Oleh
Sulaiman Djaya*
Berupaya
menarasikan lingkungan dan geografi sekaligus menghadirkan lingkungan dan
pengalaman penulisnya menjadi sejumlah cerita pendek, itulah simpulan pertama
yang muncul ketika saya membaca buku “Gadis Pingitan”. Lingkungan dan geografi
tersebut tentu saja pada akhirnya menyangkut budaya dan kepercayaan serta tingkah-polah
manusia-manusianya, entah sebagai individu atau sebagai masyarakat yang
memiliki dan mempercayai lanskap kepercayaan dan mitologi mereka. Nuansa
etnisitas, atau katakanlah lokalitas, begitu dominan dalam cerpen-cerpen yang
terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe yang kita
bicarakan ini. Bahkan dapat dikatakan, seluruh cerpen yang terkumpul dalam buku
“Gadis Pingitan” berkutat pada soal-soal tradisi, ritus, dan mitologi yang
sifatnya etnik dan lokal tersebut.
Selanjutnya,
yang katakanlah ini sebagai simpulan kedua ketika saya membacanya, etnisitas
dan lokalitas yang dinarasikan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis
Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe didominasi oleh kultur dan mitologi
masyarakat pesisir dan nelayan, meski selebihnya terkait dengan mitologi dan
kultur masyarakat pedalaman dan pertanian, dari Banten hingga Jawa Timur, dari
Tuban hingga Pulau Tunda. Dari soal jimat, kawalat, jampi-jampi, hingga mantra.
Seakan-akan cerpen-cerpen dalam buku “Gadis Pingitan” hendak menghadirkan
kepada khalayak pembacanya sejumlah kultur hibrid yang hidup dan dipraktekkan
dalam ragam etnik dan masyarakat dengan kearifan “lanskap magis” dan “pesona mistis”,
yang anehnya kadangkala diceritakan dan dinarasikan secara ironis, sesekali
menyelipkan satir.
Cerpen-cerpen
yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” adalah contoh sejumlah cerpen yang
bercerita dan menceritakan etnisitas dan lokalitas dari sudut kultur dan
kepercayaan yang sifatnya hibrid, ketika unsur-unsur Islam, sebagai salah-satu
contoh, beradaptasi dan bercampur dalam corak kepercayaan dan keagamaan
masyarakat Jawa, yang bahkan tetap “Jawa” ketika menerima dan menganut agama
Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya praktik-praktik kepercayaan dan
keagamaan, entah yang sifatnya budaya atau yang religius, tidak sepenuhnya
“Islam” sekaligus tidak sepenuhnya “lokal”, yang ada adalah hibriditas itu
sendiri.
Meski
dengan kadar yang berbeda, tentu saja, tema-tema yang diangkat dan dinarasikan
cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” mengingatkan saya pada
sejumlah cerpen-nya Putu Wijaya yang menjadikan khazanah sosial-politik dan
budaya masyarakat dan bangsa kita sendiri sebagai materi-materi
cerpen-cerpennya. Bercerita tentang kekonyolan, ironi, kejenakaan, ambiguitas
dan lain sebagainya yang kerap terjadi dan melanda masyarakat kita, yang
anehnya itu semua juga berkaitan dengan lanskap mitologi, budaya, kepercayaan,
serta khazanah dan wawasan budaya dan keagamaan masyarakat kita.
Persoalannya
kemudian adalah sejauh mana penulisnya dapat menunjukkan “kelihaian” dan
“kecerdikan” untuk mengolah bahan-bahan dan materi-materi yang sifatnya etnis
dan lokal tersebut? Katakanlah kemahirannya dalam mengkomparasi
khazanah-khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut dengan situasi mutakhir
kondisi sosial-politik masyarakat dan bangsa kita. Semisal sejauh mana
cerpen-cerpen yang menarasikan khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut
sanggup menggambarkan “pertarungan” dan “ketegangan” antara “warisan mitologis”
dan “kepercayaan yang sifatnya etnis” dengan serbuan massif lanskap budaya
pasar ala kapitalisme mutakhir. Sebab, sebagaimana kita maphumi bersama, daya
desak lanskap dan budaya kapitalisme mutakhir tersebut bahkan sanggup
menjangkau “sudut-sudut sunyi” pedesaan dan pedalaman, yang sebagaimana kita
tahu juga, “tidak lagi murni dan sunyi”. Barangkali khalayak pembaca akan bisa
“membaca” sendiri ketika membaca “Gadis Pingitan”: adakah ia masih “pingitan”
dan “perawan” ataukah sudah “ternoda”?
Selanjutnya,
yang menurut saya juga patut direnungkan, seberapa cerdik dan lihai-kah
penulisnya ketika mengusung dan menarasikan “yang mitis” dan “yang magis” dalam
kultur, praktik, dan tingkah-polah individu dan masyarakat yang sifatnya etnis
dan lokal sebagaimana yang dinarasikan “Gadis Pingitan” tersebut tidak
semata-mata “hanya memberitakan” sejumlah laporan antropologis atau etnologis
perihal kehidupan, tingkah-polah (baik yang sifatnya individual atau sosial)
dan budaya mitis serta magis yang dijadikan sebagai tema dan bahan-bahan
material penceritaan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku antologi “Gadis
Pingitan”? Yang dengannya sesuatu yang semula hanya sebagai hal yang sifatnya
antropologis dan etnologis, atau bahkan yang semula hanya bersifat sosiologis,
telah dialihkan ke dalam sebuah prosa, ke media naratif fiksi, yang dalam hal
ini cerita pendek. Dan sekali lagi, saya serahkan kepada khalayak pembaca untuk
“membaca”-nya.
Terlepas
dari pertanyaan-pertanyaan retoris saya yang sifatnya axiomatik tersebut,
cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe dalam “Gadis Pingitan” menarasikan sejumlah
“tokoh perempuan” yang terjebak, mengalami dilema, dan tertimpa nasib dan
pilihan ironis justru karena pakem dan lanskap yang sifatnya etnis dan lokal
tersebut. Barangkali, penulisnya hendak melontarkan “kritik halus” dan “gugatan
samar” atas sejumlah tradisi dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal yang
telah saya katakan. Contohnya adalah bahwa lanskap dan kepercayaan sejumlah
geografi dan masyarakat yang diceritakan sejumlah cerpen yang terkumpul dalam
buku “Gadis Pingitan” mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan justru
karena lanskap dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal itu juga begitu
patriarkhis secara politis dan kultural.
Seterusnya,
bila saya menyebutkan sejumlah “kelebihan” prosa yang mengusung dan mengangkat
tema-tema dan materi yang sifatnya etnis dan lokal ini dengan prosa-prosa yang
mengusung lokalitas, wabilkhusus dalam konteks Banten yang beberapa tahun
belakangan terbit dalam sejumlah antologi cerpen bersama, adalah bahwa
cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” tak
sekedar menyebut nama-nama tempat, semisal nama-nama jalan dan gedung di
kota-kota dan tempat-tempat tertentu di Banten, misalnya, sebagai “penciri”
lokalitas yang hanya akan menjadikan prosa yang mengusung dan menarasikan
etnisitas dan lokalitas tak lebih sebuah “salinan peta” atau “penunjuk peta”,
melainkan mengangkat, menarasikan, singkatnya memfiksikan lanskap, mitologi,
ritus, khazanah kepercayaan dan aspek-aspek keagamaan yang menunjukkan keunikan
dan kekhasan masyarakat tertentu atas “masyarakat” lainnya. Atau minimal
mengangkat pergulatan seorang tokoh atau si individu berkait dengan wawasan,
budaya, kepercayaan, dan khazanah keagamaan dalam suatu masyarakat tertentu.
Sementara,
terlepas dari isu lokalitas dan etnisitas itu, cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe
yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” telah menunjukkan kepada kita proses
kreatif penulisnya sendiri, katakanlah dalam hal ini sebagai contohnya
menyangkut periodisasi dan geografi pengalamannya, antara “periode” ketika ia
masih di di Jawa, khususnya Jawa Timur, yang dalam hal ini penulisnya menulis
sejumlah cerpen yang mengangkat etnisitas dan lokalitas Jawa Timur, semisal
Tuban, dan periodisasi ketika ia di Banten di mana penulisnya menghasilkan
beberapa cerpen yang berlatar-belakang dan mengusung lokalitas Banten, semisal
Pulau Tunda dan Pandeglang.
Demikianlah
pembacaan saya yang saya tuliskan dalam esai singkat ini. Dan tentu saja,
sebagai pembaca saya hanya salah-satu atau salah-seorang pembaca, yang
kebetulan saja diberi kesempatan untuk menyatakan dan memaparkan pembacaannya.
Dalam hal ini, saya maphum bahwa saya tak mungkin memonopoli “pembacaan” atau
memonopoli “tafsir” atas “Gadis Pingitan”, terlepas apakah ia masih perawan
atau telah ternoda. Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah ilustrasi.
“Suatu ketika, di tamannya yang asri, Agustinus muda mendengar sebuah suara
yang berkata: Ambil dan bacalah!” Dengan saran yang sama kepada pembaca
sebagaimana sebuah suara yang berkata kepada Agustinus muda yang tengah
merenung di taman-nya yang asri itu, saya akhiri tulisan singkat ini. Sumber: Harian Banten Raya 22 Maret 2014
*Penggemar sambal dan kopi hitam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar