Young Charles Dickens by Daniel Maclise (1839)
Oleh Charles Dickens
ADA seorang bocah lelaki, dan ia berperangai
baik, dan ia suka merenung. Ia memiliki adik perempuan yang setiap hari
menemaninya. Mereka berdua sering merasa penasaran. Mereka penasaran pada
keindahan bunga-bunga; mereka penasaran pada langit yang tinggi dan biru;
mereka penasaran pada air yang jernih dan dalam; mereka penasaran pada Tuhan
yang telah menciptakan dunia ini begitu indah.
Mereka pernah berandai-andai dalam percakapan
mereka: Misalkan semua anak di muka bumi ini mati, apakah bunga-bunga dan air
dan langit akan berduka? Keduanya percaya bahwa mereka akan bersedih. Sebab,
kata mereka, setiap tunas adalah adalah anak-anak bunga, dan pancuran kecil
yang berkejaran riang menuruni lereng bukit adalah anak-anak air, dan
bintik-bintik kecil yang bermain petak umpet di langit adalah anak-anak
bintang. Mereka semua pasti akan sangat bersedih jika menyaksikan kawan mereka,
anak-anak manusia, tidak ada lagi.
Ada satu bintang paling terang di langit, yang
selalu muncul lebih dulu dibandingkan yang lain-lain, di dekat menara gereja,
di atas kuburan. Ia besar dan indah dan setiap malam kedua anak itu melihatnya,
mereka berdiri bergandengan tangan di tepi jendela. Siapa pun yang lebih dulu
melihatnya, ia akan berteriak, “Aku melihat bintang itu!” Dan sering mereka
berteriak bersamaan. Maka, mereka menjadi sahabat bintang itu. Sebelum tidur,
mereka selalu melihat bintang itu sekali lagi, untuk menyampaikan selamat
tidur. Dan sesaat sebelum mereka terlelap, mereka biasa mengatakan, “Tuhan
memberkati bintang itu.”
Si anak perempuan terjatuh suatu hari dan
menjadi sangat lemah sehingga ia tidak bisa lagi berdiri di tepi jendela ketika
malam datang. Saudaranya berdiri sendirian, memandang sedih ke luar jendela,
dan ketika ia melihat bintang itu ia akan berlari menemui adiknya yang
terbaring pucat di tempat tidur, “Aku melihat bintang itu!” Dan adiknya tersenyum
lemah dan mengatakan dengan suara lirih, “Tuhan memberkati kakakku dan bintang
itu.”
Selanjutnya, anak lelaki itu memandang ke luar
sendirian dan tak ada lagi wajah pucat yang berbaring di tempat tidur. Semua
berlangsung begitu cepat. Sebuah kuburan kecil, yang sebelumnya tak ada, kini
membujur di antara kuburan-kuburan lain. Dan ketika bintang itu muncul dengan
cahaya terangnya, si anak lelaki memandanginya dengan mata berair.
Cahaya bintang itu terang sekali dan tampak
seperti jalur cahaya yang merentang dari bumi ke langit. Ketika anak itu tidur
sendirian di ranjangnya, ia memimpikan bintang tersebut. Ia bermimpi bahwa
serombongan orang sedang dibawa oleh malaikat melintasi sebuah jalur cahaya.
Dan bintang itu kemudian terbuka, sehingga tampak olehnya sebuah dunia yang
bersinar terang. Ada banyak malaikat di sana, sedang menyambut orang-orang yang
datang bersama malaikat yang membimbing mereka.
Mata para malaikat yang sedang menunggu ini
berbinar menyaksikan orang-orang yang datang menuju bintang. Beberapa dari
mereka tak sabar dan segera keluar dari barisan. Mereka memeluk orang-orang itu
dan memberikan ciuman yang lembut dan kemudian menggandeng mereka menyusuri
jalan-jalan cahaya. Di tempat tidurnya, si bocah kecil menangis terharu melihat
kebahagiaan mereka.
Namun ada banyak malaikat yang tidak pergi
berjalan-jalan menemani orang-orang, dan ia kenal salah satunya. Ialah si wajah
pucat yang pernah terbaring lemah di tempat tidur; kini ia tampak agung dan
bercahaya. Adiknya kini menjadi malaikat penyambut, berdiri di dekat pintu
masuk, dan menanyakan kepada pemimpin rombongan:
“Apakah saudaraku datang?”
Yang ditanya menjawab, “Tidak.”
Lalu malaikat kecil itu mendengar teriakan
seorang bocah, “Aku di sini, Adikku. Bawa aku.” Ia menoleh; bocah lelaki itu
mengulurkan tangan ke arahnya. Si gadis malaikat memandang dengan matanya yang
bercahaya. Malam itu cahaya bintang menyinari kamar dan si bocah lelaki
memandangi cahaya yang masuk ke kamar dengan air matanya
Sejak itu dan seterusnya si bocah memandangi
bintang seolah ia memandangi rumah yang kelak akan ia kunjungi, jika tiba
waktunya. Dan ia merasa bahwa ia bukan hanya makhluk bumi, tetapi makhluk
bintang juga. Adiknya sudah lebih dulu ke sana.
Seorang bayi lelaki kemudian lahir dan menjadi
saudaranya. Bayi itu kecil sekali dan belum bisa bicara. Ia menggeliat dan jatuh
dari tempat tidur dan mati.
Sekali lagi si bocah lelaki memimpikan bintang
yang terbuka, dan sekumpulan malaikat di sana, dan rombongan orang-orang, dan
para malaikat penyambut dengan mata berbinar menerangi wajah orang-orang yang
datang.
Adik perempuannya menanyakan kepada pemimpin
rombongan:
“Apakah saudaraku datang?”
Yang ditanya menjawb, “Bukan yang itu, tapi
yang lain.”
Saat bocah lelaki itu melihat adik malaikatnya
memeluk adik bayinya, ia berteriak, “Aku di sini, Adikku! Bawa aku.” Adiknya
menoleh ke arahnya dan tersenyum dan bintang yang paling indah memancarkan
cahaya terang.
Ia lalu tumbuh menjadi pemuda, dan ia sedang
sibuk dengan buku-bukunya ketika seorang pelayan tua datang kepadanya dan
mengatakan:
“Ibumu meninggal. Ia sempat mendoakanmu dan
berharap agar putra terkasihnya selalu diberkahi.”
Sekali lagi ia melihat bintang pada malam
hari, dan para malaikat. Adiknya bertanya kepada pemimpin rombongan:
“Apakah saudaraku datang?”
“Ibumu,” jawab yang ditanya.
Pecah tangis bahagia seluruh penghuni bintang,
sebab si ibu dipertemukan kembali dengan dua anaknya. Pemuda itu mengulurkan
tangannya dan berteriak, “Ibu, Adik-adikku, aku di sini. Bawa aku.” Dan
mereka menjawab, “Tidak sekarang.” Dan bintang bersinar.
Pemuda itu tumbuh menjadi lelaki dewasa
berambut kelabu, dan ia sedang duduk di kursinya dekat perapian. Murung sekali
ia. Wajahnya basah oleh air mata dan bintang itu sekali lagi terbuka.
Adiknya bertanya kepada pemimpin rombongan:
“Apakah saudaraku datang?”
“Tidak, tapi anak gadisnya,” jawab yang
ditanya.
Dan lelaki tua itu memandangi anak gadis yang
baru saja meninggalkannya. Anaknya kini telah menjadi makhluk surgawi, disambut
oleh tiga makhluk surgawi lainnya. “Kepala anak gadisku rebah di dada adik
perempuanku, dan tangannya merangkul leher ibuku, dan di kakinya ada bayi yang
dulu, dan aku tak tahan lagi berpisah darinya.”
Dan bintang memancarkan cahayanya.
Maka bocah lelaki itu kini menjadi lelaki tua,
dan kulit wajahnya yang dulu mulus kini keriput, dan langkah-langkah kakinya
lambat dan goyah, dan punggungnya bongkok. Suatu malam saat ia berbaring di
tempat tidur dikelilingi anak-anaknya, ia berteriak, seperti yang pernah ia
lakukan bertahun-tahun lalu:
“Aku melihat bintang itu!”
Anak-anaknya merasakan sebuah isyarat.
Dan lelaki tua itu berkata, “Usiaku tanggal
satu-satu. Dan aku ingin berada di bintang itu sejak kecil. Dan, ya Tuhan,
sekarang aku bersyukur kepadaMu bahwa akhirnya ia terbuka untukku dan aku bisa
bertemu dengan orang-orang terkasih yang menunggu kedatanganku.”
Dan bintang bersinar kuburnya.
Sumber: A Child’s Dream of A Star,
karya Charles Dickens. Diterjemahkan oleh A.S.
Laksana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar