Label

Minggu, 16 Juni 2013

Kesahajaan Perlambang Kesejatian



Oleh Ahmad Fadhil*

Dalam situasi yang sangat bersahaja, seorang Ayatullah datang ke IAIN Banten (Senin 12 Maret 2007). Pengantarnya hanya tiga orang, mobilnya model lama, tanpa pengawal, tanpa keriuhan. Padahal, dalam kapasitasnya sebagai orang yang berada di ring satu pemerintahan Iran, pantas jika dia datang dengan mobil merk terbaru dan dikawal bak pejabat negara.

Agenda Prof. Dr. Mehdi Hadavi, nama dan gelar sang Ayatullah, adalah berceramah dalam Studium General Fak. Ushuluddin dan Dakwah. Apakah dia hendak menyebarkan akidah Syiah? Tidak. Dalam hampir satu jam ceramahnya dia mengupas bahwa Islam jauh sekali dari Fideisme yang berslogan, “Imani dulu, baru mengerti.” Slogan Islam adalah, “Mengerti dulu, baru imani.” Islam menyeru penganutnya untuk mendasari iman dengan pengetahuan, sehingga semakin dalam ilmu seorang muslim, semakin dalam imannya. Adanya orang yang berilmu namun tidak beriman tidak menggoyahkan prinsip bahwa seseorang tidak mungkin beriman tanpa berilmu. Inilah resolusi pertama.

Selanjutnya Hadavi menekankan krusialnya peran ulama sebagai suar di masyarakat. Mereka adalah rujukan bagi lapisan mayoritas umat Islam yang tidak sempat memperdalam agama, karena alami bila tidak semua orang menjadi ulama. Mereka harus berperan sebagai poros perkembangan dengan cara tidak hanya menjalankan tugas pengajaran sebagai wacana, tetapi bekerja sekuat tenaga di masyarakat, sehingga ilmu dan iman masyarakat tetap terjaga, dan masyarakat pun tetap berdaya dan berjaya. Ini resolusi kedua.

Resolusi ketiga adalah himbauan untuk memperkaya wawasan, memperkuat kemampuan berbahasa dengan memberi penekanan khusus kepada bahasa Arab sebagai bahasa utama Islam, dan selalu menjawab setiap masalah dengan selalu mempelajari ilmu-ilmu kontemporer dan menjadikan ulama Islam terdahulu sebagai rujukan. Ayatullah berumur 45 tahun ini sudah mengimplementasi himbauan tersebut. Dia lulusan terbaik dalam mata pelajaran Matematika dan Fisika ketika lulus SMU, melanjutkan studi S1 dalam bidang Teknik Elektro, lalu memulai studi di Hauzah Ilmiyah di kota Qom hingga menjadi rujukan dalam baik dalam ilmu-ilmu tradisional seperti fiqih dan ushulnya, tafsir, ulumul hadits, logika, filsafat, maupun ilmu-ilmu modern seperti filsafat ilmu, filsafat seni, dan ilmu ekonomi.

Teladan yang utama tentu saja Nabi Muhammad. Sebagai manifestasi utuh dari al-Quran, atau al-Quran berjalan, beliau menghasilkan generasi ilmuwan yang mampu menelurkan pelbagai cabang ilmu secara langsung dari al-Quran, seperti ilmu fiqih, teologi, dan bahasa. Generasi itu tidak sekadar tidak takut mempelajari ilmu dari mana pun sumbernya, tapi juga menyadari pentingnya mempelajari “ilmu-ilmu lain,” yaitu yang tidak ditarik langsung dari al-Quran, seperti pelbagai cabang ilmu alam dan ilmu sosial yang kita kenal sekarang.

Ceramah yang menarik, tapi yang lebih menarik cara datangnya sang penceramah itu. “Ayatullah ini koq sederhana banget ya. Kalo saya jadi guru besar, kayaknya susah seperti dia.” Saya jadi teringat pada rektor perguruan tinggi ternama yang gelisah karena setiap bulan harus melayat ke rumah guru besar yang meninggal dunia. Dia katakan, banyak guru besar mati muda karena tidak berpola hidup sehat. Tuntutan sosial dan ekonomi bagi para guru besar bertambah, sementara pendapatan mereka tidak bertambah, sehingga sang guru besar sibuk ngojek mengajar ke sana-sini dan ngamen seminar ke mana-mini. “Masa guru besar naik angkot? Ngontrak?” Seolah ketinggian gelar akademik tidak sah jika tidak dibungkus oleh kemewahan duniawi.

Apakah kita dapat menyalahkan kaum intelektual yang ngoyo seperti itu seperti diungkap seorang failasuf, “Sungguh menyedihkan orang yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun untuk mengumpulkan emas bagi jiwanya, merasa galau dan gelisah karena tidak sempat mengumpulkan emas bagi  tubuhnya?” Sekarang bukan masanya untuk menyalahkan. Motif mereka ngojek dan ngamen belum tentu untuk mengejar setoran. Selain itu, profesor wa akhawatuha bukan Tuhan, bukan malaikat, bukan Iblis yang tidak makan. Saat mereka balik ke umat pun mereka tahu bahwa umat sulit tertarik pada upaya perbaikan dari doktor yang miskin dan tidak terpandang, dan tidak jarang lebih terpesona pada intelektual gadungan atau “ilmuwan gagal” asalkan kaya dan terhormat!

Menjadi cendikiawan yang secara sadar memilih perikehidupan yang bersahaja lebih sulit daripada menggenggam bara. Menjadi “ilmuwan gagal,” yaitu menjadi seorang terpelajar yang mengarahkan sebelah mata kepada kesejatian ilmu dan mengarahkan mata lainnya untuk mencari kemilau batu-batu mulia, tidak dapat dielakkan. Alhasil, runtuhnya kejayaan ilmu dan iman kita akan terus berlanjut. Inilah kondisi yang harus diubah. Dan, demi perubahan ini, yang pertama harus berubah adalah kaum cendikiawan itu sendiri.

Dari fragmen singkat datangnya sang Ayatullah, saya teringat pada ungkapan-ungkapan yang mengindikasikan bahwa mayoritas cendikiawan Islam hidup bersahaja dan sedikit sekali yang kaya. Asy-Syafi’i mengatakan, “Orang yang menuntut ilmu dengan kerendahan diri, kesempitan hidup, dan pengabdian kepada para ulama, akan lebih berhasil. Aku terbiasa dengan kemiskinan, sehingga aku merasa nyaman dengannya.” Malik mengatakan, “Seseorang takkan meraih ilmu sampai ia menderita karena kemiskinan, namun tetap mengutamakan ilmu daripada yang lain.” Abu Hanifah menganjurkan untuk memutuskan ikatan duniawi dan mengambil sedikit saja yang tidak dapat dihindari. Ahmad mengatakan, “Sabar dalam menuntut ilmu adalah martabat yang hanya dapat diraih orang-orang besar. Miskin lebih mulia daripada kaya. Sabar dalam kemiskinan itu sangat pahit, sehingga tidak cemas oleh kemiskinan lebih mulia daripada bersyukur oleh kekayaan. Aku takkan berpaling dari keutamaan miskin kepada apa pun.” 

Sungguh tiada larangan bagi guru besar untuk kaya, naik sedan termewah, tinggal di rumah paling megah, seperti halnya tiada larangan sama sekali bagi pejabat untuk menjadi orang yang pertama lapar saat rakyat menderita dan terakhir kenyang saat rakyat sejahtera. Tapi sejarah membuktikan bahwa yang paling abadi namanya adalah cendikiawan yang memilih hidup bersahaja, dan yang paling cemar namanya adalah pejabat yang memikirkan perut sendiri.

Dalam terang ungkapan itulah saya teringat pada motto hidup seorang guru “beser” (dosen yang sering ke kamar kecil), yang dia tulis di ruang tamu rumahnya dan diejawantahkan dalam hidupnya seperti pada judul tulisan ini. Artinya, kalau tidak salah, “Kesederhanaan adalah perlambang kesejatian.”

*Penulis adalah dosen Filsafat Islam di IAIN SMH Banten. Sumber: Radar Banten, 11 April 2007 



Suasana Seminar Internasional Perkembangan Sastra, Tasawuf, dan Filsafat Islam di Iran yang diselenggarakan di IAIN Maulana Hasanuddin Banten, 5 Maret 2014. 

2 komentar: