Lampu-lampu sebuah pabrik
kertas, karena tampak berkerlap-kerlip dan berkerumun, lebih mirip sebuah kota
kecil yang tak pernah tertidur. Dan memang sudah hampir tengah malam ketika
pintu ruang bacaku masih terbuka. Juga, meski cukup jauh, suara-suara mesin
pabrik kertas itu seolah datang dari setapak pematang di belakang rumah.
Tak terasa, aku sudah
bertahun-tahun hidup di dunia yang tak lagi sama seperti ketika aku masih
kanak-kanak. Memang, sesuatu acapkali telah berubah secara pelan-pelan ketika
kita tak sedang memikirkannya, atau ketika kita, entah sengaja atau tidak
sengaja, tak menyadarinya. Sementara, malam tetap lengang seperti biasanya, tak
ada bising atau keriuhan selain suara-suara katak dan serangga.
Namun, ketika aku masih
kanak-kanak, tempat yang kini menjadi kawasan pabrik kertas itu adalah sejumlah
rawa-rawa dan hutan belukar yang menjadi rumah bagi berbagai jenis ular dan
binatang-binatang lainnya. Di tempat itu pula, dulu sering kulihat
gerombolan-gerombolan bermacam-macam burung dan unggas yang singgah atau
kembali terbang.
Aku baru terbangun dari
tidur sebelum aku membuka pintu dan memandangi lampu-lampu pabrik kertas itu,
dan karenanya aku sengaja menahan dingin angin selepas hujan. Sedangkan di antara
atau di sekitar lintasan-lintasan pematang dan hamparan sawah-sawah, gelap
terasa kental dengan kebisuannya yang menyerupai kiasan maut yang tengah
terlelap karena cuaca lembab.
Tetapi, ingatanku tentang
masa silam, muncul ketika kupandangi barisan angka-angka pada kalender yang
terpampang dan berdiri di atas meja bacaku, di antara beberapa buku, jurnal dan
majalah yang terhampar dengan tenang, juga seperti kematian dan masa silam.
Masa-masa yang bagiku seperti lorong-lorong keheningan yang panjang.
Ketika itu aku harus
berjalan kaki dengan menempuh jarak beberapa kilometer untuk bisa sampai ke
sekolah menengah pertama. Atau menumpang mobil-mobil truk pengangkut pasir dan
batubata yang jarang ada, kecuali di hari-hari tertentu saja. Pernah juga aku harus
berteduh di sepohon rindang di tengah perjalanan pulang dari sekolahku menuju
rumah karena hujan lebat yang turun tiba-tiba.
Itulah ketakutan pertamaku
berada dalam kegelapan dan guyuran hujan di antara barisan pohon-pohon rindang
sepanjang jalan dan sungai, yang karena keheningannya, lebih mirip terowongan
panjang di waktu malam. Tetapi kini, sungai telah memiliki dinding-dinding batu
dan pohon-pohon rindang sepanjang jalan telah digantikan barisan tiang-tiang
beton, bersamaan dengan hadirnya pabrik kertas dengan dua cerobong asap
raksasanya.
Tetapi, sebelum pabrik
kertas itu dapat hadir dengan megah seperti sekarang ini, ada sebuah cerita
tentang Nyi Randa, yang kemudian menjadi nama tempat yang kini telah digantikan
pabrik kertas itu, yaitu Tegal Nyi Randa. Dan ketika pabrik kertas mulai
dibangun di tegal itu, orang-orang bercerita tentang sepohon besar yang berdiri
kokoh kembali keesokan harinya setelah dirobohkan.
Pohon besar itulah yang
oleh orang-orang dipercaya sebagai jelmaan Nyi Randa bertahun-tahun kemudian
setelah ia melarikan diri ke rawa-rawa dan gugusan hutan belukar ketika seorang
jawara membunuh suaminya tak lama setelah dilangsungkan resepsi pernikahan Nyi
Randa dan suaminya yang terbunuh itu. Sebab, setelah kejadian itu, seperti
cerita orang-orang di sekitar sungai Ciujung, Nyi Randa tak lagi ditemukan.
Mendapati pohon besar yang
telah dirobohkan dengan menggunakan alat berat itu berdiri kokoh kembali
keesokan harinya, pihak perusahaan pun merobohkan lagi pohon besar itu. Tetapi
hasilnya tetap sama, pohon besar itu kembali berdiri seperti semula.
Kejadian itu pun segera
menyebar luas di masyarakat, dan memunculkan dua pendapat: pihak perusahaan
tetap ngotot untuk melenyapkan pohon tersebut, sementara sebagian masyarakat
menginginkan agar pohon besar tetap ada di tempatnya seperti telah
bertahun-tahun ada. Butuh waktu berhari-hari bagi pihak perusahaan untuk
mewujudkan keinginan mereka sebelum akhirnya mereka berhasil membayar para
dukun dan beberapa orang untuk melenyapkan pohon besar tersebut dengan bayaran
yang cukup besar bagi orang-orang yang tak memiliki pekerjaan resmi.
Namun ceritanya tak hanya
sampai di situ saja. Beberapa hari setelah pohon besar itu berhasil
dilenyapkan, pihak perusahaan dikagetkan dengan banyaknya kehadiran ular-ular
yang datang tiba-tiba entah dari mana ke setiap sudut dan tempat di kawasan
pabrik kertas yang sedang dibangun itu, hingga beberapa pekerja pun meninggal
karena serangan ular-ular tersebut. Sementara, di waktu malam, para pekerja
seolah selalu mendengar suara seorang perempuan tengah bersenandung dan
beberapa pekerja terjatuh dari konstruksi bangunan karena efek teror nyanyian
gaib tersebut.
Dan seperti pada
kejadian-kejadian sebelumnya, orang-orang pun mempercayai bahwa perempuan yang
selalu bersenandung di waktu malam itu adalah Nyi Randa yang tengah merana dan
merasakan kesepian karena telah terusir untuk kedua kalinya. Aku jadi teringat
kembali tentang kisah Nyi Randa itu ketika kupandangi lampu-lampu pabrik
kertas, yang dulunya adalah rawa-rawa dan habitat para unggas, burung-burung,
dan binatang-binatang Tuhan lainnya.
Sejumlah burung-burung dan
para unggas, yang ketika terbang melintasi cakrawala pagi atau senja, membuatku
membayangkan diri ingin seperti mereka yang dapat pergi dan terbang kapan saja.
Hak cipta © Sulaiman Djaya (2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar