I
Senandung lupa pertemuan malam
Dengan dirinya, memisah di kamar
Meninggi musim hingga salju
Jatuh, hingga bertambah lapar
Dua kisah tak bertubuh
Rasuk-merasuk bau kehadirannya
"Sekira mati begini," bisik gelap
Di puncak nikmat, hingga ke subuh
Terbaring di dada malam. "Milikku seluruh,"
erang detik mengalir dalam ciuman,
kegemasan bibir meraba waktu
memadat jadi tubuh perempuan.
Meninggi musim hingga ke subuh
Jendela dibuka melihat salju jatuh
II
Adakah yang lebih indah
dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pinggulnya, penuh saran
Lalu paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusat segala.
Hitam pekat, siap menerima.
Dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!
III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!
Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas.
Kuserahkan pada binatang malam hari,
Nafsumu, semakin buas dan menjadi.
Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu?
Adakah lebih pemurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?
Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
Senandung lupa pertemuan malam
Dengan dirinya, memisah di kamar
Meninggi musim hingga salju
Jatuh, hingga bertambah lapar
Dua kisah tak bertubuh
Rasuk-merasuk bau kehadirannya
"Sekira mati begini," bisik gelap
Di puncak nikmat, hingga ke subuh
Terbaring di dada malam. "Milikku seluruh,"
erang detik mengalir dalam ciuman,
kegemasan bibir meraba waktu
memadat jadi tubuh perempuan.
Meninggi musim hingga ke subuh
Jendela dibuka melihat salju jatuh
II
Adakah yang lebih indah
dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pinggulnya, penuh saran
Lalu paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusat segala.
Hitam pekat, siap menerima.
Dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!
III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!
Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas.
Kuserahkan pada binatang malam hari,
Nafsumu, semakin buas dan menjadi.
Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu?
Adakah lebih pemurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?
Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
1955
Ilustrasi: Lukisan Sitor
Situmorang karya Affandi 1976, oil on canvas, 60
x 48 cm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar