“Wahai yang
berziarah ke Najaf, ke makam Ali, ketahuilah di sana terbaring mutiara Ka’bah” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)
Pembimbing
terakhir-wali adalah Allah, disusul, secara berurutan, oleh: Nabi Muhammad saw dan
dua belas imam. Sebagaimana Nabi saw dan 12 Imam adalah manifestasi ‘Manusia
Sempurna’ (Imamah dalam literatur Syiah), dan ‘Manusia Sempurna,’ bersesuaian
dengan identitas yang sama. Bahwa esensi ‘Manusia Sempurna’ dalam tasawuf
dimaknai dengan ‘Imamah’—prinsip Syi’isme yang
membedakan—mengindikasikan bahwa sufi, tanpa memperhatikan praktik
keagamaan yang mereka ikuti, taklid, dalam hal ini adalah Muslim Syiah. Dalam
pandangan irfani, ada dua aspek yang berbeda dari wilayah: “Wilayah umum”
(wilayah ‘ammah ) dan “wilayah khusus” (wilayah khashshah). Wilayah pertama,
wilayah umum (harfiah: bintang) mengandung dua level:
1.
Level pertama dimulai dengan “pengosongan,” takhliyah,” dan berakhir dengan
stasiun “kedekatan (melalui) amal-amal sunah—qurb nawafil. Ketika Allah menjadi
mata, telinga, dan lidah hamba-Nya, pencari kebenaran (salik) mencapai keadaan
(maqam) hakikat keyakinan (haqqul yaqin).
2.
Level kedua berhubungan dengan mereka yang fana dalam al-Haqq—yang tetap dalam
eksistensi Raja Keberadaan. Tahapan terakhir dari keadaan ini disebut sebagai
maqam qaba qausayn.
“Wilayah
khusus” hanya dipegang oleh Nabi Muhammad saw dan para penerus Ilahinya dari
Ahlulbait (keluarga Nabi saw, secara khusus, putrinya Fathimah, suaminya, Ali,
dan anak-anak mereka, Hasan dan Husain). Wilayah khusus tersebut berlanjut dari
maqam qaba qausayn, sampai pada tercapainya “maqam manifestasi Tajaliyah Zati”
dan maqam aw adna.
Pada
tahapan tersebut, mereka yang memegang wilayah ini memahami level batin
ketujuh, bathn haftom kalam Allah, yakni firman Allah, al-Quran. Tercatat dalam
satu hadis, mengenai al-Quran, bahwa “Al-Quran memiliki level pengertian
lahiriah dan level pengertian batiniah yang mencakup tujuh makna batin yang
dalam” (Allamah Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jil.3, hal.72).
Para
pemangku wilayah khusus, wali, seperti pohon besar yang darinya abdal, nuqaba,
dan awtad semata-mata bayanngan. Karena, setiap zaman ada satu Manusia
Sempurna, quthub, dengan semua makhluk spiritual lainnya di zaman tersebut di
bawah bayangannya (lihat bait-bait 1924-2305 Buku Ketiga Matsnawi Rumi dan
ulasan Mulla Hadi Sabzawari atas bait 2003 Buku Ketiga Matsnawi). Maulana
mengatakan bahwa wilayah khusus memiliki dua aspek, wilayah Syamsiah
(matahari), dan wilayah Qamariah (bulan) (Buku Ketiga, bait 3104-3106).
Manifestasi
wilayah Syamsiah adalah wilayah Muhammadiyah, dipegang oleh Nabi Muhammad
Mustafa), sementara wilayah Qamariah, merujuk secara khusus kepada
Ahlulbaitnya, Yang Allah tunjuk untuk mewarisi otoritas Nabi saw dan
melanjutkannya. Menurut Matsnawi Buku Pertama, bait 2959-2980, wilayah
Alawiyah, yakni wilayah Imam Ali dan para pewaris otoritas, termasuk pada
wilayah Muhammadiyah. Menurut Buku Pertama, bait 3761-3766, wilayah Qamariyah
Imam Ali termasuk pada wilayah Syamsiah Nabi Muhammad saw. Rumi mendasarkan
ulasan-ulasan atas wilayah khususnya Imam Ali pada perkataan Nabi Muhammad saw,
“Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.”
Dalam
cerita pertama di awal Buku Pertama Matsnawi, “Raja dan Pelayan,” Manusia
Sempurna—Pir, atau Hakim Haziq dimunculkan dengan merujuk pada salah satu gelar
Imam Ali Murtadha, kepadanya ia kemudian terus menjelaskan sebagai “orang yang
memegang otoritas atas manusia, Mula al-Qum.” (Matsnawi Buku Pertama, bait
99-100).
Dalam
cerita terakhir Buku Pertama, Sebuah Kisah tentang Imam Ali, Rumi membahas
nafsul muthmainnah (bait 3721-3391) dan mengenalkan Imam Ali sebagai seorang
pemangku wilayah khusus. Dalam Buku Terakhir, ia kembali memunculkan wilayah
Imam Ali didasarkan pada perkataan Nabi saw, “Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya". Jil.6, bait 4538. Maka itu,
Matsnawi Rumi bermula dan berakhir dengan wilayah Imam Ali. Bukti tekstual
selanjutnya dalam Matsnawi mendukung penerimaan Rumi atas wilayah Imam Ali dan
superioritasnya atas para sahabat Nabi saw lainnya.
1.
Rumi menyebut Imam Ali as, Amirul Mukminin (Pemimpin orang-orang beriman),
diterjemahkan oleh Nicholson sebagai “Pangeran orang-orang Mukmin,” dalam
cerita yang diberi judul Imam Ali. (Buku Pertama, pembukaan setelah bait 3720).
2.
Rumi menyebut Imam Ali, “Orang yang beramal secara ikhlas”—“Belajarlah
bagaimana beramal secara ikhlas dari Ali.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan
pertama).
3.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Allah”—“Ketahuilah, bahwa Singa Allah
(Ali) disucikan dari segala tipudaya.” (Buku Pertama, bait 3721, penggalan
kedua).
4.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap nabi”—“Ali, kebanggaan setiap
nabi.” (Buku Pertama, bait 3723).
5.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kebanggaan setiap wali”—“Ali, kebanggaan setiap
nabi dan setiap wali.” (Buku Pertama, bait 3723).
6.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “wajah yang di hadapannya bulan membungkuk
perlahan”—“Ia menyiratkan ketenangan yang di hadapan wajah tersebut, bulan
membungkuk perlahan sebagai pengganti ibadah.” (Buku Pertama, bait 3724).
7.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Singa Tuhan”—“Dalam kegagahan engkau adalah
Singa Tuhan; dalam kedermawanan siapa yang mengetahui sebenarnya dirimu?” (Buku
Pertama, bait 3732).
8.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seluruh pikiran dan penglihatan”—“Wahai Ali,
engkau adalah seluruh pikiran dan penglihatan, ceritakan sedikit dari apa yang
telah kaulihat.” (Buku Pertama, bait 3745).
9.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai, “rajawali empyrean”—“Katakan, wahai rajawali
empyrean yang menemukan mangsa baik, apa yang telah kau lihat di waktu ini dari
Pencipta?” (Buku Pertama, bait 3750).
10.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “alim yang melihat yang gaib”—“Matamu telah
belajar melihat yang gaib ketika mata-mata dari para pengamat tertutup.” (Buku
Pertama, bait 3751).
11.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang diridai oleh Allah”—“Tunjukkan
rahasia, wahai Ali, engkaulah orang yang diridai oleh Allah.” (Buku Pertama,
bait 3751, bagian pertama).
12.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kemudahan yang baik”—“Wahai engkau yang
kemudahannya baik, setelah nasib yang buruk.” (Buku Pertama, bait 3752).
13.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bola rembulan (wilayah Qamariah)”—“Darimu sinar
memancar kepadaku, seperti rembulan, bagaimana bisa engkau menyembunyikannya?
Tanpa lidah, engkau lecutkan berkas-berkas cahaya, seperti bulan. Namun jika
bola-bola rembulan datang untuk berbicara, secara cepat ia lebih memimpin para
pejuang malam jalan (benar). Mereka menjadi aman dari kesalahan dan ketundukkan:
suara bulan menyebar ke atas suara jiwa yang jahat.” (Buku Pertama, bait
3759-3761).
14.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya di atas cahaya”— “Dalam sebanyak bulan
(bahkan) tanpa berbicara menunjukkan jalan, ketika ia bicara ia menjadi cahaya
di atas cahaya.” (Buku Pertama, bait 3762).
15.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu kota ilmu (Ali pintu wilayah
Muhammadiyah)”—“Karena engkau adalah pintu kota ilmu, karena engkau adalah
sinar mentari rahmat (Nabi Muhammad saw)” (Buku Pertama, bait 3763). Bait ini
merujuk kepada Nabi Muhammad yang berkata, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah
pintunya, maka siapasaja yang mencari ilmu, hendaknya masuk melalui pintunya.”
16.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘pintu rahmat’—“Teruslah terbuka selamanya.”
(Buku Pertama, bait 3765).
17.
Rumi menyebut Imam Ali yang mengatakan, “Jalan masuk aula yang siapa pun tidak
seperti ia.” (Buku Pertama, bait 3765) Ini merujuk pada surah al-Ikhlash.
18.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai ”matahari wilayah”—“Bicaralah, wahai Pangeran
orang beriman, agar jiwaku bisa bersenyawa di dalam tubuhku seperti sebuah
embrio. Bagaimana embrio mempunyai sarana-sarana (untuk bersenyawa) selama
periode ketika ia dikuasai (oleh bintang-bintang)? Ia muncul (berputaran) dari
bintang-bintang menuju matahari. Ketika waktu tiba bagi embrio untuk menerima
ruh (penting) Pada waktu itu, matahari menjadi penolongnya. (Buku Pertama, bait
3773-5).
Bait-bait
ini mengacu pada wilayah Qamariah Ahlulbait dalam wilayah Syamsiah dari Nabi
Muhammad saw. Di sini, Rumi menjelaskan bahwa mereka yang memangku wilayah umum
atau bintang hanyalah bintang-bintang apabila dibandingan dengan Ali yang,
seperti matahari, menggambarkan manusia sempurna atau Syekh sempurna. Dengan
demikian, sementara mereka yang memegang wilayah umum (wilayah ‘ammah) bisa
membantu seorang pencari kebenaran (salik), bimbingan lengkap hanya dapat
diperoleh melalui mereka yang memangku wilayah Syamsiah—suatu referensi kepada
Imam Ali dan para penggantinya. Di sini, Rumi menyajikan ketiga jenis wilayah
yang digambarkan di dalam pengantar: wilayah Syamsiah, wilayah
Qamariah—aspek-aspek wilayah khusus (wilayah khashah), dan wilayah umum
(wilayah ‘ammah), yang juga disebut wilayah bintang (wilayah najmiyah). Semua
ini bisa dipandang level-level rendah dan tinggi dari wilayah.
19.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari”- “Ketika saatnya
bagi embrio untuk menerima ruh (vital), pada saat itu matahari menjadi
penolongnya. Embrio ini dibawa ke dalam gerakan oleh matahari, karena matahari
dengan cepat memberkatinya dengan ‘ruh.” Buku Pertama, bait 3775-3776. Dalam
perjalanan ruhani menuju Allah, embrio, salik, taat kepada wilayah Alawiyah,
sampai pada tujuannya.
20.
Rumi menyebut seluruh pesuluk mempunyai kemampuan untuk itu, jika mereka
menyadari bahwa hal itu memiliki suatu hubungan tak terpisahkan dengan wilayah
Alawiyah, yakni, wilayah Syamsiah Imam Ali—“Dengan cara tersembunyi yakni jauh
dari persepsi indrawi kita, matahari di langit mempunyai banyak cara.” (Buku
Pertama, bait 3779). Adalah melalui hubungan inherenlah, bersama wilayah
Syamsiah Ali, yang ada di balik indra-indra fisik, pesuluk mampu berkembang.
21.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “rute jalan ruhani” (wilayah)—“Dan cara yang ia
menjadikan (permata) rubi merah dan cara yang dengannya ia memberi
cahaya-menerangi ke sepatu kuda (besi) Dan cara yang dengannya ia menjadikan
matang buah, dan cara yang dengannya ia memberikan hati kepada orang yang
bersedih.” (Buku Pertama, bait 3781-82). Ayat-ayat ini merujuk pada surah al-Adiyat yang diturunkan untuk menerangi
kedudukan Imam Ali.
22.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “seekor rajawali dengan sayap yang
bersinar”—“Katakanlah, wahai rajawali dengan sayap yang bersinar.” (Buku
Pertama, bait 3783, bagian pertama).
23.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang belajar dari dan menjadi familiar
dengan Raja Hakiki alam semesta”—“Yang belajar dari Sang Raja dan ‘Lengan-Nya.”
(Buku Pertama, bait 3783, bagian dua).
24.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘rajawali agung yang menangkap Anga.”
—“Katakanlah, wahai rajawali yang menangkap Anga, wahai Engkau Yang menaklukkan
pasukan oleh dirimu sendiri.” (Buku Pertama, bait 3784).
25.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “satu umat”—“Engkau sendiri adalah (satu masyarakat
utuh) engkau yang satu dan seratus ribu. Katakanlah, wahai engkau pemilik
rajawali, budakmu jadi mangsa.” (Buku Pertama, bait 3785).
Ayat
ini merujuk pada suatu ayat al-Quran yang di dalamnya Allah mengatakan kepada
kita bahwa semua manusia adalah umat yang satu. Lihat surah al-Baqarah ayat
213. Sementara, semua manusia memiliki potensi, hanya sebagian manusia yang
benar-benar mengikuti wilayah Ali, orang yang taat kepada Allah.
26.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “hamba Allah”—“Ia berkata, ‘Aku menggunakan
pedangku karena Allah. Aku adalah hamba Allah. Aku tidak di bawah perintah
tubuh.’” (Buku Pertama, bait 3787).
27.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai ‘Singa Allah’—“Aku adalah Singa Allah, bukan
singa nafsuku.” (Buku Pertama, bait 3788, bagian pertama).
28.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “ia yang tangannya menyaksikan
agamanya”—“Perbuatanku memberi kesaksian atas agamaku.” (Buku Pertama, bait
3787, bagian kedua).
29.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “manifestasi kehendak Allah”—“Dalam peperangan,
aku adalah manifestasi kebenaran dari, “Bukan engkau yang melempar batu ketika
engkau engkau melempar.’ Tetapi pedang dan pelempar adalah Matahari (Ilahi)”
(Buku Pertama, bait 3789). Ini merujuk pada surah al-Anfal: 17.
30.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang lebur di dalam Allah”– ‘Aku telah membuang
beban ‘diri’ dari jalan itu.” (Buku Pertama, bait 3790, bagian pertama).
31.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang tauhidnya adalah tauhid
“esensial”—“Aku telah menganggap (sesuatu) selain Allah sebagai non-eksisten.”’
(Buku Pertama, bait 3790, bagian kedua).
32.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “Bayangan Tuhan”– “Aku adalah bayangan, Matahari
adalah Tuhanku.” (Buku Pertama, bait 3791, bagian pertama).
Wilayah Ali
adalah dari Allah
33.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “kepala rumah-tangga Allah”– “Aku adalah kepala
rumah-tangga, bukan tirai (yang menghalangi pendekatan) kepada-Nya.” (Buku
Pertama, bait 3791, bagian kedua).
Fungsi Ali
adalah membimbing manusia kepada Allah
34.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang dipenuhi dengan mutiara penyatuan dengan
Allah”– “Aku dipenuhi dengan mutiara penyatuan seperti pedang bertatahkan
permata.” (Buku Pertama, bait 3792, bagian pertama).
35.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pembaru kehidupan spiritual”—“Dalam perang, aku
menghidupkan kembali, tetapi tidak membunuh manusia.” (Buku Pertama, bait 3792,
bagian dua).
36.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pelaju level-level esensi spiritual dan
moralitas Ilahi”—“Darah tidak menutup cahaya pedangku: Bagaimana angin harus
menyapu jauh awan-awanku?” (Buku Pertama, bait 3793).
Komentator
besar Matsnawi-nya Rumi, Akbar Abadi mengatakan bahwa ‘Pedang dan awan-awan di
sini merujuk pada level tinggi esensi spiritual Ali. Angin merujuk pada
moralitas negatif (akhlaq nafsani) dan kilauan pedang merujuk pada moralitas
Ilahi. Referensi penting bahwa sifat-sifat negatif tidak mengganggu
kualitas-kualitas sempurna Ali. (Lihat Akbar Abadi, Syarh Mathnawi, Buku 1,
hal. 307).
37.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “gunung ketabahan, kesabaran, dan keadilan”–“Aku
bukan jerami, aku gunung ketabahan, kesabaran dan keadilan: Bagaimana bisa
angin kemarahan mengangkat gunung?” (Buku Pertama, bait 3794).
38.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “bangunan Allah adalah bangunan Ali”– “Aku adalah
gunung dan wujudku adalah bangunan-Nya. Jika aku menjadi seperti jerami,
anginku (yang menggerakkanku) adalah zikir kepada-Nya.” (Buku Pertama, bait
3797).
39.
Dengan merujuk kepada Imam Ali, Rumi menulis, “Pemimpinnya adalah cinta
Allah”—“Kecintaanku tidak digerakkan melainkan dengan tiupan-Nya; kaptenku
adalah kosong melainkan kepada Cinta kepada Yang Tunggal.” (Buku Pertama, bait
3798).
40.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “penindas kemarahan”—“Kemarahan, raja diraja
bagiku tiada lain adalah budak: Bahkan kemarahan saya telah ikat di bawah
pengekangan.” (Buku Pertama, bait 3799).
41.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang tenggelam dalam cahaya Allah”–“Aku
tenggelam dalam cahaya sekalipun atapku hancur.” (Buku Pertama, bait 3801,
bagian pertama).
42.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “taman surga”– “Saya telah menjadi sebuah kebun
sekalipun saya digelari Bapak Tanah (Abu Turab)” (Buku Pertama, bait 3801,
bagian kedua). Ayat ini merujuk pada hadis yang di dalamnya Nabi saw menjuluki Ali sebagai Abu
Turab.
43.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pecinta Allah”–“Agar namaku adalah ‘Dia
mencintai karena Allah. Agar keinginanku adalah ‘Dia membenci karena Allah.”
(Buku Pertama, bait 3803).
44.
Rumi menyebut manifestasi ‘kemurahhatian’ Ali sebagai “memberi karena
Allah”—“Bahwa kemurahhatianku adalah ‘Dia memberi karena Allah.’” (Buku
Pertama, bait 3804, bagian pertama).
45.
Rumi merujuk pada manifestasi penyembunyian Ali sebagai “penyembunyian karena
Allah”—“Bahwa wujudku adalah ‘Dia menyembunyikan karena Allah.’” (Buku Pertama,
bait 3804, bagian kedua).
Bait
3803 dan 3804 merujuk pada sebuah hadis, “Keimanan dari siapasaja yang memberi
karena Allah atau menyembunyikan karena Allah atau mencintai karena Allah atau
membenci karena Allah atau menikah karena Allah, akan mencapai kesempurnaan.”
(Foruzanfar, Ahadith Matsnawi, hal.37, Tehran 1361).
46.
Rumi merujuk pada Imam Ali sebagai “kepunyaan Allah sepenuhnya”—“Aku kepunyaan
Allah sepenuhnya, aku bukan milik yang lain.” (Buku Pertama, bait 3805, bagian
kedua). Kehendak dan wujud Imam Ali dilingkari oleh kehendak dan eksistensi
Allah.
47.
Dengan merujuk pada Imam Ali, Rumi menulis, “Perbuatan Ali adalah karena Allah
saja yang bersumber dari makrifat terangnya atas Allah”—“Dan bahwa yang aku
lakukan karena Allah adalah (tidak dilakukan dengan) selaras, bukan fantasi
atau pendapat, ia hampa kecuali intuisi.” (Buku Pertama, bait 3806).
Ilmu Ali adalah
intuitif ketimbang teoretis
48.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “yang terpikat kepada Allah semata”—“Aku telah
dibebaskan dari usaha dan pencarian, aku telah mengikat lengan bajuku pada rok
Allah.” (Buku Pertama, bait 3807).
49.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang melihat Ali di mana-mana”—“Jika aku
terbang, aku melihat tempat yang kepadanya aku mendaki; dan jika aku memutar,
aku melihat poros yang padanya aku berputar.” (Buku Pertama, bait 3808).
50.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pemangku wilayah matahari dan rembulan, wilayah
Qamariah dan Syamsiah”—“Aku adalah rembulan dan matahari di depanku sebagai
pemanduku.” (Buku Pertama, bait 3809, bagian kedua).
51.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “pintu ilmu Tuhan”—“Masuklah, aku akan buka
pintu tersebut bagimu.” (Buku Pertama, bait 3841).
52.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “orang yang memberikan harta karun abadi kepada
para pengikutnya”—“Apa yang kemudian aku berikan kepada pelaku kebajikan?
Ketahuilah oleh kalian, aku berikan harta karun dan kerajaan-kerajaan yang
abadi.” (Buku Pertama, bait 3843).
53.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “tuan ruh”—“Tetapi, jangan bersedih: Aku pemberi
syafaat kalian; aku adalah pemilik ruh, aku bukan pelayan tubuh.” (Buku
Pertama, bait 3942).
54.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “matahari agung”– “Tubuh ini tidak punya nilai
dalam pandanganku: Tanpa tubuhku, aku adalah agung (dalam ruh), matahari ruh.”
(Buku Pertama, bait 3943).
55.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “petunjuk para raja”—“Secara lahiriah ia
berjuang dengan kekuatan dan otoritas, tetapi (hanya) ia yang bisa
memperlihatkan kekuasaan jalan dan penilaian yang benar. Bahwa dengan ia, ruh
lain bagi kekuasaan; ia bisa menghasilkan buah bagi pohon palem dari
kekhalifahan.” (Buku Pertama, bait 3946-47).
56.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan Ilahi”—“Engkau benar-benar timbangan
dengan sifat adil dari Yang Tunggal (Allah).” (Buku Pertama, bait 3981, bagian
pertama).
57.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “timbangan yang dengannya para wali
ditimbang”—“Tidak, engkau adalah puncak setiap keseimbangan.” (Buku Pertama,
bait 3981, bagian kedua).
58.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “cahaya wilayahnya adalah cahaya wilayah Allah”—“Aku
adalah pelayan dari mata pencari lampu yang dengannya lampu menerima
keagungannya.” (Buku Pertama, bait 3984).
59.
Rumi menyebut Imam Ali sebagai “mutiara dari samudera cahaya Allah”—“Aku adalah
pelayan dari gelombang samudera cahaya yang membawa mutiara seperti ini ke
dalam pandangan.” (Buku Pertama, bait 3985).
60.
Rumi menyebut Imam Husain sebagai “raja agama, kemegahan, dan ruh murni”—“Suatu
ruh megah lari dari penjara; mengapa kita harus merobek pakaian-pakaian kita
dan bagaimana kita harus mengunyah tangan-tangan kita. Karena mereka (Husain
dan keluarganya) adalah raja-raja agama (hakiki), inilah saat kebahagiaan bagi
mereka ketika mereka memutuskan ikatan-ikatan mereka.” (Buku Keenam, ayat
797-8).
Dalam
Buku Keenam Matsnawi Rumi menyebut, dengan penghormatan yang mendalam, Imam
Husain putra Imam Ali sebagai ruh agung dan Raja Agama. Meskipun sangat kesal
karena peristiwa itu, ia memasukkan Hari kesyahidan Imam Husain (Asyura),
sebagai hari duka cita bagi ruhnya.
Rumi
menganggap kecintaan kepada Imam Husain sebagai kelanjutan dari kecintaan
kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang sama sebuah telinga mencintai
mutiara.
Ia
menggambarkan Nabi Muhammad saw sebagai wujud telinga dan Imam Husain adalah
mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi
satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?
Bagaimana
bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada
anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam
pandangan Mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang
ratusan banjir pada (zaman) Nuh.” (Buku Keenam, bait 790-92.) Bait 776-805
secara khusus merujuk pada umat Syiah di Kota Halab, yang kepada mereka Maulana
mengritik karena memiliki ruh-ruh yang tertidur. Ia menyuruh mereka untuk
meratap demi ruh-ruh mereka yang sama halnya dengan orang yang mati. Kemudian
ia menyebut Ruh Agung Imam Husain yang lari dari penjara dan tetap hidup.
Sebagian komentator telah menyalahpahami ini dengan mengatakan bahwa Rumi
menentang Syiah yang darinya referensi-referensi di atas ia sama sekali tidak
begitu (tidak menentang Syiah).
Dari
pemahaman sinoptis atas Matsnawi, setiap dari enam buku Matsnawi mengandung dua
belas wacana. Jadi, total ada 72 wacana. Repetisi dua belas wacana bukanlah
kebetulan melainkan sebaliknya suatu penghormatan kepada masing-masing Dua
Belas Imam Ahlulbait, pewaris dan penerus wilayah keruhanian Nabi Muhammad saw.
Tujuh puluh dua wacana sama dengan jumlah tujuh puluh dua sahabat Imam Husain yang
syahid bersamanya di Karbala. Sejak kelahiran mereka, sama’ dalam Tarekat Maulawiah menghormati para syahid
Karbala. Di makam Maulana Rumi yang terletak di Konya, nama-nama empat belas
maksum, dari Nabi saw hingga Imam Keduabelas (yakni, Muhammad, Ali, Fathimah,
Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin
Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali,
Muhammad bin Hasan al-Mahdi) ditatahkan pada dinding-dinding ruang
pemakamannya.
Bukti
tekstual ini mengilustrasikan bahwa Maulawi Rumi adalah Syiah hakiki dari
kebenaran Syi’isme, tasyayyu’ haqqiqi, dan pengikut Imam Ali. Mengenai hal ini,
Dr. Shahram Pazouki mengatakan:
Kesimpulan
yang dapat kita tarik dari ini adalah bahwa prinsip paling penting yang
dimiliki oleh Syi’isme dan tasawuf adalah persoalan Imamah atau Walayah. Wali
adalah mediator dan pembimbing Tuhan yang melalui mereka Allah menyelamatkan
manusia. Poin yang harus dicatat di sini adalah bahwa, berkebalikan dengan apa
yang secara umum ditegaskan, Syi’isme pada mulanya bukanlah gerakan politik
melawan para khalifah atau mazhab fikih, yang sejajar dengan mazhab fikih Suni,
atau mazhab kalam (teologi) yang dekat Muktazilah. Syi’isme adalah sebuah jalan
keikhlasan yang didasarkan pada konsep walayah, sementara perbedaan-perbedaan
dalam fikih, politik, dan teologi adalah isu-isu sekunder di luar dari inti
utama ini. Dengan demikian, dalam Syiah hakiki, orang percaya bahwa Allah
dimakrifati bukan dengan penalarannya dan spekulasinya sendiri, atau pun
melalui hadis-hadis yang diturunkan kepada yang lainnya, namun melalui
penyerahan dan ketundukan total kepada wali dan berjalan di atas Jalan Cinta.
Maka
itu, kita melihat bahwa dalam Matsnawi-nya, Maulana Jalaludin Rumi membicarakan
seluruh empat khalifah pertama, namun nada pembicaraannya berbeda sepenuhnya
ketika ia sampai kepada Ali, karena ia mengetahuinya sebagai wujud sang wali
sepeninggal Nabi saw.” (Pazouki, Shahram. (2003) “Spiritual Wilayah” dalam S.G.
Safavi(ed), Rumi’s Thoughts. Tehran: Salman Azadeh Publication)
Bibliografi
Lihat Kehidupan Rumi: Aflaki, Ahmad, Manaqeb al-‘Arefin, Tehran, 1983.
Alavi, Mahvash, Maulana, Khodawandegar-e Tariqat-e Ishq, Tehran, 1998.
Chittick, William, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Foruzanfar, Badi’a al- Zaman, Mawlavi, Tehran, 1971/1354.
Golpinarli, Abdulbaki, translated into Farsi by Sobhani, Tofiq, Mowlana, Tehran, 1996.
Iqbal, Afzal, Rumi, Lahore, 1991.
Lewis, Franklin, Rumi: Past and Present. East and West, Oxford, 2,000.
Sepahsalar, Faridun, Mowlavi, Tehran, 1983.
Syamsuddin Syirazi, Maqalat-e Shams Tabrizi. ed. Mohamad ‘Ali Movahed, Tehran, 1990.
Zarrinkub, Abdul Hosayn, Pele-pele Molaqat ta Khoda, Tehran, 1994.
Lihat Kehidupan Rumi: Aflaki, Ahmad, Manaqeb al-‘Arefin, Tehran, 1983.
Alavi, Mahvash, Maulana, Khodawandegar-e Tariqat-e Ishq, Tehran, 1998.
Chittick, William, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Foruzanfar, Badi’a al- Zaman, Mawlavi, Tehran, 1971/1354.
Golpinarli, Abdulbaki, translated into Farsi by Sobhani, Tofiq, Mowlana, Tehran, 1996.
Iqbal, Afzal, Rumi, Lahore, 1991.
Lewis, Franklin, Rumi: Past and Present. East and West, Oxford, 2,000.
Sepahsalar, Faridun, Mowlavi, Tehran, 1983.
Syamsuddin Syirazi, Maqalat-e Shams Tabrizi. ed. Mohamad ‘Ali Movahed, Tehran, 1990.
Zarrinkub, Abdul Hosayn, Pele-pele Molaqat ta Khoda, Tehran, 1994.
2.
Untuk laporan selengkapnya ihwal pemikiran teologis dan spiritual Maulana Rumi,
lihat:
Chittick, William.C, The Sufi Path of Love. SUNY, New York, 1983.
Chittick, William C, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Este’lami, Muhammad, diedit dengan komentar, Masnavi-ye Jalal al-Din Mohammad-e Balkhi, 7 jilid, (edisi keenam), Tehran, 2000/1379.
Schimmel, A, The Triumphal Sun. Fine Books, London, 1978.
Homaei, Jalal al-Din, Mowlawi Nameh, Tehran, 1996/1374.
Ja’fari, Mohammad Taqi, Mowlawi wa Jahanbinih dar Maktabhay-e Sharq wa Gharb, Tehran, 1992/1370.
Safavi, Seyed G, Rumi’s Thought, Tehran, 2003.
Safavi, Seyed Ghahreman, The Structure of Rumi’s Mathnawi, London, 2006.
Turkmen, Erkan, The Essence of Rumi’s Mathnavi Including his Life and Works, Konya, 2004.
Chittick, William.C, The Sufi Path of Love. SUNY, New York, 1983.
Chittick, William C, Me & Rumi, Kentucky, 2004.
Este’lami, Muhammad, diedit dengan komentar, Masnavi-ye Jalal al-Din Mohammad-e Balkhi, 7 jilid, (edisi keenam), Tehran, 2000/1379.
Schimmel, A, The Triumphal Sun. Fine Books, London, 1978.
Homaei, Jalal al-Din, Mowlawi Nameh, Tehran, 1996/1374.
Ja’fari, Mohammad Taqi, Mowlawi wa Jahanbinih dar Maktabhay-e Sharq wa Gharb, Tehran, 1992/1370.
Safavi, Seyed G, Rumi’s Thought, Tehran, 2003.
Safavi, Seyed Ghahreman, The Structure of Rumi’s Mathnawi, London, 2006.
Turkmen, Erkan, The Essence of Rumi’s Mathnavi Including his Life and Works, Konya, 2004.
3.
Lihat literatur Persia klasik:
Arberry, A J, Classical Persian Literature. George Allen and Unwin, London, 1958.
Baldick, J, “Persian Sufi Poetry up to the Fifteenth Century” dalam Morrison, G. (ed) History of Persian Literature, Brill, Leiden, 1981.
De Bruijn, JT P, Persian Sufi Poetry, Curzon, Richmond, 1997.
Arberry, A J, Classical Persian Literature. George Allen and Unwin, London, 1958.
Baldick, J, “Persian Sufi Poetry up to the Fifteenth Century” dalam Morrison, G. (ed) History of Persian Literature, Brill, Leiden, 1981.
De Bruijn, JT P, Persian Sufi Poetry, Curzon, Richmond, 1997.
4.
Lihat tentang Syi’isme spiritual Rumi:
Ashtiani, Seyed, Jalal al-Din, Sharh-e Moqadameh Qaysari, Masyhad.
Homaei, Jalaluddin, Mowlawi nameh, Tehran, 1995/1374.
Khowrazmi, Kamal al-Din Hossein bin Hassan, Jawaher al-Asrar wa Zawaher al-Anwar, Sharh-e Mathnawi. Ed, Shariat, M.J., Isfahan.
Khowrazmi, Taj al-Din Hossein, Sharh-e Fosos al-Hekam, ed. Najib Mail Harawi, Tehran, 1985/1364.
Safavi, Seyed, G, Rumi’s Thoughts, Tehran, 2003.
—————–, The Structure of The Rumi’s Mathnawi. London, 2006.
Ashtiani, Seyed, Jalal al-Din, Sharh-e Moqadameh Qaysari, Masyhad.
Homaei, Jalaluddin, Mowlawi nameh, Tehran, 1995/1374.
Khowrazmi, Kamal al-Din Hossein bin Hassan, Jawaher al-Asrar wa Zawaher al-Anwar, Sharh-e Mathnawi. Ed, Shariat, M.J., Isfahan.
Khowrazmi, Taj al-Din Hossein, Sharh-e Fosos al-Hekam, ed. Najib Mail Harawi, Tehran, 1985/1364.
Safavi, Seyed, G, Rumi’s Thoughts, Tehran, 2003.
—————–, The Structure of The Rumi’s Mathnawi. London, 2006.
(Diterjemahkan
oleh Arif Mulyadi dari “Rumi’s Spiritual
Shiism” dalam Jurnal Transcendent Philosophy, London Academy of Iranian Studies).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar