Label

Jumat, 12 Juli 2013

Menafsir Mazmur Musim Sunyi



Rima News, Mon, 29/04/2013 - 09:05 WIB

Oleh Lutfi Mardiansyah*

Kamis tanggal 18 April 2013 yang lalu, sekitar pukul setengah sebelas sebelum dzuhur, saya menembus hujan sendirian dari Jatinangor menuju Bandung untuk menghadiri acara launching buku kumpulan puisi Mazmur Musim Sunyi karangan penyair asal Banten, Sulaiman Djaya di Auditorium B FPBS UPI. Begitu sampai, sebelum masuk ruangan, saya membeli dulu buku tersebut serta mengambil makalah dari dua pembicara, yakni Faisal Syahreza dan Heri Maja Kelana. Saya telat beberapa menit, diskusi telah dimulai. Saya mengambil tempat duduk di sudut kiri dan mulai memperhatikan jalannya diskusi.

Alih-alih fokus pada pembahasan buku tersebut oleh kedua pembicara, saya malah memperhatikan ruangan tempat acara tersebut digelar. Ruang yang elegan. Full AC. Betapa nikmatnya di sini. Di kampus saya sendiri, tidak pernah ada acara seperti ini. Diskusi pun hanya melingkar di selasar koridor kampus, itu pun susah sekali mencari kawan berdiskusi. Mahasiswa kuliah dan pulang. Kampus sepi.

Acara terus berjalan. Selesai pembahasan dari kedua pembicara, kemudian dibuka sesi tanya jawab. Pada satu giliran saya ditunjuk untuk bertanya. Maka saya bertanya. Kemudian acara diakhiri dengan pembacaan puisi. Saya juga diminta untuk membaca puisi. Maka saya membaca puisi.

Singkat hikayat, seusai acara saya kembali pulang ke Jatinangor dengan menumpang angkot Cicaheum-Ledeng hingga terminal Cicaheum, lalu dilanjut dengan bis jurusan Bandung-Cirebon. Di dalam bis, di Smoking Area saya buka kembali buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul “Monolog”. Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut:

Saya tahu seorang penyair harus belajar
menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.

Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. “Aku” ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan. Hampir selalu penyair menulis puisi awalnya dengan tema-tema kedirian. Abang kita itupun, Chairil Anwar, banyak menulis puisi tentang kedirian. Tetapi jika melulu bergulung-tema di situ, akan jadi belenggu sendiri, belenggu yang menirai pandangan si penyair dari dunia di luar dirinya.

Saya lanjut membaca lagi dan menemukan puisi dengan judul “Rubayyat Dua Matsnawi”. Puisi ini yang saya baca di diskusi tadi. Larik pertama yang mengawali puisi ini mengejutkan saya, begini bunyinya:

Di antara kau dan aku, ada kematian yang telanjang,

Begini cara saya menafsirkan larik tersebut, pertama-tama saya meletakkan diri saya sebagai aku-lirik, maka jadilah aku-Lutfi atau katakanlah aku-lelaki, dengan begitu kau-lirik yang muncul pada larik tersebut saya bayangkan sebagai kau-perempuan, yang kemudian meletakkan relasi aku-kau ini sebagai relasi jantan-betina, lelaki-perempuan, dapat konteks hubungan apapun, cinta misalnya. Lalu diksi “telanjang” itu saya baca sebagai sebuah kondisi “terbuka” yang mengakibatkan tersingkapnya segala yang tersembunyi. Maka saya bayangkan tubuh telanjang, tentu saja tubuh perempuan, supaya lebih bergairah. Ketika seorang perempuan misalnya, dalam keadaan mengenakan pakaian, ada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya yang tak dapat kita terawang, sebabnya jelas karena terhalang oleh pakaian yang ia kenakan. Tapi cobalah lepas segala pakaian itu dan perempuan tersebut berdiri telanjang di depan kita, maka bagian-bagian yang tertutup tadi akan dapat kita pandang, misalnya buah dadanya, putingnya, perutnya, rambut kemaluannya, dan lain-lain, dan lain-lain.

Mungkin akan timbul gugatan, “itu aurat!” Nah, bagus. “Aurat” ini saya tarik menjadi padanan “hakikat”. Ketika seseorang telanjang, maka tampaklah auratnya. Berpadan dengan ketika seseorang telah disingkapkan hijabnya, maka tampaklah hakikatnya.

Kemudian soal diksi “kematian” yang dipasangkan dengan “telanjang” tersebut, menjadi terbaca sebagai “hakikat kematian”. Kematian yang dicirikan dengan hilangnya nyawa, kadang oleh sebagian orang dipandang sebagai berakhirnya kehidupan. Betulkah sampai pada kematian kehidupan itu berakhir? Justru kematian hanya gerbang, jalan yang membukakan “aurat” ke kehidupan yang sesungguhnya, yang abadi dan kekal, yang tak tersentuh oleh kesementaraan.

Setelah menafsirkan seperti itu, saya jadi mengubah subjek aku-kau sebelumnya, aku-lelaki dan kau-perempuan menjadi aku-makhluk dan kau-Khalik, yang jika keduanya ingin patrap dalam makrifat, tentu harus melewati jalan kematian terlebih dahulu, jalan yang akan menyingkap “aurat” kehidupan yang sesungguhnya.

Puisi yang sekilas seperti puisi cinta ini mendadak menampakkan wajah lain kepada saya: wacana teologi, wabil khusus ihwal sufisme. Saya tahu penyairnya, Sulaiman Djaya, adalah salah satu pemerhati tarekat yang hafal betul wacana-wacana tersebut. Memang kita disuguhi puisi-puisi cinta lembut di dalam Mazmur Musim Sunyi ini, tetapi puisi-puisi itu tidak lantas berhenti sampai di situ. Tidak, puisi cinta selalu menyelam lebih dalam. Lebih dalam lagi.

*Penyair, tinggal di Sukabumi 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar