Label

Sabtu, 16 Agustus 2014

Memadukan Islam, Ilmu dan Kesusastraan

“Paper Diskusi Buku Seelok Kupu-kupu 16 Agustus 2014 di Aula Pondok Darussalam Pipitan, Serang, Banten”

Membaca Buku Seelok Kupu-kupu
Oleh Sulaiman Djaya

Barangkali selama ini banyak dari kita yang memahami atau menganggap Islam hanya sebagai agama yang hanya berkenaan dengan hal-hal yang mahdhah (ritual ibadah) semata, yang dianggap tidak integral dan meremehkan yang ghayru mahdhah (seperti mu’amalah dan siyasah)? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang mencakup kesemua itu. Dalam hal inilah, salah seorang ulama dan filsuf Islam, yaitu Sayid Muhammad Baqir Shadr mengatakan:

“Sesungguhnya syarat utama kebangkitan ummat –ummat manapun- adalah hendaklah mereka memiliki ajaran atau prinsip yang benar yang menentukan baginya tujuan-tujuannya dan meletakkan prinsip-prinsip kejayaannya serta menggambarkan orientasinya dalam kehidupan. Sehingga ia berjalan dalam pelitanya dengan penuh optimisme dan sangat tenang dalam melaluinya, menuju cita-citanya yang mulia, sehingga tujuan-tujuan yang tercermin dalam ajaran tersebut melahirkan pemikiran yang cerah dan suasana spiritual yang baik. Dan yang saya maksud dengan adanya prinsip yang baik dalam ummat adalah: Pertama, adanya ajaran yang benar. Kedua, pemahaman ummat kepadanya. Dan Ketiga, keimanan mereka terhadapnya”(Lihat Syahid Muhammad Baqir Shadr, Syahadat Kedua, Pustaka Zahra 2003, hal. 23).

Sedikit-banyaknya curahan-curahan diaris yang sifatnya personal dan pribadi yang dituangkan oleh Dzu Hanin dalam sejumlah catatan fragmentaris dalam bukunya yang berjudul Seelok Kupu-kupu itu (Dar-insyirah, Sidoarjo 2014) merupakan cerminan kegelisahan pribadi seorang penulisnya sejauh menyangkut Islam yang dipahami dan dihayatinya secara subjektif: “Pacaran?! Ya, orang-orang begitu dengan hal itu terutama kaum muda-mudi yang sedang anget-angetnya menapaki masa keremajaan. Tapi ada juga di antara mereka yang menahan diri untuk tidak berkecimpung ke dalam hobi macam ini. Mereka ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang belum menikah, hendaklah mereka menjaga kesucian diri, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya (an Nuur: 33)” (Halaman 101).

Dengan catatan diarisnya yang sifatnya personal tersebut, si penulis rupa-rupanya berniat mengkritik dan menyindir kehidupan dan gaya hidup permissive generasi muda saat ini, yang menurut si penulis buku Seelok Kupu-kupu tidak sejalan dengan nilai dan ajaran Islam yang dipahami dan dihayatinya. Dalam konteks ini, saya teringat tulisan-tulisannya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari seputar isu dan tema tersebut, semisal seputar Hijab, di mana Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengkritik dan menganilisis secara kritis kehidupan modern yang acapkali “menggerus” spirit Islam yang hanif, sembari memberi solusi dengan perspektif yang Islami. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari pun menyatakan degan tegas:

“Tanpa adanya batasan hubungan antara pria dan wanita atau dengan pergaulan bebas tak terbatas, peningkatan serta tuntutan gairah dan rangsangan seksual menjadi tak terpadamkan dan tak akan pernah terpuaskan. Naluri seksual manusia itu sangat hebat, naluri yang mengakar begitu dalam, yang sama dengan kedalaman samudra yang tak dapat diukur. Walaupun orang mengira bahwa dengan menuruti nalurinya, dia akan mampu menjinakkannya, namun sifat pembangkannya akan terus berlanjut. Seperti api, lebih banyak bahan bakar ditambahkan kepadanya, bertambah besar kobarannya” (Lihat Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, Hijab Citra Wanita Terhormat, Pustaka Zahra 2003, hal. 23).

Dapatlah kita tangkap dan kita rasakan bersama, baik Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari maupun penulis buku Seelok Kupu-kupu memiliki konsen dan fokus yang sama, yaitu melakukan kritisisme terhadap budaya modern yang permissive, semisal “pacaran” dan “pergaulan bebas” yang gandrung dilakukan oleh generasi muda jaman ini. Secara pribadi pula, tentulah saya sengaja mengambil contoh dan eksemplar seputar pacaran dan pergaulan bebas yang dikritik Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari dan si penulis buku Seelok Kupu-kupu, karena menurut saya soal ini yang sangat kontekstual dalam kehidupan dan fenomena pergaulan remaja dan generasi muda/i kita saat ini, yang tak hanya di kota-kota, tapi juga sudah jamak merambah dan dilakukan di desa-desa dan di kampung-kampung.

Catatan diaris lain si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berhasil mengajak minat saya adalah sajak diarisnya yang berjudul Ilmu (yang tentulah juga masih berkaitan dengan fokus dan konsen orang-orang muda): “Ilmu adalah teman di kala safar, adalah kekasih di kala sepi. Adalah penyelamat di kala berbicara, adalah pengindah di kala bertingkah”(Halaman 160). Membaca sajak diaris si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berjudul Ilmu tersebut, saya teringat nasehat dan anjurannya Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tentang posisi penting ilmu (serta akal) dan menuntut ilmu itu. Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata:

“Ilmu dan pengetahuan adalah akar segala kebaikan. Ilmu adalah warisaan Rasullulah, sedang harta adalah warisan Firaun. Sebab itu ilmu lebih baik dari harta. Engkau harus menjaga hartamu, sedang ilmu menjagamu. Jadi, ilmu lebih utama. Seseorang yang berharta mempunyai banyak musuh, sedang orang yang berilmu mempunyai banyak kawan. Karenanya ilmu lebih bernilai. Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu akan berkembang bila dibagi-bagikan, sedang harta akan susut bila dibagi-bagikan. Ilmu lebih baik sebab orang yang berilmu cenderung untuk menjadi dermawan, sedang orang berharta cenderung untuk menjadi kikir dan pelit. Ilmu lebih aman karena dia tidak dapat dicuri, sedang harta dapat dicuri. Ilmu lebih tahan lama karena tidak rusak oleh waktu atau sebab dipakai, sedang harta bisa rusak. Ilmu lebih bernilai karena tanpa batas, sedang harta terbatas dan bisa dihitung. Ilmu lebih bermutu karena dia dapat menerangi pikiran, sedang harta cenderung untuk membuat pikiran tidak fokus. Ilmu lebih utama karena dia mengajak manusia untuk mengabdi kepada Tuhan mengingat makhluk-Nya yang lemah dan terbatas, sedang harta mendorong manusia menganggap dirinya sebagai Tuhan dengan memandang rendah orang-orang yang lebih miskin darinya. Kekayaan yang paling besar adalah akal. Akal (kecerdasan) tampak melalui pergaulan, sedangkan kejahatan seseorang diketahui ketika dia berkuasa. Akal adalah raja, sedangkan tabiat adalah rakyatnya. Jika akal lemah untuk mengatur tabiat itu, maka akan timbul kecacatan padanya. Akal lebih diutamakan daripada hawa nafsu karena akal menjadikanmu sebagai pemilik zaman, sedangkan hawa nafsu memperbudakmu untuk zaman. Makanan pokok tubuh adalah makanan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah. Maka, kapan saja hilang salah satu dari keduanya makanan pokoknya, binasalah ia dan lenyap. Duduklah bersama orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan akal. Tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal” (Ghurar al Hikam dan Nahjul Balaghah).   

Juga mengingatkan saya pada anjuran dan nasehatnya Imam Ja’far as Shadiq RA: “Ilmu adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan” (Shahifah as Shadiqiyyah). Serta mengingatkan saya kepada nasehatnya Imam Muhammad al Jawad RA: “Hendaklah kamu menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu wajib. Mengkajinya adalah sunnah. Ilmu adalah tali persaudaran antar sesama saudara. Adalah bukti atas keksatriaan. Adalah mutiara di majelis-majelis. Teman dalam bepergian dan hiburan dalam keterasingan. Ilmu dua macam: dicatat dan didengar. Tidak bermanfaat ilmu yang didengar jika tidak dicatat. Siapa yang mengenal hikmah takkan sabar atas bertambahnya. Keindahan terletak pada lisan dan kesempurnaan terletak pada akal. Sesungguhnya anak Adam mirip sekali dengan timbangan, berat dengan ilmu—dengan akal—atau ringan karena kebodohan. Seandainya orang bodoh diam, umat tidak akan berselisih”.

Akhir kata, karena saya tak ingin menutup bagi para pembaca untuk membaca sendiri buku Seelok Kupu-kupu yang ditulis Dzu Hanin ini, saya hanya ingin menyarankan kepada generasi muda, terutama anak-anak sekolah menengah pertama dan menengah atas, “Anda semua akan menemukan kawan dialog dan curhat ketika Anda membaca dan membuka lembar-lembar buku ini”. Selamat membaca! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar