal. 300; Jami’ Ushul Oleh Ibnu Kathir jil. 9 hal. 471; Jami’ Shagir Oleh Suyuthi jil. 2 hal. 56; Riyadh Nadhirah jil.2 hal. 229
[29] Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 448; Kunuz al-Haqaiq Oleh al-Maulawi hal. 203; Kanzul Ummal jil. 5 hal. 33
[30] Tarikh Thabari jil. 2 hal. 319; Tarikh Ibnu Athir jil. 2 hal. 62; As-Sirah al-Halabiah jil. 1 hal. 312; Syawahid at-Tanzil Oleh Al-Haskani jil. 1 hal. 371; Kanzul Ummal jil.5 hal. 15; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 85; Tafsir al-Khazin Oleh Alaudin as-Syafei; Hayat Muhammad Oleh Husain Haikal Edisi pertama.

Senin, 27 Juli 2015

Mula Kajianku Atas Syi’ah



Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi (ulama dan penulis Tunisia)

AKU sangat gembira. Kususun buku-buku itu di ruangan khusus yang kunamakan perpustakaan. Beberapa hari aku istirahat. Daftar kerja untuk awal tahun pelajaran baru telah kuterima. Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas. Aku mulai membaca buku-buku itu. Kubaca buku Aqaid al-Imamiah (Aqidah Syi'ah Imamiyah), dan Ashlus Syi'ah Wa Ushuluha. Hatiku tenang melihat akidah dan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Syi'ah. Kemudian kubaca kitab al-Muraja'at (Dialog Sunni-Syi'ah) oleh Sayed Syarafuddin al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca, isinya sangat memikat sehingga tidak kutinggalkan kecuali betul-betul terdesak. Kadang-kadang kubawa kitab itu ke sekolah. Kitab itu sangat menarik perhatianku lantaran sikap ketegasan orang alim Syi'ah itu dan kemampuannya di dalam menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh seorang alim Sunni Syaikh al-Azhar.

Kitab itu sangat mengenai jiwaku karena ia berbeda dengan kitab-kitab lain. Biasanya penulis sebuah buku akan menulis apa saja yang ia kehendaki tanpa ada orang yang menyangkal atau mengkritiknya. Tetapi kitab ini adalah dialog antara dua alim dari dua mazhab yang berbeda. Masing-masing membahas secara rinci setiap apa yang mereka permasalahkan, kecil atau besar, dengan berpegangan kepada dua asas semua kaum muslimin, yakni Al Quran dan Sunnah yang shahih yang disepakati.

Buku itu benar-benar sangat memadai dalam memberikan curahan ilmu kepadaku sebagai seorang yang tengah mencari suatu kebenaran. Itulah kenapa buku itu sangat berguna sekali bagiku dan punya jasa besar yang tak terhingga kepadaku.

Aku sangat heran ketika si penulis berbicara tentang ketidak-patuhan sebagian sahabat terhadap perintah-perintah Rasul SAW. Disebutkan di situ berbagai contoh, antara lain Tragedi Hari Kamis. Tidak terbayangkan betapa Umar bin Khattab memprotes perintah Nabi dan mengatakan bahwa Nabi meracau. Mula-mula terpikir olehku bahwa riwayat itu mesti dari kitab-kitab Syi'ah. Lebih mengherankan lagi ketika kulihat bahwa orang alim Syi'ah ini meriwayatkannya dari kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Kukatakan kepada diriku bahwa jika memang kujumpai ini di dalam Shahih Bukhari maka ia akan menjadi sebuah masalah besar bagiku.

Aku berangkat ke ibu kota. Di sana aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwaththa' Imam Malik dan kitab-kitab lain yang terkenal. Belum sempat sampai ke rumah, sepanjang jalan ke Qafsah dengan bis umum, aku buka lembaran-lembaran Kitab Bukhari. Kucari riwayat Tragedi Hari Kamis, dengan harapan aku tidak akan menjumpainya di sana.

Diluar dugaan kudapati ada di sana dan kubaca berulang kali. Teksnya sama dengan apa yang ditulis oleh Sayed Syarafuddin. Aku berusaha untuk tidak mempercayai bahwa semua tragedi ini benar-benar terjadi. Karena rasanya tidak mungkin Umar bin Khattab melakukan perbuatan yang sangat "bahaya" ini terhadap Nabi SAW. Tetapi bagaimana aku akan mendustakan riwayat yang ada di dalam kitab shahih kami sendiri, yakni kitab shahihnya Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Bukankah kita telah mewajibkan diri kita untuk mempercayai bahwa kitab itu adalah kitab shahih. Meragukan atau mendustakan, hatta sebagian darinya, berakibat bahwa kita telah mengabaikannya? Mengingat akibatnya kita akan mengabaikan seluruh kepercayaan kita.

Seandainya orang alim Syi'ah itu menukilnya dari kitab mereka, maka aku tidak akan mempercayainya sama sekali. Tetapi ketika beliau nukil dari kitab shahih Sunni sendiri yang tak ada jalan untuk mencelanya, sementara kita juga mengatakan bahwa hal itu adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Quran, maka perkara tersebut menjadi lain dan menyiratkan suatu kemestian. Kalau tidak, maka hal itu akan bermakna bahwa kita telah meragukan terhadap kesahihan kitab ini. Hal itu bermakna bahwa kita tidak mempunyai sebarang pegangan di dalam melihat hukum-hukum Allah SWT. Mengingat hukum-hukum yang ada di dalam Kitab Allah datang secara umum dan tidak terinci. Dan karena jarak kita dengan zaman Risalah begitu jauh, maka kita telah mewarisi hukum-hukum agama kita melalui leluhur kita dengan perantara kitab shahih seperti ini. Dengan demikian maka kita tidak boleh mengabaikan kitab-kitab seperti ini sama sekali.

Aku berjanji kepada diriku ketika mula mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk semata-mata berpegang kepada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunni dan Syi'ah. Aku akan mengabaikan setiap hadis yang hanya dipegang oleh satu mazhab saja dan ditolak oleh yang lain. Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan dapat menjauhi diriku dari segala jenis pengaruh-pengaruh emosional, sikap fanatik (ta'ashshub) mazhab atau perselisihan kaum dan bangsa. Dalam waktu yang sama aku akan memotong jalan keragu-raguan untuk dapat sampai ke puncak keyakinan, yakni jalan Allah yang lurus.