Label

Senin, 05 Mei 2014

Perjumpaanku dengan Nahjul Balaghah


Oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf dan Ulama Syi’ah)

Mungkin pernah Anda alami—dan jika tidak, Anda bisa gambarkan dalam benak masing-masing apa yang ingin saya ungkapkan berikut ini—hidup bertahun-tahun bersama seseorang di sebuah daerah. Sedikitnya Anda melihatnya sehari sekali, sekaligus menyapanya sesuai dengan adat istiadat setempat dan kemudian lewat. Hal itu terus berjalan setiap hari, bulan, dan tahunan bersamaan dengan berlalunya masa.

Sampai suatu saat, Anda bertemu dan duduk bersamanya secara beruntun sehingga dari dekat Anda kenal ide, pikiran, kecenderungan, dan perasaannya. Hal itu sangat membuat Anda terheran, karena sebelumnya Anda tidak dapat memperkirakan ia seperti apa adanya sekarang. Dari sejak itu, wajahnya berubah dari sebelumnya di mata Anda. Bahkan, raut mukanya pun tampil berbeda menurut Anda. Ada kedalaman makna dan penghormatan lain yang muncul dalam hati Anda. Telah tampak kepribadiannya dari balik tabir personalnya seakan orang yang berbeda dari orang yang sebelumnya Anda sapa. Anda merasakan ada dunia baru yang tersingkap.

Pengalamanku bersama Nahjul Balaghah seperti pengalaman di atas. Sejak kecil saya mengenal nama Nahjul Balaghah dan saya mengenalnya di tengah rak buku Almarhum ayahku—semoga Allah meninggikan derajatnya. Lalu, selama bertahun-tahun saya belajar dan menyelesaikan literatur bahasa Arab di Hauzah Ilmiah Masyhad dan berlanjut di Hauzah Ilmiah Qom, pelajaran-pelajaran yang dikenal dengan “suthûh” (tingkatan-tingkatan) hampir tamat. Dan semasa itu, nama kitab yang paling sering terdengar setelah Al-Qur’an adalah Nahjul Balaghah. Berapa potongan ceramah zuhud senantiasa diulang-ulang di atas mimbar sehingga saya mengafalnya. Akan tetapi, saya mengaku bahwa saya, seperti halnya teman-teman sejawatku, masih asing terhadap dunia Nahjul Balaghah. Seperti orang asing saya menyapa dan melewatkannya. Sampai kemudian di musim panas tahun 1325 Syamsiah,[1] lima tahun setelah tinggal di Qom, saya pergi ke Isfahan untuk menghindari panasnya udara Qom pada waktu itu. Secara tidak disengaja, keberuntungan mempertemukanku dengan seorang yang kenal dengan Nahjul Balaghah. Ia menuntun tanganku dan membawaku sedikit memasuki dunia Nahjul Balahgah. Di saat itulah saya betul-betul merasakan ternyata saya belum mengenal Nahjul Balagah, dan sejak itu, saya selalu berangan-angan andaikan ada orang yang membawaku dan memperkenalkanku juga pada dunia Al-Qur’an.

Semenjak itu pula, wajah Nahjul Balaghah berubah di mataku dari yang sebelumnya. Saya tertarik padanya dan sangat mencintainya seakan-akan buku yang berbeda dari buku yang sejak kecil saya kenal, saya merasakan dunia baru tengah terungkap.

Syaikh Muhammad Abduh, Mufti Mesir pada masa hidupnya dan yang mencetak Nahjul Balaghah dengan keterangan ringkas serta menyebarkannya di Mesir untuk pertama kalinya, mengaku bahwa sebelumnya ia sama sekali tidak mengenal Nahjul Balaghah. Ketika jauh dari tanah air, ia menelaah kitab ini dan ia sungguh terheran. Ia merasa tengah menemukan harta karun yang sangat berharga. Saat itu pula ia memutuskan untuk mencetak kitab ini dan memperkenalkannya kepada masyarakat Arab pada waktu itu.

Keterasingan ulama Ahlusunah dari Nahjul Balaghah bukanlah hal yang begitu mengherankan. Lebih mengherankan jika nasib Nahjul Balaghah terasing di rumahnya sendiri, di tengah para pengikut Ali as, dan juga di Hauzah-hauzah Ilmiah Syi’ah, sebagaimana Ali as juga terasing dan hidup sendiri. Sudah barang tentu, apabila kandungan sebuah kitab atau ide dan perasaan seseorang tidak selaras dengan jiwa masyarakat, maka—secara praktis—kitab dan orang tersebut adalah asing, meskipun namanya sering disebut dengan segala macam pengagungan dan penghormatan.

Kita, para pelajar, harus mengakui keterasingan kita dari Nahjul Balaghah. Alam roh yang kita bangun berbeda dengan alam Nahjul Balaghah.

Mengenang Guru

Adalah tidak wajar apabila saya tidak mengenang nama baik guru besar yang pertama kali mengenalkan Nahjul Balaghah kepadaku, seorang guru yang pertemuanku dengannya merupakan salah satu dari simpanan hidupku yang paling berharga dan saya tidak akan pernah rela untuk menukarnya dengan sesuatu apa pun. Tiada satu kenangan malam dan siang bersamanya yang tidak terukir dalam diri saya sekarang.

Saya berani mengatakan sungguh ia adalah sosok ulama spiritual (alim rabbani), tapi di saat yang sama, saya tidak berani mengklaim bahwa saya adalah seorang pelajar yang berada di atas jalan kesuksesan (muta’alimun ‘alâ sabîli najâh). Setiap kali bertemu dengan beliau, saya teringat bait puisi Sa’di yang hidup kembali di benakku:

Âbid-u zâhid-u sûfi, hameh teflân-e râhand,
mard-agar hast bejuz âlem-e rabbânî nist.
‘Abid, zahid dan sufi, semua anak-anak jalanan,
tak terhitung orang kecuali alim rabbani.

Ia adalah seorang faqih, orang bijak, sastrawan, dan juga dokter. Fiqih, filsafat, sastra Arab, sastra Persia, dan kedokteran kuno ia kuasai secara sempurna. Bahkan, di beberapa jurusan, ia terhitung spesialis nomor satu. Al-Qânûn, buku kedokteran karya Ibn Sina, yang sekarang tidak ada gurunya, diajarkannya dengan baik, dan pelajarannya dihadiri oleh murid-murid unggulan. Akan tetapi, ia tidak bisa terikat janji untuk rutinitas mengajar pada waktu-waktu tertentu. Segala hal yang sifatnya mengikat tidak selaras dengan jiwa dan jiwanya. Kendatipun demikian, satu-satunya aktifitas mengajar yang beliau senangi adalah mata pelajaran Nahjul Balaghah. Ia rela duduk lama untuk mengajar kitab itu, karena Nahjul Balaghah memberinya kenikmatan tersendiri dan membekalinya sayap yang membawanya terbang ke alam-alam yang tidak bisa kita cerna secara baik.

Ia hidup bersama Nahjul Balaghah. Ia bernafas bersama Nahjul Balaghah. Jiwanya telah manunggaling dengan kitab ini. Jantungnya berdetak karena Nahjul Balaghah. Kalimat-kalimat kitab ini telah menjadi wirid lidahnya dan senantiasa berargumentasi dengannya. Seringkali sewaktu untaian-untaian kalimat Nahjul Balaghah mengalir dari mulutnya diiringi dengan air mata yang membasahi janggutnya yang putih. Pemandangan dan pengalaman yang sangat lezat, indah dan penuh ‘ibrah saat menyaksikan pergulatannya dengan Nahjul Balaghah yang fana dan menggunting kaitannya dengan kita dan sekitarnya. Mendengar suara hati dari pemilik hati mempunyai pengaruh dan daya tarik yang sungguh luar biasa. Ia adalah manifestasi dari salaf salih yang sesungguhnya. Ucapan Ali as menjadi fakta pada dirinya yang berbunyi, “Andai bukan karena ajal yang telah tertulis untuk mereka, niscaya roh-roh mereka tetap akan tinggal dalam tubuh-tubuh mereka walau sejenak, karena mereka mendambakan pahala dan takut dari siksaan. Sang Pencipta benar-benar tampak agung pada diri mereka, maka segala sesuatu selain-Nya menjadi kecil di mata mereka.”

Ia adalah sastrawan peneliti, filosof Ilahi, pakar ilmu fiqih, dokter spesialis, ulama rabbani, yaitu Almarhum Haji Mirza Ali Syirazi Isfahani. Sungguh ia adalah lelaki kebenaran dan hakikat. Ia telah terbebas dari aku dan keakuan menyambung dengan Yang Haq dan kebenaran. Dengan segala kedudukan ilmiah dan juga status sosial yang tinggi, ia tetap merasakan tugas mengarahkan masyarakat dan memberi petunjuk kepada mereka. Ditambah juga rasa cintanya yang sangat dalam terhadap Imam Husain as, semua itu mendesaknya untuk naik ke atas mimbar menasihati masyarakat, dan oleh karena nasihat-nasihat itu muncul dari jiwa yang paling dalam, maka secara otomatis langsung bertajuk di hati para pendengarnya. Setiap saat ia datang ke kota Qom, para ulama tinggi Qom mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi nasihat. Mimbarnya lebih mengarah pada keadaan dari pada perkataan.

Ia menghindar untuk dijadikan imam jamaah shalat. Pernah suatu saat pada bulan Ramadhan, ia dipaksa untuk memimpin shalat jamaah selama sebulan di Madrasah Shadr, padahal ia tidak datang secara tertib dan tidak betah dengan ketentuan waktu yang mengikat. Akan tetapi, masyarakat yang berdatangan ikut shalat berjamaah bersamanya tidak pernah kita saksikan sebelumnya dalam jumlah besar seperti itu. Saya dengar, jamaah-jamaah shalat di sekitar situ menjadi sepi, dan akhirnya ia tidak melanjutkan shalat jamaahnya tersebut.

Sepengetahuan saya, hampir semua masyarakat Isfahan mengenal dan mencintainya, sebagaimana Hauzah Ilmiah Qom juga sangat menghendakinya. Setiap kali ia datang ke Qom, ulama Qom menziarahinya. Namun, ia tidak mau terikat dengan “muridi” (orang yang menghendakinya jadi mursyid, guru atau semacamnya) dan “muradi” (orang yang dikehendaki jadi mursyid). Semoga Allah senantiasa merahmatinya dan mengumpulkannya bersama para wali-Nya.

Meski begitu, saya tidak berani mengatakan bahwa ia menguasai semua Nahjul Balaghah dan mampu menaklukkan segala bagian kitab itu. Tapi yang pasti, ia adalah seorang spesialis di sebagian alam Nahjul Balaghah. Bukan hanya itu, di samping spesialis di bidang itu, ia juga pengejewantahan dari bagian tersebut. Artinya, bagian dari Nahjul Balaghah yang dikuasainya telah menjadi fakta pada dirinya sendiri. Nahjul Balaghah mengandung beberapa dunia: dunia zuhud dan takwa, dunia ibadah dan ‘irfan, dunia hikmah dan filsafat, dunia nasihat dan tuntunan, dunia berita masa depan dan hal-hal gaib, dunia politik dan tanggung jawab sosial, dunia semangat dan keberanian …. Semua ini sungguh tidak bisa dinantikan dari satu orang. Ia telah mampu mengarungi sebagian dari luasnya lautan Nahjul Balaghah.

Nahjul Balaghah dan Masyarakat Modern

Bukan hanya saya dan orang-orang seperti saya yang asing dari dunia Nahjul Balaghah, masyarakat Islam tidak begitu mengenal kitab ini. Pengenalan mereka hanya terbatas pada keterangan kata dan terjemahnya saja, sementara jiwa dan inti muatan Nahjul Balaghah masih tersembunyi bagi mereka. Akhir-akhir ini, dunia Islam mulai menyingkap Nahjul Balaghah. Dan dengan kata lain, Nahjul Balaghah telah menaklukkan dunia Islam.

Yang mengherankan adalah sebagian dari kandungan Nahjul Balaghah untuk pertama kalinya, baik di negeri syi’ah Iran maupun di negara-negara Arab, disingkap oleh orang atheis atau orang yang bertuhan, tapi non-Muslim yang kemudian dipaparkan kepada orang-orang Islam. Umumnya, tujuan mereka dari upaya itu adalah mencari dukungan dari Ali dan Nahjul Balaghah untuk membenarkan beberapa teori-teori sosial mereka. Dengan demikian, mereka dapat memperkuat ide-ide tersebut. Tapi ternyata hal itu memberikan hasil yang sebaliknya, karena dengan demikian, baru kali ini Muslimin menyadari bahwa pemikiran dan ide intelektual luar tadi bukanlah hal yang baru, bahkan ada yang lebih istimewa terletak di Nahjul Balaghah, di sejarah Ali as, di sejarah kader-kader Ali as, seperti Salman, Abu Dzar dan Ammar. Oleh karena itu, yang semestinya diharapkan Ali dan Nahjul Balaghah dapat menjustifikasi pemikiran mereka, sebaliknya mereka malah kalah. Namun, tetap harus diakui bahwa sebelum kejadian ini membangunkan ummat Islam, pengenalan mayoritas kita terhadap Nahjul Balaghah tidak lebih dari beberapa ceramah zuhud dan nasihat saja. Sedangkan simpanan berharga lainnya, seperti surat perjanjian Amirul Mukminin as dengan Malik al-Asytar an-Nakha’i masih belum dikaji dan dimengerti lebih serius.

Nahjul Balaghah adalah pilihan ceramah, wasiat, doa, surat dan kata-kata mutiara Amirul Mukminin as yang dikumpulkan oleh Sayid Syarif Radhi sekitar seribu tahun yang lalu. Sudah barang tentu kalimat Amirul Mukminin as tidak terbatas pada apa yang dibawakan oleh Sayid Radhi. Satu contoh, al-Mas‘udi yang hidup seratus tahun sebelum Sayid Radhi menyebutkan dalam jilid kedua dari karyanya yang berjudul Murûj adz-Dzahab, “Sekarang ini, terdapat empat ratus delapan puluh sekian ceramah Ali as di tengah masyarakat”, sedangkan ceramah yang berhasil dikumpulkan Sayid Radhi hanya berjumlah 239, kurang dari setengah bilangan yang disebutkan al-Mas‘udi. Begitu pula yang mengumpulkan kalimat Amirul Mukminin as bukan hanya Sayid Radhi saja, melainkan banyak ulama lain yang juga mengumpulkannya. Sekarang, ada dua pekerjaan yang harus dilakukan seputar Nahjul Balaghah: pertama, penyelaman ke dalam muatan Nahjul Balaghah, agar ideologi Ali as dalam berbagai masalah yang tercatat di sana menjadi jelas. Sebab masyarakat Muslim betul-betul membutuhkannya. Dan kedua, penelitian di bidang sanad dan referensi Nahjul Balaghah. Termasuk keuntungan bagi kita semua, saya dengar ada beberapa orang mulia yang sedang sibuk menekuni tugas penting ini di tengah masyarakat.

Kajian berikutnya adalah serial artikel-artikel yang tersebar di majalah Gerâmî Maktab-e Islam pada tahun 1351-1352 Syamsiah[2] yang sekarang sudah berbentuk kitab yang bisa dinikmati oleh para pembaca budiman. Sebelumnya juga ada lima pertemuan di Yayasan Islam Husainiah Irsyad. Saya berceramah dengan judul yang sama. Dari situlah saya berangan-angan untuk menulisnya lebih terperinci dalam serial artikel yang tersebar tadi.

Buku yang keluar pun saya beri nama “Perjalanan dalam Nahjul Balaghah”. Saya sadar bahwa apa yang telah saya lakukan ini tidak lebih dari sebuah lintas sekilas dan upaya singkat ini tidak bisa disebut dengan sebuah penelitian. Di samping saya tidak punya peluang waktu untuk meneliti lebih dalam, saya juga bukan orang yang pantas untuk mengemban tugas ini. Apa lagi, penelitian komprehensif tentang kandungan Nahjul Balaghah dan pengenalan terhadap ideologi Ali as, serta kajian di bidang sanad dan referensi Nahjul Balaghah bukanlah pekerjaan satu orang, melainkan pekerjaan kolektif. Namun, walau demikian, karena “apa yang tidak bisa dijangkau semuanya, maka tidak ditinggalkan secara keseluruhan” dan karena perbuatan kecil akan membuka jalan untuk pekerjaan yang lebih besar, maka saya bertekad untuk memulai lintas kilas ini. Saya juga menyesal, perjalanan singkat ini belum berakhir. Program yang saya canangkan untuk menyusun perjalanan ini belum bisa diselesaikan lantaran kesibukan yang menumpuk. Saya tidak tahu apakah suatu saat saya bisa melanjutkannya atau tidak. Yang saya tahu adalah saya sangat mengharapkan hal itu.

[1] Kira-kira tahun 1367 H./1946 M.

[2] Kira-kira tahun 1393-1394 H./1972-1973 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar