Label

Rabu, 26 November 2014

Ziarah ke Relung Bathin Dunia Alegoris Saadi


Saadi dari Shiraz (Persia) pernah bercerita: “Ketika saya masih kecil, saya pernah sembahyang dengan bapak, paman dan misan-misan saya. Tiap malam kami bersama-sama mendengar bacaan sebagian al Qur’an. Suatu malam, ketika paman saya membaca satu bagian dengan suara keras, saya memperhatikan bahwa kebanyakan orang sedang mengantuk. Saya bilang pada bapak saya, “Tidak ada satupun dari orang-orang ngantuk ini mendengarkan kata-kata kitab suci. Mereka tidak pernah mencapai Tuhan.” Dan bapak saya bilang, “Anakku sayang, lihatlah jalanmu sendiri dengan mata iman dan biarkan orang lain menjaga diri mereka sendiri”. (Paulo Coelho, Stories for Parents, Children and Grandchildren, Volume 1).  

Ziarah ke Relung Bathin Dunia Alegoris Saadi

“Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” (Sa’adi, Gulistan). “Barangsiapa mengikuti jalan pencarian kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan sekaligus kehilangan kepala rasionalitas” (Nizami, Treasury of Mysteries). Dua kutipan ini kira-kira cocok sekali saat kita hendak membincang khazanah intelektual dan kesusastraan sufisme, yang dalam kesempatan ini adalah membincang sekilas tentang Gulistan, yang dapat kita terjemahkan sebagai Taman Mawar, karya penyair sufi masyhur, Sa’adi dari Shiraz. Baiklah kita mulai, yang dengan ini kita tak ragu lagi, bahwa Gulistan (Taman Mawar) dan Bustan (Taman Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika yang banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan, Asia Tengah, dan di tempat-tempat lainnya, semisal oleh segelintir intelektual dan penulis di Indonesia yang konsen dengan khasanah intelektual dan kesusastraan para penulis sufi.

Sementara itu, pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syihabuddin as Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.

Juga, tak diragukan lagi, pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa sedemikian besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra Jerman. Demikian pula, penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”

Namun sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, dan analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, misalnya, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Meski di antara para pengulas sastra Barat, terbilang hanya Professor Codrington yang memahaminya lebih dalam:

“Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori pun digunakan.”

Tetapi tentu saja bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sebab Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.

Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”

Begitupun penting diketahui, ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan sang guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan dini, di mana bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”

Dalam hal ini, pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Menyikapi hal ini, mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.

Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.

Prinsip atau formula ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal dan khusus. Hikayat ketiga puluh enam, contohnya, mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis yang kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika), bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru dan dalam.

Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan. Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.” Bait ini tak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara: bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya. Lalu kemudian kisah pun berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”

Teranglah kepada kita bahwa Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”

Dan tak hanya itu saja, pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi, maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:

Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Demikian ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”

Jika demikian, tak dapat dianggap enteng bahwa kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Tak heran bila karya Sa’di banyak dibaca dan digemari, karena memang berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur sekaligus kaya khasanah dan wawasan pencerahan yang mendalam dan inspiratif. Dan beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.

Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa dalam ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya– akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:

Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”

Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.

Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana: “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.

Sementara itu, dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:

Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.

Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya. Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung. Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:

Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.

Dan berikut salah-satu puisi liris dari Gulistan-nya Sa’adi:

Pada suatu malam, karena tak dapat tidur,
aku teringat bahwa aku mendengar
kupu-kupu bicara kepada lilin.

Aku cinta padamu,
dan aku mengerti bahwa aku akan binasa.
Akan tetapi Engkau,

mengapa gemetar dan mengapa membakar?
Lilin menjawab:
pecinta yang menertawakan Madu,

teman saya yang manis telah terpisah dariku.
Semenjak rasa manisnya jauh dariku,
seperti Farhad, pecinta yang terbunuh,

api membakar diriku. Ketika lilin bicara,
rasa sedih dari tangis-tangisan
tersebar di mukanya yang pucat.

Lilin berkata padaku:
engkau hanya pura-pura,
engkau tidak tahu apakah cinta itu.

Engkau tidak tahu menderita
dan tak tahu menyelamatkan diri,
karena dengan menyentuh api sedikit saja engkau lari.

Adapun aku, aku tetap, agar dimakan api.
Jika api cinta membakar sedikit dari sayapmu,
kamu harus berani membiarkannya

terbakar seluruhnya.
Dan ketika malam belum menghabiskan saatnya.
Seorang wanita mendadak mematikan lilin itu.

Ketika lilin itu mengeluarkan asap ke atas,
wanita itu berkata:
ini adalah hukum cinta yang tak dapat dirubah,

oh anakku. Inilah rahasia itu, jika engkau ingin
mengetahuinya. Dari api cinta tak seorang pun
dapat selamat, kecuali dengan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar