Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengajar
Filsafat di IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten)
Mahmud
adalah
teman lama saya. Saya sudah mengenalnya sejak kira-kira 17 tahun lalu, yakni
sejak saya belajar di Kairo pada tahun 1993-1998. Sedangkan Mughniyyah boleh
dibilang teman baru. Saya mulai mengenalnya sejak akhir tahun 2007 seiring
pengenalan saya pada literatur Shiah. Tapi, ini dia asal muasal tulisan ini.
Seolah-olah Mughniyyah-lah orang pertama yang memberitahu saya bahwa Mahmud
pernah sedemikian meragukan Allah.
Malam ini (Sabtu, 25
Desember 2010, jam sembilan) saya membaca buku Mughniyyah, ‘Aqliyyat Islam. Di awal bab
pertama buku ini Mughniyyah mengatakan bahwa dai muslim berhadapan dengan dua
fron, yaitu fron orang “reliji yang fanatis dan jumud” dan fron “kaum
Permisifis yang melontarkan kontroversi dan keragu-raguan sekitar akidah,
syariat, dan ajaran Islam.” Terhadap kedua kubu itu doi harus bersikap adil.
Doi harus mengajak kaum mukmin yang fanatis dan jumud untuk menyelaraskan
imannya dengan tujuan-tujuan kehidupan dan menyeru kaum Permisifis untuk
beriman dan menerima apa yang diniscayakan oleh akal dan realitas, serta tidak
mengikuti hawa nafsu dan mimpi.
Karakter kaum permisivis
adalah mengabaikan agama dan pura-pura tidak mengetahuinya. Kepada mereka,
sikap doi adalah “murshid mudafi‘”.
Pembimbing yang defensif. Doi harus menyeru mereka dengan lemah lembut serta
bujuk rayu.
Sedangkan karakter kaum
reliji yang fanatis dan stagnan adalah melihat agama pada salah satu aspeknya
saja dan memalingkan pandangan dari aspek-aspek lain. Yang mereka mau hanya
fanatis pada adat dan kebiasaan buruk yang tidak berhubungan dengan agama
sedikit pun. Kepada mereka, doi boleh bersikap ofensif dan keras karena
fanatisme menghalangi kebenaran dari pikiran dan membangun dinding yang tebal
antara kebenaran dengan pencarinya.
Sikap seperti ini akan
mendatangkan musuh bagi doi dari kedua belah kubu tersebut. Mereka akan
melontarkan perkataan-perkataan yang menyakitkan karena ketidaktahuan atau hawa
nafsu. Dalam kondisi ini, doi harus mengabaikan omong kosong orang-orang
tersebut dan fokus pada pekerjaan dan tugasnya. Mughniyyah pun mengutip
perkataan Imam Ali:
ليس بعاقل من انزعج بقول الزور فيه ولا بحكيم من رضي بثناء الجاهل عليه
“Bukan orang pintar orang
yang gelisah karena kesaksian dusta atas dirinya. Bukan orang bijaksana orang
yang senang dengan pujian palsu bagi dirinya.”
Sampai titik ini, semua
langsam-langsam saja. Lalu, sebagai contoh kubu pertama, kubu kaum Permisifis
yang melontarkan keragu-raguan atas akidah dan ajaran Islam, Mughniyyah
mengatakan bahwa Mahmud, seorang pemuda dari Mesir, menulis buku yang
menyebarkan aroma ateisme dengan judul Allah wa al-Insan .
Ada sesuatu yang bergerak di dalam kepalaku. Apakah Mahmud yang dimaksud oleh
Mughniyyah adalah Mustafa Mahmud teman lama saya dulu di Mesir? Saya koq belum pernah membaca buku Allah wa al-Insan itu. Adakah buku
itu? Lamat-lamat saya memang pernah mendengar kabar tentang Mahmud ini, tapi
sampai saat ini saya hampir tidak memedulikannya.
Maka, saya pun berhenti
membaca buku Mughniyyah dan beralih mencari buku Mahmud. Ada banyak buku Mahmud
di internet. Di antara buku-buku itu, selain buku yang saya cari, buku yang
paling menarik perhatianku adalah Rihlati Min al-Shakk Ila
al-Iman. Ini dia. Benar Mahmud pernah ragu, tapi dia telah tobat.
Setelah mengunduh kedua
buku tersebut, sambil mengunduh buku-buku Mahmud yang lain, saya mulai membaca Rihlati Min al-Shakk Ila al-Iman
yang—seperti nampak dari judulnya—menceritakan kisah pertobatannya.
Di dalam buku ini Mahmud
menceritakan bahwa sejak awal remaja, umur 13 atau 14, atau bahkan sebelumnya,
dia mulai mempertanyakan dan membangkang terhadap doktrin-doktrin keagamaan
yang dia terima. Misalnya, doktrin tentang Allah sebagai Pencipta. Kepada
orang-orang di sekitarnya dia berkata, “Kata kalian, dunia ini diciptakan Tuhan
karena setiap makhluk harus ada penciptanya, setiap barang harus ada
pembuatnya, dan setiap yang ada harus ada pengadanya. Kita menerima dalil ini.
Karena itu, katakan kepadaku, siapakah yang menciptakan Allah ataukah Dia ada
dengan sendiri-Nya. Jika Dia ada dengan sendiri-Nya—kalian dapat membayangkan
hal ini—mengapa kalian tidak dapat membayangkan bahwa dunia juga ada dengan
sendirinya tanpa Pencipta?”
Tentu saja kata-kata itu
membuat pucat orang-orang di sekitar Mahmud remaja. Sebagian dari mereka
memarahinya, sebagian lagi bahkan memukulinya. Orang-orang yang berhati lembut
dan beragama baik memohon ampunan dan hidayah dari Allah baginya. Orang-orang
yang berpikiran kaku dan berdada sempit mencuci tangan dan berlepas diri dari
dirinya di hadapan Allah. Para pemberontak seperti dirinya berkumpul
mengerubungi dirinya.
Dia mengaku bahwa pada
saat itu dia tidak mengerti fakta-fakta mendasar di balik bantahannya. Dia juga
mengaku bahwa rasa bangga pada akalnya yang mulai kritis serta kemampuan
beretorika dan berargumen, itulah yang mendorong dirinya untuk melontarkan
bantahan-bantahan seperti itu, dan bukannya kajian atau pencarian kebenaran.
Itulah “kondisi psikologis” di balik perdebatan-perdebatan yang terulang-ulang
setiap hari.
Dia tidak mau menyembah
Allah karena dia tenggelam dalam penyembahan pada dirinya sendiri, pada
ketakjuban pada percikan sinar yang memancar di pikirannya seiring dengan
keterbukaan kesadarannya dan awal keterjagaannya pada usia yang masih sangat
muda.
Pada saat itu, cerita
Mahmud, dia belum mengerti prinsip-prinsip logika dan tidak menyadari bahwa
dirinya terjebak di dalam kontradiksi saat mengakui adanya Pencipta lalu
menanyakan siapa yang menciptakan-Nya? Sebab, dengan demikian dia telah
menjadikan Pencipta itu sebagai makhluk padahal dia masih menyebut-Nya
sebagai Pencipta. Ini adalah pernyataan sofistis.
Pengakuan akan adanya
sebab pertama bagi wujud meniscayakan sebab itu adalah wujud yang niscaya ada
karena dirinya sendiri, tidak bersandar dan tidak butuh kepada selain dirinya
untuk ada. Jika sebab pertama itu butuh kepada sebab lain, maka dia menjadi
bagian dari rangkaian sebab-sebab dan tidak menjadi sebab yang pertama. Ini
adalah salah satu aspek dari topik filosofis yang menyebabkan Aristoteles menyatakan
adanya Prima Causa dan Penggerak Pertama. Tapi, Mahmud mengatakan bahwa aspek
ini belum dia mengerti pada saat itu. Bahkan, dia belum mengetahui siapa itu
Aristoteles dan aturan-aturan dasar logika dan debat.
Mahmud mengatakan selama
30 tahun dia tenggelam di dalam buku, kontemplasi, dialog dengan jiwa,
rekontemplasi, lalu kontemplasi atas rekontemplasi, dan melakukan akrobat
pemikiran mulai dari buku Allah wa al-Insan,
Lughz al-Hayah, Lughz al-Mawt, hingga ia menulis
lembaran-lembaran bukunya ar-Rihlah min al-Shakk Ila
al-Iman dengan penuh keyakinan.
Dia mengatakan bahwa
seandainya dulu dia mendengar suara fitrah dan membiarkan kegamblangan menuntun
dirinya, maka dia tidak perlu bersusah payah dengan semua perdebatan tersebut.
Fitrah akan menuntun pada Allah. Tapi, dulu dia tidak menghendaki itu. Dia
memilih untuk menempuh perjalanan yang tidak mudah. Dia memilih untuk tidak
menjadikan perjalanan dari keraguan menuju keimanannya itu sebagai perjalanan
yang mudah. Di samping itu, menurutnya, zaman pun tidak menghendaki
perjalanannya itu menjadi perjalanan yang mudah.
Penjelasan Mahmud ini
mungkin ada benarnya. Dia bukan orang biasa dan dia juga anak zamannya.
Orang seperti Mahmud susah
mencari bandingannya. Sejak kecil dia sudah “tenggelam” di Perpustakaan di
daerahnya, yaitu di Tanta, Mesir, untuk membaca buku intelektual Mesir saat itu
seperti Shibli Shamil dan Salamah Musa, berkenalan dengan Freud dan Darwin.
Mahmud kecil jatuh cinta pada kimia, fisika, dan biologi. Dia punya lab kecil
di kamarnya, melakukan percobaan membuat pembunuh kecoak, juga membedah kodok.
Dunia saat itu, menurut
Mahmud, hanya meneriakkan satu kata. Ilmu. Ilmu. Ilmu. Tidak ada yang lain,
hanya ilmu. Objektivisme adalah satu-satunya metodologi. Kegaiban harus
ditolak. Membakar menyan dan membaca mantra harus dihentikan.
Dari Barat, Timur
mengambil segalanya. Buku, obat, pakaian, kain, kereta, mobil, makanan kaleng,
pulpen, stepress, jarum, sistem pendidikan, bingkai penulisan sastra baik
berupa cerpen, drama, maupun novel, bahkan kertas koran juga diambil Timur dari
Barat.
Pahlawan-pahlawan dari
Barat menyusun mimpi-mimpi dan menjadi teladan orang Timur. Barat sama dengan
kemajuan. Timur adalah ketertinggalan, kelemahan, kehinaan, dan kehancuran di
tapak kaki penjajahan. Apa yang datang dari Barat adalah cahaya dan kebenaran,
jalan untuk memperoleh kekuatan dan keselamatan.
Barat memang demikian.
Barat memang tidak berisi kesesatan semata. Karena itu, benar kata Mughniyyah,
ahli agama harus menyediakan penjelasan tentang keimanan kepada Allah yang
rasional, yang terus diperbarui dari waktu ke waktu, karena gelombang ateisme
sangat deras menerpa dunia. Ahli agama harus kasihan pada Barat, seperti dia
kasihan pada Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar