oleh Sulaiman Djaya, esais dan
penyair
“Indonesia tanah air beta…..tanah tumpah darah
para penguasa modal….elite-elitenya menjadi para pelayan tuan-tuan
neoliberal…..”
Apakah
elite-elite Negara bangsa ini memahami dan mengamalkan falsafah, dasar Negara
dan ideologi bangsa sendiri? Ataukah mereka mengabaikan dan meninggalkannya,
mengkhianatinya? Esai ini merupakan refleksi kebangsaan dari seorang warga
Negara yang ‘membaca’ bangsanya sendiri.
Indonesia
sebagai sebuah nama bagi geografi yang kemudian dicakup dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tentulah saya ‘kenal’ ketika saya mulai menjalani
pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD). Salah-satunya melalui materi sejarah,
yang ketika itu disampaikan melalui Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Meski kemudian saya tahu, bersamaan dengan pembawaan otodidak saya,
untuk membaca buku-buku di luar kebutuhan materi kuliah di sebuah universitas
di mana saya ikut duduk di kelas bersama para mahasiswa/i yang lain, saya jadi
tahu bahwa Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah buah dari ‘peristiwa’ politik dalam rentang 1945-1950an, karena
sebelumnya geografi yang kini tercakup dalam nama Indonesia adalah sebaran
sejumlah kerajaan dan kesultanaan, termasuk di era Pemerintah Hindia-Belanda.
Namun
demikian, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang merupakan ‘penyatuan’
sejumlah warisan historis kerajaan dan kesultanan di wilayah-wilayah yang kini
tercakup dalam nama Indonesia, merupakan bukti kecerdasan dan kearifan para
bapak bangsa kita bahwa sebaran kerajaan dan kesultanan itu pada hakikatnya
adalah masih ‘saudara’ setanah-air meski beragam suku, budaya, bahasa, ras, dan
agama. Dan inilah keunikan sekaligus keunggulan bangsa kita, yang kemudian
‘dipatenkan’ dalam Dasar Negara (Pancasila) dan UUD 45 dengan ‘motto’ Bhinneka
Tunggal Ika. Terbentuk dari rajutan dan sulaman keragaman namun memiliki
kesadaran bersama untuk menamakan diri mereka sebagai ‘Bangsa Indonesia’.
Sebuah ‘Bangsa’ yang kemudian sejak era orde baru Soeharto, mulai
‘dikendalikan’ oleh kekuatan asing (Amerika) setelah sebelumnya diatur oleh
bangsa lain (Belanda).
Adapun
tulisan ini bermula, atau saya terdorong untuk menulis refleksi kebangsaan ini,
tersulut ketika seorang teman meminta pendapat dan pandangan ihwal kemunculan
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang menurut saya, jika berbicara secara
konseptual, partai yang baru berusia seumur jagung tersebut masih ambigu dan
boleh dikatakan reaksioner dan mentah. Meski di belakangnya ada orang-orang
hebat yang tidak mau menampakkan diri. Dibanding banyak kekeliruan komentar dan
pandangan yang dilontarkan sejumlah tokoh muda Partai Solidaritas Indonesia
(PSI) saat merespon atau menanggapi isu yang berkembang, misalnya, isu yang
diangkat Partai Rakyat Demokratik (PRD) lebih urgen untuk saat ini, seperti
soal keadilan dalam distribusi ekonomi, di mana saat ini memang harus diakui
‘demokrasi’ sedang dibajak oleh oligarkhi lokal dan oligarkhi global.
Anak-anak
muda di PRD (Partai Rakyat Demokratik) lebih cerdas dan lebih paham konteks
falsafah bangsa ketimbang anak-anak PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang
lahir dari rahim ‘world of view’ ideologi liberal Amerika, yang sempat beberapa
kali mengundang tawa publik karena kekeliruan mereka ketika mengemukakan
pendapat dan komentar terkait isu dan persoalan yang berkembang dalam kehidupan
bangsa ini. Sampai pernah diplesetkan menjadi Partai Sawit Indonesia (PSI).
Beberapa tokoh muda di PSI juga tampak tidak paham geopolitik dunia saat ini,
sampai si tokoh itu memuji penjahat kemanusiaan yang bernama John McCain di
akun medsosnya. Sebagai orang yang kurang sependapat dengan penjiplakan
mentah-mentah ‘world of view’ ideologi liberal Amerika untuk Indonesia, saya
siap berdiskusi untuk adu argumen, dan bila perlu dari buku-buku yang mereka
baca, karena saya juga membaca buku-buku yang mereka baca.
Saya
memang saat ini tidak mempercayai partai politik, elite elite negeri ini, mulai
dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena bagi saya, mereka semua sama:
tidak menjalankan visi Pancasila dan amanat UUD 45, yang ada malah mereka
berusaha mengamandemen UUD 45 yang sejalan dengan kepentingan kebijakan
liberal. Sebagai warga Negara saya berhak memiliki persepsi dan pandangan yang
seperti itu berdasarkan pembacaan subjektif saya, karena hakikat pendirian
Negara bangsa adalah demi cita-cita warga Negara. Namun kenyataannya bangsa dan
Negara ini dikangkangi feodalisme baru yang berbaju partai politik dan
rutinitas suksesi. Bila saya memilih untuk tidak memilih baik pasangan Joko
Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, itulah pilihan
politik saya sebagai warga Negara. Saya berhak, berdasarkan alasan dan argumen
yang telah saya kemukakan di atas, untuk tidak datang ke tempat pemungutan
suara (TPS) dalam konteks suksesi tahun 2019.
Kebijakan
liberal itu, contohnya, tampak tambah menguat di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, karena kebetulan Wakil Presidennnya, yaitu Boediono dan salah-satu
menteri di kabinetnya, yaitu Sri Mulyani adalah orang-orang liberal. Yang saya
maksud kebijakan liberal adalah kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi lebih
pro oligarkhi dan korporasi global (Amerika dkk), seperti kebijakan pencabutan
subsidi sosial dan privatisasi aset-aset Negara. Berikut contoh regulasi
(Undang-Undang) yang disetir oleh kebijakan liberal (pro oligarkhi dan korporat
global): UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU BUMN.
Pengesahan UU ini dilakukan dengan intervensi konsultan asing seperti New
Democratic Initiatives (NDI) dan United States Agency for International
Development (USAID).
Mereka
contohnya bermain dengan menggunakan tangan DPR dan para menteri, seperti
dengan menggunakan tangannya Laksamana Sukardi, Boediono, Sri Mulyani, Darmin
Nasution, dan sejumlah think tanks dan arsitek kebijakan liberal di negeri ini,
yang juga masih aktif, seperti di pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat
ini. Bagi saya, Indonesia paska Bung Karno memang masuk dalam jebakan permainan
Amerika dan ambisi penjarahan korporat global yang juga kebanyakan dari
Amerika. Dan sejauh watak ambisi oligarkhi dan korporat global (Amerika dkk)
ini saya teringat apa yang pernah diungkapkan Cecil Rhodes: Dunia sudah hampir
seluruhnya terkotak-kotak, dan yang tersisa sudah terbagi-bagi, dikuasai, dan
diduduki. Membuatku berpikir mengenai bintang-bintang yang kulihat di langit
malam, dunia-dunia luas yang tak terjamah. Aku akan mencaplok planet-planet itu
kalau bisa, aku seringkali berpikir mengenainya. Hatiku sedih melihat mereka,
tapi begitu jauh tak terjangkau” (Cecil Rhodes, Last Will and Testament 1902).
Saya
tidak mengerti kenapa elite-elite bangsa ini hanya menjadi pion-pion korporasi
global (Amerika dkk)? Tapi jika merujuk pada apa yang pernah diungkapkan John
Perkins, salah-satu faktornya adalah mental korup para petinggi negeri ini,
termasuk di antaranya para jenderal (di era Orde Baru). Dan sebelum saya
memaparkan pendapat pribadi saya sendiri terkait krisis politik, ideologi dan
identitas bangsa ini, tidak ada salahnya saya kutipkan pemaparan John Perkins
yang ada dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: Membongkar
Kejahatan Jaringan Internasional, Ufuk Press, Jakarta, Cetakan ke II Juni 2009:
“Dalam
Confessions of Economic Hit Man, aku menggambarkan hubunganku pada akhir
1980-an dan 1990-an dengan Stone and Webster Company (SWEC), yang pada saat itu
merupakan firma konstruksi dan konsultan paling terhormat dan terbesar di AS.
SWEC akan memberiku sekitar setengah juta dolar asalkan aku menghentikan
penulisan buku tentang kehidupanku sebagai Bandit Ekonomi. Sesekali, perusahaan
tersebut meminta aku benar-benar mengabdi kepada mereka.
Suatu
hari pada tahun 1995, seorang petinggi SWEC menelepon untuk meminta bertemu
denganku. Sambil makan siang, ia membahas proyek pembangunan kompleks
pemrosesan bahan kimia di Indonesia. Ia berusaha meyakinkanku bahwa pembangunan
itu akan menjadi salah satu proyek terbesar sepanjang seabad sejarah
perusahaan. Nilainya tak kurang dari 1 milyar dolar. “Aku bertekad mewujudkan
proyek ini,” katanya dan kemudian, sambil melirihkan suaranya, ia mengaku,
“tapi aku tak bisa melakukannya sebelum menemukan cara membayar salah seorang
anggota keluarga Soeharto sebesar 150 juta dolar.”
“Suap,”
jawabku. Ia mengangguk. “Anda pernah tinggal lama di Indonesia. Tolong
beritahukan kepadaku bagaimana mewujudkannya.” Aku katakan ada empat cara
memberi “suap resmi”.
[1]
SWEC bisa menyewa buldozer, mesin derek, truk, dan peralatan berat lainnya dari
perusahaan milik keluarga Soeharto dan kroninya dengan harga yang lebih tinggi
dari harga normal.
[2]
Cara kedua dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan milik
keluarga tersebut dengan harga tinggi.
[3]
Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan, perumahan,
mobil, bahan bakar dan kebutuhan lainnya.
[4]
Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukan putra-putri para kroni
orang Indonesia itu ke kampus-kampus prestisius AS, menanggung biaya mereka,
dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan pegawai perusahaan ketika
berada di AS
Meski
tahu bahwa barangkali dibutuhkan keempat pendekatan di atas sekaligus, dan
butuh waktu beberapa tahun untuk mengatur uang sebanyak itu, aku meyakinkan
dirinya bahwa aku sudah menyaksikan keberhasilan siasat semacam ini, dan bahwa
perusahaan dan eksekutif AS yang melakukannya tak pernah terseret hukum. Aku
sarankan juga agar ia memikirkan usulan menyewa geisha untuk memuluskan
rencana.
“Geisha,”
katanya sambil menyerangi culas, “itu saja pekerjaan sulit.” Selain itu, ia
mengaku prihatin karena anak buah Soeharto meminta “uang di muka secara
terang-terangan.” Harus aku akui, aku tidak tahu bagaimana menyediakan uang
tunai sebanyak itu “di muka”. Setidaknya secara ilegal. Ia berterimakasih
kepadaku, dan aku tak mendengar kabar lebih jauh darinya.
Pada
15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk berikut ini dalam halaman depan
segmen bisnisnya: MEMO SUAP DAN BANGKRUTNYA STONE & WEBSTER. Artikel itu
membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang berdiri tahun 1889 dan
memiliki sejarah cemerlang itu ambruk dan mencatatkan kebangkrutannya pada
tahun 2000. Ujung-ujungnya perusahaan ini diakuisisi Shaw Group. Menurut Globe
“lebih dari 1.000 karyawan di PHK, dan tabungan mereka dalam bentuk saham Stone
& Webster lenyap.” Wartawan Globe, Steve Bailey menyimpulkan bahwa
keruntuhan tersebut berpangkal pada “Memo kritis (yang) membeberkan suatu usaha
rahasia perusahaan secara detail. Yakni, membayar suap senilai 147 juta dolar
kepada seorang kerabat Presiden Soeharto untuk mengamankan kontrak terbesar
sepanjang sejarah Stone & Webster.
Insiden
kedua bermula dengan email yang aku terima dari putra seorang pejabat
pemerintah Indonesia yang pernah mempekerjakanku pada tahun 1970-an. Ia meminta
bertemu denganku.
Emil
(bukan nama sebenarnya) bertemu denganku di sebuah restoran Thailand yang
tenang di Upper West Side New York. Ia mengaku terkesan dengan bukuku,
Confessions of Economic Hit Man. Ayahnya mengenalkan padaku di Jakarta saat
usianya kira-kira sepuluh tahun. Seingatnya ia sering mendengar namaku. Ia
mengaku maphum bahwa ayahnya adalah salah seorang pejabat korup yang aku
gambarkan dalam buku itu. Lalu, sambil menatap lurus ke mataku, ia mengaku
telah mengikuti jejak ayahnya. “Aku ingin bertobat,” katanya. “Aku ingin
mengaku seperti Anda.” Ia tersenyum lembut. “Tapi aku mempunyai keluarga dan
akan kehilangan banyak hal. Aku yakin Anda mengerti maksudku.”
Aku
meyakinkannya bahwa aku tak akan memberitahukan namanya atau apa saja yang bisa
membuat identitasnya terbongkar.
Kisah
Emil sesungguhnya membuka pikiran kami. Ia menegaskan bahwa militer Indonesia
memiliki sejarah panjang mengumpulkan uang dari sektor swasta untuk membiayai
kegiatan-kegiatannya. Dia mencoba menganggap enteng hal ini, mengabaikannya
dengan tawa, karena sepengetahuannya, hal semacam itu sudah biasa di negara
Dunia Ketiga. Lalu ia menjadi serius. “Sejak lengsernya Soeharto 1998,
segalanya bahkan kian buruk. Soeharto benar-benar diktator militer yang
bertekad tetap mengendalikkan angkatan bersenjata. Begitu kekuasaan berakhir,
banyak tokoh Indonesia yang berusaha mengubah hukum agar kedudukan sipil bisa
lebih tinggi dibanding militer, tapi sia-sia. Mereka pikir dengan mengurangi
anggaran militer, tujuan akan tercapai. Tapi para jenderal tahu kemana mereka harus
meminta bantuan: perusahaan-perusahaan pertambangan dan energi asing.”
Aku
katakan kepada Emil bahwa ucapannya mengingatkanku pada kondisi di Kolombia,
Nigeria, Nikaragua, dan banyak negara lain. Di negara-negara itu, milisi swasta
digunakan untuk menambah angkatan bersenjata nasional. Emil mengiyakan. ”Di
Indonesia pun banyak tentara bayaran. Tapi yang aku ceritakan ini lebih buruk.
Dalam beberapa tahun terakhir angkatan bersenjata kami dibeli oleh
korporasi-korporasi asing. Dampaknya menakutkan karena, seperti Anda lihat,
sekarang korporasi memiliki angkatan bersenjata sekaligus sumber daya alam
kami.”
Saat
aku bertanya mengapa ia membeberkan informasi ini, ia menoleh dan memandang
lalu lintas jalanan dari jendela restoran. Akhirnya ia kembali menatapku. “Aku
seorang kolaborator. Korupsi yang aku lalukan bahkan lebih parah kalau
dibandingkan ayahku. Aku satu diantara orang yang mengatur, mengumpulkan uang
dari perusahaan, dan menyerahkan kepada militer. Aku malu. Yang bisa aku
lakukan hanya berbicara dengan Anda dan berharap Anda memberitahukannya kepada
dunia.”
Berminggu-minggu
setelah pertemuan itu, sebuah artikel di website The New York Time menggelitik
sanubariku. Tulisan itu merinci kegiatan sebuah perusahaan yang berbasis di New
Orleans, Freeport-McMoRan Copper and Gold. Mereka “membayar 20 juta dolar untuk
para komandan dan unit militer di kawasan tersebut (Papua) selama tujuh tahun
terakhir sebagai imbalan perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di
sana.” Selanjutnya ditegaskan, “Hanya sepertiga dana untuk angkatan bersenjata
Indonesia yang berasal dari anggaran negara. Selebihnya dikumpulkan dari sumber
“tak resmi” sebagai “biaya perlindungan”, sehingga administrasi militer bisa
berjalan mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah.
Artikel
tersebut mengantarkanku kepada dua artikel lainnya yang pernah muncul di
website The Times pada September 2004. Keduanya mendeskripsikan dua kejadian
baru-baru ini di tempat aku dahulu bermain, Sulawesi, selain mendokumentasikan
dugaan bahwa perusahaan penghasil emas terbesar dunia, Newmont Mining Corp.,
yang berbasis di Denver, membuang arsenik dan merkuri secara ilegal ke lautan
di Teluk Buyat. Saat membaca, aku teringat pekerjaanku –jaringan listrik,
jalanan, pelabuhan, dan infrastruktur lainya yang didanai Bandit Ekonomi dan
dibangun kembali pada 1970-an. Semua itu menciptakan kondisi yang memungkinkan
Newmont menjalankan aktivitas penambangan sekaligus meracuni laut. Sebagaimana
ditegaskan manajer proyekku, Charlie Illingworth, pada kunjungan pertamaku,
kami dikirim ke Indonesia untuk memastikan perusahaan minyak mendapatkan apa
saja yang mereka perlukan. Tapi sebentar kemudian aku paham bahwa misi kami
tidak sebatas itu. Sulawesi menjadi contoh utama bagaimana uang “bantuan”
memberi keuntungan pada perusahaan multinasional.
The
Times menunjukan, “perseteruan dengan Newmont telah menyulut kesan populer yang
menguat bahwa perusahaan pertambangan dan energi mengendalikan sistem regulasi
Indonesia yang lemah. Banyak yang menuding korupsi, kronisme, dan tidak
berkembangnya struktur hukum adalah kondisi yang diwariskan Jenderal Soeharto,
diktator yang lengser pada 1998 dan yang, demi sejumlah uang, membuka pintu
bagi investasi asing.”
Saat
menatap artikel-artikel itu, dugaan yang dulu dilontarkan walikota “Desa
Kelelawar” dan orang Bugis pembuat kapal, muncul di layar komputer. Seolah para
rasul yang disebutan kitab suci turun kembali untuk menghantuiku. AS
benar-benar telah mengirim kelelawarnya untuk mengeksploitasi dan mencemari
negeri-negeri asing. Para pelaut dan kapal-kapal kuno, yang hanya bersenjatakan
golok besar, tak punya banyak peluang untuk mempertahankan negeri mereka dari
kekuatan Pentagon, atau melawan angkatan bersenjata yang menjadi antek
perusahaan.”
Saya
sengaja menyertakan kutipan dari apa yang dipaparkan John Perkins tersebut
lebih sebagai bahan instrospeksi dan refleksi bagi bangsa ini tentang bagaimana
perilaku elite-elite bangsa ini. Terlepas jika misalnya tulisan John Perkins
itu sekalipun dibumbui fiksi, tapi rasa-rasanya apa yang dipaparkannya memang
realitas kehidupan politik di era Orde Baru Seoharto, yang sedikit-banyaknya
masih mencerminkan kehidupan politik bangsa saat ini, seperti perilaku para
mafia dan kartel.
Hari
ini memang pemahaman tentang politik bersifat machiavelian, politik yang lebih
dimengerti, dan pada kenyataannya memang demikian, sebagai predatorisme
oligarkhi dan korporasi global. Politik dalam arti ‘keberpihakan kepada
mayoritas warga’, kalau pun ada, lebih merupakan kemasan halus kapitalisme
global, di mana warga Negara lebih dipahami sebagai konsumen komoditas mereka,
bahkan hingga sumber daya dan fasilitas yang mestinya dikelola Negara sekali
pun, dikomoditaskan oleh oligarkhi dan korporasi. Jika kita bertanya: Apakah
elite-elite bangsa ini mengamalkan amanat UUD 45 dan isi Pancasila? Maka
jawabannya tidak. Dulu, barangkali, pengaruh dan dominasi lembaga-lembaga
global (Amerika) dkk itu masih sebatas berada di halaman Negara bangsa kita,
tapi saat ini sudah berada di dapur Negara bangsa kita. Mereka bahkan mampu
mengarahkan kebijakan apa dan keputusan seperti apa yang akan diambil oleh
anggota DPR dan para elite-elite eksekutif negeri ini, dari tingkat presiden
hingga menteri.
Sebagai
contoh, terkait rezim saat ini, misalnya, warga Negara yang tercerahkan akan
mengajukan beberapa pertanyaan:
[1]
Bagaimana sesungguhnya proses pengambilan keputusan dan kebijakan para elite
itu, mengingat misalnya, terkait kebijakan ekonomi dan politik Darmin Nasution
dan Sri Mulyani, yang membuka lebar-lebar modal asing (100%) pada sektor-sektor
yang seharusnya dikelola rakyat
[2]
Atas dasar apa keputusan tersebut diambil, mengingat banyak sekali kebijakan
yang diambil Sri Mulyani, Darmin Nasution, dkk lebih berpihak kepada oligarkhi
dan korporasi global ketimbang pada pemberdayaan usaha warga negara bangsa ini.
[3]
Apakah, jika dilihat dengan kacamata buruk-sangka, rezim saat ini memang sebuah
Negara dengan banyak boss? Yang kebetulan para boss itu tak ubahnya para don
dari dunia sana yang seenaknya saja menekan dan mengarahkan kebijakan Negara
lain yang akan menguntungkan mereka.
Kenyataan
tersebut jangan sampai membuat sejumlah kalangan menyimpulkan Joko Widodo
adalah figur lemah dari sisi leadership, yang lebih terlihat diatur sejumlah
meterinya, ketimbang mengatur para menterinya. Atas usulan siapakah Sri Mulyani
masuk kabinet jika bukan atas usulan kaum liberal Amerika. Barangkali memang
benar, the king maker di belakang rezim saat ini salah-satunya adalah Luhut
Binsar Panjaitan, yang dalam beberapa kasus cenderung mendukung kebijakan
Darmin Nasution dan Sri Mulyani meski beberapa elite dan intelektual sempat
mengingatkan Presiden Joko Widodo terkait sejumlah kebijakan yang cenderung
liberal.
Kenapa
Rizal Ramli, misalnya, yang merupakan orang pilihan mendiang Gus Dur justru
ditendang? Apakah karena Rizal Ramli menolak kebijakan reklamasinya Ahok dan
tidak disukai kaum liberal yang berkiblat ke ideologi liberal Amerika? Mungkin
proklamasi era millennial ini cocok dengan krisis politik, ideologi dan
identitas bangsa kita saat ini: “Proklamasi………Kami elite-elite Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan ini menyatakan siap melaksanakan kebijakan liberal
dan melayani keinginan korporasi global Amerika dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.”
Tentu
kita tidak boleh lupa bahwa tertulis dalam UUD 45: “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Namun
sekarang Negara beserta para elitnya ngangguk-ngangguk dan manut kepada
lembaga-lembaga Amerika seperti World Bank, IMF, NDI dan USAID untuk mengkhianati
Pancasila dan UUD 45. Sehingga aset-aset Negara diprivatisasi oleh korporasi
global (Amerika dkk), usaha anak-anak bangsa tumbang oleh mafia dan kartel
internasional, bahkan ditumbangkan kebijakan politik bangsa sendiri. Sampai
bangsa ini tak lagi punya pemimpin, yang ada adalah elite-elite yang menjadi
pencuri-pencuri kecil yang melayani pencuri-pencuri besar (korporasi global).
Oh, sungguh itu adalah krisis politik, ideologi dan identitas yang melanda
bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia: kehilangan jatidiri dan
martabat. Intelektual-intelektual negeri ini ternyata para kolaborator ideologi
liberal Amerika. Mafia Berkeley Jilid II. Juru dakwah-juru dakwah yang
menyiapkan jalan bagi kebijakan liberal.
Tak
ketinggalan, media atau pers Indonesia pun menjadi kolaborator mereka, dan saat
ini sedang berlangsung, bagaimana media dan pers Indonesia bekerja pula untuk
mempertahankan status quo yang pro kebijakan liberal. Dalam konteks suksesi dan
pemilihan umum tingkat presiden, oligarkhi dan korporasi ini acapkali bermain
dua kaki. Masyarakat dan publik dibuat gamang oleh mereka, dihasut setiap waktu
dengan propaganda-propaganda partisan yang tidak mendidik dan semakin menambah
kebodohan warga Negara, bukannya mencerdaskan. Tentu saja mereka, oligarkhi dan
korporsai global ini, seperti telah disebutkan, ‘membeli’ bos-bos media, karena
media dapat menjadi instrument komunikasi dan propaganda massif yang cepat dan
efektif untuk menyebarkan propaganda-propaganda yang sejalan dengan kepentingan
mereka.
Terkait
yang demikian, Professor James Petras pernah mengungkapkan pernyataan yang
menarik: “Hubungan antara teknologi informasi, khususnya internet dengan
politik merupakan isu penting yang menjadi bagian dari gerakan sosial
kontemporer. Banyak ilmuwan terdahulu mengembangkan teknologi informasi untuk
tujuan ganda, di satu sisi teknologi informasi berhasil mengakselerasi aliran
capital secara global khususnya capital financial dan memfasilitasi agenda
globalisasi ala imperialis”.
JIKA
kita ibaratkan dunia saat ini tak ubahnya papan catur, maka rajanya adalah
oligarkhi dan korporasi global, sedangkan para punggawa dan pasukannya adalah
para pemimpin Negara, militer, partai politik, kongres, dan media. Dunia hari
ini, jika saya meminjam metaforanya Hannah Arendt dalam bukunya yang berjudul
The Human Condition itu, adalah ketika yang private (yang ekonomi) menguasai
dan mengatur yang publik dan yang politis, dalam arti para penguasa politik
sesungguhnya adalah oligarkhi dan korporasi global
Terkait
maraknya sejumlah sikap partisan menjelang Pilpres 2019 nanti, saya tentu punya
pendapat sendiri, yang tentu saja tak lepas dari pembacaan dan pengamatan saya
selama berlangsungnya rejim yang sedang berkuasa saat ini. Beberapa orang
bilang ke saya: Presiden Joko Widodo itu seorang Soekarnois. Apa yang mereka
nyatakan itu saya tanya ulang: Jika benar Presiden Joko Widodo seorang
Soekarnois, mestinya ia mencegah sejumlah kebijakan liberal dan neo-liberal
yang dilakukan Sri Mulyani, Darmin Nasution, dkk yang dibela Luhut Binsar
Panjaitan dan mestinya tidak menendang Rizal Ramli dari kabinetnya. Saya
katakan juga, beberapa kebijakan itu, bukannya malah mengkhianati slogan
Revolusi Mental yang dulu ia kumandangkan? Dan di mana Tri Sakti Soekarno yang
telah diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo?
Adalah
sebuah kontradiksi ketika Anda mengatakan bahwa ia melaksanakan prinsip
berdikari tapi pada saat bersamaan mengikuti IMF dan World Bank.
Prosedur-prosedur dan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat kedua lembaga itu
mengikat, dan mereka sanggup memainkan kartu mereka, jika misalnya, klien
mereka, tidak mematuhi motif dan tujuan mereka. Sehingga, dengan sendirinya,
mereka mengatur dapur Negara bangsa ini yang seharusnya diatur sendiri. Jika
demikian: di mana prinsip berdikari?
Sementara
itu, para pendukung Prabowo Subianto menyatakan bahwa Prabowo lebih
mengutamakan keinginan untuk melakukan kemandirian ekonomi Negara bangsa ini.
Terkait itu, saya nyatakan: Prabowo Subinato itu seorang pengusaha yang
memiliki koneksi dengan sejumlah kaum oligarkhi dan korporat global,
sebagaimana di belakang Presiden Joko Widodo juga terdapat sejumlah boss besar
yang menyokongnya. Dan saya belum mendengar dan membaca rumusan yang utuh dari
Prabowo Subianto jika benar ia punya keinginan untuk melakukan kemandirian
ekonomi.
Barangkali
saja sudah terbentuk kesan di sejumlah kalangan bahwa secara leadership,
Presiden Joko Widodo tidak memiliki arah yang jelas terkait kebijakan ekonomi
dan politiknya bagi Negara bangsa ini, sebagaimana ketidakjelasan juga ada di
pihak kandidat Prabowo Subianto. Dalam arti, Presiden Joko Widodo selama ini
lebih memainkan perannya sebagai orang yang ‘mengikuti’ aspirasi dan bisikan
sejumlah menteri dan think tanks di belakangnya, yang ternyata beberapa dari
mereka adalah para penganjur kebijakan liberal dan neoliberal.
Tidakkah
infrastruktur-infrastruktur dan fasilitas-fasilitas yang ia bangun itu
sebenarnya dalam rangka memenuhi kebutuhan para investor atau para korporat dan
kaum oligarkhi global yang mengucurkan dananya melalui IMF dan World Bank,
contohnya? Saya bertanya demikian, karena jika berdasarkan dana APBN, tidak
mungkin Presiden Joko Widodo sanggup melakukan penyelenggaraan sejumlah mega
project tersebut karena kapasitas APBN Negara ini, karena pada saat bersamaan
ternyata terdapat sejumlah perusahaan global di wilayah sekitar pembangunan
sejumlah fasilitas dan infrastruktur tersebut.
Sementara,
di sisi lain, kebijakan yang berpihak kepada para petani, contohnya, belum
terasakan dengan jelas. Juga, di era rejim ini, terjadi kekerasan agraria di
sejumlah tempat demi memenuhi keinginan para pemodal dan para investor, yang
acapkali tidak mempertimbangkan masalah dampak ekologis, di mana masalah
ekologis ini pun menurut saya belum mendapatkan perhatian yang jelas baik dari
pihak rejim saat ini maupun dari pihak kandidat Prabowo Subianto.
Jika
benar bahwa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tidak memiliki kejelasan
arah kebijakan ekonomi dan politik, sebagaimana ketidakjelasan serupa juga ada di
pihak kandidat Prabowo Subianto, adakah hal itu merupakan cerminan krisis
ideologi dan identitas Negara bangsa ini? Saya berhak mempertanyakan hal
seperti itu karena saya adalah salah-satu warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari ratusan juta warga Negara lainnya. Seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, watak predatorisme kaum oligarkhi dan para korporat global yang
memainkan kebijakan liberal ini, tak segan-segan mengorbankan kepentingan
rakyat dan hanya memandang warga Negara sebatas sebagai konsumen. Rasa-rasanya
saya perlu mengutip pernyataan Alvaro Garcia Linera, sebelum saya mengajukan
sejumlah pertanyaan lainnya, demi sedikit menerangkan apa neoliberalisme itu,
yaitu:
“PERTAMA-tama,
neo-liberalisme menandakan proses fragmentasi – disintegrasi struktural –
terhadap jaringan dukungan, solidaritas, dan mobilisasi kerakyatan. Di penjuru
dunia, terutama di Eropa, Amerika Latin, dan Asia neo-liberalisme berkembang
dari penghancuran, fragmentasi, dan disintegrasi terhadap gerakan pekerja yang
lama, gerakan tani yang lama, dan mobilisasi perkotaan yang berkembang di tahun
lima-puluhan dan delapan-puluhan.
Fragmentasi
masyarakat dan penghancuran jaringan solidaritas maupun ikatan-ikatan kohesif
telah memicu konsolidasi neo-liberalisme.
KEDUA,
neo-liberalisme telah terbentuk, termajukan, dan menerapkan dirinya di dunia
melalui privatisasi, yakni pengambil-alihan swasta terhadap kekayaan kolektif
dan kepemilikan publik, termasuk simpanan publik, tanah, mineral, hutan, dana
pensiun. Neo-liberalisme berkembang melalui privatisasi sumber-sumber daya
tersebut.
KETIGA,
masuknya neo-liberalisme disertai dengan penyusutan dan deformasi negara,
terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif
atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian
negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe
ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan
kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima
generasi.
KEEMPAT,
penerapan neo-liberalisme menyebabkan pembatasan partisipasi politik rakyat;
demokrasi diritualkan menjadi pemungutan suara setiap empat tahun. Warga pemilih
tidak lagi turut serta dalam penentuan keputusan. Segelintir kecil lingkaran
elit politik mengutus dirinya sendiri untuk mewakili rakyat. Inilah empat pilar
neoliberalisme – fragmentasi terhadap sektor-sektor pekerja dan organisasi
pekerja, privatisasi sumber daya publik, memudarnya peran negara, dan
rintangan-rintangan terhadap pengambilan keputusan oleh rakyat”.
Juga
pembukaan pidatonya Fidel Castro, yang berbunyi: “Globalisasi adalah realitas
obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam
kapal yang sama – planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi
penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.
Sejumlah
kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan
internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka
menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air
bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan
seni budaya.
Sejumlah
besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang
menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa
kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakkan ke
dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat
pertolongan.
Tentunya,
kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus
mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga
tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk
karam menabrak bongkah es”.
DULU,
para pejabat lokal negeri ini menjadi ‘pelayan’ Pemerintah Hindia-Belanda.
Sekarang, mereka menjadi ‘pelaksana tugas’ keinginan dan motif kaum oligarkhi
dan korporasi global dari dunia sana, seperti dari Amerika Serikat (yang memang
mendominasi kebijakan neoliberal saat ini dan memaksakannya untuk dilaksanakan
di Negara-negara lain), yang menjerat mereka melalui lembaga-lembaga ekonomi
dan finansial seperti IMF dan World Bank.
Sejak
Soekarno dikudeta dan dilengserkan oleh CIA-Amerika dengan menggunakan dan
memperalat TNI Angkatan Darat yang loyal kepada Jenderal Soeharto,
presiden-presiden Indonesia, kecuali K.H. Abdurrahman Wahid, adalah orang-orang
lemah yang mau ditekan dan diatur oleh lembaga-lembaga yang dikendalikan oleh
oligarkhi dan korporasi global (Amerika dkk). Di masa Megawati Soekarno Putri
yang konon ‘pembela’ wong cilik, terjadi privatisasi BUMN. Begitu pun di era
Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan neoliberal mencengkeram Indonesia.
Jika
mau dikatakan, Presiden Abdurrahman Wahid-lah yang sesungguhnya Soekarnois,
bukan Megawati Soekarno Putri atau pun Presiden Joko Widodo sebagaimana yang
didengungkan kaum fanatik pendukung Presiden Joko Widodo, di mana di eranya
(Era Gus Dur) dilakukan restorasi (pelurusan) sejarah Indonesia yang selama ini
dipalsukan oleh rejim Soeharto selama puluhan tahun. Ia pula yang membubarkan
dwi-fungsi ABRI dan memisahkan POLRI dari TNI. Termasuk ia pula yang berani
mengangkat Menteri Pertahanan dari sipil dan menempatkan non-Angkatan Darat (AU
dan AL) ke posisi-posisi strategis pemerintahan setelah sebelumnya mereka
disingkirkan, seperti untuk jabatan Panglima Tertinggi TNI. Meski ia (Gus Dur)
pun belum sepenuhnya lepas dari ‘jerat’ neoliberalisme.
Haruslah
jujur dikatakan bahwa Indonesia, tidak seperti sejumlah Negara Amerika Latin
yang dulu justru ‘berguru’ pada Indonesia era Soekarno, merupakan korban
liberalisme Keynesian pada masa Orde Baru Soeharto dan neoliberalisme oligarkhi
dan korporasi global pada saat ini, yang menjerat Indonesia lewat sejumlah
lembaga global mereka, seperti contohnya IMF dan World Bank. Dan elite-elite
Negara bangsa ini kemudian menjadi perpanjangan tangan mereka, mirip sejumlah
pejabat dan birokrat lokal di era kolonialisme Belanda dulu.
Bahkan,
dengan pahit perlu dikatakan, agenda dan program liberalisasi dijalankan
elite-elite Negara bangsa ini, dari tingkat presiden hingga para menteri, yang
jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara kapitalis besar sekali pun. Jika,
misalnya, di era Orde Baru, kolonialisme mutakhir tersebut diwujudkan dalam
“topeng” pembangunan, sekarang ini ‘dikemas’ dalam kerangka globalisasi, pasar
bebas, investasi, privatisasi, dan yang sejenisnya.
Kita
perlu merenungkan sejenak sejarah Negara bangsa kita, suka atau tidak suka,
yang ketika Soekarno memandang Uni Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang
Amerika Serikat karena Uni Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar
negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial
yang bersekutu dengan AS. Di era Soekarno pula, Indonesia menentang usaha
Amerika Serikat menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan
mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing), dan Indonesia ketika
itu menjalin kerjasama dengan Uni Soviet dalam kedudukan yang setara.
Kebijakan
politik Indonesia di era Soekarno itu bukan tanpa pertimbangan yang rasional
dan kuat, karena ketika itu Soekarno tahu Amerika Serikat terbukti membantu
Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Di sini-lah, kita juga sebenarnya tak
perlu banyak bertanya lagi, kenapa Amerika Serikat bernafsu untuk menumbangkan
Soekarno dengan segala macam cara manipulasi, seperti mempengaruhi para
jenderal di Angkatan Darat dan intelektual anti-Soekarno, semisal para
intelektual Partai Sosialis Indonesia, partai sosialisme gadungan itu. Amerika
Serikat pula yang mempersenjatai sejumlah pemberontakan dan gerakan separatis,
seperti gerakan PRRI-Permesta dan gerakan Darul Islam (gerakan kanan).
Sementara
itu, terkait Orde Baru yang merupakan ‘pintu gerbang’ masuknya jerat
liberalisme dan neoliberalisme Amerika Serikat atas Negara bangsa ini, David
Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya
Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971)
menulis:
“Di
New York, keduanya (Soemitro dan Soedjatmoko) dibesarkan oleh satu kelompok
yang berhubungan erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang
menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro AS. Lobi
tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite
Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka merupakan pelopor
Sosialis Kanan (Soska) dunia. ‘Kita harus berusaha agar usaha-usaha dan
kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia paska PD II
jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya’, ujar Robert Delson, anggota Liga
yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah penasehat hukum untuk Indonesia
di AS.”
Orang
ini, tulis David Ransom, selalu menemani dan membawa Sumitro Djojohadikusumo
dan Koko (Soedjatmoko) keliling Amerika dan memperkenalkannya kepada
sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) yang juga Soska
(sosialis kanan alias sosialisme palsu) dan berpengaruh dalam sikap polittik
luar negeri Amerika.
Sedangkan
di era rejim yang sedang berkuasa saat ini, yaitu reijim Presiden Joko Widodo,
contoh kebijakan yang neoliberal itu contohnya adalah kebijakan tax amnesty
yang dikeluarkan Sri Mulyani yang merupakan bentuk pengistimewaan kepada
korporat. Bahkan ada kecurigaan dari beberapa kalangan bahwa pembangunan
infrastruktur secara massif saat ini tidak terlepas dari kepentingan jangka
panjang Tiongkok yang memang menggalakkan investasinya kepada Indonesia.
Sementara itu, sejumlah analis bahkan menilai menteri-menteri Presiden Joko
Widodo yang terkait bidang ekonomi dan keuangan belum siap untuk dikatakan
tidak memiliki konsep dan arah yang jelas, yang hanya mengandalkan isu
integrasi dan konektivitas ekonomi, tapi tak memiliki keberpihakan ideologis
pada falsafah bangsa sendiri dan UUD 45.
Keraguan
saya juga, tentu kepada kandidat Prabowo Subianto, karena melihat
latar-belakang keterikatan historis dan sentimen pribadinya dengan Orde Baru, yang
sepertinya akan cenderung neoliberal juga, jika misalnya, dipercaya rakyat
untuk memimpin Negara bangsa ini. Kelemahan utamanya adalah bahwa Prabowo
Subianto membawa dosa sejarah, di saat ia masih memiliki keterikatan historis
dan sentimen pribadi dengan rejim Orde Baru Seoharto dan keluarganya. Terlebih
lagi, seperti telah dikatakan, kandidat Prabowo Subianto juga tidak memiliki
visi ekonomi politik yang jelas terkait Negara bangsa ini.
Apa
yang ingin saya katakan adalah bahwa saat ini, figur-figur yang bertarung pada
Pilpres 2019 nanti sama-sama ‘figur lemah’ yang tidak memiliki tawaran visi
ekonomi politik yang jelas untuk Negara bangsa yang bernama Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini…
Terkait
polah dan perilaku para elite Negara bangsa ini dan dampaknya bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, saya teringat apa yang pernah dikatakan Pramoedya
Ananta Toer: “Negeri yang begini kaya diubah menjadi negara pengemis…karena
tidak adanya karakter pada elite”.
Yang
juga penting untuk disoroti adalah sesaknya ruang publik kita dengan penyebaran
ceramah-ceramah keagamaan yang tidak mencerdaskan dan menyebarkan friksi serta
kebencian antar anak bangsa. Mereka adalah agen-agen proxy yang dicetak oleh
ideologi-ideologi luar seperti Wahabisme-Takfirisme dalam rangka menciptakan
‘kerusuhan’ dalam kehidupan sosial bangsa kita.
Mereka
meluncurkan media-media internet untuk menyebarkan hasutan, propaganda dan
agitasi yang bekerja bagi imperialisme kaum pemilik modal yang melakukan
praktik politik untuk melakukan instabilitas dalam sebuah Negara. Amerika
adalah rajanya dalam hal demikian, bersama kacung mereka seperti Rezim Wahabi
Saudi Arabia, yang dengan skenario kepentingan Amerika, Israel dkk, mereka
menumpahkan darah di Yaman, Suriah, Libya, dan Irak, dan bukan tidak mungkin
mereka juga sebenarnya ingin atau sedang melakukannya di Indonesia dengan
menggunakan tangan-tangan kaum ekstremis yang berusaha memaksakan konsep
khilafah untuk mengganti falsafah dan dasar Negara bangsa ini: UUD 45 dan
Pancasila.
Kehadiran
internet dan media sosial memang memberikan manfaat positif, tapi bersamaan
dengan itu pula, menjadi instrument bagi kaum imperial untuk menyuburkan
kelompok-kelompok keagamaan yang berusaha menggusur dasar dan falsafah bangsa
kita. Masyarakat yang hidup dalam budaya oral, terbius oleh para pseudo ulama
(ulama palsu) atau para muallaf seperti Abu Jibril yang mendukung ISIS bentukan
Amerika, Israel dkk atau Felix Siauw si pengusung khilafah yang tiba-tiba
merasa paling tahu Islam dibanding para ulama mu’tabar.
Negara
bangsa ini sebenarnya sedang mengalami rongrongan dari berbagai sisi:
sosial-ekonomi-politik serta sisi kultural-keagamaan, yang jika kita tidak
memahami jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang unik, memiliki kecerdasan
dan falsafah jenuin-nya, niscaya akan ambruk, dan tak lebih menjadi sebuah
geografi yang kehilangan identitas dan ideologinya. Di sinilah perlu kembali
ditegaskan bahwa ideologi dan falsafah kita bukan liberalisme, neoliberalisme,
atau pun komunisme, tetapi ideologi keadaban dan kemanusiaan yang telah
tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.
Sayangnya,
elite-elite Negara bangsa ini bukanlah mereka yang menjalankan amanat dan
pengamal falsafah serta ideologi Negara bangsa sendiri. Alih-alih mereka hanya
menjadi ‘perpanjangan’ tangan dari ideologi-ideologi ekonomi-politik dan
paham-paham imporan seperti neoliberalisme yang membuat Negara bangsa ini tak
punya jatidiri dan menjadi pelayan oligarkhi dan korporasi global ketika
menetapkan kebijakan-kebijakan neoliberal, seperti privatisasi aset-aset
publik.
Negara
bangsa ini merupakan geografi dengan jumlah penduduk terbesar, yang karenanya
menjadi sasaran ‘konsumerisasi’ atau upaya menjadikan warga Negara ini hanya
sebagai konsumen oleh perusahaan-perusahaan multinasional, yang pada saat
bersamaan, sejumlah kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada korporasi global
bukannya kepada sektor-sektor yang digarap dan dikelola rakyat, seperti
kebijakan yang pro-petani, nelayan, dan usaha-usaha rakyat kecil. Ekonom-ekonom
dan intelektual-intelektual kita lebih merupakan para calo yang bekerja untuk
kepentingan Amerika, contohnya.
Dalam
hal itu, figur bangsa kita yang dapat dikatakan mengurangi dan mengerem peran
ekonom dan intelektual calo yang lazim disebut Mafia Berkeley itu adalah KH.
Abdurrahman Wahid, yang sayangnya peran mereka kembali menguat di era Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Sekedar
informasi bagi yang ahistoris, ekonom dan think tanks yang lazim disebut Mafia
Berkeley itu mulai bekerja di negeri ini sejak Presiden Soekarno digusur oleh
CIA-Amerika dan kekuatan TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang loyal kepada Jenderal
Soeharto dalam rangka menjadikan Soeharto sebagai presiden Indonesia dengan
kompensasi menjadi presiden yang loyal kepada Amerika. Di era Soeharto pula-lah
IMF dan World Bank mulai diijinkan memainkan perannya menjadi penentu kebijakan
ekonomi Indonesia, di saat kehidupan sosial warga Negara ditekan dengan
sejumlah peraturan, intimidasi hingga pembunuhan para aktivis dan pejuang HAM.
Sejak
Soeharto berkuasa-lah para ekonom yang tergabung dalam organisasi tanpa bentuk
itu memegang kendali ekonomi Indonesia sampai sekarang, dengan jeda sebentar,
seperti telah dikatakan, ketika KH. Abdurrahman Wahid (almarahum Gus Dur)
menjabat sebagai Presiden, di mana di era Gus Dur, pengaruh mereka tidak lagi
semutlak sebelumnya, meski masih tetap besar melalui Dewan Ekonomi Nasional
yang diketuai oleh Prof. Emil Salim dan Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai
sekretarisnya, yang kemudian dibentuk pula Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang
diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan Sri Mulyani Indrawati sebagai
sekretarisnya, yang saat ini dipercaya menjadi salah-satu menteri di kabinet
Presiden Joko Widodo.
Terkait
polah dan perilaku para elite Negara bangsa ini dan dampaknya bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, saya teringat apa yang pernah dikatakan Pramoedya
Ananta Toer: “Negeri yang begini kaya diubah menjadi negara pengemis…karena
tidak adanya karakter pada elite”. Apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer,
penulis prosa terbesar Indonesia yang pernah dinominasikan sebagai penerima
Anugerah Nobel Sastra itu, adalah juga realitas politik Indonesia saat ini, di
mana para elite Negara bangsa ini tak ubahnya para calo yang bekerja untuk
kekutan-kekuatan dan lembaga-lembaga asing, tak ubahnya orang-orang yang tak
punya pegangan dan prinsip, tak menjalankan falsafah dan ideologi Negara bangsa
sendiri, kecuali sebagai para pelaku ideologi pragmatis demi mendapatkan ‘upah’
dari tuan-tuan Amerika mereka seperti melalui IMF dan World Bank yang justru
mengambil keuntungan dari tanah-air Negara bangsa ini.
Realitas
yang sungguh sebuah kenyataan yang pahit dan ironis, di saat sisi kehidupan
yang lain juga sedang mengalami disorientasi, seperti maraknya sebaran
ujaran-ujaran dan ceramah-ceramah keagamaan yang tidak mendidik secara
kultural, dan malah menguatkan oralitas dan kemalasan analitik atau menciptakan
ketumpulan intelek yang kemudian melahirkan generasi yang mudah mengkonsumsi
hoax dan memahami agama seakan-akan terlepas dari intelek.
INDONESIA, tempat tumbuhnya pluralitas budaya
dan bahasa hingga agama, belakangan ini berusaha di-Taliban-kan oleh para
pengusung khilafah dan dijadikan ladang konsumerisasi (upaya untuk menjadikan
anak-anak bangsa ini hanya menjadi konsumen) oleh para korrporat dan kaum
oligarkhi global. Terkait hal demikian, timbul sejumlah pertanyaan:
PERTAMA, apakah para elite Negara bangsa ini
memiliki kemandirian ketika mengambil dan menetapkan kebijakan-kebijakan?
Ataukah diintervensi oleh lembaga-lembaga ‘pemonopoli’ ekonomi dan keuangan
seperti IMF dan World Bank?
KEDUA, setelah 70 tahunan lebih Negara bangsa
ini berdiri, apakah bangsa ini sudah menjadi produsen yang produktif ataukah
tak lebih hanya sebagai konsumen dari segala sisi?
KETIGA, adakah para elite Negara bangsa ini
adalah orang-orang yang setia kepada konstitusi dan falsafah bangsa kita (UUD
45 dan Pancasila)? Sebab, sejak Soeharto berkuasa hingga hari ini, sejumlah
kebijakan Presiden Indonesia, kecuali Bung Karno dan Gus Dur, didominasi
kebijakan neoliberal yang justru bertentangan dengan konstitusi dan falsafah
bangsa kita.
Bahkan pembangunan-pembangunan infrastruktur
di negeri ini acapkali atas permintaan dan demi kebutuhan para pemodal
(korporat dan oligarkhi) global, selain sejumlah kebijakan neoliberal yang
ditetapkan para elite Negara bangsa ini juga demi kepentingan mereka, bukan
demi memprioritaskan warga Negara. Dan menyangkut sejumlah pertanyaan di atas,
sayangnya, jawabannya masih negatif.
Sementara itu, terkait kontestasi atau suksesi
Pilpres 2019 nanti, kita sesungguhnya perlu juga menanyakan visi dan program
mereka bila mereka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, dan saya
memiliki lima isu utama yang perlu saya tanyakan ke mereka, yaitu:
PERTAMA, soal ekologi. Apakah mereka memiliki
komitmen untuk mengerem kerusakan alam dan hutan, dan berani memilih untuk
memihak maslahat ekologis untuk kepentingan di masa depan ketika mereka
berhadapan dengan kepentingan investasi dan korporasi?
KEDUA, soal perlindungan kepada minoritas. Isu
ini menjadi sedemikian pentingnya ketika salah-satu pasangan cawapres
salah-satu kandidat presiden adalah orang yang memiliki jejak rekam
anti-minoritas dan intoleran. Isu ini menjadi urgen untuk selalu diangkat
mengingat Indonesia adalah Negara bangsa yang terbentuk dari jalinan dan
sulaman keragaman.
KETIGA, isu ekonomi. Apakah mereka akan sama
sebagai pelaku kebijakan neoliberal yang tidak pro-rakyat seperti
kebijakan-kebijakan dan presiden-presiden sebelumnya? Seperti pelaku kebijakan
privatisasi aset-aset publik dan BUMN.
KEEMPAT, isu kebudayaan. Apakah ada dalam visi
dan program mereka untuk memprioritaskan penciptaan karakter bangsa yang
produktif dan berbudaya? Dalam arti sebuah upaya dan program yang jelas untuk
menciptakan bangsa yang inovatif, menjunjung falsafah dan local genius bangsa
sendiri, dan produktif serta jenius dari segi sains, ilmu pengetahuan dan
budaya, termasuk di dalamnya dunia kepenulisan dan kesastraan.
KELIMA, terkait politik global. Apakah
pasangan capres-cawapres itu akan setia kepada pembukaan UUD 45? Dalam arti
bersikap dan bertindak tegas terhadap imperialisme dan agresi, seperti yang
kerap dilakukan Amerika, Israel, dkk bersama ‘kacung’ mereka seperti Rezim
Wahabi Saudi dan NATO.
Sampai saat saya menulis refleksi kebangsaan
ini, saya belum membaca tawaran dan visi program yang dijabarkan secara global
dan detil dari para kandidat presiden dan wakil presiden Indonesia yang akan
bertarung di tahun 2019 terkait lima isu yang saya anggap penting dan sentral
tersebut.
Penting diingat, partai politik dan
elite-elite mereka kerapkali juga memainkan politik SARA dan identitas yang
justru bertentangan dengan spirit pembentukan dan pendirian Negara bangsa ini
yang dirajut dan disulam dari jalinan dan anyaman keragama kultural, etnik,
bahasa, dan agama. Bahkan, seperti telah dikatakan, rekam jejak di masa lalu
salah satu cawapres, identik dengan pelaku intoleransi dan ‘penindasan’ kepada
minoritas, bahkan terkesan anti-local genius.
Sejumlah hal tersebut perlu saya kemukakan
karena kita punya pengalaman riill bahwa bangsa ini mudah sekali melupakan
kejahatan para elite-nya.
Begitu pula, demokrasi elektoral kita,
demokrasi yang disukai oleh neoliberalisme karena memberi ruang dan kesempatan
untuk mereka memainkan kapital dan modal dalam politik dan kebijakan ekonomi,
selalu gaduh dan memakan anggaran yang cukup tinggi. Sayangnya, acapkali cost
yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kebijakan yang pro warga Negara (rakyat)
ketika mereka terpilih menjadi presiden dan waklil presiden. Segala
dikomoditaskan, sehingga jika ditanyakan: Siapakah sesungguhnya pemilik tanah
air kita? Jawabannya adalah korporasi. Petani dan nelayan tetap terjepit dan
dirugikan oleh kebijakan.
Itu baru dari sisi realitas politik Negara
bangsa ini. Sebab persoalan lain juga terjadi dalam kehidupan sosial dan
keagamaan kita, seperti telah saya sebutkan, yang disesaki banalitas keagamaan,
para selebriti yang dianggap dai karena ulah media, yang tak memiliki kapasitas
keagamaan, begitu bebas berceramah di media-media elektronik dan di area-area
publik, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi penyebar kebencian, friksi,
penyebar hoax seperti dalam kasus Suriah, berjualan ideologi transnasional
seperti khilafah, dan menyampaikan materi-materi yang ‘melecehkan’ falsafah dan
ideologi Negara bangsa ini: UUD 45 dan Pancasila.
Dapat dikatakan, krisis tersebut memang
mencakup krisis politik, ideologi dan identitas. Sebuah krisis yang sangat
berbahaya bagi kelangsungan bangsa ini jika Negara bangsa ini tidak kembali sadar
dengan kecerdasan falsafah dan ideologinya sendiri, yaitu UUD 45 dan Pancasila.
Jangan sampai krisis tersebut terwarisi pada generasi masa depan bangsa ini dan
merusak mereka karena polah dan perilaku elite-elite Negara bangsa ini yang
menjadi para hamba ideologi pragmatisme semata.
KEPRIHATINAN yang juga mengusik kehidupan
berbangsa adalah lemahnya daya nalar dan kapasitas rasio publik, semisal
‘rendahnya’ kemampuan analitik dan begitu mudahnya sikap fanatik buta tumbuh
dan berkembang. Namun penting untuk dicermati secara adil, fanatisme juga tak
hanya ada dan terjadi dalam kehidupan keagamaan bangsa ini, seperti telah
dikatakan, ketika agama dan iman dipahami seakan bukan saudara kembar akal
(intelek), tapi juga dalam sikap partisan para pendukung kandidat presiden saat
ini, yang lazim disebut sebagai kaum cebong dan kampret untuk menyebut kaum
fanatik pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam jagat dunia maya dan
media sosial, seperti di Facebook. Dalam kasus fanatisme partisan ini, kaum
Syiah dan kaum Sunni di Indonesia adalah satu kaum dan satu golongan.
Di jaman merebaknya informasi (juga hoax
bersamanya) dan bertebarannya sebaran media internet (serta jejaring media
sosial), bisa jadi masyarakat malah bingung, bukannya tercerahkan. Terdistorsi
ruang kritisnya dan terbunuh nalar analitiknya bersamaan dengan menguatnya
budaya oral di era gawai dan internet abad kita saat ini, yaitu melemahnya
kemampuan untuk melakukan ‘pembacaan’ dan ‘analisa’ atas informasi yang datang
dalam hitungan detik melalui media sosial dan media-media internet, yang tak
jarang menyebarkan informasi-informasi instan, dan bahkan hoax.
Kebingungan dan ‘matinya’ ruang kritis publik
tersebut terlebih lagi akan dialami oleh mereka yang tak terbiasa untuk
‘menganalisa’, atau yang tak punya kapasitas literer. Kasus Ratna Sarumpaet
beberapa waktu lalu yang kehebohannya sampai tingkat nasional dan melibatkan
para elite itu tentu tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan angin
lalu, karena hoax politik dan politik hoax tersebut sempat menimbulkan
pro-kontra yang keras di kalangan para pendukung capres-cawapres, yang lazim
disebut sebagai kelompok Cebong untuk yang fanatik pro Joko Widodo dan kelompok
Kampret untuk yang fanatik pro Prabowo Subianto.
Masyarakat atau publik yang terbiasa menerima
informasi yang cepat dan melimpah lewat media sosial, serta terbiasa dengan
menyaksikan tayangan reality show dan infotainment yang berkesinambungan setiap
hari melalui kanal-kanal televisi, ternyata justru menjadi terbiasa juga untuk
menghindari sajian dan forum intelektual yang mendidik dan berbudaya, dan kalau
pun ada forum seperti itu di televisi, juga yang dikemas dan diformat sesuai
dengan reality show: mempertontonkan adu kubu dan ‘pembenturan’ kelompok, yang
justru malah semakin mengentalkan fanatisme tak bernalar di kalangan masyarakat
luas.
Dalam hal ini, bisa juga dikatakan, media
(baik media internet maupun televisi) memiliki peran sentral dalam menciptakan
budaya oral (non literer) dalam masyarakat kita. Suatu budaya yang tak memberi
ruang dan kesempatan bagi lahir dan hidupnya ‘nalar publik’ yang sehat, bagi
tumbuhnya habitus berpikir kritis dan analitis dalam masyarakat. Sehingga,
wajar, misalnya, bila hoax menjadi begitu mudah dikonsumsi banyak orang, dan
malah hoax telah dijadikan lahan bisnis untuk meraup untung bagi para pegiat
situs-situs abal-abal. Hoax menjadi industri di jaman media dan internet, era
kita saat ini, sebuah era yang konon sejak tahun 2014 kemarin telah melahirkan
para cebong dan kampret di jagat dunia maya.
Belajar dari Kasus Ratna Sarumpaet beberapa
waktu yang lalu itu, betapa bahkan para elite di negeri ini begitu mudahnya
termakan hoax dan lalu menjadi para penyebar hoax. Dan ternyata, sudah lama,
mereka yang menjadi konsumen dan para penyebar hoax di negeri ini termasuk juga
tokoh-tokoh agama, PNS, para penceramah agama (terutama dai-dai yang muncul
sejak tahun 2000-an), para politisi hingga partai politik. Tengok saja ketika
pecah Perang Suriah sejak tahun 2000-an itu, betapa para penyebar hoax adalah
mereka yang biasa melakukan ceramah agama hingga para politisi. Artinya, hoax
telah menjadi konsumsi lintas kalangan dan kelas.
Fenomena tersebut, barangkali telah
menunjukkan lemahnya rasionalitas dan nalar bangsa ini, yang andai saja tidak
ada minoritas yang sabar dan cerdas di negeri ini, yang berbagi informasi
kepada organisasi-organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, niscaya bangsa
ini akan mudah menjadi makanan dan sasaran empuk proxy war dan adu domba yang
dilancarkan imperialisme global abad ini melalui hoax yang disebarkan oleh
media-media dan situs-situs propaganda dan hasutan yang bekerja demi
kepentingan Amerika, Israel, dkk. Di sisi lain, minoritas yang sabar dan cerdas
itu di negeri ini justru menjadi sasaran dan target tuduhan kafir dan sesat
oleh saudara-suadara sebangsanya yang mereka tolong dari proxy war.
Bangsa ini juga barangkali sudah lama akan
hancur dan dilanda perang saudara jika tidak ada minoritas yang cerdas dan
sabar tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus Suriah itu, mereka mendapatkan
informasinya langsung dari marja’-marja’ mereka yang terpercaya, sehingga
mereka memiliki informasi tingkat tinggi yang valid di saat kebanyakan orang di
negeri ini sedang menjadi santapan dan sasaran hoax yang disebarkan dan
dimassifkan media-media dan agen-agen propaganda dan hasutan yang bekerja demi
kepentingan Amerika, Israel, dkk.
Kata kunci hoax yang mereka sebarkan
contohnya: Syi’ah membantai Sunni di Suriah, Perang Suriah adalah Perang Syi’ah
dan Sunni, Bashar Al-Assad adalah tiran bengis yang sedang membantai rakyatnya
sendiri, dan yang sejenisnya, dan hoax itu mirisnya, misalnya, disebarkan oleh
para penceramah seperti Bachtiar Nasir, Abdul Somad, Felix Siauw, atau oleh
orang-orang Wahabi-Nawashib seperti Abu Jibril dkk. Karena itu bukanlah sesuatu
yang aneh, jika misalnya, bangsa ini pun mudah menjadi sasaran hoax yang
diciptakan oleh Ratna Sarumpaet beberapa waktu yang lalu itu.
Lagi, dalam kasus Suriah (serta juga dalam
kasus Libya), sejumlah orang liberal di negeri ini, yang ideologi dan paradigma
politiknya berkiblat ke Amerika, turut juga menjadi penyebar hoax dalam kadar
yang soft: menganggap Suriah sebagai bagian dari Arab Spring. Hal itu bahkan
diamini oleh media cetak sekelas Kompas. Sungguh memprihatinkan. Karena itu,
lagi-lagi tidak usah heran, jika kasus Ratna Sarumpaet kemarin terjadi di
negeri ini, karena memang ada lahan yang boleh dibilang subur untuk ditanami
hoax: disorientasi ideologi dan paradigma religius yang kabur dan tak jelas
dalam memahami situasi global.
Dalam kasus Libya, misalnya, orang-orang
liberal di negeri ini ramai-ramai menyatakan dan mengekspose pandangan bahwa
Muammar Khadafi layak dilengserkan, tanpa mereka sadari bahwa skenario yang
sesungguhnya adalah upaya Amerika, NATO, dkk dalam rangka memuluskan upaya
‘ambil-alih’ minyak dan kekayaan alam Libya ke tangan mereka, sehingga yang
demi target tersebut, Amerika dan NATO sampai menerjunkan perangkat-perangkat
perang dan militer mereka untuk menggempur Libya yang dibantu oleh kelompok-kelompok
pengusung khilafah di Libya atau yang lazim disebut para pemberontak Libya.
Singkat kata, Wahabi, Nawashib, dan Liberal berada di barisan yang sama dalam
hal ini……
Sedemikian parahnya kondisi lemahnya nalar
publik dan rasio kritis bangsa ini sampai-sampai raja hoax bernama Jonru
Ginting jadi idola dan rujukan jutaan orang dan diantara pengikutnya adalah
mereka yang mengenyam pendidikan di universitas dan perguruan tinggi. Mereka
adalah orang-orang kuliahan tapi tidak terpelajar dan tidak literer, karena
mungkin institusi pendidikan kita sendiri cenderung memesinkan dan merobotkan
para manusia, menjadi kerangkeng birokratis yang tidak memberi kesempatan bagi
lahirnya kejujuran dan integritas. Tak diragukan lagi, para pengikut Jonru
Ginting itu adalah juga kaum fanatik buta secara keagamaan dari sekte yang
tidak diakui dalam mazhab-mazhab Islam, yaitu Wahabi.
Hari ini, dalam kehidupan bangsa kita,
soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas orang-orang di media
sosial di mana media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran
doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat
melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial.
Yang kedua, dan ini juga tak kalah peliknya,
media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang
sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya
lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang
terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang
bernas. Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang
sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di
fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak
punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu
saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda,
atau hoax.
Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan
propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar
propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus
propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika
sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak
terbantahkan. Di sini sesungguhnya saya juga hendak mengatakan bahwa ketika
media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan
ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik
terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak
lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang
sah untuk mempraktikkan kekerasan. Inilah yang saya sebut teologi devian.
Di era digital dan jaman android sekarang ini,
ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang menghabiskan waktu keseharian
mereka untuk berselancar di media sosial: fesbuk, instagram, twitter dan yang
sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda
‘teologi devian’ disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang
orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran,
yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba
merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan
analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia,
bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi
zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau
mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror dan pelaku praktik
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Karena itulah, tak diragukan lagi, di jaman
ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan
internet kita saat ini, para penyair dan para sastrawan, kaum akademik dan
intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan
tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan
pelita bagi hidupnya akal manusia melalui karya-karya mereka, yang mereka
tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek
dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan tekhnologi internet yang
diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan,
ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga
menjadi media penyebaran ‘teologi devian’.
‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat
orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran teologi devian dan memiliki
pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di
sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Imam Ali bin Abi Thalib, yang
kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.”
Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah
ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya,
ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan
aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas
literer seseorang. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini
terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi
dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan
faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan
agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).
Realitas krisis dalam kehidupan
sosial-keagamaan tersebut semakin melengkapi krisis politik dan identitas
Negara bangsa ini, yang dimulai dan dipelopori oleh para elite Negara bangsa
ini.
INDONESIA, yang tersusun dari tebaran
kepulauan di hamparan atau bentangan lautan dan samudra, adalah tempat hidupnya
ragam kepercayaan dan kebudayaan, kearifan dan kesenian, kini sedang menghadapi
‘takdir’ masa depannya di hadapan ‘badai’ globalisasi dan upaya menjadikan
negeri ini tak lebih boneka korporatokrasi. Apakah ideologi dan identitas
bangsa ini akan kalah dan tergusur ataukah tidak, akan sangat tergantung pada
generasi mudanya.
Setelah sebelumnya saya membahas krisis nalar
warga Negara dan krisis rasio publik bangsa ini, selanjutnya saya ingin kembali
membicarakan masalah ‘kejahatan’ elite-elite Negara bangsa ini, dengan mengutip
apa yang dikatakan Andre Vltchek:
“Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh
orang-orang yang telah menjual bangsa ini ke perusahaan dan pemerintah asing.
Orang-orang ini tidak punya moral dan belas kasihan. Jika rakyat mencoba
bernegosiasi dengan mereka, maka mereka hanya akan melakukan apa yang mereka
telah lakukan selama beberapa dekade ini: menipu dan berbohong, mencoba
mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang Indonesia dan rakyat Indonesia!
Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan diploma untuk anak-anak mereka, serta
kondominium mewah di Australia, Amerika Serikat, Singapura dan Hong Kong”
Sedemikian tak dapat kita harapkan para elite
Negara bangsa ini, membuat saya berpikir barangkali bangsa ini membutuhkan
revolusi untuk ‘menegakkan’ kembali bangsa ini. Suatu gerakan untuk mengganti
pohon-pohon tua yang tak lagi berdaun dan berbuah dengan tunas-tunas baru yang
unggul. Namun pemikiran ke arah visi tersebut, ternyata juga membentur sistem
yang masih mapan saat ini, terutama dalam dunia pendidikan kita, yang
sepertinya telah dijinakkan oleh ‘skenario’ besar birokrasi kapitalisme
tuan-tuan kapital, sehingga tak memberi ruang-ruang kritis dan keberanian
revolusioner dari mereka yang mengenyam pendidikan tinggi.
Jika kita merenungi apa yang dikatakan Andre
Vltchek itu, maka elite-elite Negara bangsa ini memang hanya memikirkan diri
mereka sendiri, bukan memikirkan Negara bangsanya. Sinyalemen Andre Vltchek itu
bahkan dengan jelas menggambarkan elite-elite Negara bangsa ini tak ubahnya
para calo yang menjual bangsanya kepada kekuatan-kekuatan asing agar
mendapatkan upah, tak ubahnya seperti yang telah saya katakan sebelumnya, para
pencuri kecil yang bekerja untuk para perampok besar: tuan-tuan neoliberal
mereka.
Setelah Bung Karno digusur dan digulingkan
oleh kekuatan Amerika yang menggunakan kekuatan TNI Angkatan Darat dan ambisi
Jenderal Soeharto, kita sebenarnya sempat memiliki seorang presiden yang
memiliki spirit sosialis di dalam hatinya, yaitu KH. Abdurahman Wahid, sebelum
ia pun dilengserkan melalui kudeta yudisial oleh para elite dan kekuatan
militer yang tidak menyukai gebrakannya ‘memangkas’ dan ‘membabat’ warisan orde
baru Soeharto.
Jika saya misalnya diminta untuk mengungkapkan
secara kasar, Negara bangsa ini telah dibajak oleh korporatokrasi yang bermain
dalam suksesi dan melalui kebijakan para elite yang terpilih dari rutinitas
suksesi. Sungguh saya sebenarnya ingin berkata juga: apalah artinya mengikuti
suksesi (pilpres) yang hanya akan menghasilkan elite-elite neoliberal. Persis,
sekali lagi, dengan apa yang dikatakan Andre Vltchek:
“Coba Anda lihat, pihak Barat mengatakan
kepada bangsa Indonesia, tentu saja secara tidak langsung, bahwa negara ini
bisa disebut negara ‘demokrasi’ kalau memiliki beberapa atau banyak partai
politik, dan menyelenggarakan Pemilu dari waktu ke waktu. Tapi semua ini omong
kosong belaka. Negara bisa disebut negara demokrasi ketika rakyatnya memberikan
suara mereka dan suara mereka tersebut benar-benar dapat mengubah arah kemana
bangsa mereka akan dibawa: seperti yang terjadi di Venezuela. ‘Kekuatan rakyat’
yang nyata…Adanya banyak partai politik dan memasukkan potongan-potongan kertas
suara ke dalam kotak tidak memberikan jaminan apapun! Ada banyak partai di
Indonesia tetapi semuanya pro-bisnis dan pro-elite, dan semua kandidat
partai-partai itu, termasuk Jokowi, adalah mereka yang sudah terlebih dahulu
dipilih dan disetujui oleh rezim. Jadi tidak peduli berapa banyak orang yang
memberikan suara, tidak akan ada perubahan apapun.
Sebenarnya, memberikan suara di negara-negara
seperti Indonesia termasuk tidak patriotik karena hanya memberikan legitimasi
saja kepada rezim yang ada, yang hanya melayani kepentingan politik dan ekonomi
asing, serta para elite yang sepenuhnya sudah melacurkan diri.
Tidak dapat disangkal bahwa negara Indonesia
kini adalah sebuah negara yang sudah hancur. Kehancurannya sudah mencapai
tingkat negara-negara Afrika sub – Sahara (Saya bekerja di Afrika, jadi saya
dapat dengan mudah membandingkannya). Memang ada pusat-pusat perbelanjaan dan
hotel-hotel mewah di beberapa kotanya, tetapi selain itu bisa dikatakan sebuah
mimpi yang benar-benar buruk, dengan tidak adanya layanan dasar atau layanan
yang sama sekali tidak memadai.
Bahkan Rwanda punya jalan-jalan yang jauh
lebih baik dari Indonesia. Bahkan Zimbabwe punya sekolah umum yang jauh lebih
baik. Bahkan Kenya punya jaringan telepon selular dan internet yang lebih
handal. Bahkan Botswana punya rumah sakit umum yang lebih baik.
Rezim sudah berbohong tentang berbagai hal,
termasuk berapa jumlah penduduk negara ini, juga tentang jumlah penduduk miskin
(yang kenyataannya sebagian besar dari jumlah penduduknya). Pendidikan hampir
tidak ada yang layak. Yang disebut sebagai sistem pendidikan di sini hanya
untuk mencuci otak, dan untuk mempertahankan status quo. Dan memang demikian
yang terlihat: negara dengan jumlah penduduk lebih dari 300 juta (angka
sebenarnya) tidak punya satupun ilmuwan atau pemikir besar, kontras dengan
negara seperti Nigeria yang punya banyak ilmuwan dan pemikir besar.”
Dengan meminjam apa yang dikatakan Andre
Vltchek itu, saya sebenarnya hanya ingin menyampaikan bahwa barangkali ada yang
lebih urgen dari sekedar melaksanakan rutinitas suksesi di Negara bangsa ini.
Andre Vltchek dalam pernyataannya menyebutkan bahwa rejim Jokowi juga
sebenarnya hanya melaksanakan ‘mekanisme’ dan ‘jalan kebijakan’ korporatokrasi,
tidak lantas saya kemudian ‘mempercayai’ kandidat Prabowo Subianto untuk
dipilih, sebab bisa jadi ia pun akan mengambil kebijakan pragmatisme yang sudah
berjalan di Negara bangsa ini.
Barangkali kita perlu untuk menyalakan
pelita-pelita baru dengan jalan melakukan pencerahan dan gerakan masyarakat
sipil untuk melawan warisan sistem dan kebijakan politik yang telah diiyakan
begitu saja oleh elite-elite Negara bangsa ini yang hanya menjadi para
‘pesuruh’ tuan-tuan neoliberal mereka, seperti melalui World Bank Group (WBG)
dan International Monetary Fund (IMF). Sebentuk gerakan yang di Amerika Latin
disuarakan dan digagas oleh Prof. James Petras dan presiden-presiden sosialis
di sejumlah Negara di kawasan dan jazirah itu. Kita pun perlu melawan LSM-LSM
yang menjadi perpanjangan tangan dan kepentingan tuan-tuan neoliberal mereka di
negeri ini.
PERILAKU dan polah para elite yang tak dapat
diharapkan dalam kehidupan berbangsa ini di masa orde baru rejim Soeharto,
contohnya, dikritik dengan sangat keras oleh W.S. Rendra melalui puisinya yang
berjudul Maskumambang:
“Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.
Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.
kami tidak mampu membuat rencana menghadapi
masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan
Cucu-cucuku
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak diselokan zaman
Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya
semuanya terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik……”
Yang ternyata kritik yang dilancarkan Rendra
tersebut masih relevan untuk ‘mengkritik’ kembali perilaku dan polah para elite
bangsa Indonesia saat ini, termasuk partai politik dan rutinitas suksesi
(pemilihan umum) yang hanya memilih kembali para koruptor dan elite-elite yang
pro neoliberalisme sehingga seakan tidak ada manfaatnya untuk berpartisipasi
dalam rutinitas suksesi politik yang memakan biaya yang sangat tinggi tersebut,
bila bangsa ini tidak terlebih dahulu ‘direvolusi’ mentalitasnya.
Seperti dengan gamblang dikritik oleh Rendra
dalam puisinya yang berjudul Maskumambang itu, para elite Negara bangsa ini
tidak pernah memikirkan ‘mentalitas dan peradaban’ seperti apa yang akan mereka
wariskan untuk generasi mendatang bangsa ini, sebab mereka terlampau sibuk
dengan pragmatisme mereka menjadi para ‘pelayan’ kebijakan-kebijakan neoliberal
tuan-tuan korporat global mereka dan membiarkan Negara ini terpenjara dalam
kerangkeng korporatokrasi, lazimnya para ‘pegawai’ kolonial Belanda dulu yang
bekerja demi kepentingan kapitalisme VOC dan politik Belanda.
Rupanya, lagi-lagi seperti yang dikritik
dengan keras oleh Rendra melalui puisinya itu, para elite Negara bangsa ini
tidak belajar dari masa lalu bangsa ini dan akibatnya selalu mengulangi
kesalahan yang sama, dan mereka yang selalu mengulangi kesalahan yang sama
hanya orang-orang dungu yang tak berakal.
Dalam demokrasi elektoral kita saat ini,
partai-partai politik tak ubahnya benda-benda sewaan yang bekerja bagi siapa
saja yang mau membayar mereka, dan tentu saja yang sanggup membayar mereka
adalah tuan-tuan kapital. Jadi, adalah keliru jika kita membayangkan para wakil
rakyat dan partai-partai politik adalah ‘saluran’ yang bisa menyalurkan
aspirasi warga Negara, karena seperti telah dikatakan sebelumnya, dari wakil
rakyat hingga partai politik, dari presiden hingga para menteri, bekerja untuk
korporasi dan tuan-tuan oligarkh global mereka, bukan ‘memikirkan’ nasib warga
Negara bangsa ini.
Jika kegamangan dan krisis politik, ideologi
dan identitas Negara bangsa ini terus berlangsung di masa depan, maka generasi
mendatang-lah yang akan menjadi korbannya, atau mewarisi mentalitas yang sama
sebagaimana mentalitas ‘inferior’ para elite Negara bangsa saat ini, di mana
mentalitas itu juga bersifat kultural. Terkait ini, saya tertarik untuk
mengutip apa yang ditulis oleh Trijon Aswin dalam tulisannya yang berjudul: Apa
Gunanya Kongres Kebudayaan Indonesia 2018?:
“Kita tidak tahu di agenda ke berapa
terkandung strategi untuk menumbuhkan kekuatan budaya agar bangsa ini mempunyai
identitas dan keberanian untuk “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” secara
budaya dengan bangsa lain.
Sebab, dalam soal inilah bangsa kita benar-benar mengalami krisis. Identitas
bangsa kita secara budaya sudah terpuruk ke titik terendah. Kemerdekaan negara
ini tidak ada gunanya kalau bangsanya merasa tak sederajat dengan bangsa
merdeka lainnya.
Tingkat kesadaran tentang identitas budaya itu
berpengaruh saat berinteraksi dengan bangsa lain. Bangsa yang identitas
budayanya kuat tidak akan mudah hanyut dalam arus deras dunia.
Sekarang, coba kita perhatikan reaksi yang
timbul dalam budaya Indonesia ketika berinteraksi dengan bangsa dan budaya
asing. Bangsa ini mudah sekali hanyut.
Coba lihat pemakaian bahasa misalnya.
Penggunaan bahasa atau istilah asing secara tidak proporsional sudah mewabah,
tidak saja di kalangan generasi milineal yang memang berinteraksi secara global
melalui teknologi komunikasi, tetapi juga para pemimpin negara.
Padahal, di Pasal 28 UU Nomor 24/2009
disebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar
negeri. Lembaga pemerintah pun kerap menggunakan istilah bahasa Inggris, secara
tidak proporsional. Sebut saja, National Traffic Management Centre di Korlantas
Polri. Di Humas Mabes Polri, ada ruangan Strategic Communication Center.
Padahal semua istilah itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal ini tentu harus dikecualikan untuk
istilah yang generik secara internasional. Misalnya istilah search and rescue
(SAR) itu adalah istilah generik untuk kegiatan pencarian dan penyelamatan
korban bencana. Atau istilah disaster victim identification (DVI), salah satu
prosedur kedokteran kepolisian ketika mengidentifikasi korban meninggal akibat
bencana.
Mengapa bahasa asing dipakai secara “lebay”
begitu? Bisa karena pertimbangan untuk memudahkan komunikasi dengan orang
asing. Pemakaian istilah Strategic Communication Center di Mabes Polri,
misalnya, masih bisa dipahami. Siapa tahu ada wartawan asing yang
berkepentingan.
Namun bisa pula karena sekadar ingin terlihat
modern. Kesan ini terlihat dari penamaan National Traffic Management Centre di
Korlantas Polri atau Traffic Management Centre di tingkat Polda. Sebab, tidak
ada orang asing yang berinteraksi dengan lembaga tersebut, karena yang
dibutuhkan publik bukan interaksinya melainkan informasi lalu lintas yang
diberikan. Apalagi informasi tersebut toh disampaikan dalam bahasa Indonesia
juga.
Kemungkinan kedua ini sebenarnya serius,
karena ini menunjukkan inferioritas sikap mental. Sikap yang menganggap sesuatu
yang berasal asing lebih hebat dari milik sendiri ini adalah cerminan rasa
rendah diri. Sikap ini disebabkan lemahnya identitas budaya nasional sehingga
belum bangga dengan budaya kita. Akibatnya bangsa ini tidak akan bisa berdiri
sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.
Nah, inferioritas mental inilah yang harus
didobrak dengan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan yang mampu membangun
rasa percaya diri, mampu mengikis inferioritas, bangga pada takdirnya sebagai
orang Indonesia itu harus masuk ke dalam nilai-nilai pendidikan.
Dalam percaturan dunia yang sangat kompetitif,
dan bahkan eksploitatif seperti sekarang, bangsa ini kalau mau tegak berdiri,
harus mempunyai identitas kebudayaan yang kuat, yang bisa membuat dirinya
bangga sebagai bangsa. Jika kebanggaan terhadap identitas itu tidak ada, maka
sebuah bangsa akan membebek pada bangsa lain. Itu hukum alam yang tidak
terbantahkan.
Pembangunan kebudayaan mestinya diarahkan ke
sisi ini. Kebudayaan sebagai sikap mental yang dapat melahirkan kebanggaan
sebagai bangsa agar tetap tegak di tengah konstalasi dunia yang kompetitif, dan
kian eksploitatif ini. Kalau tidak, akan tiba saatnya nanti, negara ini hanya
akan tinggal bungkusnya saja, tapi isinya adalah bangsa yang sepenuhnya takluk
pada kehendak bangsa lain.
Tapi, sebuah bangsa tak akan pernah mati jika
mempunyai identitas kebudayaan dan semangat kebangsaan yang tangguh –sekalipun
negaranya hancur lebur. Banyak bangsa yang sudah menjadi contoh penyintas kehancuran
negara, dan bangkit kembali dengan lebih gemilang. Dan kita jangan menjadi
contoh sebaliknya.”
SEKALI lagi, saya ingin mengkiaskan dunia saat
ini seumpama papan catur, di mana warga Negara acapkali diperlakukan sebagai
pion-pion bagi para elite, dan puncak elite (raja) di papan catur itu adalah
tuan kapital atau korporasi. Dan elite-elite Negara bangsa ini adalah mereka
yang bekerja untuk sang raja (tuan kapital dan korporasi) di amsal papan catur
dunia tersebut.
Saat ini, kita hidup di jaman korporatokrasi,
ketika politik dan kekuasaan ‘dikendalikan’ oleh para tuan kapital dan
korporasi. Ketika kekuatan modal tuan kapital dan korporasi global memainkan
kebijakan-kebijakan sebuah Negara, yang acapkali dengan menggunakan
lembaga-lembaga ‘pengatur’ ekonomi dan politik global, seperti International
Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia), atau melalui organisasi
semisal World Trade Organization (WTO) yang para pemain dan penentu ‘rule’-nya
adalah Negara-negara G7.
Secara sederhana, seperti diutarakan John
Perkins, William Baumol dan Carl Schramm, korporatokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan oleh beberapa
korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha kaya raya atau konglomerat
yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu Negara dan lintas
Negara.
Sementara itu, secara praktis biasanya para
konglomerat ini merupakan donator atau penyumbang utama yang menghidupi para
politikus, pejabat-pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara.
Potensi negatif yang bisa muncul dari korporatokrasi adalah kebijakan-kebijakan
dan peraturan-peraturan yang diundang-undangkan oleh pemerintah hanya
menguntungkan bagi bisnis para konglomerat tertentu saja, sehingga makin
menindas golongan ekonomi lemah dan rakyat yang tidak memiliki kemampuan untuk
membuka usaha dan meraih pendapatan.
Dalam tulisannya yang bertajuk Good Capitalism
and Bad Capitalism, William Baumol dan Carl Schramm menyebutkan empat jenis
kapitalisme, yaitu:
[1] kapitalisme oligarkhi,
[2] kapitalisme bimbingan Negara,
[3] kapitalisme manajerial atau Big Firm, dan
[4] kapitalisme wiraswasta.
Dari keempat jenis kapitalisme tersebut, yang
paling berbahaya adalah kapitalisme oligarkhi di mana uang dan kekuasaan hanya
terkonsentrasi pada segelintir elit dan korporat, yang oleh John Perkins
disebut korporatokrasi itu. Sebaliknya, jika sebuah Negara ingin memaksimalkan
potensi pertumbuhannya, William Baumol dan Carl Schramm menyarankan agar sebuah
Negara memadukan kapitalisme manajerial dan kapitalisme wiraswasta.
Intinya memang sebuah Negara mesti cerdik dan
cermat menata ekonomi dan kebijakan-kebijak politik-nya yang berkaitan dengan
perencanaan dan keputusan yang menyangkut ekonomi.
Untuk konteks Indonesia sendiri, peluang dan
kesempatan memang terbuka lebar, meski banyak yang perlu dibenahi. Sebab kita
juga tak bisa begitu saja menampik sebuah ironi di mana banyak kemajuan yang
dialami oleh Indonesia malah memperparah jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin.
Jika kita jujur dan tidak termakan
pujian-pujian palsu yang melenakan dan membuat kita terlelap, inequality atau
ketimpangan di Indonesia setiap tahun semakin memburuk. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) gini ratio (indeks yang dipakai buat menunjukkan
ketimpangan pendapatan masyarakat antara pendapatan tertinggi dan terendah) di
Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan.
Di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
pada tahun 2004 saja, gini ratio Indonesia di angka 0,32, tapi ironisnya dalam
waktu sembilan tahun pemerintahannya terjadi kenaikan sebesar 0,093 menjadi
0,413, yang sejauh ini merupakan angka ketimpangan terbesar yang pernah dialami
Indonesia sepanjang sejarah. Bahkan, bila diukur dalam skala global, angka
ketimpangan Indonesia lebih buruk daripada Tiongkok dan India. Singkatnya, yang
kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Sebagaimana dinyatakan sejumlah pakar dan
analis, banyak kebijakan pemerintahan SBY merupakan kebijakan neoliberal dan
cenderung mencirikan Negara yang dikangkangi korporatokrasi, yang kebetulan
salah-satu menteri bidang ekonomi dan keuangan di kabinet SBY adalah Sri
Mulyani yang dikenal sebagai anak didik Mafia Berkeley.
Ketimpangan dan ketidakadilan dalam distribusi
ekonomi itu dapat terjadi karena sirkulasi uang, modal, dan pendapatan hanya
terjadi di minoritas orang-orang kaya, hanya di sekitaran para oligarkh yang
monopolis, di mana Negara tidak berusaha memberi peluang (atau juga proteksi)
bagi mayoritas rakyatnya.
Selain itu, faktor korupsi tentu saja sangat
besar menyumbang bagi ketidaksehatan keuangan dan ekonomi, di mana korupsi ini
juga kerapkali dilakukan oleh para elite dan korporat. Apalagi seperti
disinyalir oleh John Perkins, korupsi ini banyak dilakukan oleh para korporat
atau para multinasionalis yang tak sungkan-sungkan menyuap para pejabat dan
para penentu kebijakan demi memuluskan “usaha” mereka dalam memonopoli potensi
uang dan kekayaaan Negara, semisal bahan-bahan mentah material milik Negara.
Secara singkat, korporatokrasi seperti yang
disinyalir oleh John Perkins itu adalah perkawinan, perselingkuhan atau
katakanlah kongkalikong antara pengusaha alias korporat dan penguasa, yang
seringkali melakukan “monopoli” dan “tindakan-tindakan sepihak” hingga berani
merubah dan mempermainkan undang-undang.
Masalahnya adalah seringkali para korporat
alias para multinasionalis (pelaku korporatokrasi) yang menyusun strategi
dengan menyambangi Negara-negara sasaran untuk diajak bekerjasama mayoritas
berasal dari MNC-MNC (perusahan-perusahaan) asing.
Indonesia sendiri menurut John Perkins adalah
salah satu Negara yang selama puluhan tahun sejak Orde Baru jadi korban
korporatokrasi. Kita sama-sama tahu, perusahaan-perusahaan minyak semisal
ExxonMobile, Chevron, BP, dan Freeport adalah ancaman serius yang terus
mengeruk kekayaan bumi Indonesia, di mana seringkali pemerintah kita tidak bisa
berbuat banyak karena tekanan dari tuntutan korporatokrasi tadi. Maka, bukan
tanpa alasan jika kita memang harus menolak kapitalisme oligarkhi dan
korporatokrasi global tersebut. Sebagaimana hal itu juga tersirat dalam bunyi
Deklarasi GNB 2012 silam di Teheran, Iran:
“Pentingnya posisi progresif negara-negara
berkembang dari sisi ekonomi harus tercermin dalam struktur manajemen
lembaga-lembaga internasional. Keputusan penting yang berkaitan dengan masalah
manajemen global tidak boleh lagi didominasi oleh segelintir negara maju.
Mengingat perencanaan dilakukan terkait berbagai masalah yang akan mempengaruhi
seluruh negara, maka penting sekali agar negara-negara berkembang memiliki
peran yang lebih besar di lembaga-lembaga kunci dalam rangka koordinasi dengan
berbagai kebijakan di tingkat internasional”.
ERA kapitalisme yang memainkan ‘globalisasi’
saat ini adalah wajah pencanggihan praktik feudalisme dan borjuasi di masa
lalu, di mana jelata selalu dalam keadaan dan kondisi tidak punya kuasa untuk
melakukan kebijakan bagi keputusan-keputusan politik dan ekonomi di tingkat
Negara, dan sejarah acapkali membuktikan para jelata baru bisa ‘membalikkan’
kemudi sejarah hanya dengan revolusi.
Kini kaum feudal dan kaum borjuis itu adalah
para tuan kapital dan para korporat pemilik perusahaan-perusahan raksasa yang
ada di seluruh dunia, sehingga mereka pun adalah juga yang memiliki kesempatan
untuk memainkan uang dan modal mereka untuk ‘menyetir’ politik dan pemerintah
di sejumlah Negara. Inilah jaman oligarkhi dan korporatokrasi tapi dengan
selubung demokrasi elektoral dan demokrasi liberal.
Si pengolah tanah yang sehari-hari menggenggam
cangkul dan arit cuma bisa menerima dampak ketika terjadi defisit dan goncangan
ekonomi, yang celakanya, seperti telah dikatakan sebelumnya, tuan-tuan kapital
ini seringkali adalah para donatur kandidat dalam rutinitas suksesi politik,
dari tingkat lokal hingga tingkat global. Inilah tantangan bagi revitalisasi
nation state atau kenegaraan dan kebangsaan kita.
Melalui kebijakan investasi, contohnya, para
konglomerat itu bebas mengeruk kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Negara bangsa
kita, tapi pada saat bersamaan kebijakan Negara bangsa kita berkali-kali malah
mencabut subsidi yang menjadi hak warga Negara. Lalu pertanyaannya adalah: ke
mana uang dari pengerukan kekayaan Sumber Daya Alam Negara bangsa kita itu? Di
saat kita diberikan dan diwariskan limbah dan kerusakan lingkungan.
Pada saat bersamaan pula warga Negara digempur
setiap waktu oleh media-media massa yang telah ‘dibeli’ rejim dan status quo
demi membodohi warga Negara dan menyumbat kritisisme mereka. Acapkali pula para
elite Negara bangsa ini memainkan isu SARA dan tontonan kekerasan SARA ketika
mereka sedang menjalankan kebijakan ekonomi-politik neoliberal agar warga
Negara teralihkan dengan isu yang lain dan tidak sempat menyoroti kebijakan
pemerintah yang tidak pro warga Negara.
Terkait polah media yang telah ‘dibeli’ ini,
Noam Chomsky, contohnya, membeberkan sejumlah manipulasi yang mereka lakukan
dan menyembunyikan masalah yang sesungguhnya.
Tenu saja di jaman mutakhir kita saat ini
adalah sangat penting untuk memahami sejumlah praktek media yang tak dapat
dilepaskan dari interest kekuasaan, politik, dan korporasi, utamanya
media-media yang dimiliki dan dikendalikan kaum multinasionalis-imperialis saat
ini. Bersamaan dengan itu, haruslah kita akui, media dan opini yang melayani
suatu kepentingan dan kekuasaan, pada akhirnya akan melakukan diskriminasi dan
penyingkiran alias eksclusi terhadap hal-hal yang tidak menjadi kepentingannya.
Sebagai contoh, ketika suatu kekuasaan dan
imperium hendak membentuk suatu citra publik, seketika itu pula, ia atau pun
mereka akan mengerahkan media-media yang dimilikinya untuk membentuk
‘keberpihakan’ publik. Inilah suatu abad atau sebuah jaman, bila meminjam
istilahnya Jacques Derrida saat berbincang dengan Giovanna Borradori, di mana
publik yang tidak kritis dan malas berpikir akan sangat rentan dimanipulasi dan
dihasut oleh media-media yang mengabdi pada kekuasaan dan tirani demi suatu
tujuan strategis dan politis, utamanya dalam kancah politk global saat ini.
Dalam hal ini, jaringan media yang kebetulan
dikuasai dan dimiliki suatu kelompok tertentu atau suatu rezim bersama yang
bekerja berdasarkan kepentingan yang sama akan tak sungkan-sungkan menjadikan
media sebagai instrument ‘penaklukkan’, di mana opini, keberpihakan, atau sikap
massa (publik) digiring sesuai dengan kehendak para pemilik media, entah para
pemilik media itu adalah suatu korporasi, kekuasaan, aliansi, atau suatu rezim
kekuasaan dan politik.
Di sini kita dapat memberikan contoh kasusnya
adalah ketika media-media seperti youtube, google, facebook dan lain-lainnya
mengangkat (dan atau meng-create) citra publik (simpati bersama) bagi insiden
Paris beberapa waktu yang silam, namun pada saat bersamaan mereka ‘tidak
mengangkat’ atau meng-create citra publik (simpati bersama) bagi
tragedi-tragedi yang lebih parah, semisal agressi terhadap Yaman, Suriah dan
apartheid Israel di Palestina.
Sekali lagi, bila saya kembali meminjam
analisisnya Noam Chomsky, media memiliki arti yang sangat penting dalam proses
politik, di mana dalam artian negatifnya adalah dalam rangka ‘menguasai’ opini
dan sikap publik (massa).
Sebagai contohnya adalah saat ini, yaitu
ketika rezim dan aliansi Zionisme Internasional atau Zion Global (Amerika,
Israel, Ingris dkk) yang kebetulan menguasai lembaga-lembaga penyiaran dan
hiburan banyak memasukkan muatan-muatan dan unsur-unsur ideologis yang menjadi
kepentingan strategis dan politis mereka melalui media-media yang mereka miliki
dan yang mereka siarkan ke seluruh dunia.
Pada tingkatan yang lebih rumit (canggih),
media juga sering mereka gunakan sebagai elemen utama dari kontrol sosial yang
salah-satu strateginya adalah strategi gangguan, dalam rangka untuk mengalihkan
perhatian publik dari isu-isu yang justru penting, yang mana dalam bahasa Noam
Chomsky sendiri dicontohkan ketika media “mempertahankan perhatian publik yang
dialihkan jauh dari masalah sosial yang nyata yang lebih penting, sehingga
terpikat oleh hal-hal yang sebenarnya tidak penting.” Inilah yang menjadi salah
satu unsur terpenting dari kontrol sosial yaitu strategi penebaran gangguan
yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting.
Strategi penebaran gangguan ini sangat penting
untuk menjaga agar masyarakat lebih berfokus pada isu-isu “kacangan” (demi
pengalihan isu) sehingga melupakan isu-isu krusial yang berhubungan dengan
hidup dan kehidupan mereka.
Strategi yang lainnya adalah Strategi Buat
Masalah, Kemudian Tawarkan Solusi atau Manajemen Konflik. Metode ini juga
disebut “masalah-reaksi-solusi.” Strategi dan metode ini tak lain adalah
menciptakan masalah, “sebuah situasi” yang disebut menyebabkan beberapa reaksi
pada penonton. Misalnya: biarkan terungkap dan mengintensifkan kekerasan di
perkotaan atau dalam masyarakat urban, atau mengatur serangan berdarah agar
masyarakat menjadi para pemohon hukum keamanan dan kebijakan yang merugikan
kebebasan.
Sebenarnya, menciptakan masalah yang dapat
menyebabkan rakyat “mengemis” dan memohon pertolongan pada pemerintah sudah
tidak menjadi hal baru, karena hampir semua pemerintahan di dunia melakukan hal
seperti ini, yang mana dengan strategi dan metode ini, pemerintah menjadi
“sinterklas” bagi masalah yang dibuatnya sendiri.
Strategi selanjutnya yang lain adalah Strategi
Bertahap, yaitu sebentuk ‘pemaksaan’ penerimaan pada tingkatan yang tidak dapat
‘diterima’, hanya dengan menerapkannya secara bertahap, yang dilakukan secara
simultan selama bertahun-tahun dan berturut-turut. Contohnya adalah ketika
mereka memberlakukan kondisi sosial ekonomi baru (neoliberalisme), sepanjang
era 1980-an dan 1990-an, yaitu dengan ‘memaksakan’ penerimaan bagi konsep
negara minimal, privatisasi, kerawanan, fleksibilitas, pengangguran
besar-besaran, upah, dan tidak menjamin pendapatan yang layak, sehingga tampak
begitu banyak perubahan yang telah membawa revolusi jika mereka telah
diterapkan sekaligus.
Yang juga acapkali dimainkan adalah tekhnik
dan metode Strategi Menunda atau cara lain untuk dapat menerima keputusan yang
tidak populer, agar mendapatkan penerimaan atau persetujuan publik (massa),
pada saat penerapannya di masa depan (sesuai dengan target waktu yang mereka
rencanakan).
Demikian sejumlah contoh strategi
‘manipulasi’, sebagaimana didadar Noam Chomsky dan para analis dan pengkaji
media, yang acapkali dimainkan media-media yang menjalankan kepentingan suatu
korporasi, rezim kekuasaan dan politik, aliansi, dan yang sejenisnya.
Dan saat ini jelas di hadapan kita mayoritas
media mainstream telah ‘dibeli’ oleh kubu rejim atau status quo yang sedang
berkuasa, sehingga acapkali terjadi framing dan pemelintiran sampai kepada
praktik tidak ‘diberitakannya’ peristiwa adanya dukungan massa yang besar bagi
kubu oposisi karena itu akan menjadi tandingan dan penurunan popularitas bagi
status quo.
“PENTING untuk dipahami bahwa berpartisipasi
dalam rutinitas suksesi politik (pemilu) yang didisain dan dikendalikan oleh
neoliberalisme bukan sikap dan tindakan patriotik atau pun sikap dan tindakan
nasionalis. Justru sebaliknya, merupakan sikap dan tindakan pengkhianatan
kepada falsafah dan dasar Negara bangsa kita.”
Ketika membaca negeri dan bangsaku yang
bernama Indonesia ini, pada akhirnya saya ‘seperti menyerah’ dalam membacanya
saat ini, yang tak ubahnya seorang realis yang ‘meneliti’ praktik politik di
era komoditas ini, layaknya Niccolo Machiavelli. Bahwa para elite Negara bangsa
sekarang ini, berbeda dengan para bapak bangsa di masa lalu, tak lebih
orang-orang pragmatis. Dalam dunia modern, seperti dinyatakan sosiolog Max
Weber dalam kuliahnya yang bertajuk Politics as Vocation, politik tak lebih
sama halnya dengan orang-orang yang bekerja di pabrik-pabrik dan industri,
dalam rangka mencari pekerjaan dan kekayaan.
Jika saya, misalnya, sungguh-sunggguh menjadi
seorang realis, maka saya harus menerima kenyataan bahwa ketika manusia-manusia
modern terjun dalam gelanggang politik dan mengejar jabatan, mereka
sesungguhnya hanya menjadi manusia-manusia pragmatis yang dituntun oleh
rasionalitas instrumental untuk mengejar uang dan kekayaan, bukan memikirkan
bangsa, Negara, apalagi warga Negara. Dalam kadar ini saya bahkan sempat
menyangsikan manfaat sikap partisipatoris warga Negara dalam rutinitas suksesi
dengan mengajukan pertanyaan satiris: Apa artinya berpartisipasi dalam
pemilihan umum jika hanya untuk memilih para elite yang memandang politik cuma
ajang mencari kekayaan dan selalu saja menjadi para penelor kebijakan
neoliberal?
Jika para bapak bangsa kita adalah para
penulis dan pemikir, contohnya, para elite saat ini banyak yang tukang korupsi
dan jadi pencuri. Berbeda mentalitas 180 derajat. Tidak ada keteladanan
sebagaimana yang dicontohkan oleh Mohammad Hatta, misalnya. Saat ini saya hanya
dipaksa menerima kenyataan yang tak terbantahkan bahwa ketika manusia-manusia
modern terjun dalam politik dan mengejar jabatan (atau kekuasaan/kedudukan)
dalam partai atau birokrasi, mereka sedang mencari pekerjaan untuk ‘merebut’
peluang mendapatkan akses pendapatan, gaji dan kekayaan.
Mereka ‘mengejar’ karir, bukan dalam rangka
mengabdi kepada masyarakat atau warga Negara. Itulah realitas birokrasi dan
politik saat ini. Tak heran, jika mereka berani berjudi dengan mengeluarkan
modal capital untuk merebut kedudukan dan jabatan politik atau birokrasi
tersebut, acapkali menghalalkan suap. Dan itu bukan berita baru. Mereka yang
merasa tak cocok dalam dunia kebudayaan, akademik, intelektualisme, dan
pemikiran, contohnya memilih politik untuk mencari pekerjaan dan pendapatan.
Namun tentu saja, sesungguhnya saya tak
‘menyerah’ begitu saja dalam generalisasi yang memukul rata seluruh elite dan
pejabat di negeri ini korup dan para pencuri. Sebab ada sejumlah figur yang
membuktikan bahwa mereka memiliki integritas, semisal almarhum Syafiuddin
Kartasasmita yang dibunuh oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto,
Baharudin Lopa dan yang lainnya. Ada banyak mereka yang memiliki nurani dan
kejujuran, meski barangkali masih kalah banyak oleh mereka yang bermental
pragmatis yang dituntun oleh rasionalitas instrumental belaka.
Dunia atau institusi pendidikan kita pun
cenderung terjebak dalam kekakuan birokratis, memesinkan manusia, dan tak
memberikan ruang bagi kritisisme serta vitalitas berpikir visioner dan
revolusioner. Hanya mencetak calon-calon pekerja dan manusia-manusia birokratis
yang tidak produktif dan inovatif. Sehingga, jangankan berbicara bagi
kemungkinan revolusi, mereka yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi atau
universitas sekalipun masih rendah kapasitas literernya atau masih kurang
terpelajar.
Sementara itu, secara politis dan kultural,
ada suatu masalah, yaitu ketika masyarakat atau warga Negara yang mayoritasnya
belum tercerahkan, dipaksa ‘menerima’ penerapan demokrasi liberal yang
diberlakukan para elite Negara bangsa saat ini. Karena itulah jalan pertama
untuk membangun kesadaran di tingkatan warga Negara untuk mengerti posisi
mereka dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan adalah dengan melakukan
political education atau pendidikan politik. Bisa juga kita menyebutnya dengan
gerakan membangun masyarakat madani.
Penting untuk dipahami bahwa secara
substansial demokrasi meniscayakan kesiapan dan keberdayaan masyarakat secara
politis dan kultural sebagai partisipan utama dan sebagai penentu utama baik-buruknya
penyelenggaraan demokrasi itu sendiri: apakah sebuah negara atau pemerintahan
yang mengklaim demokratis berjalan dengan baik ataukah sebaliknya, mengjklaim
diri sebagai demokratis namun pada kenyataannya dikuasai oligarkhi dan tak
lebih menjadi korban korporatokrasi.
Demokrasi mestilah dipahami sebagai suatu
‘keadaan masyarakat’, bukan semata bentuk dan mekanisme rejim dan modus
memerintah. Rentannya manipulasi, contohnya, akan terjadi pada masyarakat yang
belum baik dari segi pendidikan dan tak memiliki akses informasi yang layak.
Dan masyarakat yang tercerahkan hanya dimungkinkan oleh baiknya daya baca dan
memiliki kapasitas literer. Di sinilah pentingnya gerakan dan kerja kebudayaan
yang berbasis intelektualisme dan pencerahan di dalam masyarakat.
Sayangnya, di jaman ini, media-media yang
semestinya memberikan pencerahan dan pendidikan politik atau civic education,
malah ikut juga terjerembab menjadi pion-pion kepentingan oligarkhi yang
acapkali manipulatif. Namun demikian, persis di sinilah pentingnya gerakan
masyarakat madani melalui kerja intelektual dan kebudayaan generasi muda untuk
melahirkan dan menciptakan masyarakat yang independen dan mawas atau gerakan
masyarakat madani (civil society) yang berfungsi sebagai pengawasan sukarela,
selain adanya institusi-institusi resmi yang bertugas ‘memberantas’ korupsi dan
praktik-praktik penyimpangan politik.
Dan civil society hanya dimungkinkan dan lahir
dari masyarakat atau sekumpulan warga Negara yang tercerahkan.
Upaya pencerahan masyarakat dan pendidikan
politik atau pun civic education ini dapat dilakukan oleh perorangan atau
kelompok yang tergerak untuk memajukan kehidupan sosial-politik demi
menghindari manipulasi oleh partai-partai politik dan para elite yang korup,
misalnya. Karena, seperti menjadi kenyataan saat ini, sejumlah partai tetap
mencalonkan koruptor dalam kontestasi politik atau suksesi, dan mereka acapkali
menjadi perpanjangan tangan kebijakan neoliberal.
Dalam hal demikian, pencerahan dan pendidikan
politik atau civic education yang digerakkan dan dipraktikkan oleh masyarakat
madani menjadi penting karena akan meminimalisir manipulasi politik dan
praktik-praktik korupsi yang lahir dan muncul dari sahwat-sahwat politik yang
hanya dituntun oleh pragmatisme rasionalitas instrumental belaka.
Pentingnya pembangunan masyarakat yang kritis
dan tercerahkan untuk memahami dan mengerti posisi dan kedudukan mereka dalam
konteks kenegaraan dan kebangsaan adalah karena mereka-lah yang kemudian dapat
menjadi kekuatan riil oposisi jika rejim dan atau pemerintahan menjalankan
kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka dan mencabut hak mereka sebagai warga
Negara sebagaimana ‘dijamin’ oleh UUD 45 dan dasar Negara kita yaitu Pancasila.
Komunitas-komunitas dan institusi-institusi
kebudayaan bisa menjalankan peran tersebut dengan kerja dan gerakan
intelektualisme mereka. Sehingga kiprah dan gerakan kebudayaan tak sekedar
‘berpuas diri’ dengan hanya berjalan dalam iklim stagnan yang tak memberikan
perubahan karakter dan mentalitas masyarakat atau warga Negara. Singkat kata,
kita membutuhkan intelektual-intelektual publik yang tak sekedar duduk nyaman
di menara gading, tapi yang terjun langsung untuk menciptakan kritisisme dan
pencerahan dalam masyarakat. Mereka yang sanggup bersuara ke atas sekaligus
membangunkan jelata yang terlelap dalam ketidak tahuan.
Posisi intelektual publik yang menjalankan
fungsi seperti yang telah disebutkan itu, sebagaimana dinyatakan James Petras,
menjadi sangat penting karena akan sanggup:
[1] Mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan
partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial,
[2] Menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi,
politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis,
[3] Menguraikan solusi-solusi,
strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para
pemimpin, dan
[4] Mengorganisasi serta berpartisipasi dalam
pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.
Bukan kaum intelektual (kelas menengah) yang
dikritik Noam Chomsky yang menjadi bagian dari kuasa dan kepentingan rejim neoliberal
yang merugikan warga Negara.
Sebab, seperti telah diulas Noam Chomsky, kaum
korporat (para oligarkh dan pengusaha-pengusaha multinasional) yang bekerjasama
dengan kekuasaan acapkali ‘membentuk pikiran publik’ atau menggiring opini dan
pikiran masyarakat dalam memandang dunia dan realitas kita saat ini, yang
salah-satu contohnya adalah dengan menggunakan kelas menengah kaum intelektual
(yang menikmati bayaran dan kenyamanan dari kapitalisme dan pasar yang
dikendalikan kelas/korporasi berkuasa).
Dalam pandangan dan analisisnya tersebut, Noam
Chomsky lebih lanjut menjelaskan bahwa proses pembentukan pikiran publik
melalui propaganda dan doktrin tersebut tentulah untuk mengukuhkan kekuasaan
kelas berkuasa (yaitu kaum korproat), karena bila tanpa ditopang oleh
penguasaan atas pikiran publik, demikian diterangkan Noam Chomsky, maka
doktrin-doktrin kelas berkuasa takkan bisa bertahan lama. Apa yang dijelaskan
Noam Chomsky itu adalah persis seperti ketika LSM-LSM dan lembaga-lembaga think
tanks di negeri ini menjadi perpanjangan tangan kepentingan neoliberal dan
mendapatkan donasinya dari yayasan-yayasan Amerika.
Maka tak heran, dengan menggunakan think tanks
dan media-media massa yang berada dalam lingkup kekuasaannya, sebuah rejim
acapkali “mendikte setiap pikiran publik persis seperti halnya sebuah pasukan
mendikte tubuh-tubuh dari tentara-tentaranya” melalui lembaga-lembaga dan atau
institusi-institusi, semisal lewat institusi pendidikan, selain melalui
media-media massa dan lembaga-lembaga think tanks demi menciptakan kepatuhan
warga Negara dan mematikan kritisisme di pikiran mereka.
Upaya-upaya tersebut tentu saja ditopang bukan
hanya melalui propaganda-propaganda media-media massa belaka yang dimiliki para
korporat yang bekerjasama dengan pemerintah atau sebuah rejim dan para politisi
yang menikmati ‘modal capital’ dari korporasi, melainkan oleh kaum intelektual,
agar gagasan dan doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh
legitimasi dan bahkan landasan konstitusional dalam sebuah Negara, sehingga
kepatuhan warga Negara pun dimungkinkan, yah semisal dengan menimalisir potensi
kritis dari warga Negara.
Bersama-sama dengan kaum intelektual, LSM-LSM,
dan lembaga-lembaga think tanks yang mendapatkan donasinya dari yayasan-yayasan
Amerika itulah, “kaum industrialis (para oligarkh dan korporat) itu harus
menjalankan serta memenangkan perang yang tiada akhir demi memperebutkan
pikiran-pikiran manusia” dan “mengindoktrinasi para warga Negara dengan cerita
kapitalis” yang mereka buat, yang bahkan mereka massifkan dalam kurikulum
pendidikan dan “didoktrinkan’ di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan
tinggi. Beberapa dari suara-suara kaum industrialis dan intelektual itu
utamanya ditujukan untuk mewaspadai bangkitnya kekuatan sosialisme, demikian
papar Noam Chomsky, yang persis dalam hal inilah Amerika sangat memiliki
kepentingan untuk membendung dan menghancurkan pengaruh-pengaruh pikiran
sosialis yang dapat melahirkan kriitisisme bagi warga Negara.
Kemudian, untuk menghambat proses tersebut,
kaum intelektual, kalangan pebisnis (para oligarkh dan kaum elite korporat) dan
negara imperial Amerika Serikat pun berupaya untuk menanamkan doktrin
Washington Konsensus (neo-liberalisme) dan demokrasi pasar, baik melalui
serangkaian perjanjian struktural maupun melalui perang imperialis. Terhadap
upaya ini, para editor jurnal ilmiah yang bergaris liberal, contohnya,
mendukung dengan gigih dengan menyebut bahwa proses yang sedang terjadi saat
ini pada dasarnya “kebangkitan kembali demokrasi”, padahal yang sesungguhnya
adalah ‘kepentingan korporasi mereka’ dengan membajak demokrasi electoral dan
demokrasi liberal.
Tak pelak lagi, dukungan ‘membuta’ (tanpa
kritik dan perlawanan) kaum intelektual bagi doktrin neoliberal itu,
sebagaimana dipaparkan Noam Chomksy, melalaikan fakta bahwa: “demokrasi yang
dimaksud adalah sejauh ia meniru model Amerika Serikat yang memberi keleluasaan
pada kaum kaya, juga mengabaikan bahwa demokrasi seperti itu seringkali
dibangun di atas perang dan teror terhadap kaum miskin, serta yang juga cukup
miris: melupakan fakta bahwa demokrasi pasar berdiri di atas penderitaan kaum
buruh, petani, dan kaum miskin lainnya yang semakin dihisap dan dieksploitasi.”
Sesungguhnya kita, sebagai warga Negara yang
terhormat dan bermartabat, masih bisa melakukan revolusi untuk melawan sistem
dan rejim yang dikendalikan neoliberalisme. Namun bukan revolusi dengan senjata
atau pun revolusi berdarah, tapi dengan tidak ikut berpartisipasi dalam
rutinitas suksesi politik yang diselenggarakan sistem dan kekuatan rejim
neoliberal tersebut. Contoh revolusi damai itu adalah dengan jalan tidak
memilih baik Prabowo Subianto dan Joko Widodo beserta pasangan cawapres mereka
di Pilpres 2019 nanti.
Sesuatu yang sangat mudah, dan bahwa kita
selalu memiliki jawaban dan kesempatan bagi jalan untuk melakukan perlawanan
terhadap rejim dan kekuatan, serta rutinitas suksesi politik yang dikendalikan
oleh lembaga-lembaga dan elite-elite neoliberal. Suatu ketika, seorang cebong
(sebutan untuk kaum fanatik pendukung Joko Widodo) dan KH. Ma’ruf Amin
menyatakan bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo tidak neoliberal. Terkait
pernyataan mereka itu, saya punya dua pertanyaan sebagai contoh saja:
[1] Bagaimana mungkin mereka menyatakan bahwa
rejim Presiden Joko Widodo tidak menerapkan kebijakan neoliberal di saat
menteri ekonomi dan keuangannya adalah orang-orang neoliberal, seperti Darmin
Nasution dan Sri Mulyani?
[2] Bagaimana mungkin mereka bilang bahwa
rejim Presiden Joko Widodo tidak menerapkan kebijakan neoliberal di saat impor
beras, bawang, gula dan lain-lain begitu tinggi hingga para petani menjerit dan
terjadi kekerasan agraria di sejumlah tempat?
Bila demikian, pernyataan mereka tersebut
dapat dikategorikan sebagai pembohongan publik dan pembodohan terhadap warga
Negara, rakyat yang menjadi fondasi utama dan syarat pertama adanya Negara dan
bangsa selain tempat dan wilayah yang ditempati dan dihuni oleh para warga
Negara. Bukankah sesuatu yang sangat mudah untuk melakukan revolusi damai tanpa
kekerasan dan senjata dengan jalan tidak memilih baik Prabowo Subianto dan Joko
Widodo beserta cawapres pasangan mereka di Pilpres 2019 nanti?
Revolusi damai tersebut merupakan solusi awal
dan solusi percontohan pertama untuk memberikan jawaban bagi krisis politik
Negara bangsa kita tercinta ini. Sungguh Indonesia belum terlambat untuk
menyelamatkan bahtera tempat kita berlayar bersama dari pembajakan oleh
elite-elite yang mengabdi kepada sistem, lembaga-lembaga, dan proyek-proyek
neoliberal mereka.
Jika ada yang masih bertanya kenapa kita harus
melawan sistem dan kekuatan neoliberalisme yang memainkan kebijakan ekonomi
politik Negara bangsa kita tercinta ini, maka jawabannya adalah karena:
[1] Mereka mengeksploitasi sumber daya dari
negara yang didominasi,
[2] Mereka menguras sumber daya dalam jumlah yang
tidak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lain,
[3) Mereka menarik pajak bukan hanya dari
warga mereka sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain, dan
[4] Mereka mendorong penggunaan mata uang
mereka sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya.
Sekalig lagi, perlu dinyatakan, hal tersebut
merupakan contoh solusi dan jawaban percobaan untuk memberikan solusi dan
jawaban bagi krisis politik Negara bangsa kita saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar