Label

Senin, 30 September 2013

Indonesia Di Mata Jernih Linda Christanty




Oleh Astrid Septaviani + Leila S. Chudori

[MEDIA INDONESIA] – Ketika usianya baru 19 tahun, cerpen pertamanya telah memenangkan penghargaan dari surat kabar Kompas. Selain sebagai penulis atau cerpenis, ia juga berprofesi sebagai jurnalis. Bahkan Ia telah mengeluarkan sebuah buku yang berisi kumpulan laporan jurnalistiknya. Pasca tsunami, tepatnya sejak 2005 hingga 2010, ia bertugas dan menetap di Banda Aceh serta memimpin Kantor Sindikasi Aceh Feature Service yang khusus menyajikan liputan seputar Aceh, baik pasca tsunami maupun pasca konflik. Tema peliputannya pun beragam mulai dari  gender,  anak–anak,  agama,  budaya,  dan banyak lagi. Setiap tulisan atau laporannya dapat diikuti di www.acehfeature.org. Ia adalah Linda Christanty.

Sebagian dari kita lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Karya terbarunya dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul “Rahasia Selma” telah terbit sekitar April 2010. Rahasia Selma lebih banyak mengangkat permasalahan sosial yang sering terjadi dalam keseharian masyarakat kita. Seperti cerita “Pohon Karsen” yang menceritakan perempuan kecil yang menerima pelecehan seksual dari kerabatnya yang tinggal dalam satu atap, ironisnya gadis kecil ini diceritakan hanya dirayu dengan sejumlah komik. Berikutnya adalah ‘Kesedihan’, saya pribadi ketika pertama kali membaca cerpen ini menilai bahwa cerpen ini menceritakan poligami. Namun, ternyata cerita ini menceritakan 2 orang yang sudah berpisah namun tetap tinggal dalam satu atap, dan si pria juga membawa serta pacar barunya untuk tinggal bersama (bertiga). Saya paling suka cerita ini, rasanya cerita ini nyata – nyata terjadi.

Cerita lainnya mengangkat tentang LGBT, dalam hal ini menceritakan pasangan lesbian yang diceritakan dalam cerpen “Mercusuar”, hingga hubungan yang hanya terjadi dalam dunia maya dalam cerita “Babe”, serta banyak lagi permasalahan dasar yang diangkat oleh Linda Christanty ke dalam karya cerpennya. Hampir semuanya menyedihkan, namun juga menggambarkan bagaimana setiap tokoh punya cara masing – masing dalam menyelesaikan masalahnya, mulai dari cara yang lemah seperti dalam “Pohon Karsen” hingga keras seperti dalam “Kupu – Kupu Merah Jambu”.

Sebagai jurnalis, Linda Christanty juga membukukan laporan–laporan jurnalistiknya dalam buku “Dari Jawa Menuju Atjeh” yang terbit pada 2009. Mulai dari peliputan tentang preman yang dibakar hidup – hidup di daerah belakang Mall Taman Anggrek, Widji Tukul, Laporan Konflik di Aceh, Aceh Pasca Tsunami, dan kembali lagi pada tema LGBT, namun kali ini mengenai pasangan gay di Surabaya.

Setiap tulisannya, juga bisa kita simak melalui blog pribadinya www.lindachristanty.com. Linda Christanty sendiri lahir di Bangka, dan bangga mengaku asli orang Bangka. Kumpulan cerpennya yang berjudul “Kuda Terbang Mario Pinto” mendapat pengharagaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Baru baru ini, Linda Christanty juga mendapatkan Penghargaan Suara Perempuan Award tahun 2010 pada 27 Juni 2010. Penghargaan ini diberikan oleh Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh sebagai bentuk apreasiasi atas kontribusi, dedikasi dan inspirasi yang dipersembahkan Linda Christanty dalam bentuk karya jurnalistik untuk pemberdayaan perempuan di Aceh.

Hingga kini, Linda Christanty masih tetap aktif baik sebagai jurnalis maupun cerpenis, dan masih tetap dengan sigap dan aktif menangkap setiap peristiwa dan menginformasikannya kembali pada masyarakat dalam bentuk tulisan, baik dalam bentuk laporan jurnalistik maupun cerpen. Tidak hanya sekadar tulisan biasa, tetapi tulisan yang menggugah para pembacanya untuk berfikir, mau mengerti dan mengakui tentang apa saja yang terjadi dalam kehidupan ini. [] 



Kamis, 05 September 2013

Abu al Aswad al Duali, Ulama Syiah Peletak Dasar Ilmu Nahwu




Dikenal sebagai pengikut setia Syi’ah Ali. Ia menjadi murid Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang dikenal sebagai pintu ilmunya Nabi Muhammad saw dan Islam, dan nahwu ia pelajari sendiri darinya (dari Ali ibn Abi Thalib), di mana Imam Ali pun merupakan pakar nahwu kala itu. Dia termasuk orang yang pertama mengumpulkan mushaf dan mengarang ilmu nahwu dan peletak dasar kaidah-kaidah nahwu, atas rekomendasi dari Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Ia juga mendapat intruksi dari Imam Ali Bin Abi Thalib, ketika menjadi khalifah, untuk merumuskan tanda-tanda baca pada tulisan. Sasaran pertamanya adalah mushaf-mushaf al Qur’an, karena disinilah letak kekhawatiran salah baca seperti yang kerap terjadi waktu itu. Disamping nahwu, Abul Aswad berjasa dalam membuat harakat al Qur’an. Ia berhasil mewariskan sistem penempatan “titik-titik” tinta berwarna merah yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukkan unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili oleh huruf-huruf.

Penempatan titik-titik tersebut, adalah:

Ø Tanda fathah dengan satu titik diatas huruf (a).
Ø Tanda kashrah dengan satu titik dibawah huruf (i)
Ø Tanda Dhamah dengan satu titik disebelah kiri huruf (u)
Ø Tanda tanwin dengan dua titik (an-in-un).

Untuk membedakan titik-titik tadi dari tulisan pokoknya (biasanya berwarna hitam), maka titik-titik itu diberi warna (biasanya merah). Tetapi sistem ini tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, sebab ada huruf-huruf yang sama bentuknya namun harus dibaca berlainan tanpa dibubuhi tanda-tanda pembeda, huruf-huruf itu menyukarkan banyak pembaca. Usaha Abul Aswad ini, kemudian disempurnakan oleh murid-muridnya, Nasr Ibn ‘Ashim (w. 707 M) dan Yahya Ibn Ya’mur (w. 708 M) yang terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan dari dinasti Umayah.

Nama lengkap sahabat dan ulama awal ini adalah Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu’mar bin Du’ali, panggilannya Abul Aswad. Nama Du’ali dinisbatkan kepada kabilah Du’al dari Bani Kinanah. Ia masuk Islam ketika Nabi masih hidup, tetapi ia tidak melihatnya. Tinggal di Bashrah pada masa pemerintahan Umar bin Khathab. Nama aslinya yang paling terkenal adalah Zhalim bin Amr, beliau sering dikenal atau dipanggil dengan Abu Al Aswad Ad Du’ali rahimahullah, ada pula yang mengatakan Ad Dili, Al Allamah, Al Fadhil, Qadhi Bashrah. Beliau rahimahullah dilahirkan pada masa kenabian.

Ia pernah menjadi hakim di Bashrah, kemudian khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah mengangkatnya menjadi gubernur di sana.       Ia ikut bersama Khalifah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah menghadapi pemberontakan Muawiyah dan Aisyah dalam perang Jamal dan Siffin, dan termasuk juru runding dalam perang Jamal. Dan pernah diutus oleh Abdullah bin Abbas memerangi kaum Khawarij.

Ucapan Para Ulama tentang Beliau

Ahmad Al Ijli berkata, “Dia tsiqah (terpercaya) dan orang yang pertama kali berbicara tentang ilmu nahwu”. Al Waqidi berkata, “Dia masuk Islam pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.” Orang lain berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan dia termasuk pembesar kelompok Syi’ah dan orang yang paling sempurna akal serta pendapatnya di antara mereka. Ali radhiallahu ‘anhu telah menyuruhnya meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu ketika beliau mendengar kecerdasannya.”

Al Waqidi berkata, “Lalu Abu Al Aswad menunjukkan kepadanya apa yang telah ditulisnya,” Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Alangkah baiknya nahwu yang kamu tulis ini.”. Dan diriwayatkan pula bahwa dari situlah ilmu nahwu disebut ‘nahwu’. Muhammad bin Salam Al Jumahi berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali adalah orang yang pertama kali meletakkan bab Fa’il, Maf’ul, Mudhaf, Huruf Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Yahya bin Ya’mar lalu belajar tentangnya.”

Al Mubarrad berkata, Al Mazini menceritakan kepadaku, dia berkata, “Sebab yang melatarbelakangi diletakkannya ilmu nahwu adalah karena Bintu Abu Al Aswad (anak perempuan Abu Al Aswad) berkata kepadanya, ‘Maa asyaddu Al Harri (alangkah panasnya)Abu Al Aswad lalu berkata, Al Hasyba Ar Ramadha’ (awan hitam yang sangat panas)’ anak perempuan Abu Al Aswad berkata, ‘aku takjub karena terlalu panasnya’. Abu Al Aswad berkata, ‘Ataukah orang-orang telah biasa mengucapkannya ?’. lalu Abu Al Aswad mengabarkan hal itu kepada Ali bin Abu Thalib, lalu dia memberikan dasar-dasar nahwu kepadanya dan dia meneruskannya. Dialah pula orang yang pertama kali meletakkan titik pada huruf.” Al Jahizh berkata, “Abu Al Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia. Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, orang syiah, sekaligus orang bakhil. Dia botak bagian depan kepalanya.” []