Label

Sabtu, 31 Januari 2015

Tiga Sajak di Harian Rakyat Sumbar




Puisi-Puisi Sulaiman Djaya

Rebana

Di bawah senja, jalan setapak dan pematang
pernah begitu memabukkan.
Aku tulis kenangan dan membaca
ayat-ayat Tuhan

saat daun-daun bergerak. Kau menyebutnya usia
bahkan ketika aku belum beranjak dewasa.
Tapi udara yang riang kulihat
menamainya rahim kata.

Aku tak pernah bisa membedakan
antara kebahagiaan dan kesedihan
ketika hujan yang tumpah
di lembar-lembar kertasku

jadi nyanyian yang engkau inginkan.
Aku mencoba belajar
dari kesabaran burung-burung sorehari
yang hijrah mengunjungi setiap dunia

saat waktunya. Sejenak kurenungkan
ketika matahari menafsir hidup
tanpa terasa banyak yang kulupakan
seperti ketika aku begitu jatuh cinta

pada setiap yang tak dikatakan
sepasang matamu yang indah.
Dan aku pun bahagia
saat aku benar-benar merasa terjaga.

(2014)


Biografi

Kau adalah potret tua
dan aku lelaki yang menulis sajak
di bawah lampu kaca.
Kupinjam tanganmu
untuk menulis usiaku.

Aku bayangkan segala tentangmu
seperti udara asar
dan beberapa ekor burung
terbang bersama gugur daun
meski senja

masih belum rampung. Umurku jatuh
seperti si pendoa sunyi
yang kehabisan kata
bagi lembar-lembar kertas
yang jadi hamparan sajadahku.

Aku adalah detak jam
dan engkau dinding warna abu-abu.
Aku hembus udara
dan engkau gerak sepi gorden jendela
sebelum akhirnya sama-sama tiada.

(2014)


Almanak

Aku tahu musim tak pernah lagi sama –di mejaku
sepi yang tabah mengeja kata
ingin sekali menyebut namamu dengan umpama
anugerah terbaik dunia.

Hujan baru saja beranjak, ketika
–dengan halaman-halaman cuaca
aku mendaras rubayyat dari kitab lama.
Sesungguhnya perumpamaan bahasa

adalah pintu-pintu. Lihatlah,
angin November yang gembira
seperti ingatan-ingatan
yang ingin pergi dari masa silam.

Tetapi waktu sesungguhnya senantiasa singgah
di daun-daun basah. Bacalah sejenak
betapa tahun-tahun tak pernah lupa
memberi ketakterdugaan dan indahnya kebetulan.

Aku ingin kau menuliskannya lagi
dan esok, barangkali, aku bisa membacanya
dengan kesedihan dan kegembiraan
yang tak pernah lagi akan sama.

(2014)

Sumber: Ruang Budaya Harian “Rakyat Sumbar” (Jawa Pos Group) Edisi Sabtu, 31 Januari 2015. 


Sabtu, 24 Januari 2015

Bola-Bola Benang




Oleh Henrik Ibsen

Kami adalah pikiran;
Engkau seharusnya telah memikirkan kami;
Kaki-kaki kecil untuk kehidupan.
Engkau seharusnya telah membawa kami
Kami seharusnya telah bangkit
Bersama suara agung;
Namun di sini bagai bola-bola benang
Kami terikat bumi.

Daun-Daun Kering

Kami adalah sebuah semboyan;
Engkau seharusnya telah menggunakan kami;
Kehidupan, oleh kelambananmu,
Telah tertolak-lah kami.
Oleh ulat-ulat kami termakan
Semuanya timbul-tenggelam;
Tak ada buah akan kami miliki
Tidak pula puncak menjalarnya.

Suatu Keluhan di Udara

Kami adalah lagu-lagu
Engkau seharusnya telah mendendangkan kami
Di kedalaman hatimu
Putus-asa telah mengetuk pintu kami
Kami berbaring dan menunggu;
Engkau tak juga memanggil kami.
Adakah tenggorokan dan suaramu
Terasuki kebusukan yang beracun.

Tetes-Tetes Embun

Kami adalah air-mata
Yang tak kunjung terteteskan.
Gumpalan es di mana semua hati menggigil;
Kami pun sudah membeku
Namun kini anak panahnya
Terbekukan menjadi
Segumpal hati yang membantu
Luka tertutup;
Kekuatan kami sirna.

Jerami-Jerami Rusak

Kami adalah pekerjaan-pekerjaan
Engkau telah meninggalkan yang tak terkerjakan;
Tercekik sudah oleh kebingungan,
Masa busuk mulai
Pada hari pengadilan
Kami akan berada di sana
Untuk menceritakan kisah kami
Bagaimana keadaanmu sendiri?

Minggu, 18 Januari 2015

Kritik Marxist dalam Sastra


Oleh Sastri Sunarti 

Kritik Sastra Marxist dalam kesusasteraan  mempunyai sejarah yang panjang. Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan terkenal. Dua diantaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels dan ketiga terdapat dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner 1967).

Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan yang besar sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang akhirnya diselesaikan oleh Engels.

Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang mula-mula adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam hubungannya dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa semua pikiran yang berbeda-beda, baik yang bersifat falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan dengan posisi kelas pengarang. 

Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh perkembangan perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri.

Dalam tulisan Eagleton (1977:3) dijelaskan bahwa Marx sesungguhnya terpengaruh oleh dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni. Namun menurut Eagleton, kemurnian pikiran  Marx tidak terdapat dalam pendekatan sastra, melainkan terletak pada pemahaman yang revolusioner terhadap sejarah itu sendiri.

Dalam suatu laporannya, Marx menjelaskan tentang Base 'dasar' dan Superstructur 'superstruktur'. Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertumpu pada 'dasar' (hubungan-hubungan sosio-ekonomi). Marx menjelaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu tidak terpisahkan dari kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan itu, manusia menciptakan hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara penguasaan, penindasan, atau ekploitasi yang menguasai tata sosial dan ekonomi dari suatu fase sejarah manusia akan ikut menentukan seluruh kehidupan kebudayaan masyarakatnya. 

Dalam Ideologi Jerman (1846), Marx dan Engels berbicara pula mengenai moralitas, agama, dan filsafat sebagai momok-momok yang dibentuk dalam otak manusia yang  merupakan refleks dan gema dari proses kehidupan yang nyata. Dalam serangkaian surat-surat terkenal (1890), Engels menekankan bahwa ia dan Marx selalu memandang aspek perekonomian masyarakat sebagai akhir dari aspek-aspek lain. Jadi, seni menurut pandangan Marxis merupakan bagian dari superstruktur dari lingkungan sosial. Dengan demikian, menurut Marxis, untuk memahami sastra berarti memahami seluruh proses sosial.

Status kesusasteraan yang khusus, diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grundrisse. Di dalamnya ia menjelaskan tentang ketidakcocokan yang nyata antara perkembangan ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani sebagai puncak dari perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan waktunya dengan sistem kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang tidak lagi sahih bagi masyarakat modern. 

Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens, Marx mengatakan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga merupakan lambang keterpencilan manusia dari dirinya  sendiri dan masyarakat. Marx memuji Shakespeare yang telah menggambarkan esensi uang sebagai suatu yang berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan merupakan sesuatu yang diciptakan manusia agar dapat digunakan.

Gagasan Marx bukan merupakan hal yang penting dalam pengembangan sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engels-lah yang banyak manfaaatnya bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam pikiran Engels yaitu pertama mengenai sastra. Tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis, semakin bermutulah karya sastra yang ditulisnya. Ideologi politik bukanlah merupakan masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya karya sastra akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi.

Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels lebih bersifat dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya. Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian realisme yang meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula. 

Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah Maxim Gorky yang sangat berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang dianggap sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria.

Karya-karya Lukacs terutama menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun pandangannya kemudian banyak bersinggungan dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs merampungkan naskah bukunya yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sezaman. Tulisan-tulisannya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah filsafat, seperti alienasi, fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting bagi teori Marxis tentang kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs yang penting dari kurun ini adalah History and Class Consciousness yang terbit 1923.

Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat. Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril.

Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk (form) yang dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan pemujaan terhadap komoditas yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis realis seperti Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs sangat terpengaruh oleh pikiran Thomas Mann.

Pengunggulan realisme dalam karya-karyanya sempat merangsang perdebatan panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme mendamaikan kontradiksi di dalam totalitas yang merupakan sikap reaksioner. Sebaliknya Lukacs berpendapat bahwa kontradiksi semacam itu justru perlu diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan merangsang manusia untuk membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata. 

Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri khusus keseluruhan karyanya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel baru Eropa  waktu itu, ia kembali ke pandangan realis lama bahwa novel mencerminkan realitas. Pencerminan itu bukan melalui pelukisan wajah yang tampak dari permukaan saja, melainkan memberikan pada kita sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup. Menurut Lukacs, pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret. Sebuah novel mungkin akan membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih konkret kepada realitas. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing, tetapi proses hidup yang penuh. Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu bukan realitas sendiri melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Oleh sebab itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar memerlukan lebih dari sekedar perwujudan luar.

Selain Lukacs, kritikus Marxis yang lain adalah Lucien Goldmann yang terkenal dengan rumusan model strukturalisme genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual melainkan bahwa teks-teks sastra merupakan struktur-struktur mental trans-individual; milik kelompok-kelompok tertentu yang kemudian menghasilkan suatu pandangan dunia

Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang homolog (persamaan bentuk) struktural diantara bermacam-macam bagian tata masyarakat, membuat teori kemasyarakatannya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya merupakan kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marxisme Hegel.

Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Benjamin dari aliran Frankfurt. Pertemuan singkatnya dengan Adorno, memberi alasan untuk menyebutnya sebagai Marxsis meski pun cap itu sangat pribadi sifatnya.

Eseinya yang terkenal adalah Karya Seni dalam Abad Reproduksi Mekanis yang memperlihatkan sebuah pandangan kebudayaan modern yang bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik modern telah mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu hanya dapat dinikmati oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut sebagai perendahan nilai seni oleh komersialisasi

Sebelumnya telah disinggung mengenai efek alienasi dalam sastra yang sebenarnya dikembangkan oleh Bertold Brecht. Drama-drama awal Brecht radikal, anarkistik, anti borjuis tetapi tidak anti kapitalis. Sesudah membaca Marx, jiwa remajanya berubah menjadi keterlibatan politik . Pada tahun 1930 ia menulis drama yang ditujukan pada kelas pekerja tetapi ia terpaksa meninggalkan Jerman ketika kaum Nazi berkuasa.

Brecht menolak jenis kesatuan bentuk formal yang dipuji oleh Lukacs. Menurutnya, tidak ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.

Berdasarkan pandangan Engels mengenai hubungan sastra dan masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sastra besar, maksud pengarang tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menimbulkan adanya dua jalur dalam kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang berpegang pada pendapat Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin (Steiner, 1967:305--324).

DAFTAR PUSTAKA

Eagleton, Terry. 1977. Marxism and Literary Criticism, London: Methuen and Co
Limited.
George, Steiner. 1967."Marxism And The Literary Critic" New York: Atheneum.
Joko Damono, Sapardi. 1984. Sosiologi Sastra Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Karyanto, Ibe. 1996. Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia
Selden, Raman. 1985. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Jogya:Universitas Gajah Mada Press.

Sumber: http://horisononline.or.id/id/esai/169-kritik-marxist-dalam-sastra