Sumber: Radar Banten, 25 Juni 2014
Oleh Sulaiman Djaya*
“Ketika bumi terdiam karena angin selatan, dapatkah engkau
bentangkan keras angkasa cermin tuangan?” (Kitab
Ayub). Dalam sebuah diskusi lesehan, yang saat itu tanpa sengaja kami tiba-tiba
tertarik untuk membincang soal maraknya fenomena tindakan-tindakan anarkhisme
dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang dalam hal ini atasnama Islam,
salah-seorang teman nyeletuk bahwa tidak semua orang beragama itu religius.
Tentu saja yang dimaksud salah-seorang teman itu adalah beberapa orang dan
sejumlah kelompok Islam belakangan ini yang seakan-akan “pasti akan masuk
surga” hanya dengan menyatakan diri sebagai seorang muslim tanpa dibarengi
dengan sikap kesalehan dan sikap religius yang tidak mudah. Apa yang
diceletukkan salah-seorang teman itu sebenarnya merupakan sebuah soal lama dan
isu renungan klasik, semisal yang menjadi bahan renungannya Kitab Ayub dan Faust-nya
pujangga Jerman: Goethe yang masyhur itu.
Seperti kita tahu, Faust, doktor yang gigih belajar itu, akhirnya
tergoda bujukan Mephistopeles demi mendapatkan cinta Margareth. Tapi
Mephistopeles telah mendapatkan ijin Tuhan untuk menggoda Faust yang saleh itu.
Sementara, dalam prolog di langit drama-puisi karya Goethe tersebut kita tak
ragu lagi bahwa gambaran dan kiasan cerita Faust memang ditimba dari Kitab
Ayub. Tokoh Faust disarikan dari kisah dan penderitaan Ayub yang kaya dan saleh
tapi akhirnya jatuh miskin ketika seluruh kekayaannya dirampas pasukan Seba dan
Kaldea. Anak-anaknya meninggal dalam bencana kebakaran ketika sedang
melaksanakan pesta perjamuan di sebuah rumah milik anak tertua Ayub.
Diceritakanlah oleh si penulis kitab ini bahwa Ayub yang awalnya seorang
bangsawan yang sangat kaya, tiba-tiba menjadi sebatang kara dengan penyakit
lepra. Berduka di atas debu dan tanah. Setiap hari meratapi kelahirannya.
Kitab Ayub dan Drama Faust
Sementara itu tokoh Mephistopeles dalam drama Faust itu merupakan
saduran dan gambaran Setan (Azazil) yang begitu tertarik dan penasaran dengan
Ayub hingga meminta ijin Tuhan untuk mencederai dan menguji keimanannya. Apakah
keimanan Ayub memang didasarkan atas dasar kesalehan. Atau hanya karena
kecintaan pada diri sendiri semata. Ketertarikan Azazil sendiri tidak terlepas
dari kesukaan Tuhan atas Ayub yang taat beribadah dan berdoa. Tetapi Azazil
ragu dengan kesalehan dan ketulusan Ayub, yang menurut Azazil seringkali
kesalehan seseorang kadang hanya kamuflase dan fatamorgana. Ibadah mereka
kadang hanya karena kepentingan diri sendiri. Bukan karena ketulusan dan
kecintaan kepada Tuhan. Lebih karena pertimbangan ekonomis dan ketakutan diri
pada hukuman. Maka seringkali seorang hamba beribadah dan taat semata-mata karena
ingin mendapatkan balasan surga.
Ayub memang sempat meragukan segala hal termasuk Tuhan dan
kerasukan skeptisisme dalam penderitaan yang panjang tersebut. Ratapan Ayub
memancing perdebatan yang intens dan mendalam dengan sahabat-sahabat yang
menjenguk dan merawatnya. Para sahabatnya itu antara lain: Bildad dari Syuah,
Sofar dari Naamah, dan Elifaz dari Teman. Maka tak syak lagi, Kitab Ayub
merupakan naskah drama dan sandiwara tertua dalam khasanah penulisan dan
penuturan ummat manusia. Sekaligus khasanah pemikiran yang memiliki daya tarik
perenungan bagi siapa saja yang kembali membacanya: “Lebih cepat dari anak
torak hari-hariku melintas, lenyap tanpa harapan. Maka Kau cemaskan aku dengan
segala impian, dan dengan segala khayal Kau kejutkan. Apa gerangan manusia,
maka Engkau mementingkannya. Sebab kita yang lahir kemarin tiada
berpengetahuan” (Dialog I:6,14,17,30).
Dalam alur dan jalannya dialog, sahabat-sahabat Ayub merupakan
kiasan dari corak-corak pemikiran dan pandangan keagamaan lama yang kemudian
ditolak Ayub. Sahabat-sahabat Ayub memandang bahwa penderitaan adalah hukuman
bagi para pendosa. Menanggapi pandangan para sahabatnya tersebut Ayub pun
kemudian kembali melontarkan ironi: “Seseorang meninggal masih berdaya penuh,
dengan tenteram dan tanpa derita hati, penuhlah pahanya dengan lemak dan sumsum
belulangnya amat berlimpah, tetapi orang lain meninggal dalam luka-hati, dan
kebahagiaan tak dinikmatinya, meski mereka sama-sama berbaring dalam
debu” (Dialog II:23-26).
Modus Ironis
Penuturan dan penggambaran bersajak dalam Kitab Ayub memang
seringkali menggunakan ironi. Dan ironi tak lain suatu upaya untuk memaparkan
kebenaran atau pun penyingkapan dengan mengemukakan kebalikannya. Seringkali
beresiko pada kegoncangan dan menjadi kekuatan oposisi terhadap kepercayaan
atau pun keyakinan yang tengah dianut suatu masyarakat atau institusi dan rezim
pengetahuan. Cara itu pula yang digunakan Ayub untuk membantah anggapan,
prasangka, dan kepercayaan Elifaz, Bildad, Sofar, dan Elihu yang mewaikili
orang-orang yang masih berpegang pada dogma lama bahwa orang-orang yang
menderita adalah orang-orang yang dikutuk Allah. Dan Ayub mengalami keraguan
ketika justru orang-orang yang berdosa dan menindas adalah orang-orang yang
jaya dan berkuasa: “Mengapa gerangan para penjahat hidup tetap, menjadi tua dan
bertambah kuat? Rumah mereka aman sentosa, cambuk Allah tak mendatangi mereka.
Lembu jantan mereka menyenggama dengan gagah dan lembu betinanya tiada pernah
keguguran. Anak-anak mereka riang gembira berlompatan, membunyikan rebana juga
kecapi, bersukacita dengan iringan seruling. Menghabiskan hari-hari dengan
bahagia. Namun kepada Allah mereka tiada menyembah bahkan berkata:
enyahlah!”(Dialog II:21:8-16).
Epik Ayub menurut para penafsir kitab suci, filolog, dan kritikus
digubah oleh seorang sarjana dan penyair yang hidup ratusan tahun setelah
peristiwa dan kehidupan Ayub sebagai tokoh epik itu sendiri. Penggubahnya
menuangkan gagasan dan pemikirannya sendiri dalam rangka membaca kembali
penafsiran dan anggapan-anggapan religius yang dipercayai masyarakat ketika itu
yang menurutnya rapuh dan dogmatis. Maka untuk menguatkan pendapatnya itu sang
penggubah menggunakan tokoh Ayub yang memang cocok dengan konteks penderitaan
dan ironi yang hendak dimunculkan dan dikemukakannya. Ajaran dan pemahaman lama
yang ingin dia tentang itu ia gambarkan dengan menggunakan mulut para sahabat
Ayub. Bildad sebagai kiasan kaum ekstremis. Sofar sebagai kiasan kaum moderat.
Elihu sebagai kiasan kaum fanatik yang congkak. Dan Ayub sendiri sebagai kiasan
seorang nabi dan pujangga yang bijak bestari.
Bila dilihat dari segi penuturan dan muatannya, teks Kitab Ayub
pastilah ditulis oleh orang yang memiliki minat serius pada pemikiran dan
isu-isu keagamaan. Pemikiran dalam teks-teks tersebut mengafirmasi teknik
sentuhan emosi dan keindahan dengan memilih bentuk puisi. Meski muatan
teks-teks tersebut masih terasa berat bagi mata dan benak orang-orang awam yang
tidak biasa dengan disiplin pemikiran dan kesusasteraan berkualitas. Tetapi
layaknya sebuah teori atau pun gagasan tak mesti langsung begitu saja dapat
dicerna. Penyingkapan sebuah ironi membutuhkan waktu dan kesabaran. Karena
hasratnya yang selalu ingin keluar dari maninstream atau commonsense itulah
maka ia pun kadang mengalami nasib kesendirian dan kesunyian.
Religiusitas dan Penghayatan
Kitab Ayub adalah contoh dari sebuah suara yang menolak bungkam
berhadapan dengan kepercayaan keagamaan yang seringkali berubah menjadi
pemberhalaan dan menetapkan suatu batas bagi pencarian. Agama yang hanya
dipahami sebagai larangan. Bukan yang dialami sebagai penghayatan dan
pengalaman yang sifatnya manusiawi dan fana. Maka dalam skeptisisme-nya
tersebut, Ayub-pun mengajukan sejumlah fakta dan kenyataan hidup yang justru
seringkali menyalahi anggapan dogmatik yang dipercaya para sahabatnya itu.
Seringkali dalam dialog yang panjang itu, Ayub mementahkan khutbah-khutbah para
sahabatnya itu yang seolah-olah mengetahui apa yang dikehendaki dan dimaksudkan
Tuhan di atas sana.
Mayoritas para penafsir kitab suci berpendapat bahwa isu dan muatan
yang ada di dalam teks Kitab Ayub tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di
dalam teks Kitab Si Pengchotbah. Sebagian mempercayai bahwa mungkin saja
keduanya ditulis oleh orang atau pun mazhab pemikiran-keagamaan yang sama.
Tetapi ini bukan ihwal yang perlu merepotkan saya, karena ketertarikan saya
dengan kitab ini pada ajakannya untuk berdiskusi, berpikir, sekaligus merenung.
Sebuah kitab suci yang justru penuh dengan tanda tanya, bukannya tanda seru.
Dan sebagaimana kita mafhumi bersama, tanda tanya merupakan ciri kritisisme,
investigasi, bahkan pembangkangan. Bila tanda seru adalah sebuah imperatif dan
perintah, maka tanda tanya adalah sebuh “penundaan”. Tanda tanya adalah suatu
ikhtiar untuk memeriksa kembali segala sesuatu yang telah menjadi dogma yang
menyebabkannya mengeras dan tertutup.
Dengan menggugah, Ayub pun melontarkan sebuah kiasan tentang
kerentanan dan ketakberdayaan manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan
waktu dan ironi dari yang temporal yang memang membutuhkan pemeriksaan yang
berkelanjutan: “Ketika bumi terdiam karena angin selatan, dapatkah engkau
bentangkan keras angkasa cermin tuangan? Di manakah gerangan tempat tinggal
sang terang? Di manakah gerangan tempat tinggal kegelapan? Adakah hujan memiliki
seorang ayah? Dan siapa gerangan melahirkan benih-benih embun? Ketika air
membeku seperti batu, juga wajah tubir kala mengental. Ketika debu tertuang
bagai logam, juga bingkah-bingkah berlekatan” (Dialog IV:17-19, 28, 30,
38).
Bila Ten Commandment sepenuhnya berisi tanda seru (!) dan seruan
yang memuat perintah dan larangan, maka Kitab Ayub dipenuhi dengan tanda tanya
(investigasi) dan pembacaan kembali dogma dan kepercayaan keagamaan. Dengan
Ayub, sebuah periwayatan sabda atau pun sejarah seringkali mengandung tanda
tanya di dalamnya. Maka Ayub hendak memeriksa kembali apa yang telah menyejarah
dan dititipkan oleh sejarah. Meski dengan pemafhuman bahwa beban dan muatan
nostalgik dan romantik dalam sejarah seringkali membuat orang tak mau beralih dan
tak sanggup memandang masa depan. Suatu kemungkinan memang seringkali membuat
seseorang khawatir, cemas, dan was-was. Karena itulah kadangkala orang merasa
ngeri dengan kemungkinan masa depan karena ketakteramalan dan ketakpastiannya.
Dan sejarah memang kata lain dari nostalgia. Dan karena ia nostalgik, maka ia
perlu diperiksa dan dicurigai.
Iman Nabi Ayub
Iman-nya Ayub adalah iman yang mengingkari “Perjanjian” yang
mengandaikan “Jaminan”. Iman yang mengingkari “Perjanjian” ini rentan pada
tanda-tanya. Sebab pada kenyataannya “janji ekonomistik” itu sendiri pun tidak
terpenuhi pada kasus yang dialaminya. Kata “Perjanjian” mengandaikan suatu
transaksi-ekonomistik yang tujuan utama (telos)-nya adalah “Jaminan” atau
(Security) menyangkut takdir manusia yang mereka minta dari Tuhan pada kisah
“perjanjian primordial” mereka dengan Tuhan.
Begitu juga sebaliknya, ada suatu masa ketika manusia mengidap akan
pencarian yang arkhaik dan asali seolah ada sesuatu yang hilang dalam
kepercayaan dan keimanan mereka. Yang dengan itu mereka merasa perlu menemukan
kembali keaslian suatu sabda atau firman Tuhan. Tetapi di saat yang sama mereka
tidak mau membaca kembali teks dari firman-firman tersebut. Derrida menyebutnya
sebagai beban nostalgik dalam sejarah dan pemikiran. Sekaligus sebentuk
kecemasan untuk merengkuh masa-depan karena ketakteramalan dan ketakpastiannya.
Lalu mereka mengambil jalan keluarnya dengan kembali dan melarikan diri ke masa
lalu. Ikhtiar akan kepastian inilah mungkin yang membuat mereka takut untuk menjadi
ragu-ragu. Karena mereka membutuhkan suatu sandaran dan pegangan eksistensial
dalam kehidupan duniawi yang begitu cepat berubah, tak terkendali, dan melibas
mereka yang tidak siap untuk menghadapinya. Maka dogmatisme atau pun
fundamentalisme, kalau boleh saya katakan bisa dipahami sebagai “iman
kecemasan” dalam pengalaman akan ketakpastian dan ketakterbatasan yang seolah
mengatasi ikhtiar pencarian manusia akan suatu kepastian yang dapat diramalkan.
*Pegiat Café Ilmu Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar