Banten Raya 11 Mei
2013
Oleh Sulaiman Djaya
Kami duduk berdua di
bangku halaman rumahnya. Pohon jambu di halaman rumah itu berbuah dengan
lebatnya, dan kami senang memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang
berguguran. Tiba-tiba ia bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas
terbuka?” Aku hanya tertawa. Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti
menutup bajuku. Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori
rambutnya (Episode, Wahyu
Sulaiman Rendra). Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran, setelah
hak asasi di negara miskin ditekan demi kejayaan negara maju, bagaimanakah
wajah kemanusiaan? Di jalan orang dibius keajaiban iklan, di rumah ia tegang,
marah dan berdusta. Impian mengganti perencanaan. Penataran mengganti
penyadaran
(Sajak Tahun Baru 1990, Wahyu Sulaiman Rendra).
Saya membaca karya-karya
Rendra ketika saya menjadi mahasiswa di Ciputat, terutama Empat Kumpulan
Sajak, Potret Puisi dalam Pembangunan, Orang-Orang
Rangkasbitung, dan Balada Orang-Orang Tercinta. Sejumlah
sajak yang bagi saya lebih merupakan protest terhadap rezim kekuasaan yang suka
membuat daftar larangan, dan secara bersamaan, adalah vitalitas suara yang
mengekspressikan pembelaan-pembelaan untuk orang-orang pinggiran yang selama
masa paling produktif kepenyairan Rendra paling banyak merasakan efek samping
eksekusi kebijakan. Yang lainnya adalah sejumlah penolakan terhadap sikap
politik dan kebijakan ekonomi pem-beo-an. Dan Rendra bagi saya adalah vitalitas
dan perlawanan itu sendiri.
Tapi
tentu tidak sebatas itu saja, sebab Rendra adalah seorang penyair yang memiliki
kepekaan sekaligus kepedulian luar biasa pada kenyataan-kenyataan palsu, sikap
dan tingkah-polah pem-beo-an, pembodohan dan politik pengekangan sekaligus
pengekangan politik dalam institusi-institusi sosial, birokrasi, dan
pendidikan, pem-beo-an dan pembodohan yang menurut Rendra merupakan salah satu
penyebab matinya kreativitas dan kemandirian: Orang hanya bisa digerakkan,
tapi kehilangan daya geraknya sendiri. Ia hanyalah babi ternak yang asing
terhadap hidupnya sendiri. Rakyat menjadi bodoh tanpa opini. Di sekolah murid
diajar menghafal, berdengung seperti lebah, lalu akhirnya menjadi sarjana
menganggur. Di rumah ibadah orang nerocos menghafal, dan di kampung menjadi
pembenci yang tangkas membunuh dan membakar. Para birokrat sakit tekanan darah,
sibuk menghafal dan menjadi radio. Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan?
Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganya? Peradaban
penumpukan tak bisa dipertahankan (Sajak Tahun Baru 1990).
Sajak-sajak Rendra adalah
suara-suara yang datang dan disuarakan kembali dari latar keseharian dan
kenyataan-kenyataan sosial politik Indonesia di masa-masa ia menjalani hidup
kepenyairannya yang kadang riang dan kadang menyakitkan. Terlepas apakah isi
dan isu protest yang disuarakan Rendra tersebut masih relevan atau tidak untuk
saat ini, bagi saya yang menjadi identitas kepenyairan Rendra sekaligus yang
mungkin menjadi contoh teladan pada dirinya adalah spirit dan vitalitasnya
dalam membela orang-orang pinggiran dan protest lantangnya pada setiap
kepalsuan dan penyimpangan politik dan birokrasi. Kadang juga ada kesan dan
pencerapan saya sendiri bahwa Rendra juga mengejek secara halus para penyair
yang merasa nyaman di menara gading estetika kepenulisan mereka: Isolasi
hanya menghasilkan kesendirian tanpa keheningan. Luka orang lain adalah lukamu
juga. Juga ejekan kepada mereka yang selama ini mengorbankan bangsanya
sendiri: Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut
diburu dendam? Apa artinya tumpukan kekayaan bila bau busuk kemiskinan
menerobos jendela kamar tidurmu? (Sajak Tahun Baru 1990).
Di kalangan para penyair
sejamannya, Rendra bagi saya adalah seorang penyair-demonstran yang efek
sajak-sajaknya mampu memotivasi dan membangkitkan gerakan-gerakan protest kaum
muda dan mahasiswa. Ia adalah inspirator yang terjun langsung di lapangan,
bukan seorang inspirator yang bersuara dari dalam kamar. Ia liar seperti
Leopard, tangkas dan percaya diri seperti Elang, dan tentu saja romantis ala
ningrat dan pangeran Jawa. Dan di atas semuanya itu, Rendra bagi saya adalah
seubuah wawasan, sebuah sikap dan cara pandang seorang manusia dalam hidup.
Bahwa kepenyairan adalah komitmen dan kepedulian pada kenyataan dan keseharian
hidup itu sendiri. Tentang keberanian untuk bersuara keras dan terus terang
atas nama orang-orang yang “dipinggirkan” dan “terpinggirkan”, atas nama
kejujuran untuk mengkritik dan menolak korupsi dan penyimpangan-penyimpangan
yang merugikan dan membuat orang banyak menanggung penderitaan.
Dan juga, masih dalam
apresiasi subjektif saya, dualitas protest-kritiknya atas dan terhadap
mentalitas dan politik bangsa ini menjadikan sajak-sajaknya sebagai suara-suara
protest dan kritik yang adil dan imbang. Ia mengkritik dan memprotest
pembangunanisme yang berubah menjadi kesemena-menaan dan pembodohanisme
sekaligus dan bersamaan. Dan pada saat itu pula ia mengkritik mentalitas
kemalasan, mudah menyerah, dan sikap tak mau berjuang terhadap dan atas
orang-orang yang taat begitu saja pada mesin “kepatuhan rezim kekuasaan” yang
koruptif dan menyimpang, kritik yang disuarakannya dengan lembut dan halus,
dengan modus satir tersembunyi melalui mulut seseorang yang berdoa: Lindungilah
mereka dari kesabaran yang menjelma menjadi kelesuan, dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita..../....Lindungilah mereka dari berhala janji-janji,
dari hiburan yang dikeramatkan, dari iklan yang dimythoskan, dan dari sikap
mata gelap yang diserap tulang kosong (Doa untuk Anak Cucu).
Tetapi tentu saja saya
merasa hambar dan tidak lengkap bila saya hanya mengungkapkan kesan pecerapan
saya atas sajak-sajak kritik dan protestnya. Karena bagaimana pun saya tak bisa
melupakan sentuhan lembut lirisisme sajak-sajak di masa mudanya yang romantis,
layaknya lantunan-lantunan mazmur, seperti ketika saya membaca sajaknya yang
berjudul Episode: Kami duduk berdua di bangku halaman rumahnya. Pohon
jambu di halaman rumah itu berbuah dengan lebatnya, dan kami senang
memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang berguguran. Tiba-tiba ia
bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?” Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti menutup bajuku. Sementara itu aku
bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya.
Deskripsi dan pelukisan
detil tubuh, gerak, dan kata-kata dalam sajak tersebut membuat saya seolah-olah
tengah menonton sebuah adegan film drama-romantis yang bercerita tentang
sepasang kekasih yang duduk berduaan di dipan sebuah taman depan rumah si
perempuan. Dan Rendra memang mahir melukiskan detil, suasana, dan kiasan yang
indah dan padat dalam sajak-sajaknya. Kepadatan kiasan, detil, dan suasana yang
juga dicontohkannya dengan baik dan kuat dalam sajak yang berjudul Episode
itu. Setelah membaca sajak tersebut saya seolah telah menonton sebuah sandiwara
ala Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare yang kemudian membuat saya
berkhayal tentang hal-hal yang romantis dan mesra dengan seorang perempuan,
seorang mahasiswi ketika itu. Sebuah adegan yang intim dan menyentuh perasaan
saya sendiri ketika membacanya. Dan tentu saja sajak tersebut terasa kontras
dengan sajak-sajak kritik dan protestnya yang lantang, sinis, sarkastis, dan
mengandung amarah. Tapi meski begitu, saya harus mengakui bahwa yang romantis
dan yang sarkastis tersebut adalah sama-sama bahasa dan kata-kata
sajak-sajaknya Wahyu Sulaiman Rendra, seorang penyair dan dramawan yang dulu
bernama Willi(y)brodus Surendra Rendra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar