Label

Senin, 19 Mei 2014

Gagrak “Gadis Pingitan”


Oleh Sulaiman Djaya*

Berupaya menarasikan lingkungan dan geografi sekaligus menghadirkan lingkungan dan pengalaman penulisnya menjadi sejumlah cerita pendek, itulah simpulan pertama yang muncul ketika saya membaca buku “Gadis Pingitan”. Lingkungan dan geografi tersebut tentu saja pada akhirnya menyangkut budaya dan kepercayaan serta tingkah-polah manusia-manusianya, entah sebagai individu atau sebagai masyarakat yang memiliki dan mempercayai lanskap kepercayaan dan mitologi mereka. Nuansa etnisitas, atau katakanlah lokalitas, begitu dominan dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe yang kita bicarakan ini. Bahkan dapat dikatakan, seluruh cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” berkutat pada soal-soal tradisi, ritus, dan mitologi yang sifatnya etnik dan lokal tersebut.  

Selanjutnya, yang katakanlah ini sebagai simpulan kedua ketika saya membacanya, etnisitas dan lokalitas yang dinarasikan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” karya Aksan Taqwin Embe didominasi oleh kultur dan mitologi masyarakat pesisir dan nelayan, meski selebihnya terkait dengan mitologi dan kultur masyarakat pedalaman dan pertanian, dari Banten hingga Jawa Timur, dari Tuban hingga Pulau Tunda. Dari soal jimat, kawalat, jampi-jampi, hingga mantra. Seakan-akan cerpen-cerpen dalam buku “Gadis Pingitan” hendak menghadirkan kepada khalayak pembacanya sejumlah kultur hibrid yang hidup dan dipraktekkan dalam ragam etnik dan masyarakat dengan kearifan “lanskap magis” dan “pesona mistis”, yang anehnya kadangkala diceritakan dan dinarasikan secara ironis, sesekali menyelipkan satir.

Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” adalah contoh sejumlah cerpen yang bercerita dan menceritakan etnisitas dan lokalitas dari sudut kultur dan kepercayaan yang sifatnya hibrid, ketika unsur-unsur Islam, sebagai salah-satu contoh, beradaptasi dan bercampur dalam corak kepercayaan dan keagamaan masyarakat Jawa, yang bahkan tetap “Jawa” ketika menerima dan menganut agama Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya praktik-praktik kepercayaan dan keagamaan, entah yang sifatnya budaya atau yang religius, tidak sepenuhnya “Islam” sekaligus tidak sepenuhnya “lokal”, yang ada adalah hibriditas itu sendiri.

Meski dengan kadar yang berbeda, tentu saja, tema-tema yang diangkat dan dinarasikan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” mengingatkan saya pada sejumlah cerpen-nya Putu Wijaya yang menjadikan khazanah sosial-politik dan budaya masyarakat dan bangsa kita sendiri sebagai materi-materi cerpen-cerpennya. Bercerita tentang kekonyolan, ironi, kejenakaan, ambiguitas dan lain sebagainya yang kerap terjadi dan melanda masyarakat kita, yang anehnya itu semua juga berkaitan dengan lanskap mitologi, budaya, kepercayaan, serta khazanah dan wawasan budaya dan keagamaan masyarakat kita.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mana penulisnya dapat menunjukkan “kelihaian” dan “kecerdikan” untuk mengolah bahan-bahan dan materi-materi yang sifatnya etnis dan lokal tersebut? Katakanlah kemahirannya dalam mengkomparasi khazanah-khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut dengan situasi mutakhir kondisi sosial-politik masyarakat dan bangsa kita. Semisal sejauh mana cerpen-cerpen yang menarasikan khazanah etnisitas dan lokalitas tersebut sanggup menggambarkan “pertarungan” dan “ketegangan” antara “warisan mitologis” dan “kepercayaan yang sifatnya etnis” dengan serbuan massif lanskap budaya pasar ala kapitalisme mutakhir. Sebab, sebagaimana kita maphumi bersama, daya desak lanskap dan budaya kapitalisme mutakhir tersebut bahkan sanggup menjangkau “sudut-sudut sunyi” pedesaan dan pedalaman, yang sebagaimana kita tahu juga, “tidak lagi murni dan sunyi”. Barangkali khalayak pembaca akan bisa “membaca” sendiri ketika membaca “Gadis Pingitan”: adakah ia masih “pingitan” dan “perawan” ataukah sudah “ternoda”?

Selanjutnya, yang menurut saya juga patut direnungkan, seberapa cerdik dan lihai-kah penulisnya ketika mengusung dan menarasikan “yang mitis” dan “yang magis” dalam kultur, praktik, dan tingkah-polah individu dan masyarakat yang sifatnya etnis dan lokal sebagaimana yang dinarasikan “Gadis Pingitan” tersebut tidak semata-mata “hanya memberitakan” sejumlah laporan antropologis atau etnologis perihal kehidupan, tingkah-polah (baik yang sifatnya individual atau sosial) dan budaya mitis serta magis yang dijadikan sebagai tema dan bahan-bahan material penceritaan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku antologi “Gadis Pingitan”? Yang dengannya sesuatu yang semula hanya sebagai hal yang sifatnya antropologis dan etnologis, atau bahkan yang semula hanya bersifat sosiologis, telah dialihkan ke dalam sebuah prosa, ke media naratif fiksi, yang dalam hal ini cerita pendek. Dan sekali lagi, saya serahkan kepada khalayak pembaca untuk “membaca”-nya.

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan retoris saya yang sifatnya axiomatik tersebut, cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe dalam “Gadis Pingitan” menarasikan sejumlah “tokoh perempuan” yang terjebak, mengalami dilema, dan tertimpa nasib dan pilihan ironis justru karena pakem dan lanskap yang sifatnya etnis dan lokal tersebut. Barangkali, penulisnya hendak melontarkan “kritik halus” dan “gugatan samar” atas sejumlah tradisi dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal yang telah saya katakan. Contohnya adalah bahwa lanskap dan kepercayaan sejumlah geografi dan masyarakat yang diceritakan sejumlah cerpen yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan justru karena lanskap dan kepercayaan yang sifatnya etnis dan lokal itu juga begitu patriarkhis secara politis dan kultural.

Seterusnya, bila saya menyebutkan sejumlah “kelebihan” prosa yang mengusung dan mengangkat tema-tema dan materi yang sifatnya etnis dan lokal ini dengan prosa-prosa yang mengusung lokalitas, wabilkhusus dalam konteks Banten yang beberapa tahun belakangan terbit dalam sejumlah antologi cerpen bersama, adalah bahwa cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” tak sekedar menyebut nama-nama tempat, semisal nama-nama jalan dan gedung di kota-kota dan tempat-tempat tertentu di Banten, misalnya, sebagai “penciri” lokalitas yang hanya akan menjadikan prosa yang mengusung dan menarasikan etnisitas dan lokalitas tak lebih sebuah “salinan peta” atau “penunjuk peta”, melainkan mengangkat, menarasikan, singkatnya memfiksikan lanskap, mitologi, ritus, khazanah kepercayaan dan aspek-aspek keagamaan yang menunjukkan keunikan dan kekhasan masyarakat tertentu atas “masyarakat” lainnya. Atau minimal mengangkat pergulatan seorang tokoh atau si individu berkait dengan wawasan, budaya, kepercayaan, dan khazanah keagamaan dalam suatu masyarakat tertentu.

Sementara, terlepas dari isu lokalitas dan etnisitas itu, cerpen-cerpen Aksan Taqwin Embe yang terkumpul dalam buku “Gadis Pingitan” telah menunjukkan kepada kita proses kreatif penulisnya sendiri, katakanlah dalam hal ini sebagai contohnya menyangkut periodisasi dan geografi pengalamannya, antara “periode” ketika ia masih di di Jawa, khususnya Jawa Timur, yang dalam hal ini penulisnya menulis sejumlah cerpen yang mengangkat etnisitas dan lokalitas Jawa Timur, semisal Tuban, dan periodisasi ketika ia di Banten di mana penulisnya menghasilkan beberapa cerpen yang berlatar-belakang dan mengusung lokalitas Banten, semisal Pulau Tunda dan Pandeglang.

Demikianlah pembacaan saya yang saya tuliskan dalam esai singkat ini. Dan tentu saja, sebagai pembaca saya hanya salah-satu atau salah-seorang pembaca, yang kebetulan saja diberi kesempatan untuk menyatakan dan memaparkan pembacaannya. Dalam hal ini, saya maphum bahwa saya tak mungkin memonopoli “pembacaan” atau memonopoli “tafsir” atas “Gadis Pingitan”, terlepas apakah ia masih perawan atau telah ternoda. Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah ilustrasi. “Suatu ketika, di tamannya yang asri, Agustinus muda mendengar sebuah suara yang berkata: Ambil dan bacalah!” Dengan saran yang sama kepada pembaca sebagaimana sebuah suara yang berkata kepada Agustinus muda yang tengah merenung di taman-nya yang asri itu, saya akhiri tulisan singkat ini. Sumber: Harian Banten Raya 22 Maret 2014

*Penggemar sambal dan kopi hitam 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar