Label

Jumat, 20 Maret 2015

Sulaiman Djaya dan Dinamika Kesusastraan



Oleh M. Rois Rinaldi (Penyair)

Kerja-kerja sastra sangat menguras pikiran, tenaga, dan waktu. Karena dituntut mengerahkan kecerdasan emosional, kedalaman bathin, dan keluasan berpikir dalam setiap karya, bahkan dalam setiap tindakan –meski tak dapat dipastikan bahwa semua penyair demikian. Sementara di sisi lain, paling tidak hingga tulisan ini ditulis, kesusastraan (khususnya puisi) masih di-anak tirikan, di mana toko-toko buku tidak begitu saja menerima antologi puisi, syarat dan ketentuan yang diajukan dibuat berat dan bertele-tele.

Jika pun ada buku puisi yang tersebar di toko-toko buku, sebatas kata-kata cinta ala anak-anak remaja (ABG). Hal semacam itu memang aneh sekaligus tidak aneh, karena manusia di jaman sekarang orientasinya selalu keuntungan, maka yang diprioritaskan kehendak pasar, kualitas menjadi nomor keseratus.

Kenyataan yang dihadapi sastrawan seperti buah simalakama: mengerahkan seluruh hidupnya dalam kesusastraan yang minus pendapatan material atau gantung pena, lalu memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Dilatarbelakangi oleh pangsa pasar pula, membuat beberapa sastrawan berpindah-pindah genre, seperti Motinggo Busye. Novel-novelnya laku keras seperti kacang goreng di area layar tancap. Belum lagi sastrawan dihadapkan pada kemalasan guru-guru bahasa yang tidak berusaha mencari dan menemukan data baru mengenai sastrawan yang hari ini berkarya.

Sebetulnya perkara-perkara semacam itu tidak akan membuat sastrawan sejati tumbang. Karena bagi sastrawan yang bebas jiwa dan badannya, keadaan tidak untuk diikuti, melainkan ditanggapi dengan matang dan tenang –toh kemenangan selalu di tangan orang-orang yang tenang. Berbeda dengan sastrawan yang tahunya soal-soal eksistensi dan selebritas kesusastraan, biasanya rapuh dan kalah oleh keadaan. Sepanjang waktu akan ditakut-takuti kegelisahan eksistensi, apalagi sampai tidak laku dan tidak menulis kemudian menjadi pilihan.

Sulaiman Djaya salah satunya –sastrawan ini selalu riang gembira dalam pelbagai kesempatan. Ia termasuk sastrawan yang produktif. Terakhir ia menerbitkan antologi puisinya yang berjudul Mazmur Musim Sunyi. Sastrawan yang lebih pas disebut penyair ini, selain menulis puisi dan esai sastra, juga kerap menulis tentang kajian-kajian kebudayaan. Sehingga belakangan ia juga disebut budayawan. Tetapi sekali lagi, ia lebih pas disebut penyair. Puisi-puisinya memiliki warna airmuka yang begitu dekat kaitannya dengan “hakikat kehidupan”. Jika sekilas dibaca, puisi-puisinya seperti puisi cinta biasa, akan tetapi jika diselami lebih dalam, ada warna “teologis”, semisal yang bercitarasa sufistik.

Begitulah sekilas tentang Sulaiman Djaya dan karya-karyanya. Seperti kata pepatah: “Tak kenal maka tak sayang” melihat konsistensinya di dunia kesusastraan. Menyoal proses kreatif, sastrawan ini kerap memberikan “wejangan” kepada penyair-penyair muda untuk membaca dan memahami al Qur’an –karena di dalam al Qur’an aspek-aspek kesastraan begitu paripurna. Begitulah obrolan ringan mengenai kesusastraan bersama Sulaiman Djaya sambil ngopi dan makan ubi rebus.

Disadur dari Tabloid Ruang Rekonstruksi Edisi Desember 2013. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar