Mengunci Malam
:Sulaiman Djaya
malam barangkali hanya sekelebat lewat bagimu
celotehnya tak kedengaran dihantam hujan
tapi huruf-huruf di dadamu, serapi deru mesin jahit
nyaring di antara gumam maut yang siaga menjemput
malam panjang ini, terasa lebih ngilu dari rasa haru
tak hanya diburu waktu, kita limbung dibuai ketakpastian
namun saat waktu dikunci, kau tak kan mati
sajakmu terpelanting bagai kancing yang terlepas
dan ketika waktu kembali bebas
kau senantiasa lupa, di mana letak perhentian
di negeri ini banyak siasat dan tipu muslihat, katamu.
maka adakah yang lebih baik daripada mengeluh?
yakin, tak ada duka yang disengaja
begitu juga dengan nasib bangsa ini
tak ada yang pernah meramalkan bencana
kecuali dalam mimpi-mimpi tak akuntabel
yang dihujatkan musuh-musuh malam kita
apakah penyair, hatimu sungguh sintementil
menghabiskan malam dengan segala umpatan
hari-hari di sini, seperti daun-daun yang tanggal
dihembus angin barat, liar tak berjejak
dan hanya hujan yang niscaya,
mengabarkan isyarat dan rahasia
Malam Paripurna
celotehnya tak kedengaran dihantam hujan
tapi huruf-huruf di dadamu, serapi deru mesin jahit
nyaring di antara gumam maut yang siaga menjemput
malam panjang ini, terasa lebih ngilu dari rasa haru
tak hanya diburu waktu, kita limbung dibuai ketakpastian
namun saat waktu dikunci, kau tak kan mati
sajakmu terpelanting bagai kancing yang terlepas
dan ketika waktu kembali bebas
kau senantiasa lupa, di mana letak perhentian
di negeri ini banyak siasat dan tipu muslihat, katamu.
maka adakah yang lebih baik daripada mengeluh?
yakin, tak ada duka yang disengaja
begitu juga dengan nasib bangsa ini
tak ada yang pernah meramalkan bencana
kecuali dalam mimpi-mimpi tak akuntabel
yang dihujatkan musuh-musuh malam kita
apakah penyair, hatimu sungguh sintementil
menghabiskan malam dengan segala umpatan
hari-hari di sini, seperti daun-daun yang tanggal
dihembus angin barat, liar tak berjejak
dan hanya hujan yang niscaya,
mengabarkan isyarat dan rahasia
Malam Paripurna
pada malam di cirata, wajahku bergetar
sebentar saja jadi malam yang liar
telah kutambatkan igauan pada kail, arus air,
dan pada tiap petunjuk alam
meski gusar, meski samar
aku mau menunggu
setabah galah tipis ini
yang kujulurkan di atas angin
berharap akan datang
sebentar lagi subuh turun
menyelusup ke ubun dedaun
hai, ini malam paripurna
tempat kumpul setiap kembara
Secarik Surat di Malam Buta
alangkah pelan angin mengalun
namun jarak ini kian terbangun
dan ketika jerit kapal mulai samar
tiba-tiba kehampaan mengental
lekat di dada, tak mau ke mana
tak ada yang dapat disampaikan
hanya keluhan tanpa warna
usia muda tapi jiwa renta
dari jauh selat sunda
jalan kian remang, kian gamang
apalagi jika malam buta itu tiba,
aku tak beda dengan sepasukan kuda
yang pikun akan jejak-jejaknya
sebab begitu cepat angin menghapusnya
segurat surat di secarik perjalanan
sama sekali tak mampu rapatkan jarak
hanya sebongkah kekeh kecil
di sela mimpi yang tak pernah tepi
Secarik Surat di Pagi Buta
menghirup udara teramat dalam
terasa sampai ke lubuk hati
mencakup namamu diam-diam
bagai derai tak jadi pergi
masih ada hujan sisa semalam
mengalir lembut di dinding
dan mataku tak habis melukis
pagi di ibukota pajajaran
kekasihku, betapa rindu ini memuncak
ketika angin menghembus kian rapat
dan aku akan terus sampaikan
tentang kesetiaan yang panjang.
Secarik Surat di Siang Buta
ketika matahari tegak di ubun-ubun
sejarah diarak dan berakhir di api unggun
liar diumbar angin mati.
di pelupuk matamu
kupeluk ingatan rupa-rupa perjalanan
di sana pernah terlahir kira-kira rencana
dilayangkan tuan dan puan bersamaan
sebagai isyarat, arah angin yang pucat
aku tahu, kita tak hendak tinggal diam
sebelum bayangan condong ke senja
sebelum langkah rebah ke tanah
masih banyak rahasia yang harus dibaca.
sejarah diarak dan berakhir di api unggun
liar diumbar angin mati.
di pelupuk matamu
kupeluk ingatan rupa-rupa perjalanan
di sana pernah terlahir kira-kira rencana
dilayangkan tuan dan puan bersamaan
sebagai isyarat, arah angin yang pucat
aku tahu, kita tak hendak tinggal diam
sebelum bayangan condong ke senja
sebelum langkah rebah ke tanah
masih banyak rahasia yang harus dibaca.
Jafar Fakhrurozi lahir di Majalengka, 1983. Menulis puisi dan esai. Karya-karyanya dimuat di media massa lokal dan nasional. Sumber: http://www.jurnas.com/halaman/27/2012-12-16/228977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar