Di Kraton Kaibon,
Banten
Di Kraton Kaibon
Setiap dinding adalah pintu
buat menatap masa lalu
yang disimpan tangan-tangan waktu.
Tangan yang mengulurkan salam
lewat sulur-sulur beringin tua
di tepi kolam
Tangan yang mengurai kisah-kisah
tak terbaca
lewat surai-surai matahari
yang mengusap lengan para ibu
saat menjemur kain di atas pagar
dan anak-anak bermain ular tangga
di lantai rumah, di seberang
sungai dangkal ke Banten Lama
Ke Kraton Kaibon aku datang
jalan-jalan berdebu telah membawaku
masuk ke kampung-kampung lusuh
di antara jamban dan jembatan
pasar bau asam dan anak-anak sekolah
yang berdesakkan
di mikrolet. Kini aku sampai padamu
Aku ingin mengadu padamu
Bukankah engkau ibu yang berabad lalu
melahirkan para pengeran dan mengasuh para ratu?
Kini engkau runtuh. Engkau tak tahu di mana
anak-anakmu, tapi juga tak hendak menunggu
karena semua telah lewat
Aku bertamu dan kucium bau asap
dari jauh. Lumut dan kerakap
mendekap tubuhmu
Seekor bunglon merayap di atas batu
lalu memanjat papan iklan di semak-semak
dekat pangkal jembatan itu. Seorang laki-laki
bercaping pandan
memancing di genangan
yang perlahan surut
menghapus kenangan
Aku datang, dan rasanya tak perlu lagi mengetuk
untuk masuk ke dalam kisah-kisahmu
yang nestapa
sebab semua telah terbuka
seperti buku cerita
negeri dongeng tak bertara.
/Banten-Yogya, 2013-2014
Di Atas Menara Masjid Agung Banten
- untuk sulaiman djaya
aku yang tak tahu apa-apa
setiba di atas menara
—lewat selingkar anak tangga
makin tak tahu
apa-apa saja yang hendak
kusampaikan padamu. Apa yang ditahtakan
waktu. Apa kata angin
yang bersileweran lewat
tak nampak. Apa kehendak selain ilmu
jadi berbisik pun aku tak mampu
pada diri sendiri
yang kini seperti tempuling
terpacak hening
di puncak pumpunan
ubun-ubun Banten
—titik pertemuan
delapan penjuru mata angin;
sayup berkesiur dalam batin
jauh di bawah kaki
(juga di atas kepalaku: matahari)
alam terkembang seluas pandang
menjadi buku yang terbentang
mengajakku membaca
dalam hikmat pertemuan
/Banten-Yogya, 2013-2014
Di Kraton Kaibon
Setiap dinding adalah pintu
buat menatap masa lalu
yang disimpan tangan-tangan waktu.
Tangan yang mengulurkan salam
lewat sulur-sulur beringin tua
di tepi kolam
Tangan yang mengurai kisah-kisah
tak terbaca
lewat surai-surai matahari
yang mengusap lengan para ibu
saat menjemur kain di atas pagar
dan anak-anak bermain ular tangga
di lantai rumah, di seberang
sungai dangkal ke Banten Lama
Ke Kraton Kaibon aku datang
jalan-jalan berdebu telah membawaku
masuk ke kampung-kampung lusuh
di antara jamban dan jembatan
pasar bau asam dan anak-anak sekolah
yang berdesakkan
di mikrolet. Kini aku sampai padamu
Aku ingin mengadu padamu
Bukankah engkau ibu yang berabad lalu
melahirkan para pengeran dan mengasuh para ratu?
Kini engkau runtuh. Engkau tak tahu di mana
anak-anakmu, tapi juga tak hendak menunggu
karena semua telah lewat
Aku bertamu dan kucium bau asap
dari jauh. Lumut dan kerakap
mendekap tubuhmu
Seekor bunglon merayap di atas batu
lalu memanjat papan iklan di semak-semak
dekat pangkal jembatan itu. Seorang laki-laki
bercaping pandan
memancing di genangan
yang perlahan surut
menghapus kenangan
Aku datang, dan rasanya tak perlu lagi mengetuk
untuk masuk ke dalam kisah-kisahmu
yang nestapa
sebab semua telah terbuka
seperti buku cerita
negeri dongeng tak bertara.
/Banten-Yogya, 2013-2014
Di Atas Menara Masjid Agung Banten
- untuk sulaiman djaya
aku yang tak tahu apa-apa
setiba di atas menara
—lewat selingkar anak tangga
makin tak tahu
apa-apa saja yang hendak
kusampaikan padamu. Apa yang ditahtakan
waktu. Apa kata angin
yang bersileweran lewat
tak nampak. Apa kehendak selain ilmu
jadi berbisik pun aku tak mampu
pada diri sendiri
yang kini seperti tempuling
terpacak hening
di puncak pumpunan
ubun-ubun Banten
—titik pertemuan
delapan penjuru mata angin;
sayup berkesiur dalam batin
jauh di bawah kaki
(juga di atas kepalaku: matahari)
alam terkembang seluas pandang
menjadi buku yang terbentang
mengajakku membaca
dalam hikmat pertemuan
/Banten-Yogya, 2013-2014
Nyanyian Seorang Petani Garam
- dari sebuah sajak lawas Abdul Hadi WM
Telah kupasang kincir-kincir penarik air
di pematang. Kubersihkan petak-petak tambak
seperti menghampar tikar sembahyang
maka berilah kiranya yang terbaik
Angin memutar derak kincir
sekuat tenaga kerbau pilihan
air terangkut dan mengalir
menyerbu sudut-sudut terjauh
tambak harapan
di bumi tanah air
Matahari mengecup sejadi-jadi
kristal-kristal putih garam
Aku mengucap berkali-kali
asin nama-Mu
berkali-kali
hingga tak asing lagi rahmat-Mu.
/Sumenep-Yogya, 2013-2014
Kalianget, Siang
air merayap malas di kanal-kanal dangkal
memantulkan cahaya panas matahari
ke dinding rumah-rumah putih tebal
ke atap-atap gudang garam
yang ditinggalkan
debu dan deru
kapal-kapal
/2013-2014
Pelabuhan Dungkek, Sumenep
Biarkan angin dan ombak
memukul-mukul dinding pelabuhan
menara suar tetap tegak
jadi pantauan seribu layar
pasar tetap sesak
tawar-menawar. Tiang-tiang perahu
bergoyangan, biarkan
bayang-bayang jadi gerak
jadi dengus sapi karapan
membawa mimpi dan jerit kita
ke pulau tak bertuan.
/2013-2014
Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Sekarang menetap di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Buku puisi terbarunya, Api Bawah Tanah.
Sumber: Riau Pos, 30 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar