Oleh Heri Maja Kelana*
Banyak manusia yang telah
tersakiti oleh apa yang dikatakan dengan “cinta” –namun yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa masih banyak orang yang membutuhkan “cinta”? Apa mereka tidak
bosan-bosannya tersakiti? Hal serupa juga terlihat ketika ada seseorang yang
memakai behel (kawat gigi). Fenomena behel memang bukan hal yang baru terjadi
dalam dunia kesehatan –terlebih banyak orang yang ingin terlihat modis atau
terlihat cantik dan tampan tanpa gigi tonggos. Belakangan, behel menjadi life
style di kalangan remaja, sekalipun gigi mereka sudah bagus dan rapi –mereka
hanya ingin mendapatkan predikat “anak gaul” semata.
Pada tahun 1955, tepatnya
17 Juli di Anaheim, California, dibangun sebuah sarana hiburan yang diberi nama
Disneyland. Pendiri Disneyland tersebut adalah Walt Disney. Penting saya
sampaikan hal ini kepada pembaca, karena dengan adanya Disneyland telah muncul
satu ideologi baru, impian baru, realitas baru dan hal-hal baru lainnya yang
selanjutnya saya katakan dengan meme. Zaman baru, bebas dari intervensi. Meme dari
Disneyland begitu terasa sampai pada setiap individu manusia di seluruh dunia.
Ideologi yang muncul adalah kapitalis. Pemodal lebih merasa menjadi seorang
manusia ketimbang manusia yang biasa-biasa saja. Mereka berkuasa, oleh karena
itu sangat mudah mewujudkan impian menjadi sesuatu hal yang nyata.
Cinta dan meme dalam
kehidupan tidak bisa dipisahkan dan akan terus mengalir hingga suatu saat berhenti
dengan sendirinya. Cinta muncul dari banyak pandangan –dan meme muncul dari
berbagai sudut kepala yang memiliki ide cemerlang. Begitu pula dengan karya
(puisi) –perubahan satu tema, bentuk dan isi dari puisi tidak lepas dari
realitas yang sedang terjadi –namun bukan berarti seorang penyair menjadi
pemotret yang ulung atau menjadi follower generasi. Lebih dari itu, seorang
penyair menjadi bagian dari realitas tersebut dan mewariskan ide untuk realitas
selanjutnya.
Suatu ketika saya pernah
berkesempatan meminum coca-cola, rasanya memang enak. Namun saya tidak suka
dengan minuman berkarbonisasi, mungkin karena alasan kesehatan, ideologi, dll. Akan
tetapi banyak orang yang justru sangat menyukai coca-cola. Demikian juga dengan
puisi yang terhimpun dalam “Mazmur Musim Sunyi” ini. Sulaiman Djaya saya samakan
dengan Walt Disney –dalam urusan membangun “dinasti imaji”. Walt punya
Disneyland sedangkan Sulaiman Djaya (selanjutnya disebut SD) punya arena imaji
dalam antologi puisi “Mazmur Musim Sunyi”. Kedua orang ini, awalnya mungkin berniat
ketika membuka ‘ruang’ adalah untuk kebaikan, mudah-mudahan tercapai. SD dengan
MMS-nya telah berani menawarkan satu produk ide untuk pembaca –itu yang membuat
saya terpacu untuk terus mendalami puisi-puisinya.
Run on Run
Seorang penyair memiliki
satu ruang yang sepertinya tidak dimiliki oleh manusia biasa –yaitu ruang
“antara”. Ruang antara ini yang membuat puisi-puisi menjadi dahsyat, bernyawa,
dan magis. Apakah dalam puisi-puisi SD juga demikian? Saya kira, ya. Namun
tidak semua. Penyampaian ide yang dilakukan oleh SD adalah dengan dua cara.
Pertama dengan dua, tiga sampai lima kata. Kemudian yang kedua dengan bentuk
naratif yang panjang. Hal itu adalah keterampilan retorika seorang penyair. Keberhasilan
SD adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya.
Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu
gaya yang dimiliki oleh SD. Lihat puisi “Tak Ada Mawar dalam Sajak-sajakku”,
“Kotak Cinta Bulan April”, "Nyayian Cahaya”, “Sajak yang Kutulis Saat Bosan”,
“Sebelum November Berakhir”.
Permainan run on run juga
terjadi pada puisi-puisi “Rima Bulan Juni”, “Musim Untuk Ibuku”, “Fragmen
Gerimis”, “Serafin Januari”, “Serafin Bulan Mei”, “Kasidah Barzanzi”, dan
bentuk puisi yang serupa lainnya. Keberhasilan SD dalam memainkan bentuk
tentunya bukan keberhasilan mutlak dalam sebuah capaian estetika, sebab masih
banyak yang harus dilihat dari puisi-puisinya. Puisi-puisi SD seperti yang saya
katakan di atas memiliki ruang imaji personal yang sulit untuk diakses oleh
saya sebagai pembaca.
Coca-Cola dan Mazmur Musim Sunyi
Kita kembalikan dulu
bahasa pada hakikatnya –yaitu sebagai sarana komunikasi. Kode masyarakat adalah
kode yang sudah sering ditemui atau sudah diketahui oleh masyarakat. Sedangkan
kode personal adalah kode yang diciptakan oleh penutur-penutur tertentu untuk
kalangan-kalangan tertentu saja, termasuk puisi. Apabila penutur dalam hal ini
penyair tidak dapat menjalin komunikasi dengan penerima atau pembaca, maka akan
terjadi kegagalan komunikasi, yang terjadi hanya ada ide utopis pada kedua
belah pihak. Saya tidak mengharapkan hal ini terjadi pada puisi-puisi SD. Narasi-narasi
besar yang berada di sekitar kita secara disadari atau tidak telah memberikan
efek sugesti kepada kita. Apakah SD tersugesti? Ya tentu saja.
”Begitu pun aku sesat
dalam buku-buku dan kata-kata yang membuatku semakin lupa pada apa yang mesti kulakukan, hingga sebuah suara berteriak entah dari mana: “berhentilah dan
dengarkan nyayianmu sendiri kala malam semakin dalam dan dalam, meresap pada
ubun-ubun dan samudera matamu nun mengiba di antara derai-derai keyakinan
dan ketakpastian, yakni kata-kata yang tak bersayap yang meminta ingin
terbang dan menjelajah semesta doa dan harapan, keinginan dan keputusasaan
tak menemu lembar-lembar baru manakala kau hendak
menuliskannya sepenuh cinta”
Penggalan puisi yang
berjudul “Tak Ada Mawar dalam Sajak-sajakku” di atas memberikan deskripsi kode
yang coba digali oleh penyair dalam berkomunikasi dengan penerima. “Seringkali
saat pagihari, kutemui kelengangan, di antara para unggas yang sibuk
menancapkan paruh mereka pada air dan lumpur. Bermain-main cahaya yang
memantul di mata mereka. Dan jika pun ingin bertanya tentang hidup,
kuyakin aku tak punya jawabnya. Sebab seringkali apa pun yang kupikirkan,
seringkali aku pun lupa menyaksikan sesuatu yang berharga pada yang biasa
saja”. Penggalan puisi yang berjudul “Kiasan Menulis” di atas memberikan juga deskripsi
kode dari penyair untuk penerima.
Pendeskripsian-pendeskripsian
yang dilakukan SD adalah pendeskripsian utopis. Adapun sesuatu yang sifatnya
realis telah dikacaukan oleh hal-hal yang utopis. Dan saya kira puisi-puisi ini
sebenarnya ditujukan bukan hanya kepada manusia saja, lebih dari itu kepada Sang
Maha Gaib. Oleh karena itu, sangat wajar seorang penyair mengungkapkannya dengan
berbagai cara tanpa dibatasi teori, materi, dan golongan.
Meme: Disneyland, coca-cola,
dan Mazmur Musim Sunyi adalah sebuah ruang "antara" yang dibangkitkan oleh
ekspresionisme dari para penciptanya. Spirit itu yang kemudian muncul dan
menggairahkan pembaca, sehingga pembaca ikut bertamasya. Itulah kehebatan dari
puisi. Terakhir, saya juga ingin menyampaikan apa yang telah disampaikan oleh
Slavoj Zizek tentang sesuatu hal tidak dapat terlihat atau dapat dikatakan
gelap. Seperti alam semesta. Maksud saya hal yang tidak semua dapat
diterjemahkan dengan harfiah, yang kemudian muncul hanya beberapa
fragmen-fragmen tertentu saja. Tidak ada fakta dalam alam semesta, yang ada
hanya kekosongan yang luar biasa. Begitu pula dengan puisi.
*Penyair dan pecinta sepeda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar