Label

Sabtu, 23 November 2013

Imam Ali As Di Mata Ulama dan Intelektual


Ibnu Abil Hadid, salah seorang ulama besar yang amat terkenal, mengenai Imam Ali dalam mukaddimahnya untuk mengomentari kitab Nahjul Balaghah yang berisi khutbah-khutbah dan kata-kata mutiara Imam Ali menuliskan: "Apa yang bisa aku katakan mengenai figur Imam Ali yang sebenarnya, sementara musuh-musuh beliau sekalipun tidak bisa mengingkari keutamaan dan keistimewaan beliau. Mereka semua mengakui bahwa Imam Ali adalah figur yang paling istimewa. Apa yang bisa aku katakan tentang beliau yang semua jenis keutamaan wujud pada diri beliau. Para pemeluk agama non-Islam yang mentelaah kepribadian beliau menaruh kecintaan kepada beliau, dan bahkan para filsuf non-Muslimpun menjujung tinggi beliau. Nama Ali dan kenangan-kenangan beliau ibarat haruman kesturi yang tetap akan menebarkan aroma wangi kendati ditutupi bagaimanapun juga. Dia ibarat cerahnya hari yang jika seseorang tidak melihatnya, orang lain pasti akan menyaksikannya. Dalam keutamaan dan kesempurnaan, tak satupun sampai pada derajat kaki beliau. Dan siapa saja yang mencapai suatu derajat keilmuan dan fadilah yang tinggi setelah beliau, pasti ilmu dan fadilah itu berasal dari beliau. Jejak beliaulah yang diikuti oleh orang-orang itu. Cara beliaulah yang dicontoh."

Syaikh Muhammad Abduh seorang ulama terkenal Mesir dan pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Al-Azhar. Beliau juga punya syarah atau komentar terhadap kitab Nahjul Balaghah. Tentang bagaimana beliau mengenal Nahjul Balaghah beliau menuturkan:

"Karena takdir dan secara tidak sengaja, saya mengenal kitab Nahjul Balaghah. Saya dapati kitab ini sebagai santapan ruhani dan jalan untuk mengatasi berbagai kesedihan saya. Karena itu berbagai bagian dari kitab ini telah saya renungkan dengan cermat. Setiap kali satu bagian saya lewati, saya benar-benar merasakan adanya perubahan topik dan masalah-masalah baru. Dari topik-topik yang begitu tinggi dan dikemas dengan ungkapan-ungkapan yang sangat indah, adakalanya saya merasa berada di alam yang besar. Ungkapan-ungkapan itu ditujukan kepada hati dan batin-batin yang cerah agar jalan yang benar dapat direntangkan kepadanya. Ungkapan-ungkapan itu sangat berharga, sampai-sampai sanggup membawa ruh seolah-olah terpisah dari alam materi menuju alam malakut."

Antara lain dia pernah menuliskan: "Setiap kali saya mentelaah kitab Nahjul Balaghah bab demi bab, saya merasa tabir pembicaraan datang silih berganti dan arena-arena nasihat dan hikmatpun berubah. Diantara para ilmuan, ahli bahasa dan sastera Arab, tak seorangpun yang menyangkal kebesaran Imam Ali. Setelah Kalamullah dan hadith Rasul, kata-kata Imam Ali-lah yang paling agung, punya metode terbaik dan paling mengandung arti dan makna."

Faktor yang terpenting dari kebesaran pribadi Imam Ali selain dari kefasihan dan kebalighan (memilih kata yang tepat dan mudah), ialah kedekatannya dengan Rasul. Terutama karena sejak hari-hari pertama pengutusan nabi, Imam Ali termasuk pengikut setia Rasul. Dimasa itu, beliau banyak mengenal ajaran-ajaran wahyu. Karena itu, wujud beliau sarat dengan ajaran-ajaran Ilahi.

Ahmad Zaini, sejarawan masyhur Mesir dalam bukunya yang berjudul Imam Ali ibn Abi Thalib menulis: "Khutbah-khutbah Imam Ali yang penuh hikmah itu ibarat curahan air dari jalur yang paling dekat dan seiring dengan jiwa manusia serta dengan mudah dapat menyerap ke hati insan. Imam Ali sejak masa kanak-kanak di pelihara di rumah Rasul. Beliau besar di rumah Nubuwwah, ayunan hikmah dan sumber keutamaan. Beliau selalu bersama Rasul hingga detik-detik Rasul menutup mata meninggalkan dunia. Imam Ali temasuk penulis besar dan juru tulis wahyu yang diterima Rasul. Dia menghafal Al-Quran dengan baik."

Menurut ibarat Khatib Khawarizmi, seorang sasterawan dan ilmuwan Muslim terkenal: "Ali ialah seorang yang tenggelam di dalam ibadah di mihrabnya ketika malam hari, dengan khusyu disertai deraian air mata; akan tetapi, berdiri tegak bagai singa padang pasir, membela Islam dan Muslimin ketika siang hari. Beliau menjauhkan diri dari harta baitul maal sekecil apapun. Ali adalah penghancur berhala-berhala di atas Ka'bah; dimana beliau memanjatnya dengan naik ke atas bahu Rasulullah SAWW."

Ustadz Muhammad Taqi Ja'fari, seorang ulama dan failasuf besar Islam, ketika berbicara tentang pengaruh pribadi-pribadi besar seperti Imam Ali A.S di dalam masyarakat menulis: "Masalah pengaruh seseorang di dalam masyarakat, baik Islam ataupun bukan Islam, bukan masalah kekuasaan. Oleh karena itu, di dunia ini, walaupun secara fisik, kekuasaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat, akan tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebut, tidak bisa tampil sebagai panutan dan tauladan, apalagi sebagai pemimpin dimana petunjuk-petunjuknya akan ditaati dengan sepenuh hati. Orang-orang seperti Jengis Khan atau Hitler, ketka mereka telah menciptakan kehancuran di dalam masyarakat, tanpa membuat suatu ide atau langkah-langkah yang bermanfaat bagi masyarakat tersebut, maka mereka itu tak lain bagaikan banjir bandang yang merusak segala apa yang diterjahnya. Di samping orang-orang yang demikian itu, ada pula orang-orang yang telah tercatat di dalam sejarah bahwa di dalam masyarakat, mereka telah melakukan hal-hal yang manusiawi; sehingga kadang-kadang bisa juga dikatakan bahwa mereka itu merupakan penentu atau subyek sejarah kehidupan manusia pada zaman mereka dan setelah mereka. Mereka ini adalah orang-orang yang telah mengumpulkan sifat-sifat utama di dalam diri mereka; bahkan mereka telah mengorbankan kehidupan mereka demi kebahagian; dan setiap manusia dapat menikmati manfaat dari ilmu pengetahuan mereka. Ali A.S berada di antara orang-orang yang demikian itu."

Pada kesempatan lain Ustadz Muhammad Taqi mengatakan: "Rasa cinta adalah sebuah watak manusiawi yang tinggi, yang bisa dilihat pada setiap manusia. Pada manusia-manusia biasa, rasa cinta akan berubah seketika menjadi rasa benci, hanya karena pihak yang ia cintai itu berbuat suatu kesalahan yang kadang kecil-kecil saja. Akan tetapi bagi manusia besar dan mulia yang menjadi obyek cintanya ialah esensi atau Dzat manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, apa pun yang dilakukan oleh seseorang, maka cinta orang ini kepada seseorang itu tidak akan berubah menjadi kebencian kepada pribadi. Hal ini bisa dilihat di dalam diri Imam Ali A.S. Ketika perang Siffin, pasukan Muawiyah yang menguasai bagian atas atau arah hulu sungai Furat, telah berbuat sedemikian rupa sehingga menghalangi pasukan Imam Ali untuk menggunakan air sungai itu. Akan tetapi ketika posisi berubah dan pasukan Imam Ali A.S berhasil menempati bagian atas sungai dan pasukan Muawiyah berada di bagian bawah sungai, Imam Ali A.S memerintahkan pasukannya untuk membiarkan pasukan Muawiyah untuk menggunakan air sungai.

Demikian pula ketika pembunuh Imam Ali A.S berhasil memukulkan pedang beracunnya kepada beliau. Maka beliau mengatakan kepada putranya, yaitu Imam Hassan A.S dengan mewasiatkan bahwa jika beliau meninggal, maka bunuhlah orang itu, tetapi tanpa menyiksanya.

Demikianlah, bahkan terhadap musuh-musuh beliau. Beliau tidak memperlakukan mereka berdasarkan kebencian pribadi. Tetapi semuanya beliau lakukan demi menjalankan ajaran-ajaran Islam.

Syibli Syamil, seorang pemikir non-Muslim mengatakan: "Ali bin Abi Thalib, seorang pemimpin, pembesarnya para pembesar, adalah seorang tokoh yang abadi, dimana tidak barat dan tidak timur, tidak masa lalu dan tidak masa kini, semuanya tidak akan mampu melahirkan manusia yang setara dengannya. Beliau adalah manusia langka yang telah menggabungkan kekuatan dan keadilan sebagai sifat-sifat beliau yang menonjol."

Pribadi-pribadi semacam ini, walau semua orang berusaha menghapus keagungan nama mereka dari lembaran sejarah, maka usaha tersebut akan mengalami kegagalan. Sebab, manusia-manusia semacam ini, wujud mulia mereka merupakan jembatan bagi manusia lain untuk menyeberang menuju kepada kemuliaan. Ucapan-ucapan Amirul mukminin Ali ibn Abi Thalib A.S sesuai dengan keperluan-keperluan manusia, dan merupakan penyembuh berbagai macam penyakit yang mengancam kehidupan manusia di dunia saat ini.

Doktor Qasim Habib, seorang penulis Muslim terkenal dalam sebuah pendahuluan untuk salah satu bukunya mengatakan: "Aku persembahkan buku ini kepada mereka yang hidup ditengah-tengah kaum fakir miskin, namun tetap bersemangat memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Aku sajikan buku ini untuk pemimpin yang pandai mempertemukan sikap-sikap lemah lembuh dengan ketegasan dan kasih sayang dengan disiplin. Aku suguhkan buku ini kepada si pengabdi zuhud yang menghabiskan malamnya utnuk ibadah dan siangnya untuk puasa, dan akhirnya aku persembahkan buku ini kepada Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib yang selalu teguh terhadap nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebajikan dan kasih sayang."

Demikianlah pernyataan Doktor Qasim Habib. Pernyataannya ini mengingatkan kita bahwa Imam Ali adalah pribadi yang kaya dengan nilai-nilai yang amat mempesona. Tokoh legendaris Islam ini memiliki keperibadian yang amat sulit untuk ditiru orang lain, yaitu pribadi yang mempertemukan sifat-sifat terpuji, namun secara lahiriyah tampak saling bertentangan, seperti contoh-contoh yang disebutkan oleh Qasim Habib. Ibadah beliau penuh dengan ratapan dan rintihan, namun di medan laga beliau umpama singa kelaparan menyaksikan musuh-musuh Islam. Tak satupun musuh yang tidak tumbang menghadapi beliau. Sekalipun beliau sebagai Khalifah Islam, namun beliau mempunyai pekerjaan yang amat bersahaya seperti buruh dan tani.

Thomas Carlael, filsuf Inggris pernah berkata mengenai Imam Ali demikian: "Mahu tidak mahu, kita telah dibuat cinta kepada Imam Ali. Betapa dia adalah seorang kesatria besar dan punya karakteristik yang tinggi. Hati nuraninya telah menjadi sumber yang mengalirkan kasih sayang dan kebajikan. Dia seorang yang pemberani, namun keberaniannya larut dengan kasih sayang dan kelembutan hati."

Dibagian lain ia menulis: "Kami tidak sanggup menahan kata-kata kami untuk memuji dan menyanjung Ali. Dia adalah kesatri besar dan agung. Dia adalah sumber rahmat, ihsan serta manifestasi sebuah kebesaran, keberanian dan kelembutan. Slogan kesatria religius ini tak lain adalah keadilan."

Fuad Jordac seorang penulis beragama Kristen mengatakan: "Setiap kali kesulitan datang di dalam kehidupan saya, maka saya berlindung dengan Ali A.S, sebab beliau adalah penolong setiap orang yang terkena musibah. Beliau adalah sumber makrifat dan hikmah. Bagi orang-orang dzalim beliau bagaikan petir yang menyambar, sedangkan bagi kaum tertindas, beliau adalah pelindung yang sangat penyayang."

George Jordac seorang cendikiawan Nasrani Libanon. Ia telah banyak mengkaji sejarah hidup Imam Ali bin Abi Thalib. Antara lain ia pernah mengungkapkan perasaannya sebagai berikut:

"Wahai zaman, andaikan dengan segala kekuatanmu..... Wahai jagat raya, andaikan dengan segala kesanggupanmu engkau bisa menciptakan sosok pahlawan besar, maka sekali lagi ciptakan manusia seperti Ali, sebab zaman memerlukan orang seperti Ali."

Dalam bukunya yang berjudul "Imam Ali: Gema keadilan Insani" antara lain ia menuliskan: "Setelah Al-Quran, kata-kata Ali adalah contoh balaghah yang paling tinggi. Dan balaghah Ali senantiasa berguna bagi peradaban manusia. Dan sungguh bukan suatu yang berlebih-lebihan bila di dunia sekarang, mereka yang menyulut api peperangan dan menajdi faktor kesengsaraan bangsa-bangsa perlu menyimak kata-kata Ali ibn Abi Thalib. Mereka perlu menghapalnya."

Dibagian lain buku ini ia menulis: "Menjauhi kezaliman adalah salah satu prinsip ruh dan karakter Imam Ali. Prinsip ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Imam Ali secara keseluruhan... Ali bukanlah jenis orang yang bicara kemudian mengamalkan, melainkan apa yang beliau katakan berpangkal dari apa yang selalu beliau perbuat....."

Dalam buku ini, George Jordac tidak menjelaskan sejarah seorang individu atau abad tertentu, dan dia menghindari fanatisme golongan untuk menentang golongan lain. Dia adalah seorang budayawan yang rajin meneliti berbagai persoalan dan pandangan. Ketika itulah dia melihat pemikiran Imam Ali sebagai sangat berharga. Dia mencoba memperkenalkan Imam Ali kepada kita untuk mengajarkan nilai-nilai baru manusia. Buku yang diterbitkan pada tahun 1958 ini sempat menarik perhatian tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan Ahlussunah maupun Syiah. Selain bukan itu, ia juga menulis buku lain tentang Imam Ali berjudul "Keajaiban Nahjul Balaghah".

George Jordac lahir di Libanon Selatan dari keluarga Nasrani. Keluarganya sangat tertarik dengan masalah-masalah kebudayaan, sastera dan berbagai masalah-masalah ilmiyah. Menariknya, walaupun menganut agama Nasrani, mereka sangat menaruh perhatian terhadap Imam Ali ibn Abi Thalib. Tentang ini Jordac menulis:

"Ayah dan ibuku sangat mecintai Imam Ali. Selain itu kakakku yang berstatus insinyur besar dan ahli sastera telah membiasakan aku sejak kecil dengan syair-syairnya yang menyanjung tinggi Imam Ali. Dia berkali-kali memberiku motivasi untuk membaca Al-Quran dan kitab Nahjul Balaghah."

"Ketika aku keluar dari sekolah, atau lebih tepatnya kabur dari sekolah, di bawah pohon aku sering menghapal surah Al-Quran dan berbagai khutbah serta pesan-pesan Imam Ali. Karena itu, bagaimana mungkin aku tidak menulis sesuatu mengenai Nahjul balaghah. Mentelaah karya-karya para penulis terkemuka mengenai Imam Ali juga telah memicu semangatku untuk menulis buku tentang Nahjul Balaghah dalam hal-hal yang belum sempat ditulis oleh orang lain."

Henry Corbin, filsuf Perancis mengungkapkan pernyataan sebagai berikut setelah mentelaah kitab Nahjul Balaghah: "Setelah Al-Quran dan hadith Rasul, Nahjul Balaghah adalah kitab yang paling penting."

Seorang pakar Timur Tengah asal Belgia bernama Lamens juga pernah mengkaji kehidupan Imam Ali. Dia mengatakan: "Untuk keutamaan Ali, cukup kiranya bilamana berita dan sejarah keilmuan Islam bersumber dari Imam Ali. Dia adalah memori yang menakjubkan. Ulama-ulama Islam bangga bila perkataannya bersanad kepada Imam Ali. Sebab kata-kata beliau merupakan argumen yang mematikan dan dialah pintu kota ilmu."

Jubran Khalil Jubran, seorang penulis beragama Nasrani mengatakan: "Ali adalah jiwa universal yang telah menggemakan senandung keabadian di cakrawala Jazirah Arab. Namun karena figur yang lebih besar dari masanya, maka masyarakat saat itu tidak tahu siapa dia dan tidak bisa mencerna kata-katanya.... Ali telah meninggalkan dunia, sementara dunia menyaksikan keagungannya..."

Seorang penulis Nasrani bernama Michael Naimah menyampaikan kekagumannya terhadap Imam Ali ketika memberi kata pengantar untuk buku George Jordac demikian:

"Kehidupan tokoh-tokoh besar bagi kami merupakan sumber kehidupan yang tak akan kering dari pesan, pengalaman, iman dan harapan.... Kami tidak pernah mengenal putus asa walaupun untuk satu hari karena kemenangan terakhir orang seperti Ali ibn Abi Thalib dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka dalam kehidupan selalu menyertai semangat kami pada setiap waktu, walaupun jarak ruang waktu dan tempat memisahkan kami dengan mereka. Saksi yang terbaik dari pernyataan ini ialah buku yang tengah anda pegang ini. Karena kitab ini telah menjelaskan kehidupan salah seorang pribadi besar yang lahir di tanah Arab. Namun ke-Araban tidak bisa dikatakan sebagai telah mempengaruhinya, dan walupun Islam telah mendidihkan sumber keutamaannya, namun dia bukan hanya untuk Islam. Kalau hanya untuk Islam, bagaimana mungkin kehidupannya yang membanggakan itu bisa membangkitkan ruh seorang penulis Nasrani di Libanon pada tahun 1956."

Sulaiman Kattani, juga seorang penulis beragama Nasrani banyak mengkaji sejarah hidup Imam Ali. Dalam menyifati kepribadian Imam Ali, antara lain ia menulis:

"Iman dan takwa adalah dua mata air jernih yang pernah bergolak di hati beliau dan mengalir dari lisan beliau. Kebenaran dan keadilan adalah dua tanda keindahan yang peranannya berhasil beliau goreskan dalam wujud beliau. Beliau selalu memperindahkan kata-kata penjelasannya kepada orang-orang, namun pada saat yang sama beliau juga sanggup mengasah pedang untuk mereka."