Oleh M. Rois Rinaldi (Penyair)
Kerja-kerja sastra sangat
menguras pikiran, tenaga, dan waktu. Karena dituntut mengerahkan kecerdasan
emosional, kedalaman bathin, dan keluasan berpikir dalam setiap karya, bahkan dalam
setiap tindakan –meski tak dapat dipastikan bahwa semua penyair demikian.
Sementara di sisi lain, paling tidak hingga tulisan ini ditulis, kesusastraan
(khususnya puisi) masih di-anak tirikan, di mana toko-toko buku tidak begitu
saja menerima antologi puisi, syarat dan ketentuan yang diajukan dibuat berat
dan bertele-tele.
Jika pun ada buku puisi
yang tersebar di toko-toko buku, sebatas kata-kata cinta ala anak-anak remaja
(ABG). Hal semacam itu memang aneh sekaligus tidak aneh, karena manusia di jaman
sekarang orientasinya selalu keuntungan, maka yang diprioritaskan kehendak
pasar, kualitas menjadi nomor keseratus.
Kenyataan yang dihadapi
sastrawan seperti buah simalakama: mengerahkan seluruh hidupnya dalam
kesusastraan yang minus pendapatan material atau gantung pena, lalu memilih
profesi lain yang lebih menghasilkan. Dilatarbelakangi oleh pangsa pasar pula,
membuat beberapa sastrawan berpindah-pindah genre, seperti Motinggo Busye.
Novel-novelnya laku keras seperti kacang goreng di area layar tancap. Belum
lagi sastrawan dihadapkan pada kemalasan guru-guru bahasa yang tidak berusaha
mencari dan menemukan data baru mengenai sastrawan yang hari ini berkarya.
Sebetulnya perkara-perkara
semacam itu tidak akan membuat sastrawan sejati tumbang. Karena bagi sastrawan
yang bebas jiwa dan badannya, keadaan tidak untuk diikuti, melainkan ditanggapi
dengan matang dan tenang –toh kemenangan selalu di tangan orang-orang yang
tenang. Berbeda dengan sastrawan yang tahunya soal-soal eksistensi dan
selebritas kesusastraan, biasanya rapuh dan kalah oleh keadaan. Sepanjang waktu
akan ditakut-takuti kegelisahan eksistensi, apalagi sampai tidak laku dan tidak
menulis kemudian menjadi pilihan.
Sulaiman Djaya salah
satunya –sastrawan ini selalu riang gembira dalam pelbagai kesempatan. Ia
termasuk sastrawan yang produktif. Terakhir ia menerbitkan antologi puisinya
yang berjudul Mazmur Musim Sunyi. Sastrawan yang lebih pas disebut penyair ini,
selain menulis puisi dan esai sastra, juga kerap menulis tentang kajian-kajian
kebudayaan. Sehingga belakangan ia juga disebut budayawan. Tetapi sekali lagi,
ia lebih pas disebut penyair. Puisi-puisinya memiliki warna airmuka yang begitu
dekat kaitannya dengan “hakikat kehidupan”. Jika sekilas dibaca, puisi-puisinya
seperti puisi cinta biasa, akan tetapi jika diselami lebih dalam, ada warna
“teologis”, semisal yang bercitarasa sufistik.
Begitulah sekilas tentang
Sulaiman Djaya dan karya-karyanya. Seperti kata pepatah: “Tak kenal maka tak
sayang” melihat konsistensinya di dunia kesusastraan. Menyoal proses kreatif,
sastrawan ini kerap memberikan “wejangan” kepada penyair-penyair muda untuk
membaca dan memahami al Qur’an –karena di dalam al Qur’an aspek-aspek
kesastraan begitu paripurna. Begitulah obrolan ringan mengenai kesusastraan
bersama Sulaiman Djaya sambil ngopi dan makan ubi rebus.
Disadur dari Tabloid Ruang
Rekonstruksi Edisi Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar