oleh Idries
Shah
“Barangsiapa mengikuti jalan pencarian
kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan dan rasionalitas” (Nizhami, Treasury
of Mysteries)
Gulistan (Kebun
Mawar) dan Bustan (Kebun Buah) karya Sa’di Al-Syirazi
merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika serta
banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah.
Pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang Darwis yang senantiasa berkelana. Ia
pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit
sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan
menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di
perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah,
sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi
dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syahabuddin
Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar
Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.
Pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa
diakui sangat besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta
Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana
Barat telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam
sastra Jerman. Penerjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada
abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud
yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para
pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang
komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun
merupakan indikasi pikiran di penanya:
“Sangat
diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan
mengucilkan mistik.”
Sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat,
syair, analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada
tatanan masyarakat, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar
terhadap pemantapan etika. Namun di antara para pengulas sastra Barat, hanya
Profesor Codrington yang memahaminya lebih dalam:
“Alegori
dalam Gulistan memang
khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia
kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara
tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan
rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang
tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan
khusus atau alegori digunakan.”
Bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap
bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan
di atas piring. Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu
ceritanya.
Ketika ia mengadakan perjalanan dengan
beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat
Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang
pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Syekh Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal
lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”1
Ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tidak
hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan guru.
Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan diri. Bentuk pelatihan ini
sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami
nasehat-nasehat seorang guru. “Bila
engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan
mau menerima nasehat dari orang lain.”
Demikian pula tentang ketekunan dalam
menjalankan hidup bertapa secara berlebih-lebihan. Pertama kali seorang calon
murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang
sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama
teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,”
tandas Sa’di. “Kebutuhan mengasingkan
diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa,
yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan
kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus
digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Mereka sebenarnya
tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet”.
Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan
Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak
mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam
sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu
dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan
ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa
hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari
mesin yang mengikatnya.
Prinsip ini, yang dikenal dalam hikmah
kehidupan sehari-hari bahwa “segala
sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan
dengan suatu cara yang tipikal. Hikayat ketiga puluh enam yang
mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan
aturan moral dan tata krama (etika). Namun bila diuraikan dalam atmosfir Sufi,
maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru.
Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan
dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau
di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu.
Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang
intelek ini, bagIMmu,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat
untuk diungkapkan.
Seperti seorang lelaki belum menikah di depan
pintu kamar mandi perempuan, “Aku
menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.”
Bait ini tidak hanya mempunyai maksud bahwa
sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara; bait ini juga mengandung maksud
bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang
sebenarnya.
Kemudian, kisah berlanjut, si tuan pada saat
itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”
Gulistan kerapkali
menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar
mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya
dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di
bertanya, “Mungkinkah orang tidur
membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan
manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa
pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun
kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah
konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian.
Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau
engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika
mempunyai kemampuan membeli.”2
Pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah
kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu
keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan
antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir
tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di.
Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan
resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya
secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang
berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah
kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu
berhubungan dengan Sufi; maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi
tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini
dalam kisah keempat puluh tiga:
Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan
Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit
di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas
kepentingan dirinya sandiri.” Ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun
sanak keluarganya.”
Kedudukan Gulistan yang
menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya
ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam
membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya.
Karya Sa’di dibaca dan digemari, karena berisi pemikiran dan puisi-puisi yang
bersifat menghibur. Beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan
salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat
diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar
(pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam
kebudayaan lain.
Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum
waktunya pun ada beberapa ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa
mengetahui dulu semua ajarannya — akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman.
Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan
kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam
sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang
daripada peribahasa larva:
Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek.
Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang
lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang
buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan
menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang
perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”
Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor
penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat
mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan,
“Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh
kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh
kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan
(disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya
adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat
antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem
pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak
utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia
tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu
berpikir begitu.
Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah
satu aforismenya yang lebih sederhana. Ia menyatakan, “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia
menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani.” Sikap ini merupakan aspek
terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran
tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan
(melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola
pertanyaannya.
Dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan
diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang
tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat.
Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang
penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam
sebuah puisi terkenal:
Sang
singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun
ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah
tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah
merendah karena mengharap bantuan.
Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada
Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti
keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia
berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya. Sufi sejati
mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan
orang-orang yang kurang beruntung.
Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini
dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat
yang sejati:
Seorang raja sedang berburu bersama beberapa
pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia
memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka
menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu.
Kemudian si petani mengatakan, “Baginda
raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh
kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut
kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.
CATATAN:
1 Kutipan ini dan lainnya adalah terjemahan
Aga Omar Ali Shah (MS).
2 “Banyak orang terpelajar dirusak
ketidaktahuan dan mempelajari apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadhrat
Ahmed ibnu Mahsud, seorang Sufi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar