oleh Farid
Gaban
“Rekaman kasak-kusuk saham Freeport hanya
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, masih
membuka peluang kemungkinan perpanjangan kontrak. Atau membuka peluang
jual-beli saham Freeport yang akan mereka tinggalkan.”
Sebuah pagi, lima tahun lalu. Kapal yang saya
tumpangi bersandar di Pelabuhan Amamapare, Papua. Ini pelabuhan kecil pada
sebuah selat dengan air laut yang teduh. Pelabuhan itu milik PT Freeport
Indonesia dan berjarak hanya 30 kilometer dari Timika, lokasi tambang emas
terkenal itu.
Di kejauhan tampak hutan bakau yang hijau dan
rimbun. Perahu-perahu kecil lalu-lalang membawa penumpang dari dan ke seberang
selat. Tiga anak kecil, salah satunya telanjang, mendayung sampan kayu di dekat
dermaga.
Di pantai yang tengah surut tampak deretan
rumah panggung. Tiang dan dindingnya dari kayu, atapnya rumbia. Rapuh dan
kumuh. Seorang perempuan dan anak kecil membawa ember mengambil air laut yang
kotor untuk mencuci baju dan barang pecah belah.
Kondisi sosial ekonomi warga Papua di sekitar
Amamapare sama sekali berkebalikan dengan fakta bahwa mereka hidup tak jauh
dari salah satu tambang emas terkaya di dunia.
Saya mengingat mereka ketika mendengar diskusi
yang gaduh di Jakarta tentang Freeport. Saya juga mengingat orang-orang di
Boven Digoel, dekat Merauke, tempat pengasingan para pejuang kemerdekaan, yang
listriknya bisa mati beberapa hari, biaya hidupnya lebih mahal dari Jawa akibat
jalanan yang mirip sungai berlumpur.
Sidang majelis etik parlemen (Mahkamah
Kehormatan Dewan), yang membahas rekaman kasak-kusuk negosiasi perpanjangan
kontrak karya Freeport, punya aspek bagus sebagai bahan renungan mendalam.
Sidang terbuka itu membongkar borok ketamakan, kerakusan, dan inkompetensi para
elite politik kita, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Sidang itu membuka mata kita bahwa selama ini,
meski ada pemilihan umum yang rutin, Indonesia sebenarnya dikuasai oleh
segelintir elite oligarki yang mengaveling kekayaan alam negeri ini untuk
kepentingan egoistis mereka. Dalam memenuhi hasrat ketamakan pribadi, mereka
rela menjual negeri ini ke tangan orang asing. Dan, rakyat tak
berdaya. Khususnya rakyat Papua, yang tak berdaya dan diabaikan.
Rekaman kasak-kusuk Freeport hanya menunjukkan
betapa egois elite nasional dan wakil perusahaan multinasional itu. Reaksi umum
orang Indonesia juga sama egoisnya. Mereka peduli Papua hanya emasnya. Bukan
kesejahteraan manusianya.
Rekaman itu mempertontonkan bagaimana elite
Jakarta, baik menteri, pengusaha, maupun mantan pejabat intelijen yang mewakili
kepentingan asing Freeport, tak ubahnya seperti kompeni (VOC) dulu mengaveling
dan menjarah kekayaan alam Hindia Belanda.
Kita akan terkecoh jika cuma sibuk menuding
dan memaki siapa setan dalam kasus ini; atau sebaliknya, memuja siapa pahlawan
di situ. Kita akan gigit jari juga jika hanya sibuk mendiskusikan hal
remeh-temeh tentang sikap, kelakuan, dan kekonyolan dewan etik parlemen.
Semua pihak yang terlibat, termasuk Freeport,
punya kepentingan untuk membuat publik hanya melihat kabut asap. Tapi, bukan
menemukan pertanyaan-pertanyaan terpenting dari kasus ini.
Baik Sudirman Said, Setya Novanto, Luhut
Panjaitan, maupun Maroef Sjamsoeddin hanya aktor. Kita perlu tahu persis jalan
cerita yang sedang dimainkan. Mereka hanya penyanyi. Kita perlu tahu persis apa
musik dan syair terselubung yang mereka nyanyikan.
Semua kontroversi itu bermula dari satu
pertanyaan terpenting: apakah Indonesia akan memperpanjang kontrak karya dengan
Freeport yang habis pada 2021?
Rekaman kasak-kusuk saham Freeport hanya
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, masih
membuka peluang kemungkinan perpanjangan kontrak. Atau membuka peluang
jual-beli saham Freeport yang akan mereka tinggalkan.
Itu patut disayangkan. Jika Presiden dan
parlemen tegas memberi sinyal tidak memperpanjang kontrak karya, kasak-kusuk
seperti itu tidak perlu terjadi. Tambang akan otomatis kembali menjadi milik
negara dan saham Freeport tak lagi relevan dibicarakan.
Kontroversi di parlemen, meski positif dalam
membongkar topeng kerakusan elite Indonesia, memberi Freeport argumen kuat
untuk meneruskan kontrak atau menegosiasikan saham: “Lihat, betapa korup
pejabat Indonesia dan betapa inkompeten penyelenggara negeri Indonesia? Jika
begitu, bukankah sebaiknya tambang emas ini tetap dikelola perusahaan asing
dan/atau perusahaan swasta kroni lokal?”
Saya tak mau menelan kabut kontroversi. Saya
hanya akan menunggu akhir (ending)
drama komedi ini. Apakah kontrak Freeport akhirnya diperpanjang? Semoga tidak.
Apakah ada mekanisme rakyat Papua, termasuk warga Amamapare, bisa lebih
berdaulat memanfaatkan kekayaan alam mereka secara berkelanjutan? Semoga ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar