Puisi-puisi Sulaiman Djaya
FABEL –
Tanganku saling bermain
dengan kata
dan kalimat. Menggambar
rusa dan senja,
sama-sama melukis bahasa
jadi sajak, menziarahi
dunia.
Orang-orang
telah mengganti kesepiannya
dengan
dunia-dunia di layar kaca
dan
puisi pun tak ada
bagi
mereka yang kehilangan bahasa.
Puisi
hanya bisa ditulis
ketika
kau ikhlas duduk sendiri.
Selagi
bahasa belum mati
oleh
iklan-iklan komoditas abad ini
yang
membuatmu tak lagi mengenali
beda
kata dan kalimat
saat
kau membaca dan berbicara
ketika
sedih atau gembira.
Aku
menulis karena aku ingin menziarahi
dunia-dunia
yang tersembunyi
dalam
bahasa dan hidup sehari-hari
yang
juga kau akrabi.
Kau
tentu tahu, seringkali rasa asing
tak
bisa dibedakan dari sepi
ketika
kau sibuk memilih
dunia
yang ingin sekali kau tinggali.
Tetapi
aku berbagi sunyi dengan kata-kata
ketika
bernyanyi dan menulis puisi.
Membayangkan
sebuah dunia
dengan
rumah-rumah purba
dan
kau tak perlu menyeru kata
ketika
menulis sajak
karena
puisi bukan mantra sihir
atau
jurus sulap dunia jaman mesin.
(2015)
ANIMASI –
Februari datang seperti
bahasa
dan detak jam
telah selesai menghitung hujan
seperti cinta pertama
dalam sebuah sajak.
Di bawah mendung aku memandang
para capung dan kupu-kupu
ketika waktu tidur
di dalam sepasang matamu.
Waktu, yang tanpa kau-tahu,
merubah warna jendela kaca
dan menyimpan ingatan
di sebuah stanza
yang pernah kau-baca.
Tetapi waktu bukan tahun-tahun
yang menggugurkan daun.
Waktu adalah cahaya
kunang-kunang
dan sesuatu, entah apa itu,
yang tak pernah dikatakan
gugusan rambutmu.
Aku pun seringkali
terlambat membuka mata
untuk mengenali sebuah dunia
yang ditinggalkan dan yang
datang.
Waktu, barangkali, seperti
para capung
yang bergetar dan mengambang
di antara remang cahaya
dan dingin udara Februari
pertama.
(2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar