Oleh Sulaiman Djaya, Komite Sastra Dewan Kesenian Banten (Sumber: Radar Banten, 04 Desember 2015)
Jika disaintifikasi, dapat
dikatakan puisi lahir dari “rumah bathin” sekaligus “pengalaman empirik” yang
sifatnya interaktif satu sama lainnya, meski kadang puisi ditulis sebagai
sebuah perlawanan atas kenyataan empirik itu sendiri. Dan sejauh menyangkut
puisi kaum darwis, allegory-nya acapkali mengandung pedagogi “moral” yang nilai
dan jangkauannya universal.
Sementara itu, karena yang
dibahas dalam esai singkat ini adalah salah seorang pujangga dari negeri Persia
(Iran), maka tak ada salahnya kita simak sejenak komentar Terence Ward dalam
bukunya yang berjudul Searching for Hassan itu, menyangkut tempat dan posisi
puisi bagi bangsa Persia (Iran), bahwa: “Sebagaimana opera bagi bangsa Italia,
puisi adalah semangat berseni yang dimiliki oleh seluruh bangsa Iran”, yang
berarti dapat kita katakan bahwa puisi adalah “jiwa” bangsa Iran itu sendiri.
Dan tentang Hafiz, rasanya
tak lengkap bila kita tak menyertakan penghormatan yang diberikan oleh pujangga
Jerman, Goethe, melalui puisinya yang diterjemahkan oleh Berthold Damshauser
dan Agus R Sarjono berikut, yaitu “Tak Terbatas”:
Bahwa kau tak bisa usai,
kau gemilang,
Bahwa kau tak juga mulai, itu nasibmu.
Lagumu berulang bagai kubah gemintang,
Awal dan akhir senantiasa sama,
Dan yang di tengah pun ternyata
Sama belaka dengan akhir dan mula.
Kau sumber sukacita pujangga sejati,
Darimu ombak tak henti-henti.
Kaulah mulut yang siap bercium,
Dendang di dada merdu mengalir,
Tenggorok tergiur tuk meminum,
Jiwa meluap luhur membanjir.
Biar dunia runtuh lintang pukang,
Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang
Ingin aku bertanding! Nikmat dan siksa
Bagi sang kembar, kita berdua!
Bercinta bagai kau, minum bagai kau
Menjadi hidupku menjadi marwahku.
Dengan api sendiri, kini berdendanglah, lagu!
Sebab kau lebih tua, sebab kau lebih baru.
Bahwa kau tak juga mulai, itu nasibmu.
Lagumu berulang bagai kubah gemintang,
Awal dan akhir senantiasa sama,
Dan yang di tengah pun ternyata
Sama belaka dengan akhir dan mula.
Kau sumber sukacita pujangga sejati,
Darimu ombak tak henti-henti.
Kaulah mulut yang siap bercium,
Dendang di dada merdu mengalir,
Tenggorok tergiur tuk meminum,
Jiwa meluap luhur membanjir.
Biar dunia runtuh lintang pukang,
Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang
Ingin aku bertanding! Nikmat dan siksa
Bagi sang kembar, kita berdua!
Bercinta bagai kau, minum bagai kau
Menjadi hidupku menjadi marwahku.
Dengan api sendiri, kini berdendanglah, lagu!
Sebab kau lebih tua, sebab kau lebih baru.
Penghormatan Goethe,
pujangga Jerman yang oleh James Joyce disebut sebagai salah-satu dari tiga
penghuni Olympus Eropa bersama Dante Alighieri dan William Shakespeare itu,
sudah cukup bagi kita untuk menilai posisi Hafiz dan karya-karyanya, selain
komentar dan penilaian-penilaian yang diberikan oleh para penulis dan pujangga
lain, semisal oleh Ralph Waldo Emerson.
Sejumlah puisi Hafiz, yang
bernama asli Syamsuddin Muhammad ini, bagi saya sebagai pembaca, memiliki ciri
“meditatif kedalam”, sementara yang lainnya menyuarakan pedagogi moral dan
“ajaran” religius bagi para pembacanya, utamanya kepada mereka yang dimaksudkan
sebagai “sasaran” sindiran alegoris puisinya, semisal:
“Ketika aku mampu melihat
dengan begitu jelas
telah engkau bangun dengan
penuh kasih sayang
bilik yang begitu besar
–untuk rumah
segala kesenanganmu.
Bahkan engkau telah
membentengi tempat lusuhmu
dengan pasukan-pasukan
bersenjata
dan anjing-anjing ganas
untuk melindungi hasratmu”.
Lagi-lagi bagi saya,
contoh puisi Hafiz tersebut masih relevan dan mendapatkan konteks “suaranya”
untuk jaman atau era material dan komsumtif masyarakat kapitalis saat ini, yang
urat nadi kehidupan kesehariannya telah terkepung oleh “imperatif pasar” yang
telah menggiring ummat manusia pada kecenderungan materialistik dan tak
bosan-bosan untuk membeli komoditas yang diiklankan oleh sejumlah reklame dan
mesin-mesin pemasaran, yang juga telah mengepung kita di segala sudut dan sisi
kehidupan dan keberadaan kita, utamanya melalui instrumen media.
Hal lain yang dapat kita
bayangkan adalah bahwa anggaplah puisi tersebut merupakan kritik dan sindiran
terhadap fenomena korporasi, contohnya korporasi persenjataan dan tekhnologi
perang dan pertahanan, yang salah-satunya, menghalalkan perang dan pertumpahan
darah demi terjualnya komoditas-komoditas dan produk-produk yang mereka
produksi itu, persis ketika kita membaca bait, parafrase, atau kalimat yang
berbunyi: “Bahkan engkau telah membentengi tempat lusuhmu dengan
pasukan-pasukan bersenjata dan anjing-anjing ganas untuk melindungi hasratmu”.
Anggap saja anjing-anjing
ganas di situ sebagai mesin-mesin perang dan persenjataan yang diproduksi
korporasi dunia saat ini demi melayani interest atau kepentingan politis,
ekonomis, singkatnya hasrat materialis, para korporat alias para pemiliki
pabrik, industri, dan infrastruktur-infrastruktur yang memproduksi senjata dan
tekhnologi “perang dan pertahanan” super canggih di jaman kita saat ini.
Dengan demikian, nilai
“universal” puisi tersebut tak lain karena suaranya seakan datang dari hari dan
jaman kita saat ini, dari sebuah dunia dan situasi yang kita alami dan kita
ketahui saat ini. Persis ketika konflik berdarah dan perang di sejumlah Negara
dan belahan dunia, di Bumi kita ini, ternyata tak dapat dilepaskan dari
interest para korporat, yang dapat dikatakan sebagai para penguasa sesungguhnya
dari kekuasaan dan pemerintahan-pemerintahan Negara, bahkan
organisasi-organisasi dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar