Label

Minggu, 25 Mei 2014

Tragedi dari Persia, Rustam dan Sohrab


“Kisah ini menginspirasi Ivan Turgenev ketika menulis novel Father and Sons, dan juga Orhan Pamuk dalam novel Snow-nya, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia itu. Berikut kisah singkatnya”

Tersebutlah seorang pahlawan besar Persia bernama Rustam dan Sohrab. Mereka adalah ayah dan anak, namun mereka tidak pernah bertatap muka sampai suatu hari mereka harus beradu pedang, berjuang mati-matian di area pertempuran sebagai dua komandan dari dua pasukan yang saling bermusuhan.

Cerita ini dimulai saat Rustam harus meninggalkan rumah beberapa saat setelah kelahiran putranya, Sohrab, untuk pergi mengemban tugas sebagai komandan dari sang Kaisar Persia. Tugas itu adalah menaklukan dunia. Sebelum meninggalkan kedua orang yang dicintainya itu, Rustam memberikan jimat kepada isterinya, dan berpesan agar jimat itu diikatkan di tangan kanan anaknya, yang dengan jimat dan “petanda” tersebut dia akan mengenali anaknya bila suatu saat bertemu.

Sejak usia belia putra komandan Persia ini menggabungkan dirinya dengan pasukan Yunani, entah karena bakat turunan atau karena faktor lainnya, dan begitulah karir Sohrab dalam ketentaraan melejit bagaikan rising star yang tak pernah diduga. Kemampuan dan kekuatannya menghantarkan dirinya menjadi komandan pasukan Yunani dalam waktu singkat.

Ketika suatu hari  kedua imperium tersebut bertemu di medan pertempuran, berjumpalah sang anak dan sang ayah yang telah berpisah sangat lama tersebut, dan karenanya mereka pun tidak saling mengenali satu sama lain.

Di medan laga itu, tentu saja karena keberanian mereka masing-masing, mereka pun bertempur habis-habisan, hingga selama lima belas hari tanpa berhenti. Ketika itu Rustam mulai kehabisan tenaga, dan dengan cara yang licik berhasil membuat putranya tersandung dan terjatuh.

Seketika, saat putra yang tak dikenalinya itu tersungkur, dengan sekuat tenaga dan gengan segera kesempatan baik itu tidak di sia-siakan oleh Rustam. Saat itu, Rustam menikam Sohrab tepat di dadanya. Sohrab menjerit, sembari berkata lantang, ”Hai orang malang! Berhati-hatilah terhadap balas dendam Rustam, ayahku. Untuk perbauatn keji ini, dia pasti akan memberikan ganjaran yang setimpal kepadamu.”

Syahdan, bagai petir keras menyambar dada Rustam, Rustam pun terhuyung-huyung ketika mengenali jimat yang ada di lengan kanan Sohrab, jimat yang dulu ia berikan kepada istrinya agar dikenakan ke tangan kanan anaknya itu. Seketika itulah, tubuh Rustam pun menggigil bisu, mendekap Sohrab dan mencium dahinya, ”Anakku... anakku. Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?”

Namun, luka yang diderita putranya tersebut sangat mematikan, dan secepat kilat Rustam pun menunggangi kudanya, menuju Sang Raja, satu-satunya orang yang mempunyai obat penyembuh untuk luka yang mematikan itu. Tetapi, Sang Raja yang telah mendengar kehebatan Sohrab menolak  permintaan Rustam.

Ketika itu, bagaikan pengemis, Rustam, sang ayah yang malang itu, mengiba menjatuhkan diri di kaki Sang Raja, sambil meyakinkan Raja bila kelak anaknya sembuh, anaknya akan menggantikan dirinya dan lebih berhasil dalam misi menaklukan dunia. Celakanya, Sang Raja tetap bergeming. Dan, Sohrab, sang anak yang dilahirkan hanya untuk meninggal di tangan ayahnya sendiri itu, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. 


Selasa, 20 Mei 2014

Fungsi Kritik Sastra


“Yang saya maksud kritik di sini adalah komentar dan jabaran karya seni dalam bentuk kata-kata tertulis, karena penggunaan secara umum kata kritik selalu mengacu pada tulisan. Kritik, di sisi lainnya, harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan pembetulan suatu selera. Maka, tugas kritikus kelihatan lebih jelas, dan relatif mudah memutuskan apakah ia menghasilkan kritik yang baik atau tidak. Kalau dipelajari lebih dalam lagi, kritik adalah kegiatan bermanfaat yang tidak sederhana dan teratur, tidak seperti amatiran yang bisa dengan mudah didepak, yang tidak lebih baik daripada ahli pidato di taman tiap hari Minggu, yang belum sampai pada tahap seseorang yang punya perbedaan. Kritik, bisa dikatakan, suatu tempat sepi yang didalamnya terdapat usaha kooperatif. Kritikus, kalau orang itu ingin menampilkan keberadaannya, seharusnya selalu berusaha mendisiplinkan prasangka dan keanehannya (sifat yang biasanya dilekatkan pada kritikus) dan mengubah perbedaannya sebanyaknya sesama koleganya, dalam mencapai penilaian benar yang sama. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan, menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya”

Oleh T.S. Eliot*

I

Setelah menulis kajian hubungan seni lama dan baru beberapa tahun yang lalu, di sana saya membentuk suatu pandangan yang masih saya ikuti. Berikut ini saya kutip kalimat dalam tulisan tersebut, karena tulisan saya yang sekarang ini merupakan aplikasi prinsip yang ada di sana:

Pencapaian sastra yang telah ada membentuk keteraturan yang ideal di antara mereka sendiri, yang diubah oleh munculnya suatu karya seni yang betul-betul baru di dalamnya. Keteraturan yang telah ada menjadi lengkap sebelum karya seni baru lainnya muncul lagi, karena keteraturan untuk mempertahankan setelah diikuti dengan lekat dengan kebaruan, keseluruhan keteraturan yang ada mesti berubah, sekecil apapun. Dan begitu juga dengan pola hubungan, proporsi, nilai tiap karya seni secara keseluruhan, semua diatur kembali, dan, inilah yang dimaksud dengan konformitas antara yang lama dan yang baru. Siapapun yang menyetujui ide keteraturan, apakah itu dalam bentuk sastra Eropa ataupun Inggris akan mengetahui bahwa bisa saja masa lalu diubah oleh masa sekarang seperti halnya masa sekarang yang juga ditentukan oleh masa lalu.

Yang saya bahas dalam tulisan ini adalah tentang seniman dan kepekaan akan tradisi, yang menurut saya, seorang seniman harus miliki. Masalah umum lainnya adalah tentang keteraturan, dan fungsi kritik juga termasuk secara esensial ke dalam masalah keteraturan. Pemikiran saya tentang sastra, sampai sekarang, bahwa sastra dunia, sastra Eropa, sastra suatu negeri, bukanlah suatu koleksi tulisan individu-individu, tapi merupakan “keseluruhan bagian (organic wholes)”, sebagai sistem-sistem dalam hubungan, dan hanya dalam hubungannya dengan karya seni sastra individu, dan dalam karya seniman individu lah mereka punya arti penting. Karenanya, seorang seniman terikat dan mengabdi pada semua yang ada di luar dirinya, ia harus menyerahkan dan mengorbankan dirinya supaya mendapatkan dan meraih keunikan posisinya. Warisan dan sebab umum menyatukan seniman secara sadar dan tak sadar harus disadari bahwa penyatuan itu biasanya secara tidak sadar.

Seniman di mana pun dan kapan pun, saya percaya, adalah komunitas tak berkesadaran. Dan, insting untuk hidup teratur menyuruh kita untuk tidak meninggalkan bahayanya ketidaksadaran dari apa saja yang kita usahakan dengan sadar, dengan begitu, kita pun mendapatkan kesimpulan bahwa apa yang terjadi secara tidak sadar membuahkan hasil, dan membentuk suatu tujuan, jika saja kita membuatnya dengan suatu usaha yang sadar. Namun, seniman yang tidak bermutu tentu tidak mampu menyerahkan dirinya pada tindakan apapun, karena tugas utamanya adalah kesenangannya pada hal remeh yang menjadi pembedanya, hanya orang yang berani memberi begitu banyak yang bisa melupakan dirinya sendiri tenggelam dalam karyanya lah yang bisa bekerja sama, saling bagi, dan memberikan kontribusi.

Apapun pandangan orang tentang seni, tentunya akan mengikuti suatu pandangan tertentu. Meski demikian, pasti ada kesamaan pandangan dalam hal kritik. Yang saya maksud kritik di sini adalah komentar dan jabaran karya seni dalam bentuk kata-kata tertulis, karena penggunaan secara umum kata kritik selalu mengacu pada tulisan, seperti yang Matthew Arnold gunakan dalam eseinya (The Function of Criticism at the Present Time, 1864), untuk itu, saya membuat beberapa kualifikasi tentang kritik.

Saya pikir, tidak ada eksponen kritikus (dalam artian terbatas) yang pernah membuat asumsi yang tidak masuk akal bahwa kritik adalah kegiatan yang di dalamnya ada akhir atau tujuan (aututelic). Saya tidak menyangkal bahwa seni dimaksudkan untuk mencapai suatu akhir yang jauh melampauinya, tapi seni tidak harus menyadari akan akhir ini, walaupun seni melayani fungsinya entah sebagai apa saja, yang menurut teori tentang nilai, bahwa seni lebih baik mengabaikan akhir atau tujuan ini. Kritik, di sisi lainnya, harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan pembetulan suatu selera. Maka, tugas kritikus kelihatan lebih jelas, dan relatif mudah memutuskan apakah ia menghasilkan kritik yang baik atau tidak. Kalau dipelajari lebih dalam lagi, kritik adalah kegiatan bermanfaat yang tidak sederhana dan teratur, tidak seperti amatiran yang bisa dengan mudah didepak, yang tidak lebih baik daripada ahli pidato di taman tiap hari Minggu, yang belum sampai pada tahap seseorang yang punya perbedaan. Kritik, bisa dikatakan, suatu tempat sepi yang di dalamnya terdapat usaha kooperatif. Kritikus, kalau orang itu ingin menampilkan keberadaannya, seharusnya selalu berusaha mendisiplinkan prasangka dan keanehannya (sifat yang biasanya dilekatkan pada kritikus) dan mengubah perbedaannya sebanyaknya sesama koleganya, dalam mencapai penilaian benar yang sama. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kita mulai mencurigai bahwa suatu kritik dipengaruhi oleh latar kehidupannya menjadi sikap kekerasan dan ekstrim terhadap lawan kritik lainnya, atau pada sikap aneh tak bermamfaat yang ia punyai, yang ia rancang dan pertahankan, dan ia tidak menghiraukan pendapat lainnya. Kita pun tergoda untuk membuang semua yang tidak sesuai dengan pendapat kita.

Setelah membuang semua itu, atau setelah rasa marah hilang, kita lalu mulai menyadari bahwa ternyata ada banyak buku, esei-esei tertentu, kalimat, orang-orang yang memang ahlinya, dan semua ini “berguna” buat kita. Langkah selanjutnya adalah kita mulai mengklasifikasi, mencari tahu, prinsip apa yang akan dipegang dalam menentukan buku acuan, apa tujuannya dan metode kritik mana yang akan diikuti.

II

Pandangan tentang hubungan karya seni dengan seni, karya sastra dengan sastra, kritik dengan kritik, yang saya jelaskan sebelumnya, bagi saya kelihatannya bersifat alami dan jelas. Saya berterimakasih pada Mr. Middleton Murry (1889-1957, kritikus sastra dan pada masa hidupnya menjadi editor Adelphi yang ia dirikan) atas persepsi permasalahan yang sering menjadi pertengkaran ini, atau tentang pandangan saya bahwa adanya penyelesaian akhir masalah ini. Rasa terima kasih saya buat Mr. Murry tak terkira. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan, menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya. Tapi tidak demikian dengan Mr. Murry. Ia sadar bahwa ada posisi yang jelas yang harus diambil, dan sesekali seseorang harus berani menolak dan memilih. Ia penulis yang sangat dikenal dalam tulisan sastranya beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa era Romantis dan Klasik hampir sama, dan era Klasik Perancis yang sebenarnya adalah era yang menghasilkan katedral-katedral Gothic, Jeanne d’Arc misalnya. Yang saya tidak setuju tentang pernyataan Mr. Murry tentang era Klasik dan Romantis adalah bahwa, perbedaan yang tampak bagi saya adalah perbedaan antara yang lengkap dan yang terpecah, yang telah dewasa dan yang tidak matang, yang teratur dan yang kacau. Meski demikian, sebenarnya Mr. Murry ingin menunjukkan bahwa paling kurang terdapat dua sikap terhadap sastra dan apapun juga, dan Anda tidak bisa pegang dua-duanya. Dan sikap yang ia ambil menyiratkan bahwa yang satu tidak bisa dipakai di Inggris. Alasannya adalah karena ini isu nasional, isu rasial.

Mr Murry menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas. Ia mengatakan, “Katolik” adalah prinsip otoritas spiritual yang tidak dipertanyakan di luar individu, prinsip sastra era Klasik juga begitu”. Dalam lingkaran diskusi tentang pernyataan Mr. Murry, defenisi ini kelihatannya tak disangsikan lagi, meski tidak semuanya begitu yang bisa dikatakan tentang Katolik maupun era Klasik. Kita ada yang setuju dengan pernyataan Mr. Murry, bahwa era Klasik percaya manusia tidak bisa melanjutkan hidup tanpa kepatuhan pada sesuatu di luar diri mereka. Saya menyadari bahwa istilah “luar” dan “dalam” mengundang pertanyaan yang tak terbatas, dan pakar psikologi tidak akan mentolerir diskusi seperti ini, tapi saya pikir saya dan Mr. Murry bisa menyutujui bahwa pertentangan ini memadai, dan memaklumi ketidaksetujuan teman psikolog kami. Jadi, kalau Anda membayangkan sesuatu ada di luar sana, maka di luar lah ia. Kalau seseorang tertarik pada politik, saya pikir ia tentunya mengakui kepatuhannya pada prinsip-prinsip politik, atau pada bentuk pemerintahan, pada suatu monarki, dan kalau seseorang tertarik pada agama, maka punya agama lah ia, atau gereja, dan kalau ia tertarik pada sastra, ia tentu mengakui prinsip kepatuhan yang telah saya jelaskan sebelumnya. Namun, ada pilihannya, seperti yang dikatakan Mr. Murry. Menjadi “penulis Inggris, agamawan Inggris, negarawan Inggris, tidak mewarisi tradisi dari para pendahulunya, karena yang mereka wariskan hanyalah suatu rasa, kepekaan bahwa pada usaha akhirnya, mereka harus bergantung pada suara dari dalam (the inner voice).” Pernyataan ini kelihatannya memang menyelesaikan beberapa permasalahan, pernyataan ini membanjiri Mr. Lloyd George dengan cahaya. Tapi kenapa “pada usaha akhir (in the last resort)? Apakah ini berarti menghindari perintah suara terdalam keluar pada suatu kondisi ekstrim terakhir? Yang saya yakini adalah bahwa bagi siapa yang punya suara dari dalam ini cukup siap untuk mendengarkannya, dan tak akan mendengarkan yang lainnya lagi. Sebenarnya, suara dari dalam kedengarannya sangat sama dengan prinsip lama yang diformulasikan oleh kritikus senior (Matthew Arnold, 1869, dalam karyanya Culture and Anarchy) dalam satu frase yang akrab sekarang “melakukan sesuatu sebagaimana yang seseorang sukai”. Para pemilik suara dari dalam ini suka menonton pertandingan sepak bola di Swansea, sambil mendengarkan suara dari dalam, menghirup pesan abadi kesia-sian, ketakutan dan nafsu.

Mr. Murry akan mengatakan, dengan menunjukkan suatu pembenaran, bahwa ini merupakan kesalahan penasiran yang parah. Ia mengatakan: “kalau mereka itu (penulis Inggris, agamawan Inggris, negarawan Inggris) menggali lagi lebih dalam dalam usaha mereka memperoleh pengetahuan diri (self-knowledge) – semacam penggalian diri yang tidak hanya dengan intelek, tapi juga dengan keseluruhan manusia – mereka akan sampai pada suatu diri yang universal” – tentunya berupa latihan yang jauh melebihi kekuatan dalam antusias menonton pertandingan sepak bola. Tapi menurut saya, ini adalah latihan yang cukup menarik untuk ditulis dalam beberapa buku panduan praktik Katolik. Namun saya yakin juga, bahwa praktisi Katolik, dengan kemungkinan pengecualian beberapa pelaku bid’ah, tidak meragukan Narcissi, karena dalam Katolik tidak mempercayai Tuhan dan dirinya identik. Mr. Murry menambahkan, “manusia yang betul-betul mempertanyakan dirinya pada akhirnya akan mendengarkan suara Tuhan”. Dalam teorinya, hal ini akan berujung pada suatu bentuk pantheisme (menyatunya Tuhan dengan ciptaanNya) yang saya tahu bukan khas Eropa – sama halnya dengan Mr. Murry yang mendukung bahwa aliran “Klasik” bukanlah Inggris. Demi hasil yang praktis, orang bisa saja mengacu pada sajak Hudibras (sajak panjang Samuel Butler, 1612-80, yang menyindir sekte sesat puritan).

Saya rupanya tidak menyadari bahwa Mr. Murry adalah pengikut suatu sekte berpengaruh, sampai saya membaca kolom editorial harian besar yang mengatakan, “pakar jenius luar biasa dan representatif telah muncul di Inggris, mereka tidak hanya semata-mata ekspresi karakter Inggris, yang tetap berdiam di dasar sana dengan teguh “humoris” dan “non-konformis”. Penulis ini setengah-setengah dala menggunakan sifat “semata-mata”, dan dengan jujur tanpa saling menyifatkan “kehumorisan” pada “unsur Teutonik dalam diri kita yang tak bisa diraih”. Ini mengejutkan saya karena Mr. Murry dan suara dari dalam lainnya, tidak satupun yang terlalu teguh atau terlalu toleran. Pertanyaannnya adalah, yang pertama, tidak akan alamiah atau biasa buat kita, jadi, apa itu yang benar? Tak satu pun dari keduanya yang lebih baik dari yang lainnya, atau kalau bukan begitu ini tidak penting. Tapi bagaimana bisa suatu pilihan tidak penting lagi? Pastinya ini adalah masalah asal usul ras, atau pernyataan yang tak lebih seperti Perancis begini, dan Inggris sebaliknya, ini tidak akan menjawab pertanyaan: pandangan antithesis mana yang benar? Dan saya tidak bisa memahami kenapa oposisi antara Klasik dan Romantisme seharusnya sudah cukup saja di negeri Latin (begitulah yang dikatakan Mr. Murry) dan yang sama sekali tidak penting buat kita. Karena, kalaupun Perancis secara alamiah bersifat klasikal, kenapa harus ada “oposisi” di Perancis sendiri, yang lebih banyak lagi di sini? Dan kalau Klasik tidak alamiah buat mereka, tapi sesuatu yang harus diraih, kenapa tidak diraih saja di sini? Apakah Perancis pada tahun 1600 bersifat klasikal, dan Inggris pada tahun yang sama bersifat romantis? Perbedaan yang lebih penting menurut saya yaitu Perancis pada tahun 1600 telah menulis prosa yang lebih matang.

III

Diskusi ini kelihatannya sudah menyeret kita keluar dari jalur subjek tulisan ini. Tapi cukup beralasan untuk melihat perbandingan Mr. Murry tentang Otoritas Luar (Outside Authority) dengan Suara Dari Dalam (Inner Voice). Karena, bagi orang yang mematuhi (obey) suara dari dalam ini (barangkali, kata mematuhi/obey tidak terlalu pas di sini), saya tidak bisa bilang apa-apa lagi tentang kritik dan semuanya tidak akan bernilai lagi. Karena mereka tidak akan tertarik dengan usaha mencari prinsip yang sama untuk tujuan kritik. Buat apa prinsip, kalau sudah punya suara dari dalam? Kalau saya suka sesuatu, itu lah yang saya ingini, dan kalau Anda sudah merasa cukup, teriakkan bersama, sukailah itu, itulah yang Anda (yang tidak menyukainya) harus ingini. Mr. Clutton Brock (kritikus asal Inggris) bilang, bahwa hukum tentang seni semuanya adalah kasus hukum. Kita tidak hanya suka apapun yang kita ingin sukai tapi kita bisa menyukainya karena adanya alasan yang kita pilih. Kenyataannya, kita tidak menaruh perhatian pada kesempurnaan sastra sama sekali – karena pencarian kesempurnaan adalah pertanda kepicikan, karena ini menunjukkan bahwa penulis mengakui otoritas spiritual di luar dirinya yang tak terbantah, yang padanya ia selalu berusaha untuk berdamai (conform). Kita tidak tertarik pada seni sama sekali. Kita tidak akan menyembah tuhan Baal. “Prinsip kepemimpinan klasikal adalah bahwa penyembahan ditujukan untuk perkantoran, atau tradisi, tapi tidak untuk manusia”. Yang kita inginkan adalah manusia, bukan prinsip.

Demikianlah sang suara dari dalam berbicara. Ini adalah suara, yang demi kenyamanan, kita beri nama saja, saran saya adalah, Whiggery (Whiggery berasal dari kata Whig, pada abad 16-an Inggris, partai politik yang menentang Raja James, Duke of York yang Katolik sewaktu menaiki takhta. Partai ini mendorong pembatasan Monarki, mendorong reformasi sosial, Industrialisai, dan liberalisme).

IV

Sekarang kita tinggalkan mereka yang punya kepastian panggilan dan pilihan hidup (kalimat ini adalah alusi ironis doktrin penyelamatan Calvinis) dan kembali pada mereka yang dengan memalukan bergantung pada tradisi dan kumpulan kebijaksanaan kuno, dan membatasi tulisan ini pada mereka yang saling bersimpati dalam diskusi yang rentan ini, ada baiknya kita mengomentari istilah “kritikal” dan “kreatif” oleh seorang yang tempatnya, secara keseluruhan, bersama perkumpulan persaudaraannya yang rentan, Matthew Arnold. Kelihatannya, ia terlalu jauh membedakan kedua istilah ini, ia meninjau dengan luas pokok-pokok penting kritik dalam kegiatan kreasi itu sendiri. Barangkali memang, kegiatan yang lebih menyita pikiran penulis dalam menghasilkan karyanya adalah kegiatan mengkritisi itu, penyelidikan lebih dalam, penggabungan, usaha membangun ide, membuang ide yang tidak perlu, koreksi, dan pengujian: inilah seabrek kegiatan kritik dan kreatifitas.

Saya tetap berpendapat bahwa kritik paling vital dan tertingi seharusnya dilakukan oleh penulis yang terlatih dan punya keahlian dalam pekerjaannya, dan (seperti yang sudah saya katakan sebelumnya) ada penulis kreatif yang lebih superior dibanding lainnya karena daya kritisnya memang superior. Ada kecenderungan, saya pikir ini kecenderungan Whiggery, untuk mencela usaha luar biasa seniman ini, dengan mengemukakan tesis, bahwa seniman hebat adalah seniman yang tidak berkesadaran, yang secara tidak sadar memberi label diri mereka dengan Terobosan Kekacauan (Muddle Through). Tapi di antara kita yang tidak punya suara dari dalam (Inner Deaf Mutes), kadang terimbangi oleh suatu kesadaran sederhana, yang, meski tanpa kehebatan kata-kata agung, tetap menganjurkan kita untuk berbuat yang terbaik, mengingatkan kita bahwa karya kita harus sebisanya bebas dari cacat apapun (untuk menebus kekurangan inspirasi mereka), pendek kata, hanya membuang-buang waktu saja. Kita sadar juga, bahwa diskriminasi kritis yang ditujukan pada kita hanya ada pada orang yang cepat sekali beruntung dalam suatu kreasi yang sangat hebat, kita tidak berasumsi bahwa hanya karena suatu karya sudah ditulis tanpa adanya kritikan yang jelas, bukan berarti tidak ada usaha kritis yang telah dilakukan. Kita tidak tahu usaha sebelumnya yang telah dipersiapkan, atau yang sedang berlangsung, dalam cara kritis, sepanjang waktu dalam pikiran para pencipta ini.

Tapi afirmasi ini membuat kita kecut juga. Jika begitu besar bagian dari suatu penciptaan yang juga masuk dalam kegiatan kritik, tidakkah bagian besar itu dinamakan “tulisan kreatif” betul-betul kreatif? Jika demikian, tidak adakah kritik yang kreatif dalam artian biasa? Kelihatannya tidak ada jawaban untuk ini. Saya mengajukan suatu aksiomatisasi bahwa suatu kreasi, karya seni, adalah bersifat autotelic, adanya tujuan jelas dalam dirinya, dan kritik, dilihat dari defenisinya, adalah tentang sesuatu yang lain darinya. Dengan begitu, Anda tidak bisa menyatukan penciptaan dengan kritik sebagaimana Anda menggabungkan kritik dengan penciptaan. Aktivitas kritikal sampai pada pencapaian tertingginya, dalam suatu penyatuan penciptaan apa yang dilakukan seorang seniman.

Namun begitu, tak seorang penulis pun yang bisa sepenuhnya bekerja sendiri, dan banyak penulis kreatif punya kegiatan kritis yang tidak sepenuhnya tertumpah pada karyanya sendiri. Ada yang menjaga daya kritis mereka dengan melakukan latihan tanpa aturan jelas, ada yang menyelesaikan karya mereka, ada yang terus melanjutkan kegiatan kritik mereka dengan selalu mengomentarinya. Tidak ada aturan umumnya. Karena setiap orang bisa belajar dari orang lain, dan mereka saling mengambil dan memberi. Bahkan ada yang sangat berguna bagi orang yang bukan penulis.

Pada suatu waktu saya tergerak untuk mengambil suatu sikap bahwa kritik yang pantas untuk dibaca hanya kritik yang dipraktikan dengan baik, dengan selera seni yang mereka punya. Tapi perlu saya perjelas lagi, sebagaimana usaha saya dalam mencari suatu rumus yang mencakup semua yang ingin saya nyatakan, meski ini melebihi dari apa yang saya inginkan. Kualifikasi paling penting yang bisa saya temukan, menyangkut pentingnya kritik bagi para praktisinya, adalah bahwa suatu kritik harus punya kepekaan akan fakta yang dikembangkan dengan sangat tinggi. Ini tidak sepele dan semata masalah bakat. Ini bukan tentang seseorang yang dengan mudahnya mendapatkan pujian orang banyak. Kepekaan akan fakta (the sense of fact) adalah sesuatu yang sangat lambat berkembang, dan perkembangannya yang lengkap mungkin berarti puncak peradaban. Begitu banyak fakta lapangan yang harus dikuasai, dan fakta lapangan terluar kita, pengetahuan, kontrol, terikat dengan kesenangan yang mencandu dalam bidang yang jauh lebih luas lagi. Buat anggota Browning Study Circle, diskusi para penyair tentang puisi kelihatannya membosankan, teknikal, dan terbatas. Diskusi ini hanya berkisar pada praktisi yang mengklarifikasi dan mengurangi fakta yang membuat segalanya jadi kabur, karena teknik tak memadai yang dipakai, dan bagi yang telah menguasainya, inilah yamg membuat anggota diskusi senang, hanya yang ringkas, terlacak dan bisa dikendalikan. Itulah yang menjadi satu alasan nilai kritik dari para praktisinya – ia berurusan dengan fakta darinya, ia bisa membantu kita untuk mengerjakan hal yang sama.

Pada tiap tingkatan kritik, saya menemukan kesamaan yang selalu hadir. Ada bagian besar tulisan kritikal yang merupakan “penafsiran” si penulis, suatu karya. Ini tidak berada dalam tingkatan Kegiatan Diskusi (Study Circle), ini kadang terjadi saat seseorang bisa mengerti yang lainnya, atau penulis kreatif, yang bisa ia berkomunikasi dengannya meski setengah-setengah, dan kita merasa ia benar dan memberikan pemahaman. Sulit menyatakan “penafsiran” dengan bukti luar. Bagi orang yang punya kemampuan pada tingkatan ini tentu akan menjadi bukti sendiri. Tapi siapa yang akan membuktikan keahliannya sendiri? Dan setiap kesuksesan untuk jenis tulisan ini, selalu ada ribuan banyaknya amatiran. Bukannya mendapatkan suatu pemahaman, tapi malah fiksi yang didapatkan. Jalan keluarnya adalah dengan cara aplikasi terus menerus, dengan cara pandang orisinil yang akan menuntun Anda. Namun begitu, tak ada seorangpun yang akan menjamin kompetensi Anda, inilah dilemanya.

Kita harus memutuskan apa yang berguna dan yang tidak, meski kita tidak begitu ada kemampuan untuk melakukannya. Tapi cukup meyakinkan bahwa “penafsiran” (di sini saya tidak bermaksud menyentuh elemen jumlah baris dalam karya sastra) akan diakui kalau ia bukan penafsiran sama sekali, tapi hanya dengan meletakkan posisi pembaca sebagai pemilik fakta yang kalau tidak begitu ia akan kehilangan. Dari pengalaman saya di perkuliahan Ekstensi (kelas dewasa yang diadakan pada malam hari di perguruan tinggi), saya temukan ada dua cara bagaimana membimbing siswa untuk menyukai sesuatu dengan kesukaan yan benar. Pertama, dengan memperkenalkan pada mereka seleksi bacaan dengan fakta yang lebih sederhana – bisa itu kondisinya, setting, dan asal usul. Kedua, dengan memupuk mereka dengan bacaan bermutu sehingga mereka tidak akan berprasangka menentangnya. Banyak cara bagaimana membantu mereka dalam hal drama periode Elizabeth: seperti pembacaan dengan keras puisi T.E. Hulme yang berfungsi memberikan efek langsung puisi tersebut.

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, dan yang juga dijelaskan oleh Remy de Gourmont sebelum saya (seorang pakar tentang fakta, yang kadang-kadang saya khawatirkan, ia bergerak ke luar dari bidang sastra, seorang pakar ilusi fakta), perbandingan dan analisis adalah alat utama kritik. Memang, sebagai alat, yang mesti dirawat, dan tidak digunakan dalam penyelidikan novel Inggris. Perbandingan dan analisis tidak digunakan dengan kesuksesan yang menyolok oleh penulis kontemporer. Anda harus tahu apa yang dibandingkan, dan apa yang dianalisa. Mendiang Profesor (W.P) Ker adalah seorang yang ahli dalam cara ini. Perbandingan dan analisii hanya butuh bangkai mati di atas meja, tapi penafsiran selalu menghasilkan bagian-bagian tubuh dari kantongnya, dan membenarkannya kembali. Buku apa saja, esei, catatan dalam Notes and Queries, yang menghasilkan fakta bahkan dari bagian terendah sekalipun dari suatu karya seni yang malah lebih baik dibanding sembilan persepuluh jurnal kritik paling berpengaruh, atau dalam buku. Kita mengira bahwa kita adalah tuan, bukan budaknya fakta, dan kita tahu bahwa penemuan kertas tagihan cucian Shakespeare tidak akan berguna banyak buat kita, tapi kita harus selalu mempertahankan penilaian akhir seperti halnya kesia-siaan penelitian yang telah menemukan kertas tagihan tersebut, dalam suatu kemungkinan bahwa ada orang jenius yang akan muncul dan tahu gunanya untuk menaruh kertas itu kembali. Titel, sesederhana apapun, ada haknya untuk itu, dan kita menganggap kita tahu bagaimana cara menggunakannya dan membuangnya. Proses perbanyakan buku kritik dan esei bisa saja menciptakan, dan saya sudah lihat hal ini terjadi, selera bacaan yang tidak sehat, dimana bacaan karya seni lebih diutamakan daipada membaca karya itu sendiri, hal ini bisa menjadi sekedar penyaluran pendapat daripada mendidik selera bacaan. Namun, fakta tidak bisa mengalahkan selera, pada tingkat paling parah, hal ini membuat selera pembaca tidak berkembang – seperti bacaan sejarah tentang yang antik-antik, biografi, – semua di bawah ilusi bahwa ini akan membantu yang lainnya. Orang yang paling parah dan korup di sini adalah orang yang kerjanya menyalurkan opini atau sekedar kesenanganm, dan Goethe dan Coleridge juga termasuk – lihat saja karya Coleridge, Hamlet: jujurkah penyelidikannya sejauh data yang digunakannya, atau apakah ini hanya semacam usaha Coleridge untuk tampil dalam kostum yang centil menarik?

Kita belum juga menemukan semacam tes yang bisa diaplikasikan orang lain, kita sudah membuka jalan selebar-lebarnya untuk melahirkan buku-buku yang tak terhitung banyaknya dan yang juga tidak bermutu, tapi saya pikir, kita sudah menemukan suatu tes, yang bagi siapa saja yang mampu menggunakannya, akan membuang bagian-bagiannya yang ada cacatnya. Dengan tes ini kita bisa kembali pada pernyataan awal tentang kebijakan sastra dan kritiknya. Untuk jenis karya kritik yang kita akui, ada kemungkinan kegiatan saling kerja sama, dengan kemungkinan lebih jauh lagi untuk sampai pada sesuatu di luar diri kita sendiri, yang untuk sementara waktu kita sebut kebenaran. Tapi kalau ada orang yang tidak puas karena saya belum memberikan defenisi kebenaran, atau fakta, atau realitas, saya hamya bisa mengatakan rasa maaf karena bukan itu tujuan saya, karena saya hanya mencari suatu skema yang di dalamnya, apapun itu adanya, mereka pantas untuk itu, jika memang mereka ada. (*)

*Thomas Stearns Eliot (1888-1965) adalah salah satu penyair terbesar dan kritikus sastra yang sangat berpengaruh. Lahir di St. Louis, Missouri, lulusan universitas Harvard dan Oxford, dan juga pernah belajar di Perancis dan Jerman. Pada 1914 ia menetap di Inggris dan menjadi warga negara Inggris pada 1927. Puisi awal pentingnya, The Love Song of J. Alfred Prufrock muncul pada 1915. The Waste Land, buku puisi yang mengangkat namanya menjadi suara puitis generasinya, terbit pada 1922. Ia berteman dengan sang penyair jenius Ezra Pound dan juga menerbitkan esei dan ulasan sastra yang terkumpul dalam The Sacred Wood (1920). Pada 1922, Eliot mendirikan jurnal The Criterion, yang ia edit sampai 1939. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai bankir, Eliot bergabung dengan penerbit Faber and Faber dan akhirnya menjabat sebagai direktur. Dalam kata pengantar sebuah kumpulan esei, For Lancelot Andrewes (1928), Eliot menegaskan keyakinannya sebagai, “pengikut sastra klasik, berhaluan politik monarki, beragama anglo-katolik”, dan dalam beberapa dekade, sikapnya ini dibuktikan dalam karyanya, baik prosa maupun sajak. The Collected Poems 1909-35 (1936) dan Four Quartets (1944) adalah karya puisi utamanya. Pada 1935, ia menghasilkan drama liris Murder in the Cathedral, dan diikuti oleh karya sejenis yang paling sukses, The Cocktail Party (1950). Pada 1948, T.S. Eliot dianugerahi penghargaan Nobel Sastra dan Order of Merit.

Senin, 19 Mei 2014

Gagrak “Gadis Pingitan”


Oleh Sulaiman Djaya*

Berupaya menarasikan lingkungan dan geografi sekaligus menghadirkan lingkungan dan pengalaman penulisnya menjadi sejumlah cerita pendek, itulah simpulan pertama yang muncul ketika saya membaca buku “Gadis Pingitan”. Lingkungan dan geografi tersebut tentu saja pada akhirnya menyangkut budaya dan kepercayaan serta tingkah-polah manusia-manusianya, entah sebagai individu atau sebagai masyarakat yang memiliki dan mempercayai lanskap kepercayaan dan mitologi mereka. Nuansa etnisitas, atau katakanlah lokalitas, begitu dominan dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe yang kita bicarakan ini. Bahkan dapat dikatakan, seluruh cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” berkutat pada soal-soal tradisi, ritus, dan mitologi yang sifatnya etnik dan lokal tersebut.  

Selanjutnya, yang katakanlah ini sebagai simpulan kedua ketika saya membacanya, etnisitas dan lokalitas yang dinarasikan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe didominasi oleh kultur dan mitologi masyarakat pesisir dan nelayan, meski selebihnya terkait dengan mitologi dan kultur masyarakat pedalaman dan pertanian, dari Banten hingga Jawa Timur, dari Tuban hingga Pulau Tunda. Dari soal jimat, kawalat, jampi-jampi, hingga mantra. Seakan-akan cerpen-cerpen dalam buku “Gadis Pingitan” hendak menghadirkan kepada khalayak pembacanya sejumlah kultur hibrid yang hidup dan dipraktekkan dalam ragam etnik dan masyarakat dengan kearifan “lanskap magis” dan “pesona mistis”, yang anehnya kadangkala diceritakan dan dinarasikan secara ironis, sesekali menyelipkan satir.

Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” adalah contoh sejumlah cerpen yang bercerita dan menceritakan etnisitas dan lokalitas dari sudut kultur dan kepercayaan yang sifatnya hibrid, ketika unsur-unsur Islam, sebagai salah-satu contoh, beradaptasi dan bercampur dalam corak kepercayaan dan keagamaan masyarakat Jawa, yang bahkan tetap “Jawa” ketika menerima dan menganut agama Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya praktik-praktik kepercayaan dan keagamaan, entah yang sifatnya budaya atau yang religius, tidak sepenuhnya “Islam” sekaligus tidak sepenuhnya “lokal”, yang ada adalah hibriditas itu sendiri.

Meski dengan kadar yang berbeda, tentu saja, tema-tema yang diangkat dan dinarasikan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” mengingatkan saya pada sejumlah cerpen-nya Putu Wijaya yang menjadikan khazanah sosial-politik dan budaya masyarakat dan bangsa kita sendiri sebagai materi-materi cerpen-cerpennya. Bercerita tentang kekonyolan, ironi, kejenakaan, ambiguitas dan lain sebagainya yang kerap terjadi dan melanda masyarakat kita, yang anehnya itu semua juga berkaitan dengan lanskap mitologi, budaya, kepercayaan, serta khazanah dan wawasan budaya dan keagamaan masyarakat kita.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mana penulisnya dapat menunjukkan “kelihaian” dan “kecerdikan” untuk mengolah bahan-bahan dan materi-materi yang sifatnya etnis dan lokal tersebut? Katakanlah kemahirannya dalam mengkomparasi khazanah-khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut dengan situasi mutakhir kondisi sosial-politik masyarakat dan bangsa kita. Semisal sejauh mana cerpen-cerpen yang menarasikan khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut sanggup menggambarkan “pertarungan” dan “ketegangan” antara “warisan mitologis” dan “kepercayaan yang sifatnya etnis” dengan serbuan massif lanskap budaya pasar ala kapitalisme mutakhir. Sebab, sebagaimana kita maphumi bersama, daya desak lanskap dan budaya kapitalisme mutakhir tersebut bahkan sanggup menjangkau “sudut-sudut sunyi” pedesaan dan pedalaman, yang sebagaimana kita tahu juga, “tidak lagi murni dan sunyi”. Barangkali khalayak pembaca akan bisa “membaca” sendiri ketika membaca “Gadis Pingitan”: adakah ia masih “pingitan” dan “perawan” ataukah sudah “ternoda”?

Selanjutnya, yang menurut saya juga patut direnungkan, seberapa cerdik dan lihai-kah penulisnya ketika mengusung dan menarasikan “yang mitis” dan “yang magis” dalam kultur, praktik, dan tingkah-polah individu dan masyarakat yang sifatnya etnis dan lokal sebagaimana yang dinarasikan “Gadis Pingitan” tersebut tidak semata-mata “hanya memberitakan” sejumlah laporan antropologis atau etnologis perihal kehidupan, tingkah-polah (baik yang sifatnya individual atau sosial) dan budaya mitis serta magis yang dijadikan sebagai tema dan bahan-bahan material penceritaan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku antologi “Gadis Pingitan”? Yang dengannya sesuatu yang semula hanya sebagai hal yang sifatnya antropologis dan etnologis, atau bahkan yang semula hanya bersifat sosiologis, telah dialihkan ke dalam sebuah prosa, ke media naratif fiksi, yang dalam hal ini cerita pendek. Dan sekali lagi, saya serahkan kepada khalayak pembaca untuk “membaca”-nya.

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan retoris saya yang sifatnya axiomatik tersebut, cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe dalam “Gadis Pingitan” menarasikan sejumlah “tokoh perempuan” yang terjebak, mengalami dilema, dan tertimpa nasib dan pilihan ironis justru karena pakem dan lanskap yang sifatnya etnis dan lokal tersebut. Barangkali, penulisnya hendak melontarkan “kritik halus” dan “gugatan samar” atas sejumlah tradisi dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal yang telah saya katakan. Contohnya adalah bahwa lanskap dan kepercayaan sejumlah geografi dan masyarakat yang diceritakan sejumlah cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan justru karena lanskap dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal itu juga begitu patriarkhis secara politis dan kultural.

Seterusnya, bila saya menyebutkan sejumlah “kelebihan” prosa yang mengusung dan mengangkat tema-tema dan materi yang sifatnya etnis dan lokal ini dengan prosa-prosa yang mengusung lokalitas, wabilkhusus dalam konteks Banten yang beberapa tahun belakangan terbit dalam sejumlah antologi cerpen bersama, adalah bahwa cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” tak sekedar menyebut nama-nama tempat, semisal nama-nama jalan dan gedung di kota-kota dan tempat-tempat tertentu di Banten, misalnya, sebagai “penciri” lokalitas yang hanya akan menjadikan prosa yang mengusung dan menarasikan etnisitas dan lokalitas tak lebih sebuah “salinan peta” atau “penunjuk peta”, melainkan mengangkat, menarasikan, singkatnya memfiksikan lanskap, mitologi, ritus, khazanah kepercayaan dan aspek-aspek keagamaan yang menunjukkan keunikan dan kekhasan masyarakat tertentu atas “masyarakat” lainnya. Atau minimal mengangkat pergulatan seorang tokoh atau si individu berkait dengan wawasan, budaya, kepercayaan, dan khazanah keagamaan dalam suatu masyarakat tertentu.

Sementara, terlepas dari isu lokalitas dan etnisitas itu, cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” telah menunjukkan kepada kita proses kreatif penulisnya sendiri, katakanlah dalam hal ini sebagai contohnya menyangkut periodisasi dan geografi pengalamannya, antara “periode” ketika ia masih di di Jawa, khususnya Jawa Timur, yang dalam hal ini penulisnya menulis sejumlah cerpen yang mengangkat etnisitas dan lokalitas Jawa Timur, semisal Tuban, dan periodisasi ketika ia di Banten di mana penulisnya menghasilkan beberapa cerpen yang berlatar-belakang dan mengusung lokalitas Banten, semisal Pulau Tunda dan Pandeglang.

Demikianlah pembacaan saya yang saya tuliskan dalam esai singkat ini. Dan tentu saja, sebagai pembaca saya hanya salah-satu atau salah-seorang pembaca, yang kebetulan saja diberi kesempatan untuk menyatakan dan memaparkan pembacaannya. Dalam hal ini, saya maphum bahwa saya tak mungkin memonopoli “pembacaan” atau memonopoli “tafsir” atas “Gadis Pingitan”, terlepas apakah ia masih perawan atau telah ternoda. Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah ilustrasi. “Suatu ketika, di tamannya yang asri, Agustinus muda mendengar sebuah suara yang berkata: Ambil dan bacalah!” Dengan saran yang sama kepada pembaca sebagaimana sebuah suara yang berkata kepada Agustinus muda yang tengah merenung di taman-nya yang asri itu, saya akhiri tulisan singkat ini. Sumber: Harian Banten Raya 22 Maret 2014

*Penggemar sambal dan kopi hitam