Saadi dari Shiraz (Persia)
pernah bercerita: “Ketika saya masih kecil, saya pernah sembahyang dengan
bapak, paman dan misan-misan saya. Tiap malam kami bersama-sama mendengar
bacaan sebagian al Qur’an. Suatu malam, ketika paman saya membaca satu bagian
dengan suara keras, saya memperhatikan bahwa kebanyakan orang sedang mengantuk.
Saya bilang pada bapak saya, “Tidak ada satupun dari orang-orang ngantuk ini
mendengarkan kata-kata kitab suci. Mereka tidak pernah mencapai Tuhan.” Dan
bapak saya bilang, “Anakku sayang, lihatlah jalanmu sendiri dengan mata iman
dan biarkan orang lain menjaga diri mereka sendiri”. (Paulo Coelho, Stories for
Parents, Children and Grandchildren, Volume 1).
Ziarah ke Relung Bathin
Dunia Alegoris Saadi
“Mungkinkah orang tidur
membangunkan orang yang tidur?”
(Sa’adi, Gulistan). “Barangsiapa mengikuti jalan
pencarian kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan sekaligus kehilangan
kepala rasionalitas” (Nizami, Treasury of Mysteries). Dua
kutipan ini kira-kira cocok sekali saat kita hendak membincang khazanah
intelektual dan kesusastraan sufisme, yang dalam kesempatan ini adalah
membincang sekilas tentang Gulistan, yang dapat kita terjemahkan sebagai Taman
Mawar, karya penyair sufi masyhur, Sa’adi dari Shiraz. Baiklah kita mulai, yang
dengan ini kita tak ragu lagi, bahwa Gulistan (Taman Mawar) dan Bustan (Taman
Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang
mengandung ajaran moral dan etika yang banyak dibaca orang di India, Persia,
Pakistan, Afghanistan, Asia Tengah, dan di tempat-tempat lainnya, semisal oleh
segelintir intelektual dan penulis di Indonesia yang konsen dengan khasanah
intelektual dan kesusastraan para penulis sufi.
Sementara itu, pada masa
hidupnya, Sa’di adalah seorang darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah
ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian
dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi
serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi
Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam.
Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai
hubungan dekat dengan Syekh Syihabuddin as Suhrawardi, pendiri Tarekat
Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi
terbesar sepanjang masa.
Juga, tak diragukan lagi,
pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa sedemikian besar. Tulisan-tulisannya
merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai
legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat
pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra Jerman.
Demikian pula, penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat
pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya,
maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh
para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang
komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun
merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di
benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”
Namun sebenarnya,
dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, dan analogi penuh makna yang ditulis
Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, misalnya, semua tulisan
Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Meski di
antara para pengulas sastra Barat, terbilang hanya Professor Codrington yang
memahaminya lebih dalam:
“Alegori dalam Gulistan
memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran
rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya
secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk
menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada
kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka
ungkapan-ungkapan khusus atau alegori pun digunakan.”
Tetapi tentu saja bukan
hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris)
dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sebab Sa’di sendiri
telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.
Ketika ia mengadakan
perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak
laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga
unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke
padang pasir. “Aku berujar,” kata Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam,
padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”
Begitupun penting
diketahui, ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tak hanya mengacu pada kepatuhan
biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan sang guru. Dalam ajaran Sufi tentu
ada suatu bentuk pelatihan dini, di mana bentuk pelatihan ini sebenarnya
merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat
seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di,
“maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”
Dalam hal ini, pertama
kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan
diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di
sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan
diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa,
yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan
kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus
digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Menyikapi hal ini,
mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.
Arti penting dan tempat
dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para
intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan
pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu
pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis
dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami
pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat
membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.
Prinsip atau formula ini,
yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai
waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang
tipikal dan khusus. Hikayat ketiga puluh enam, contohnya, mengungkapkan
perilaku-perilaku para darwis yang kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan
aturan moral dan tata krama (etika), bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka
hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru dan dalam.
Seorang darwis memasuki
rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka
saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja
intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam
perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi
Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan.
Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap
meja (makan), karena sudah begitu lapar.” Bait ini tak hanya mempunyai maksud
bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara: bait ini juga mengandung
maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju
pemahaman yang sebenarnya. Lalu kemudian kisah pun berlanjut, si tuan pada saat
itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi
orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”
Teranglah kepada kita
bahwa Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang
yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat
mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang
terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?”
Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan
kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai
tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah
konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian.
Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau
engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika
mempunyai kemampuan membeli.”
Dan tak hanya itu saja,
pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid
dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai
antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan
Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para
pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah
sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang
telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan
serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya.
Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena
“ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi, maka orang banyak bertanya kepada para
guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan
rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:
Seorang bijak ditanya
tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka
yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya
sandiri.” Demikian ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri
bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”
Jika demikian, tak dapat
dianggap enteng bahwa kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab
tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda
terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi
yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Tak heran bila karya Sa’di banyak
dibaca dan digemari, karena memang berisi pemikiran dan puisi-puisi yang
bersifat menghibur sekaligus kaya khasanah dan wawasan pencerahan yang mendalam
dan inspiratif. Dan beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan
salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat
diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar
(pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam
kebudayaan lain.
Rahasia-rahasia yang
disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa dalam ajaran Sufi yang sebenarnya
dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya– akan lebih banyak
menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka
ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di
menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan
sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:
Seseorang mempunyai anak
perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta
karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri
untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya,
karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan,
“Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”
Kemurahan hati dan
kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat
dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada
yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka
sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara
memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh
pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang
menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan
keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana
pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan
mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh
sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.
Sa’di juga menjelaskan
masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana: “Seorang bijak
ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang
bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan
Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan
yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu)
bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau —
tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.
Sementara itu, dalam bab
tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan
ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para
darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat
kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal
keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:
Sang singa tidak akan
memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.
Cara dan fungsi kisah ini
menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis
yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri,
sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya. Sufi
sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun
dengan orang-orang yang kurang beruntung. Sa’di menulis tema yang sangat
menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan
letak martabat yang sejati:
Seorang raja sedang
berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca
begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah
gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki
tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak
akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena
didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima
sebuah jubah kehormatan dari raja.
Dan berikut salah-satu puisi
liris dari Gulistan-nya Sa’adi:
Pada suatu malam, karena
tak dapat tidur,
aku teringat bahwa aku
mendengar
kupu-kupu bicara kepada
lilin.
Aku cinta padamu,
dan aku mengerti bahwa aku
akan binasa.
Akan tetapi Engkau,
mengapa gemetar dan
mengapa membakar?
Lilin menjawab:
pecinta yang menertawakan
Madu,
teman saya yang manis telah terpisah dariku.
teman saya yang manis telah terpisah dariku.
Semenjak rasa manisnya
jauh dariku,
seperti Farhad, pecinta
yang terbunuh,
api membakar diriku.
Ketika lilin bicara,
rasa sedih dari
tangis-tangisan
tersebar di mukanya yang
pucat.
Lilin berkata padaku:
Lilin berkata padaku:
engkau hanya pura-pura,
engkau tidak tahu apakah
cinta itu.
Engkau tidak tahu menderita
Engkau tidak tahu menderita
dan tak tahu menyelamatkan
diri,
karena dengan menyentuh
api sedikit saja engkau lari.
Adapun aku, aku tetap, agar dimakan api.
Adapun aku, aku tetap, agar dimakan api.
Jika api cinta membakar
sedikit dari sayapmu,
kamu harus berani
membiarkannya
terbakar seluruhnya.
Dan ketika malam belum
menghabiskan saatnya.
Seorang wanita mendadak mematikan lilin itu.
Ketika lilin itu mengeluarkan asap ke atas,
Seorang wanita mendadak mematikan lilin itu.
Ketika lilin itu mengeluarkan asap ke atas,
wanita itu berkata:
ini adalah hukum cinta
yang tak dapat dirubah,
oh anakku. Inilah rahasia
itu, jika engkau ingin
mengetahuinya. Dari api
cinta tak seorang pun
dapat selamat, kecuali
dengan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar