Label

Jumat, 07 Februari 2014

Imam Ali dalam Matsnawi Rumi


“Wahai yang berziarah ke Najaf, ke makam Ali, ketahuilah di sana terbaring mutiara Ka’bah” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)

Pembimbing terakhir-wali adalah Allah, disusul, secara berurutan, oleh: Nabi Muhammad saw dan dua belas imam. Sebagaimana Nabi saw dan 12 Imam adalah manifestasi ‘Manusia Sempurna’ (Imamah dalam literatur Syiah), dan ‘Manusia Sempurna,’ bersesuaian dengan identitas yang sama. Bahwa esensi ‘Manusia Sempurna’ dalam tasawuf dimaknai dengan ‘Imamah’—prinsip Syi’isme yang membedakan—mengindikasikan bahwa sufi, tanpa memperhatikan praktik keagamaan yang mereka ikuti, taklid, dalam hal ini adalah Muslim Syiah. Dalam pandangan irfani, ada dua aspek yang berbeda dari wilayah: “Wilayah umum” (wilayah ‘ammah ) dan “wilayah khusus” (wilayah khashshah). Wilayah pertama, wilayah umum (harfiah: bintang) mengandung dua level:

1. Level pertama dimulai dengan “pengosongan,” takhliyah,” dan berakhir dengan stasiun “kedekatan (melalui) amal-amal sunah—qurb nawafil. Ketika Allah menjadi mata, telinga, dan lidah hamba-Nya, pencari kebenaran (salik) mencapai keadaan (maqam) hakikat keyakinan (haqqul yaqin).

2. Level kedua berhubungan dengan mereka yang fana dalam al-Haqq—yang tetap dalam eksistensi Raja Keberadaan. Tahapan terakhir dari keadaan ini disebut sebagai maqam qaba qausayn.

“Wilayah khusus” hanya dipegang oleh Nabi Muhammad saw dan para penerus Ilahinya dari Ahlulbait (keluarga Nabi saw, secara khusus, putrinya Fathimah, suaminya, Ali, dan anak-anak mereka, Hasan dan Husain). Wilayah khusus tersebut berlanjut dari maqam qaba qausayn, sampai pada tercapainya “maqam manifestasi Tajaliyah Zati” dan maqam aw adna.

Pada tahapan tersebut, mereka yang memegang wilayah ini memahami level batin ketujuh, bathn haftom kalam Allah, yakni firman Allah, al-Quran. Tercatat dalam satu hadis, mengenai al-Quran, bahwa “Al-Quran memiliki level pengertian lahiriah dan level pengertian batiniah yang mencakup tujuh makna batin yang dalam” (Allamah Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jil.3, hal.72).

Para pemangku wilayah khusus, wali, seperti pohon besar yang darinya abdal, nuqaba, dan awtad semata-mata bayanngan. Karena, setiap zaman ada satu Manusia Sempurna, quthub, dengan semua makhluk spiritual lainnya di zaman tersebut di bawah bayangannya (lihat bait-bait 1924-2305 Buku Ketiga Matsnawi Rumi dan ulasan Mulla Hadi Sabzawari atas bait 2003 Buku Ketiga Matsnawi). Maulana mengatakan bahwa wilayah khusus memiliki dua aspek, wilayah Syamsiah (matahari), dan wilayah Qamariah (bulan) (Buku Ketiga, bait 3104-3106).

Manifestasi wilayah Syamsiah adalah wilayah Muhammadiyah, dipegang oleh Nabi Muhammad Mustafa), sementara wilayah Qamariah, merujuk secara khusus kepada Ahlulbaitnya, Yang Allah tunjuk untuk mewarisi otoritas Nabi saw dan melanjutkannya. Menurut Matsnawi Buku Pertama, bait 2959-2980, wilayah Alawiyah, yakni wilayah Imam Ali dan para pewaris otoritas, termasuk pada wilayah Muhammadiyah. Menurut Buku Pertama, bait 3761-3766, wilayah Qamariyah Imam Ali termasuk pada wilayah Syamsiah Nabi Muhammad saw. Rumi mendasarkan ulasan-ulasan atas wilayah khususnya Imam Ali pada perkataan Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.”

Dalam cerita pertama di awal Buku Pertama Matsnawi, “Raja dan Pelayan,” Manusia Sempurna—Pir, atau Hakim Haziq dimunculkan dengan merujuk pada salah satu gelar Imam Ali Murtadha, kepadanya ia kemudian terus menjelaskan sebagai “orang yang memegang otoritas atas manusia, Mula al-Qum.” (Matsnawi Buku Pertama, bait 99-100).

Dalam cerita terakhir Buku Pertama, Sebuah Kisah tentang Imam Ali, Rumi membahas nafsul muthmainnah (bait 3721-3391) dan mengenalkan Imam Ali sebagai seorang pemangku wilayah khusus. Dalam Buku Terakhir, ia kembali memunculkan wilayah Imam Ali didasarkan pada perkataan Nabi saw, “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya". Jil.6, bait 4538. Maka itu, Matsnawi Rumi bermula dan berakhir dengan wilayah Imam Ali. Bukti tekstual selanjutnya dalam Matsnawi mendukung penerimaan Rumi atas wilayah Imam Ali dan superioritasnya atas para sahabat Nabi saw lainnya.

1. Rumi menyebut Imam Ali as, Amirul Mukminin (Pemimpin orang-orang beriman), diterjemahkan oleh Nicholson sebagai “Pangeran orang-orang Mukmin,” dalam cerita yang diberi judul Imam Ali. (Buku Pertama, pembukaan setelah bait 3720).

2. Rumi menyebut Imam Ali, “Orang yang beramal secara ikhlas”—“Belajarlah bagaimana beramal secara ikhlas dari Ali.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan pertama).

3. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Allah”—“Ketahuilah, bahwa Singa Allah (Ali) disucikan dari segala tipudaya.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan kedua).

4. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap nabi”—“Ali, kebanggaan setiap nabi.” (Buku Pertama, bait 3723).

5. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap wali”—“Ali, kebanggaan setiap nabi dan setiap wali.” (Buku Pertama, bait 3723).

6. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “wajah yang di hadapannya bulan membungkuk perlahan”—“Ia menyiratkan ketenangan yang di hadapan wajah tersebut, bulan membungkuk perlahan sebagai pengganti ibadah.” (Buku Pertama, bait 3724).

7. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Tuhan”—“Dalam kegagahan engkau adalah Singa Tuhan; dalam kedermawanan siapa yang mengetahui sebenarnya dirimu?” (Buku Pertama, bait 3732).

8. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seluruh pikiran dan penglihatan”—“Wahai Ali, engkau adalah seluruh pikiran dan penglihatan, ceritakan sedikit dari apa yang telah kaulihat.” (Buku Pertama, bait 3745).

9. Rumi menyebut Imam Ali sebagai, “rajawali empyrean”—“Katakan, wahai rajawali empyrean yang menemukan mangsa baik, apa yang telah kau lihat di waktu ini dari Pencipta?” (Buku Pertama, bait 3750).

10. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “alim yang melihat yang gaib”—“Matamu telah belajar melihat yang gaib ketika mata-mata dari para pengamat tertutup.” (Buku Pertama, bait 3751).

11. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang diridai oleh Allah”—“Tunjukkan rahasia, wahai Ali, engkaulah orang yang diridai oleh Allah.” (Buku Pertama, bait 3751, bagian pertama).

12. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kemudahan yang baik”—“Wahai engkau yang kemudahannya baik, setelah nasib yang buruk.” (Buku Pertama, bait 3752).

13. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bola rembulan (wilayah Qamariah)”—“Darimu sinar memancar kepadaku, seperti rembulan, bagaimana bisa engkau menyembunyikannya? Tanpa lidah, engkau lecutkan berkas-berkas cahaya, seperti bulan. Namun jika bola-bola rembulan datang untuk berbicara, secara cepat ia lebih memimpin para pejuang malam jalan (benar). Mereka menjadi aman dari kesalahan dan ketundukkan: suara bulan menyebar ke atas suara jiwa yang jahat.” (Buku Pertama, bait 3759-3761).

14. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya di atas cahaya”— “Dalam sebanyak bulan (bahkan) tanpa berbicara menunjukkan jalan, ketika ia bicara ia menjadi cahaya di atas cahaya.” (Buku Pertama, bait 3762).

15. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu kota ilmu (Ali pintu wilayah Muhammadiyah)”—“Karena engkau adalah pintu kota ilmu, karena engkau adalah sinar mentari rahmat (Nabi Muhammad saw)” (Buku Pertama, bait 3763). Bait ini merujuk kepada Nabi Muhammad yang berkata, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka siapasaja yang mencari ilmu, hendaknya masuk melalui pintunya.”

16. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘pintu rahmat’—“Teruslah terbuka selamanya.” (Buku Pertama, bait 3765).

17. Rumi menyebut Imam Ali yang mengatakan, “Jalan masuk aula yang siapa pun tidak seperti ia.” (Buku Pertama, bait 3765) Ini merujuk pada surah al-Ikhlash.

18. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ”matahari wilayah”—“Bicaralah, wahai Pangeran orang beriman, agar jiwaku bisa bersenyawa di dalam tubuhku seperti sebuah embrio. Bagaimana embrio mempunyai sarana-sarana (untuk bersenyawa) selama periode ketika ia dikuasai (oleh bintang-bintang)? Ia muncul (berputaran) dari bintang-bintang menuju matahari. Ketika waktu tiba bagi embrio untuk menerima ruh (penting) Pada waktu itu, matahari menjadi penolongnya. (Buku Pertama, bait 3773-5).

Bait-bait ini mengacu pada wilayah Qamariah Ahlulbait dalam wilayah Syamsiah dari Nabi Muhammad saw. Di sini, Rumi menjelaskan bahwa mereka yang memangku wilayah umum atau bintang hanyalah bintang-bintang apabila dibandingan dengan Ali yang, seperti matahari, menggambarkan manusia sempurna atau Syekh sempurna. Dengan demikian, sementara mereka yang memegang wilayah umum (wilayah ‘ammah) bisa membantu seorang pencari kebenaran (salik), bimbingan lengkap hanya dapat diperoleh melalui mereka yang memangku wilayah Syamsiah—suatu referensi kepada Imam Ali dan para penggantinya. Di sini, Rumi menyajikan ketiga jenis wilayah yang digambarkan di dalam pengantar: wilayah Syamsiah, wilayah Qamariah—aspek-aspek wilayah khusus (wilayah khashah), dan wilayah umum (wilayah ‘ammah), yang juga disebut wilayah bintang (wilayah najmiyah). Semua ini bisa dipandang level-level rendah dan tinggi dari wilayah.

19. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari”- “Ketika saatnya bagi embrio untuk menerima ruh (vital), pada saat itu matahari menjadi penolongnya. Embrio ini dibawa ke dalam gerakan oleh matahari, karena matahari dengan cepat memberkatinya dengan ‘ruh.” Buku Pertama, bait 3775-3776. Dalam perjalanan ruhani menuju Allah, embrio, salik, taat kepada wilayah Alawiyah, sampai pada tujuannya.

20. Rumi menyebut seluruh pesuluk mempunyai kemampuan untuk itu, jika mereka menyadari bahwa hal itu memiliki suatu hubungan tak terpisahkan dengan wilayah Alawiyah, yakni, wilayah Syamsiah Imam Ali—“Dengan cara tersembunyi yakni jauh dari persepsi indrawi kita, matahari di langit mempunyai banyak cara.” (Buku Pertama, bait 3779). Adalah melalui hubungan inherenlah, bersama wilayah Syamsiah Ali, yang ada di balik indra-indra fisik, pesuluk mampu berkembang.

21. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “rute jalan ruhani” (wilayah)—“Dan cara yang ia menjadikan (permata) rubi merah dan cara yang dengannya ia memberi cahaya-menerangi ke sepatu kuda (besi) Dan cara yang dengannya ia menjadikan matang buah, dan cara yang dengannya ia memberikan hati kepada orang yang bersedih.” (Buku Pertama, bait 3781-82). Ayat-ayat ini merujuk pada surah al-Adiyat yang diturunkan untuk menerangi kedudukan Imam Ali.

22. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seekor rajawali dengan sayap yang bersinar”—“Katakanlah, wahai rajawali dengan sayap yang bersinar.” (Buku Pertama, bait 3783, bagian pertama).

23. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang belajar dari dan menjadi familiar dengan Raja Hakiki alam semesta”—“Yang belajar dari Sang Raja dan ‘Lengan-Nya.” (Buku Pertama, bait 3783, bagian dua).

24. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘rajawali agung yang menangkap Anga.” —“Katakanlah, wahai rajawali yang menangkap Anga, wahai Engkau Yang menaklukkan pasukan oleh dirimu sendiri.” (Buku Pertama, bait 3784).

25. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “satu umat”—“Engkau sendiri adalah (satu masyarakat utuh) engkau yang satu dan seratus ribu. Katakanlah, wahai engkau pemilik rajawali, budakmu jadi mangsa.” (Buku Pertama, bait 3785).

Ayat ini merujuk pada suatu ayat al-Quran yang di dalamnya Allah mengatakan kepada kita bahwa semua manusia adalah umat yang satu. Lihat surah al-Baqarah ayat 213. Sementara, semua manusia memiliki potensi, hanya sebagian manusia yang benar-benar mengikuti wilayah Ali, orang yang taat kepada Allah.

26. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “hamba Allah”—“Ia berkata, ‘Aku menggunakan pedangku karena Allah. Aku adalah hamba Allah. Aku tidak di bawah perintah tubuh.’” (Buku Pertama, bait 3787).

27. Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘Singa Allah’—“Aku adalah Singa Allah, bukan singa nafsuku.” (Buku Pertama, bait 3788, bagian pertama).

28. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “ia yang tangannya menyaksikan agamanya”—“Perbuatanku memberi kesaksian atas agamaku.” (Buku Pertama, bait 3787, bagian kedua).

29. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “manifestasi kehendak Allah”—“Dalam peperangan, aku adalah manifestasi kebenaran dari, “Bukan engkau yang melempar batu ketika engkau engkau melempar.’ Tetapi pedang dan pelempar adalah Matahari (Ilahi)” (Buku Pertama, bait 3789). Ini merujuk pada surah al-Anfal: 17.

30. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang lebur di dalam Allah”– ‘Aku telah membuang beban ‘diri’ dari jalan itu.” (Buku Pertama, bait 3790, bagian pertama).

31. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang tauhidnya adalah tauhid “esensial”—“Aku telah menganggap (sesuatu) selain Allah sebagai non-eksisten.”’ (Buku Pertama, bait 3790, bagian kedua).

32. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Bayangan Tuhan”– “Aku adalah bayangan, Matahari adalah Tuhanku.” (Buku Pertama, bait 3791, bagian pertama). 

Wilayah Ali adalah dari Allah

33. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kepala rumah-tangga Allah”– “Aku adalah kepala rumah-tangga, bukan tirai (yang menghalangi pendekatan) kepada-Nya.” (Buku Pertama, bait 3791, bagian kedua).

Fungsi Ali adalah membimbing manusia kepada Allah

34. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang dipenuhi dengan mutiara penyatuan dengan Allah”– “Aku dipenuhi dengan mutiara penyatuan seperti pedang bertatahkan permata.” (Buku Pertama, bait 3792, bagian pertama).

35. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pembaru kehidupan spiritual”—“Dalam perang, aku menghidupkan kembali, tetapi tidak membunuh manusia.” (Buku Pertama, bait 3792, bagian dua).

36. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pelaju level-level esensi spiritual dan moralitas Ilahi”—“Darah tidak menutup cahaya pedangku: Bagaimana angin harus menyapu jauh awan-awanku?” (Buku Pertama, bait 3793).

Komentator besar Matsnawi-nya Rumi, Akbar Abadi mengatakan bahwa ‘Pedang dan awan-awan di sini merujuk pada level tinggi esensi spiritual Ali. Angin merujuk pada moralitas negatif (akhlaq nafsani) dan kilauan pedang merujuk pada moralitas Ilahi. Referensi penting bahwa sifat-sifat negatif tidak mengganggu kualitas-kualitas sempurna Ali. (Lihat Akbar Abadi, Syarh Mathnawi, Buku 1, hal. 307).

37. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “gunung ketabahan, kesabaran, dan keadilan”–“Aku bukan jerami, aku gunung ketabahan, kesabaran dan keadilan: Bagaimana bisa angin kemarahan mengangkat gunung?” (Buku Pertama, bait 3794).

38. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bangunan Allah adalah bangunan Ali”– “Aku adalah gunung dan wujudku adalah bangunan-Nya. Jika aku menjadi seperti jerami, anginku (yang menggerakkanku) adalah zikir kepada-Nya.” (Buku Pertama, bait 3797).

39. Dengan merujuk kepada Imam Ali, Rumi menulis, “Pemimpinnya adalah cinta Allah”—“Kecintaanku tidak digerakkan melainkan dengan tiupan-Nya; kaptenku adalah kosong melainkan kepada Cinta kepada Yang Tunggal.” (Buku Pertama, bait 3798).

40. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “penindas kemarahan”—“Kemarahan, raja diraja bagiku tiada lain adalah budak: Bahkan kemarahan saya telah ikat di bawah pengekangan.” (Buku Pertama, bait 3799).

41. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang tenggelam dalam cahaya Allah”–“Aku tenggelam dalam cahaya sekalipun atapku hancur.” (Buku Pertama, bait 3801, bagian pertama).

42. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “taman surga”– “Saya telah menjadi sebuah kebun sekalipun saya digelari Bapak Tanah (Abu Turab)” (Buku Pertama, bait 3801, bagian kedua). Ayat ini merujuk pada hadis yang di dalamnya Nabi saw menjuluki Ali sebagai Abu Turab.

43. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pecinta Allah”–“Agar namaku adalah ‘Dia mencintai karena Allah. Agar keinginanku adalah ‘Dia membenci karena Allah.” (Buku Pertama, bait 3803).

44. Rumi menyebut manifestasi ‘kemurahhatian’ Ali sebagai “memberi karena Allah”—“Bahwa kemurahhatianku adalah ‘Dia memberi karena Allah.’” (Buku Pertama, bait 3804, bagian pertama).

45. Rumi merujuk pada manifestasi penyembunyian Ali sebagai “penyembunyian karena Allah”—“Bahwa wujudku adalah ‘Dia menyembunyikan karena Allah.’” (Buku Pertama, bait 3804, bagian kedua).

Bait 3803 dan 3804 merujuk pada sebuah hadis, “Keimanan dari siapasaja yang memberi karena Allah atau menyembunyikan karena Allah atau mencintai karena Allah atau membenci karena Allah atau menikah karena Allah, akan mencapai kesempurnaan.” (Foruzanfar, Ahadith Matsnawi, hal.37, Tehran 1361).

46. Rumi merujuk pada Imam Ali sebagai “kepunyaan Allah sepenuhnya”—“Aku kepunyaan Allah sepenuhnya, aku bukan milik yang lain.” (Buku Pertama, bait 3805, bagian kedua). Kehendak dan wujud Imam Ali dilingkari oleh kehendak dan eksistensi Allah.

47. Dengan merujuk pada Imam Ali, Rumi menulis, “Perbuatan Ali adalah karena Allah saja yang bersumber dari makrifat terangnya atas Allah”—“Dan bahwa yang aku lakukan karena Allah adalah (tidak dilakukan dengan) selaras, bukan fantasi atau pendapat, ia hampa kecuali intuisi.” (Buku Pertama, bait 3806).

Ilmu Ali adalah intuitif ketimbang teoretis

48. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang terpikat kepada Allah semata”—“Aku telah dibebaskan dari usaha dan pencarian, aku telah mengikat lengan bajuku pada rok Allah.” (Buku Pertama, bait 3807).

49. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang melihat Ali di mana-mana”—“Jika aku terbang, aku melihat tempat yang kepadanya aku mendaki; dan jika aku memutar, aku melihat poros yang padanya aku berputar.” (Buku Pertama, bait 3808).

50. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari dan rembulan, wilayah Qamariah dan Syamsiah”—“Aku adalah rembulan dan matahari di depanku sebagai pemanduku.” (Buku Pertama, bait 3809, bagian kedua).

51. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu ilmu Tuhan”—“Masuklah, aku akan buka pintu tersebut bagimu.” (Buku Pertama, bait 3841).

52. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang memberikan harta karun abadi kepada para pengikutnya”—“Apa yang kemudian aku berikan kepada pelaku kebajikan? Ketahuilah oleh kalian, aku berikan harta karun dan kerajaan-kerajaan yang abadi.” (Buku Pertama, bait 3843).

53. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “tuan ruh”—“Tetapi, jangan bersedih: Aku pemberi syafaat kalian; aku adalah pemilik ruh, aku bukan pelayan tubuh.” (Buku Pertama, bait 3942).

54. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “matahari agung”– “Tubuh ini tidak punya nilai dalam pandanganku: Tanpa tubuhku, aku adalah agung (dalam ruh), matahari ruh.” (Buku Pertama, bait 3943).

55. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “petunjuk para raja”—“Secara lahiriah ia berjuang dengan kekuatan dan otoritas, tetapi (hanya) ia yang bisa memperlihatkan kekuasaan jalan dan penilaian yang benar. Bahwa dengan ia, ruh lain bagi kekuasaan; ia bisa menghasilkan buah bagi pohon palem dari kekhalifahan.” (Buku Pertama, bait 3946-47).

56. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan Ilahi”—“Engkau benar-benar timbangan dengan sifat adil dari Yang Tunggal (Allah).” (Buku Pertama, bait 3981, bagian pertama).

57. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan yang dengannya para wali ditimbang”—“Tidak, engkau adalah puncak setiap keseimbangan.” (Buku Pertama, bait 3981, bagian kedua).

58. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya wilayahnya adalah cahaya wilayah Allah”—“Aku adalah pelayan dari mata pencari lampu yang dengannya lampu menerima keagungannya.” (Buku Pertama, bait 3984).

59. Rumi menyebut Imam Ali sebagai “mutiara dari samudera cahaya Allah”—“Aku adalah pelayan dari gelombang samudera cahaya yang membawa mutiara seperti ini ke dalam pandangan.” (Buku Pertama, bait 3985).

60. Rumi menyebut Imam Husain sebagai “raja agama, kemegahan, dan ruh murni”—“Suatu ruh megah lari dari penjara; mengapa kita harus merobek pakaian-pakaian kita dan bagaimana kita harus mengunyah tangan-tangan kita. Karena mereka (Husain dan keluarganya) adalah raja-raja agama (hakiki), inilah saat kebahagiaan bagi mereka ketika mereka memutuskan ikatan-ikatan mereka.” (Buku Keenam, ayat 797-8).

Dalam Buku Keenam Matsnawi Rumi menyebut, dengan penghormatan yang mendalam, Imam Husain putra Imam Ali sebagai ruh agung dan Raja Agama. Meskipun sangat kesal karena peristiwa itu, ia memasukkan Hari kesyahidan Imam Husain (Asyura), sebagai hari duka cita bagi ruhnya.

Rumi menganggap kecintaan kepada Imam Husain sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang sama sebuah telinga mencintai mutiara.

Ia menggambarkan Nabi Muhammad saw sebagai wujud telinga dan Imam Husain adalah mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?

Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan Mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh.” (Buku Keenam, bait 790-92.) Bait 776-805 secara khusus merujuk pada umat Syiah di Kota Halab, yang kepada mereka Maulana mengritik karena memiliki ruh-ruh yang tertidur. Ia menyuruh mereka untuk meratap demi ruh-ruh mereka yang sama halnya dengan orang yang mati. Kemudian ia menyebut Ruh Agung Imam Husain yang lari dari penjara dan tetap hidup. Sebagian komentator telah menyalahpahami ini dengan mengatakan bahwa Rumi menentang Syiah yang darinya referensi-referensi di atas ia sama sekali tidak begitu (tidak menentang Syiah).

Dari pemahaman sinoptis atas Matsnawi, setiap dari enam buku Matsnawi mengandung dua belas wacana. Jadi, total ada 72 wacana. Repetisi dua belas wacana bukanlah kebetulan melainkan sebaliknya suatu penghormatan kepada masing-masing Dua Belas Imam Ahlulbait, pewaris dan penerus wilayah keruhanian Nabi Muhammad saw. Tujuh puluh dua wacana sama dengan jumlah tujuh puluh dua sahabat Imam Husain yang syahid bersamanya di Karbala. Sejak kelahiran mereka, sama’ dalam Tarekat Maulawiah menghormati para syahid Karbala. Di makam Maulana Rumi yang terletak di Konya, nama-nama empat belas maksum, dari Nabi saw hingga Imam Keduabelas (yakni, Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, Muhammad bin Hasan al-Mahdi) ditatahkan pada dinding-dinding ruang pemakamannya.

Bukti tekstual ini mengilustrasikan bahwa Maulawi Rumi adalah Syiah hakiki dari kebenaran Syi’isme, tasyayyu’ haqqiqi, dan pengikut Imam Ali. Mengenai hal ini, Dr. Shahram Pazouki mengatakan:

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ini adalah bahwa prinsip paling penting yang dimiliki oleh Syi’isme dan tasawuf adalah persoalan Imamah atau Walayah. Wali adalah mediator dan pembimbing Tuhan yang melalui mereka Allah menyelamatkan manusia. Poin yang harus dicatat di sini adalah bahwa, berkebalikan dengan apa yang secara umum ditegaskan, Syi’isme pada mulanya bukanlah gerakan politik melawan para khalifah atau mazhab fikih, yang sejajar dengan mazhab fikih Suni, atau mazhab kalam (teologi) yang dekat Muktazilah. Syi’isme adalah sebuah jalan keikhlasan yang didasarkan pada konsep walayah, sementara perbedaan-perbedaan dalam fikih, politik, dan teologi adalah isu-isu sekunder di luar dari inti utama ini. Dengan demikian, dalam Syiah hakiki, orang percaya bahwa Allah dimakrifati bukan dengan penalarannya dan spekulasinya sendiri, atau pun melalui hadis-hadis yang diturunkan kepada yang lainnya, namun melalui penyerahan dan ketundukan total kepada wali dan berjalan di atas Jalan Cinta.

Maka itu, kita melihat bahwa dalam Matsnawi-nya, Maulana Jalaludin Rumi membicarakan seluruh empat khalifah pertama, namun nada pembicaraannya berbeda sepenuhnya ketika ia sampai kepada Ali, karena ia mengetahuinya sebagai wujud sang wali sepeninggal Nabi saw.” (Pazouki, Shahram. (2003) “Spiritual Wilayah” dalam S.G. Safavi(ed), Rumi’s Thoughts. Tehran: Salman Azadeh Publication)

Bibliografi
Lihat Kehidupan Rumi: Aflaki, Ahmad, Manaqeb al-‘Arefin, Tehran, 1983.
Alavi, Mahvash, Maulana, Khodawandegar-e Tariqat-e Ishq, Tehran, 1998.
Chittick, William, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Foruzanfar, Badi’a al- Zaman, Mawlavi, Tehran, 1971/1354.
Golpinarli, Abdulbaki, translated into Farsi by Sobhani, Tofiq, Mowlana, Tehran, 1996.
Iqbal, Afzal, Rumi, Lahore, 1991.
Lewis, Franklin, Rumi: Past and Present. East and West, Oxford, 2,000.
Sepahsalar, Faridun, Mowlavi, Tehran, 1983.
Syamsuddin Syirazi, Maqalat-e Shams Tabrizi. ed. Mohamad ‘Ali Movahed, Tehran, 1990.
Zarrinkub, Abdul Hosayn, Pele-pele Molaqat ta Khoda, Tehran, 1994.
2. Untuk laporan selengkapnya ihwal pemikiran teologis dan spiritual Maulana Rumi, lihat:
Chittick, William.C, The Sufi Path of Love. SUNY, New York, 1983.
Chittick, William C, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Este’lami, Muhammad, diedit dengan komentar, Masnavi-ye Jalal al-Din Mohammad-e Balkhi, 7 jilid, (edisi keenam), Tehran, 2000/1379.
Schimmel, A, The Triumphal Sun. Fine Books, London, 1978.
Homaei, Jalal al-Din, Mowlawi Nameh, Tehran, 1996/1374.
Ja’fari, Mohammad Taqi, Mowlawi wa Jahanbinih dar Maktabhay-e Sharq wa Gharb, Tehran, 1992/1370.
Safavi, Seyed G, Rumi’s Thought, Tehran, 2003.
Safavi, Seyed Ghahreman, The Structure of Rumi’s Mathnawi, London, 2006.
Turkmen, Erkan, The Essence of Rumi’s Mathnavi Including his Life and Works, Konya, 2004.
3. Lihat literatur Persia klasik:
Arberry, A J, Classical Persian Literature. George Allen and Unwin, London, 1958.
Baldick, J, “Persian Sufi Poetry up to the Fifteenth Century” dalam Morrison, G. (ed) History of Persian Literature, Brill, Leiden, 1981.
De Bruijn, JT P, Persian Sufi Poetry, Curzon, Richmond, 1997.
4. Lihat tentang Syi’isme spiritual Rumi:
Ashtiani, Seyed, Jalal al-Din, Sharh-e Moqadameh Qaysari, Masyhad.
Homaei, Jalaluddin, Mowlawi nameh, Tehran, 1995/1374.
Khowrazmi, Kamal al-Din Hossein bin Hassan, Jawaher al-Asrar wa Zawaher al-Anwar, Sharh-e Mathnawi. Ed, Shariat, M.J., Isfahan.
Khowrazmi, Taj al-Din Hossein, Sharh-e Fosos al-Hekam, ed. Najib Mail Harawi, Tehran, 1985/1364.
Safavi, Seyed, G, Rumi’s Thoughts, Tehran, 2003.
—————–, The Structure of The Rumi’s Mathnawi. London, 2006.
(Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari “Rumi’s Spiritual Shiism” dalam Jurnal Transcendent Philosophy, London Academy of Iranian Studies).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar