Label

Senin, 03 November 2014

Kanji Asyura –Puisi Riki Dhamparan Putra




/1/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya kita menangis
Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Kirimkan salam
kepada mawar yang terkubur
bersama lumpur
di lalaga

Mawar yang sentosa
Darah Husain yang semerbak di dalam wangi
seluruh bunga

Hari ini Asyura
Hari ini kita bergembira mengarak tabut
ke jalan raya
Menghoyaknya di pasir
Mengembalikannya pada kesucian air

Kalau badanmu luka karena terlecut
duri pandan
Kalau nafasmu sesak terbungkus sengak
bau kemenyan
Itulah saat yang baik memejam mata
Lirih pinta biar terdengar
Pucat wajah biar bersinar
karena menahan
haus dan lapar

Jangan takut
Janganlah gentar
Rasa perih bagaikan nikmat yang tersamar

Maka tabuhlah si gendang tasa
Buanglah pedang
Senduklah bubur yang mengepul hangat
di ujung petang

/2/
Bubur yang gurih
Pulut merah dan pulut putih
Gula kelapa telah dituang
Sebatang pisang
mengulur tunas di tanah lapang
Aku bertanya tentang warna bendera
Darimanakah kapas
Darimanakah benangnya?

Ketika itu Perlak dan Pasai
masih sesunyi kuil-kuil
Sekawanan burung enggang datang
Orang-orang di gerbang Samudera
menyongsongnya
dengan sebuah tarian kandil

Dulang pun di tatah
Sedah sirih berlapis gambir
Mengikat lidah dengan lidah

“Kepada sayap yang letih
dan tubuh garam yang lusuh
Gerangan apakah yang membawa tuan-tuan
datang dari negeri yang sangat jauh?

Kami tiada mempunyai emas di sini
Tidak pula sesuatu yang berharga
Terumbu telah punah
Minyak damar dan kapur barus
sudah lama tidak ada”
berkata Ninik yang bijak sambil
mengetuk gagang tongkatnya

Bubunnya mendadak ringan
Tempat duduknya yang tinggi mendadak lenyap
dari pandangan  

Tapi kawanan burung enggang itu
Lebih mengerti jalan cahaya
mereka memasuki tiang
dan mendapatkan Ninik bersembunyi
di dalamnya

“Salamum alaikum
Mengapa sejauh itu, wahai tuan
Kembalilah ke tempat semula
Di sini ruh dan tubuh begitu indah
bermadah
Di dalam sujud tidak terjatuh
Di dalam hati harus merendah

Mengapa membuang madah
Mengapa menghapus rupa
Antara hamba dengan Khalik
ada batas yang nyata
Di situlah Muhammad
menyimpan Nur Ilahinya
Di situ pula rahmat
Tercurah buat seluruh
alam semesta

Maaflah jika kami tersasar kemari
Kami tak membawa pedang
dan sebilah pun senjata tajam
Tidak pula kami bermaksud mengambil emas
memeras damar
di tambang tuan

Namun jika dibuka palang pintu
Inginlah kami berehat barang sejenak
di tikar pandan
tubuh yang payah biar berbaring
haus yang panjang sudah rindu bertemu air”

Itulah mula cerita
Sekawanan enggang datang dari seberang
Bilik yang sempit mendadak lapang

Lapang selapang-lapangnya hati
Luas selajang kuda berlari

Maka duduklah bersama-sama
Kenangkan Ninik
Kenangkan kandil dan kupu-kupu
yang mengurung diri di senyap bilik

Selembar tingkap telah dibuka
Esa hilang
Dua dibilang sesudahnya  

/3/
Selat Melaka yang megah
Bandar – bandar dipenuhi kapal yang singgah
untuk mencari rempah-rempah
Meriam dipapah

Dayung-dayung dikayuh
dengan tangan lemah
orang-orang terjajah

Sebagian armada mungkin ke timur
untuk mengambil pala
Sebagiannya ke barat
untuk mengambil emas dan kapur barus  

Sebagiannya tertinggal
di lembah dan ngalau ngalau
Menjarit sedih dari sobekan-sobekan kitab
yang tercecer di pinggiran
pulau pulau

Orang-orang itu
Entah bagaimana mereka bisa
menemukan ibu kita
di antara kuil-kuil runtuh
di pulau perca
Entah bagaimana mereka bisa
berhelat dan menikah
Selagi penghulu dan ninik mamak
dipenjara di loji-loji bangsa Eropa  

Entah bagaimana pula kelak keturunanmu, penyairku
Di pelamin kita tak ada pohon sawo yang rindang
tak ada kandis dan gelugur
tak ada asam si riang-riang

Bila aku memelukmu dalam tidurku
Bila aku membelaimu dari helai rambutku
Yang kubelai selalu hanyalah kesunyianku sendiri
Ketika antara aku dan bantal menyatu
bagaikan mayat di peti mati

/4/
Mungkin poyangku rata semua semata
di dalam sukma yang tak mengenal darah
Mungkin di dalam ruh sajak-sajakku
ada pohon pinang yang tumbuh
tanpa mengenal
warna tanah

Tetapi angin mana yang tega menyemainya
hingga ia tumbuh begitu sengsara
Tangan siapa yang tega mengupas kulitnya
di panas terik

di lereng-lereng tandus Bukit Barisan
sajakku mengelunsang merindukan riak air tasik

/5/
Nasi telah menjadi bubur
Itulah sebabnya aku menangis

Maret 2008

Kosa kata :
• gendang tasa adalah gendang yang dipergunakan saat ritual menghoyak Tabut. Jumlahnya dua belas.
• Lalaga, peti kayu dalam tabut yang melambangkan kubur Imam Husain
• Pulut merah dan pulut putih, beras ketan yang warnanya merah dan putih.
• Perlak, Pasai, dan Samudera kerajaan Islam pertama di Aceh
• Enggang, burung enggang. Tapi dalam hikayat dan tambo alam Aceh dan Minangkabau merupakan perlambang dari ninik yang datang ke pulau Perca dari seberang.
• poyangku rata semua semata, diambil dari baris sajak Amir Hamzah berjudul Doa Poyangku.
Asyura adalah hari ke sepuluh bulan Muharam. Pada hari ini masyarakat Islam tradisi di beberapa tempat di Nusantara seperti di Aceh, pinggiran Sumatra Barat dan beberapa tempat di Jawa memperingatinya dengan berbagai macam ritual. Tradisi ini pada mulanya untuk memperingati kematian Imam Husain di Karbala. Di antaranya membuat Kanji merah – putih atau yang lebih dikenal dengan Kanji Asyura. Di Pariaman dan di Bengkulu peringatan Asyura dilakukan upacara menghoyak Tabut. Di Ternate dengan Badabus dan beberapa tradisi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar