Label

Kamis, 04 September 2014

Dusta Fiksi “Pop” Islam


Disampaikan pada Diskusi Kubah Budaya dan Tabloid Kaibon 12 September 2008 pukul 16.00 WIB di Sekretariat Kubah Budaya

“Dari tangisan orang-orang, mataku dipenuhi penderitaan. Melihat bagaimana mereka mencari-Mu, akan jadi apa orang-orang itu?” (Hafiz). “Dibandingkan dengan tipu-muslihat, maka keyakinan yang berlebihan dan buta adalah musuh yang lebih berbahaya untuk kebenaran” (Nietzsche).

Ketika saudara Arundanu Katong selaku ketua panitia diskusi meminta saya untuk menjadi pemateri tentang Sastra Islam, dalam benak saya muncul beberapa pertanyaan:

[1] Bilakah yang dimaksud Sastra Islam adalah karya-karya kesusasteraan yang ditulis para penulis muslim atau para penulis yang kebetulan beragama Islam?

[2] Apakah yang disebut Sastra Islam adalah karya-karya sastra yang mendedikasikan fokus bentuk dan isi-nya pada doktrin dan nilai-nilai Islam? Terlepas apakah karya-karya tersebut hanya terjebak pada heroisme dan moralisme yang dangkal dan artifisial alias tidak mendalam.

[3] Lalu apa yang membedakannya dengan karya sastera pada umumnya?

[4] Adakah atau tidak persamaannya dengan karya-karya yang tidak menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami? Sebab pada kategori yang telah umum dimaklumi, kesenian pada umumnya atau pun kesusasteraan pada khususnya seringkali ingin keluar atau bahkan melampaui pakem dan vakum formalisme keagamaan, doktrin fiqhiyah yang dirasa membatasi dan kadang tidak peka pada perubahan yang niscaya, dan dogmatisme mazhab keagamaan yang seringkali menindas bagi kemungkinan-kemungkinan kreativitas estetik.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam diri saya karena saya percaya dalam kesenian pada umum-nya, keunikan dan otentisitas seorang seniman atau pun penulis seringkali karena kebebasan dan keberaniannya untuk menerobos batas-batas yang dianggap benar dan selesai.

Bukankah agama dan imajinasi adalah dua wilayah konsentrasi yang berbeda? Bukankah karya sastera menjadi unik karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastera itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastera menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas?

Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastera yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastera itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastera menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan.

Sastera menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastera menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.

Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri.

Dengan demikian citra dalam sastera selalu bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Mikhail Bakhtin akan menyebutnya dengan heteroglosia dan carnaval. Walter Benjamin dan Clifford Geertz akan menyebutnya sebagai teks yang bertumpuk dan berlapis .

Kemudian saya pun lagi-lagi bertanya:

[1] Tidakkah penamaan Sastra Islam hanya akan mengakibatkan penyempitan kerja kesenian pada umumnya dan kesusasteraan pada khususnya?

[2] Selanjutnya yang juga tak kalah penting, apakah seni atau karya-karya sastera yang menamakan diri sebagai Fiksi Islami itu merepresentasikan nilai-nilai, doktrin, dan semangat Islam?

[3] Atau malah sebaliknya?

Sebab saat ini banyak karya-karya sastera yang menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami, tapi malah terjebak simbol-simbol tanpa isi dan miskin bentuk, artifisial, dan hanya menjadikan kata Islam sebagai label semata. Yang lebih ironis malah banyak pembaca mendapatkan pemahaman yang sempit tentang Islam itu sendiri, ketika Islam hanya direduksi hanya menjadi slogan-slogan semata. Ketika teks-teks yang ditawarkannya cenderung menggurui, bukannya menggugah dengan teknik ironi, pergulatan subjektif yang unik, permenungan, dan bahkan gugatan. Ketika karya-karya tersebut cenderung monofonik (baca: miskin tekhnik dan bentuk), verbal (baca: menggurui), dan tertutup bagi kemungkinan heterogenitas (baca: kekayaan) dan polisemi penafsiran (baca: pembacaan) ketika karya tersebut dibaca.

Bilasaja kita sepakat bahwa bahwa Sastra Islam adalah karya-karya yang ditulis para penulis muslim, maka akan banyak karya-karya penulis muslim yang menggugah dan berkualitas dibanding karya-karya yang menyebut dirinya Fiksi Islami itu. Meski mereka tidak menyebut karya-karya mereka sebagai Fiksi Islami, namun faktanya karya-karya mereka menjadikan Islam sebagai khasanah dan arena pergulatan isu yang ditulisnya.

Dan bila kita sepakat bahwa apa yang kita maksud Fiksi atau Sastera Islam adalah sebuah karya atau ikhtiar penulisan yang memfokuskan pencarian bentuk dan isi-nya pada spirit Islam –atau minimal yang dekat dengan nilai dan doktrin Islam, maka pada konteks ini yang paling pas disebut Sastra Islam adalah Sufisme atau karya-karya para penulis yang menjadikan sufisme sebagai khasanahnya.

Di sini kita bisa mengambil contohnya semisal Diwan (Hafiz, Persia), The Conference of the Birds alias Manthiq al Thoyr (Attar, Persia), Rubayyat (Omar Khayyam, Persia), Matsnawi (Rumi, Persia), Qays Wa Layla dan Khusrau Wa Syirin (Nizami, Persia), Yusuf Wa Zulaikha (Jami, Persia), Tarjuman al Asywaq (Ibn Arabi, Andalusia-Cordoba), dan Asrar I Khudi dan Bang I Dara (Iqbal, India-Pakistan-Bangladesh). Atau karya-karya yang sejenisnya semisal Tamhidat (Ayn al Qudat Hamadani), Rawh al Arwah (Sam’ani), dan lain sebagainya yang berada pada genre karya literasi sekaligus intelektual kaum sufi.

Dan akhirnya, seringkali sastera yang menyebut dirinya Fiksi Islami itu hanya melakukan category-mistake (salah berpikir) ketika mengangkat makna referensial seperti masalah-masalah sosial dan politik. Seringkali problem sosial dianggap sebagai problem moral dan keagamaan. Dan acapkali sastera yang mengaku diri sebagai Fiksi Islami itu melakukan moralisasi dan estetisasi. Yang pertama kegandrungan pada kecenderungan untuk melihat masalah-masalah sosial bukan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologis, tetapi dengan klaim moral yang kadang dogmatis dan tanpa pemeriksaan dan permenungan terlebih dahulu. Yang kedua adalah kegandrungan pada kecenderungan untuk mengaburkan dan mengganggap sesuatu yang tidak estetis sebagai sesuatu yang estetis.

Sulaiman Djaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar