Oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf dan Ulama Syi’ah)
Mungkin pernah Anda alami—dan jika tidak, Anda bisa gambarkan dalam
benak masing-masing apa yang ingin saya ungkapkan berikut ini—hidup
bertahun-tahun bersama seseorang di sebuah daerah. Sedikitnya Anda melihatnya
sehari sekali, sekaligus menyapanya sesuai dengan adat istiadat setempat dan
kemudian lewat. Hal itu terus berjalan setiap hari, bulan, dan tahunan
bersamaan dengan berlalunya masa.
Sampai suatu saat, Anda bertemu dan duduk bersamanya secara
beruntun sehingga dari dekat Anda kenal ide, pikiran, kecenderungan, dan
perasaannya. Hal itu sangat membuat Anda terheran, karena sebelumnya Anda tidak
dapat memperkirakan ia seperti apa adanya sekarang. Dari sejak itu, wajahnya berubah dari sebelumnya di mata Anda.
Bahkan, raut mukanya pun tampil berbeda menurut Anda. Ada kedalaman makna dan
penghormatan lain yang muncul dalam hati Anda. Telah tampak kepribadiannya dari
balik tabir personalnya seakan orang yang berbeda dari orang yang sebelumnya
Anda sapa. Anda merasakan ada dunia baru yang tersingkap.
Pengalamanku bersama Nahjul Balaghah seperti pengalaman di atas.
Sejak kecil saya mengenal nama Nahjul Balaghah dan saya mengenalnya di tengah
rak buku Almarhum ayahku—semoga Allah meninggikan derajatnya. Lalu, selama
bertahun-tahun saya belajar dan menyelesaikan literatur bahasa Arab di Hauzah
Ilmiah Masyhad dan berlanjut di Hauzah Ilmiah Qom, pelajaran-pelajaran yang
dikenal dengan “suthûh” (tingkatan-tingkatan) hampir tamat. Dan semasa itu,
nama kitab yang paling sering terdengar setelah Al-Qur’an adalah Nahjul
Balaghah. Berapa potongan ceramah zuhud senantiasa diulang-ulang di atas mimbar
sehingga saya mengafalnya. Akan tetapi, saya mengaku bahwa saya, seperti halnya
teman-teman sejawatku, masih asing terhadap dunia Nahjul Balaghah. Seperti
orang asing saya menyapa dan melewatkannya. Sampai kemudian di musim panas
tahun 1325 Syamsiah,[1] lima tahun setelah tinggal di Qom, saya pergi ke
Isfahan untuk menghindari panasnya udara Qom pada waktu itu. Secara tidak
disengaja, keberuntungan mempertemukanku dengan seorang yang kenal dengan
Nahjul Balaghah. Ia menuntun tanganku dan membawaku sedikit memasuki dunia
Nahjul Balahgah. Di saat itulah saya betul-betul merasakan ternyata saya belum
mengenal Nahjul Balagah, dan sejak itu, saya selalu berangan-angan andaikan ada
orang yang membawaku dan memperkenalkanku juga pada dunia Al-Qur’an.
Semenjak itu pula, wajah Nahjul Balaghah berubah di mataku dari
yang sebelumnya. Saya tertarik padanya dan sangat mencintainya seakan-akan buku
yang berbeda dari buku yang sejak kecil saya kenal, saya merasakan dunia baru
tengah terungkap.
Syaikh Muhammad Abduh, Mufti Mesir pada masa hidupnya dan yang
mencetak Nahjul Balaghah dengan keterangan ringkas serta menyebarkannya di
Mesir untuk pertama kalinya, mengaku bahwa sebelumnya ia sama sekali tidak
mengenal Nahjul Balaghah. Ketika jauh dari tanah air, ia menelaah kitab ini dan
ia sungguh terheran. Ia merasa tengah menemukan harta karun yang sangat
berharga. Saat itu pula ia memutuskan untuk mencetak kitab ini dan
memperkenalkannya kepada masyarakat Arab pada waktu itu.
Keterasingan ulama Ahlusunah dari Nahjul Balaghah bukanlah hal yang
begitu mengherankan. Lebih mengherankan jika nasib Nahjul Balaghah terasing di
rumahnya sendiri, di tengah para pengikut Ali as, dan juga di Hauzah-hauzah
Ilmiah Syi’ah, sebagaimana Ali as juga terasing dan hidup sendiri. Sudah barang
tentu, apabila kandungan sebuah kitab atau ide dan perasaan seseorang tidak
selaras dengan jiwa masyarakat, maka—secara praktis—kitab dan orang tersebut
adalah asing, meskipun namanya sering disebut dengan segala macam pengagungan
dan penghormatan.
Kita, para pelajar, harus mengakui keterasingan kita dari Nahjul
Balaghah. Alam roh yang kita bangun berbeda dengan alam Nahjul Balaghah.
Mengenang Guru
Adalah tidak wajar apabila saya tidak mengenang nama baik guru
besar yang pertama kali mengenalkan Nahjul Balaghah kepadaku, seorang guru yang
pertemuanku dengannya merupakan salah satu dari simpanan hidupku yang paling
berharga dan saya tidak akan pernah rela untuk menukarnya dengan sesuatu apa
pun. Tiada satu kenangan malam dan siang bersamanya yang tidak terukir dalam
diri saya sekarang.
Saya berani mengatakan sungguh ia adalah sosok ulama spiritual
(alim rabbani), tapi di saat yang sama, saya tidak berani mengklaim bahwa saya
adalah seorang pelajar yang berada di atas jalan kesuksesan (muta’alimun ‘alâ
sabîli najâh). Setiap kali bertemu dengan beliau, saya teringat bait puisi
Sa’di yang hidup kembali di benakku:
Âbid-u zâhid-u sûfi, hameh teflân-e râhand,
mard-agar hast bejuz âlem-e rabbânî nist.
‘Abid, zahid dan sufi, semua anak-anak jalanan,
tak terhitung orang kecuali alim rabbani.
Ia adalah seorang faqih, orang bijak, sastrawan, dan juga dokter.
Fiqih, filsafat, sastra Arab, sastra Persia, dan kedokteran kuno ia kuasai
secara sempurna. Bahkan, di beberapa jurusan, ia terhitung spesialis nomor
satu. Al-Qânûn, buku kedokteran karya Ibn Sina, yang sekarang tidak ada gurunya,
diajarkannya dengan baik, dan pelajarannya dihadiri oleh murid-murid unggulan.
Akan tetapi, ia tidak bisa terikat janji untuk rutinitas mengajar pada
waktu-waktu tertentu. Segala hal yang sifatnya mengikat tidak selaras dengan
jiwa dan jiwanya. Kendatipun demikian, satu-satunya aktifitas mengajar yang
beliau senangi adalah mata pelajaran Nahjul Balaghah. Ia rela duduk lama untuk
mengajar kitab itu, karena Nahjul Balaghah memberinya kenikmatan tersendiri dan
membekalinya sayap yang membawanya terbang ke alam-alam yang tidak bisa kita
cerna secara baik.
Ia hidup bersama Nahjul Balaghah. Ia bernafas bersama Nahjul
Balaghah. Jiwanya telah manunggaling dengan kitab ini. Jantungnya berdetak
karena Nahjul Balaghah. Kalimat-kalimat kitab ini telah menjadi wirid lidahnya
dan senantiasa berargumentasi dengannya. Seringkali sewaktu untaian-untaian
kalimat Nahjul Balaghah mengalir dari mulutnya diiringi dengan air mata yang
membasahi janggutnya yang putih. Pemandangan dan pengalaman yang sangat lezat,
indah dan penuh ‘ibrah saat menyaksikan pergulatannya dengan Nahjul Balaghah
yang fana dan menggunting kaitannya dengan kita dan sekitarnya. Mendengar suara
hati dari pemilik hati mempunyai pengaruh dan daya tarik yang sungguh luar
biasa. Ia adalah manifestasi dari salaf salih yang sesungguhnya. Ucapan Ali as
menjadi fakta pada dirinya yang berbunyi, “Andai bukan karena ajal yang telah
tertulis untuk mereka, niscaya roh-roh mereka tetap akan tinggal dalam
tubuh-tubuh mereka walau sejenak, karena mereka mendambakan pahala dan takut
dari siksaan. Sang Pencipta benar-benar tampak agung pada diri mereka, maka
segala sesuatu selain-Nya menjadi kecil di mata mereka.”
Ia adalah sastrawan peneliti, filosof Ilahi, pakar ilmu fiqih,
dokter spesialis, ulama rabbani, yaitu Almarhum Haji Mirza Ali Syirazi
Isfahani. Sungguh ia adalah lelaki kebenaran dan hakikat. Ia telah terbebas
dari aku dan keakuan menyambung dengan Yang Haq dan kebenaran. Dengan segala
kedudukan ilmiah dan juga status sosial yang tinggi, ia tetap merasakan tugas
mengarahkan masyarakat dan memberi petunjuk kepada mereka. Ditambah juga rasa
cintanya yang sangat dalam terhadap Imam Husain as, semua itu mendesaknya untuk
naik ke atas mimbar menasihati masyarakat, dan oleh karena nasihat-nasihat itu
muncul dari jiwa yang paling dalam, maka secara otomatis langsung bertajuk di
hati para pendengarnya. Setiap saat ia datang ke kota Qom, para ulama tinggi
Qom mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi nasihat. Mimbarnya lebih mengarah
pada keadaan dari pada perkataan.
Ia menghindar untuk dijadikan imam jamaah shalat. Pernah suatu saat
pada bulan Ramadhan, ia dipaksa untuk memimpin shalat jamaah selama sebulan di
Madrasah Shadr, padahal ia tidak datang secara tertib dan tidak betah dengan
ketentuan waktu yang mengikat. Akan tetapi, masyarakat yang berdatangan ikut
shalat berjamaah bersamanya tidak pernah kita saksikan sebelumnya dalam jumlah
besar seperti itu. Saya dengar, jamaah-jamaah shalat di sekitar situ menjadi
sepi, dan akhirnya ia tidak melanjutkan shalat jamaahnya tersebut.
Sepengetahuan saya, hampir semua masyarakat Isfahan mengenal dan
mencintainya, sebagaimana Hauzah Ilmiah Qom juga sangat menghendakinya. Setiap
kali ia datang ke Qom, ulama Qom menziarahinya. Namun, ia tidak mau terikat
dengan “muridi” (orang yang menghendakinya jadi mursyid, guru atau semacamnya)
dan “muradi” (orang yang dikehendaki jadi mursyid). Semoga Allah senantiasa
merahmatinya dan mengumpulkannya bersama para wali-Nya.
Meski begitu, saya tidak berani mengatakan bahwa ia menguasai semua
Nahjul Balaghah dan mampu menaklukkan segala bagian kitab itu. Tapi yang pasti,
ia adalah seorang spesialis di sebagian alam Nahjul Balaghah. Bukan hanya itu,
di samping spesialis di bidang itu, ia juga pengejewantahan dari bagian
tersebut. Artinya, bagian dari Nahjul Balaghah yang dikuasainya telah menjadi
fakta pada dirinya sendiri. Nahjul Balaghah mengandung beberapa dunia: dunia
zuhud dan takwa, dunia ibadah dan ‘irfan, dunia hikmah dan filsafat, dunia
nasihat dan tuntunan, dunia berita masa depan dan hal-hal gaib, dunia politik
dan tanggung jawab sosial, dunia semangat dan keberanian …. Semua ini sungguh
tidak bisa dinantikan dari satu orang. Ia telah mampu mengarungi sebagian dari
luasnya lautan Nahjul Balaghah.
Nahjul Balaghah dan Masyarakat Modern
Bukan hanya saya dan orang-orang seperti saya yang asing dari dunia
Nahjul Balaghah, masyarakat Islam tidak begitu mengenal kitab ini. Pengenalan
mereka hanya terbatas pada keterangan kata dan terjemahnya saja, sementara jiwa
dan inti muatan Nahjul Balaghah masih tersembunyi bagi mereka. Akhir-akhir ini,
dunia Islam mulai menyingkap Nahjul Balaghah. Dan dengan kata lain, Nahjul
Balaghah telah menaklukkan dunia Islam.
Yang mengherankan adalah sebagian dari kandungan Nahjul Balaghah
untuk pertama kalinya, baik di negeri syi’ah Iran maupun di negara-negara Arab,
disingkap oleh orang atheis atau orang yang bertuhan, tapi non-Muslim yang
kemudian dipaparkan kepada orang-orang Islam. Umumnya, tujuan mereka dari upaya itu adalah mencari dukungan dari
Ali dan Nahjul Balaghah untuk membenarkan beberapa teori-teori sosial mereka.
Dengan demikian, mereka dapat memperkuat ide-ide tersebut. Tapi ternyata hal
itu memberikan hasil yang sebaliknya, karena dengan demikian, baru kali ini
Muslimin menyadari bahwa pemikiran dan ide intelektual luar tadi bukanlah hal
yang baru, bahkan ada yang lebih istimewa terletak di Nahjul Balaghah, di
sejarah Ali as, di sejarah kader-kader Ali as, seperti Salman, Abu Dzar dan
Ammar. Oleh karena itu, yang semestinya diharapkan Ali dan Nahjul Balaghah dapat
menjustifikasi pemikiran mereka, sebaliknya mereka malah kalah. Namun, tetap
harus diakui bahwa sebelum kejadian ini membangunkan ummat Islam, pengenalan
mayoritas kita terhadap Nahjul Balaghah tidak lebih dari beberapa ceramah zuhud
dan nasihat saja. Sedangkan simpanan berharga lainnya, seperti surat perjanjian
Amirul Mukminin as dengan Malik al-Asytar an-Nakha’i masih belum dikaji dan
dimengerti lebih serius.
Nahjul Balaghah adalah pilihan ceramah, wasiat, doa, surat dan
kata-kata mutiara Amirul Mukminin as yang dikumpulkan oleh Sayid Syarif Radhi
sekitar seribu tahun yang lalu. Sudah barang tentu kalimat Amirul Mukminin as
tidak terbatas pada apa yang dibawakan oleh Sayid Radhi. Satu contoh,
al-Mas‘udi yang hidup seratus tahun sebelum Sayid Radhi menyebutkan dalam jilid
kedua dari karyanya yang berjudul Murûj adz-Dzahab, “Sekarang ini, terdapat
empat ratus delapan puluh sekian ceramah Ali as di tengah masyarakat”,
sedangkan ceramah yang berhasil dikumpulkan Sayid Radhi hanya berjumlah 239,
kurang dari setengah bilangan yang disebutkan al-Mas‘udi. Begitu pula yang
mengumpulkan kalimat Amirul Mukminin as bukan hanya Sayid Radhi saja, melainkan
banyak ulama lain yang juga mengumpulkannya. Sekarang, ada dua pekerjaan yang harus dilakukan seputar Nahjul
Balaghah: pertama, penyelaman ke dalam muatan Nahjul Balaghah, agar ideologi
Ali as dalam berbagai masalah yang tercatat di sana menjadi jelas. Sebab
masyarakat Muslim betul-betul membutuhkannya. Dan kedua, penelitian di bidang
sanad dan referensi Nahjul Balaghah. Termasuk keuntungan bagi kita semua, saya
dengar ada beberapa orang mulia yang sedang sibuk menekuni tugas penting ini di
tengah masyarakat.
Kajian berikutnya adalah serial artikel-artikel yang tersebar di
majalah Gerâmî Maktab-e Islam pada tahun 1351-1352 Syamsiah[2] yang sekarang
sudah berbentuk kitab yang bisa dinikmati oleh para pembaca budiman. Sebelumnya
juga ada lima pertemuan di Yayasan Islam Husainiah Irsyad. Saya berceramah
dengan judul yang sama. Dari situlah saya berangan-angan untuk menulisnya lebih
terperinci dalam serial artikel yang tersebar tadi.
Buku yang keluar pun saya beri nama “Perjalanan dalam Nahjul
Balaghah”. Saya sadar bahwa apa yang telah saya lakukan ini tidak lebih dari
sebuah lintas sekilas dan upaya singkat ini tidak bisa disebut dengan sebuah
penelitian. Di samping saya tidak punya peluang waktu untuk meneliti lebih
dalam, saya juga bukan orang yang pantas untuk mengemban tugas ini. Apa lagi,
penelitian komprehensif tentang kandungan Nahjul Balaghah dan pengenalan
terhadap ideologi Ali as, serta kajian di bidang sanad dan referensi Nahjul
Balaghah bukanlah pekerjaan satu orang, melainkan pekerjaan kolektif. Namun, walau
demikian, karena “apa yang tidak bisa dijangkau semuanya, maka tidak
ditinggalkan secara keseluruhan” dan karena perbuatan kecil akan membuka jalan
untuk pekerjaan yang lebih besar, maka saya bertekad untuk memulai lintas kilas
ini. Saya juga menyesal, perjalanan singkat ini belum berakhir. Program yang
saya canangkan untuk menyusun perjalanan ini belum bisa diselesaikan lantaran
kesibukan yang menumpuk. Saya tidak tahu apakah suatu saat saya bisa
melanjutkannya atau tidak. Yang saya tahu adalah saya sangat mengharapkan hal
itu.
[1] Kira-kira tahun 1367 H./1946 M.
[2] Kira-kira tahun 1393-1394 H./1972-1973 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar