Label

Selasa, 05 Februari 2019

Pematang Senjakala (1) oleh Sulaiman Djaya


Namaku Ali Sumadinata. Nama depanku sama dengan nama dua kakekku dari pihak ibu dan bapakku: Ali. Jika misalnya aku ditanya: Apakah kau bahagia? Kujawab: Ya, tentu saja! Karena bagiku kebahagiaan tak semata ketika seseorang selalu hidup dalam kesenangan. Sebaliknya, keberhasilan seseorang untuk bangkit dari kesulitan dan kesempitan dan berjuang dalam kesukaran hidup itulah yang membuatnya bahagia. Apa yang kusebut karena ia telah berhasil dan sanggup melakukan tindakan bermakna yang membuatnya merasa menjadi manusia yang bebas dan merdeka.

Sempat terpikir juga olehku mungkin saja orang-orang yang selama ini menjalani kehidupan bersahaja sebagai para petani lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka ketimbang orang-orang kota yang dalam keseharian mereka diatur oleh jadwal, sehingga mereka seperti mesin yang tak bebas: menjadi manusia birokratis yang gerak tubuh, hati dan pikirannya dikendalikan oleh aturan dan jadwal. Hidup dalam mekanisme masyarakat budak yang telah menjadi bagian-bagian dari mesin itu sendiri.

Orang-orang bersahaja seperti para petani itu menurutku lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah. Sikap dan tindakan orang-orang desa juga lebih menunjukkan solidaritas ketimbang orang-orang kota yang sangat individualis, justru karena rasionalisme instrumental atau rasionalitas pragmatis mereka yang mereka dapatkan dari pendidikan dan kehidupan modern mereka.

Barangkali, kebahagiaan yang kupahami itu mendapatkan pembelaannya ketika membaca satu di antara puisi-puisinya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.

Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu…”

Ibuku sendiri seorang perempuan yang dicintai oleh orang-orang di kampungku, terutama oleh kaum perempuan. Dan setelah ia wafat di tahun 2011 silam, penghormatan orang-orang kampung, kaum perempuan yang mengenal ibuku itu beralih kepadaku. Barangkali karena mereka tahu bahwa yang seringkali bersamanya saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.

Ia adalah tipe perempuan yang hanya akan keluar rumah jika ada keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan dapur dan untuk mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia sempat mengajar ngaji beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan harus mengoptimalkan keluarga dan harus istirahat sebab telah banyak bekerja, seperti menganyam daun-daun pandan atau mengurus tanaman yang ditanamnya.

Di masa-masa sulit, ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya kepada ibuku apakah kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena itulah aku seringkali membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan, yang berkat kerjaku membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu (di mana sekarung gabah yang kubawa itu ditaruh di bagian tengah badan sepeda) kami mendapatkan beberapa liter beras sebagai upah.

Di masa-masa panen, ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak kami untuk turut memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu ikut dengan ibuku. Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah (mendapatkan 1/4 bagian), sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di sawah-sawah mereka, sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi mereka. Begitulah cara orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika adik-adikku belum lahir.

Sementara itu, di masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi kembali, ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga Rosella, yang kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk membeli bahan-bahan pangan yang ditanam dan dirawat ibuku.

Dari penjualan kacang, kacang panjang, kangkung, dan Rosella (yang diolah menjadi kopi oleh ibuku dan kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai sekolahku dan sekolah kakak perempuanku. Jika aku lebih dekat dan lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku lah yang dapat kukatakan sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku.

Selain menanam sejumlah sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak, seperti memelihara ayam dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada orang-orang yang lewat yang hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar. Ternak-ternak kami itu terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari besar keagamaan, atau bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta pernikahan anak mereka atau mengkhitankan anak mereka.

Dan aku pula yang seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila mereka kebetulan sedang dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak membelinya tanpa diduga. Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih banyak dihabiskan dengan ibuku –selain ibuku juga-lah orang pertama yang mengajariku membaca dan mengaji Al-Quran di saat aku masih kanak-kanak. 

Aku pun masih ingat, suatu ketika, di tengah perjalanan pulang sekolah, hujan lebat tiba-tiba turun bersama hembusan anginnya yang segera memintal dingin, dan aku berteduh di bawah naungan ranting-ranting, dahan-dahan, dan daun-daun sepohon rindang di tepi jalan, sebuah jalan yang bergandengan dengan sungai. Sebuah sungai yang mengairi sawah-sawah kami, orang-orang desa.

Memang, selama separuh perjalananku pulang sekolah itu, langit tampak mendung, dan kupikir hujan baru akan turun sesampainya aku di rumah, sebuah praduga dan perkiraan sepihak yang sungguh keliru dan kusesali. Maklum, kala itu akau ingin segera pulang ke rumah, entah karena alasan apa. Malangnya aku. Hujan itu ternyata berlangsung cukup lama, sekira setengah jam. Dan saat itulah aku dirundung kesepian dan ketakutan seorang lelaki remaja.

Tak ada kendaraan atau orang yang melintas selama hujan lebat itu turun dan tercurah cukup deras dan riuh dengan anginnya yang segera menambah rasa dingin tubuhku yang basah dan menggigil, sehingga gigiku bergemeretak. Saat itulah aku serasa tengah berada di dalam dunia yang sangat sunyi. Barangkali pada saat itu pula hatiku berdo’a.

Barangkali pada saat itu pula aku sadar, meski masih seorang lelaki remaja, bahwa manusia ternyata harus bersabar dan berdo’a ketika kejadian dan peristiwa yang tak menyenangkan menimpanya. Bahkan, dan tentu saja ini pandangan moralisku setelah menjadi lelaki dewasa, kebahagiaan yang kita alami dan kita rasakan akan lebih bermakna setelah kita mengalami dan merasakan penderitaan.

Setelah hujan lebat itu reda, aku menggerakkan dan melangkahkan kedua kakiku dalam keadaan tubuh menggigil kedinginan, dan gigi-gigiku sesekali masih bergemeretak. Untungnya kala itu, ada mobil truck pengangkut pasir melintas, dan aku dibolehkan duduk menumpang di kursi sopir dan temannya, dan itulah berkah yang tak kuduga pula. Betapa senangnya aku ketika aku dibolehkan menumpang, karena tentu saja aku akan merasa lelah sekali jika harus berjalan kaki dalam keadaan tubuh basah kuyup dan dihantam dingin yang membuat tubuhku menggigil dan gigi-gigiku bergemeretak.

Sesampainya di rumah, aku segera melepaskan baju seragam sekolahku dan langsung kuserahkan kepada ibuku, dan ibuku menjemur baju seragam sekolahku itu di dapur, di sebatang bambu yang melintang di atas dapur agar cepat kering dengan bantuan suhu dapur bila ibuku memasak dengan menggunakan kayu bakar di tungku-tungku dapur, karena keesokan harinya aku harus mengenakan baju seragam sekolahku tersebut.

Ketika itu rumah kami yang sederhana hanya berlantai tanah, tanpa semen atau keramik seperti saat ini (seperti saat aku menulis catatan ini). Di lantai tanah itulah kami akan menggelar tikar pandan yang dibuat oleh ibuku bila kami akan tidur, atau untuk keperluan-keperluan lainnya seperti ketika makan dan menyambut tamu-tamu yang datang ke rumah.

Sementara itu, kebutuhan makan kami sehari-hari telah disediakan oleh apa saja yang kami tanam, seperti sayur-sayuran yang kami tanam, semisal bayam, kangkung, kacang, tomat, cabe rawit, dan lain sebagainya, di mana ibuku seringkali membuat menu makanan seperti sambal dari cabe rawit, tomat, garam yang dibeli dari warung, dan kulit buah Rosella berwarna merah yang ditanam ibuku, sehingga dengan kulit Rosella itulah sambal yang dibuat ibuku lebih banyak dibanding bila tidak ditambah dengan kulit merah buah Rosella.

Dalam setiap waktu makan, ibuku akan selalu membuat atau memasak sayur dari bayam atau kangkung yang dicampur bawang yang ditanam sendiri dan garam yang dibeli dari warung. Kalau pun sesekali kami makan lauk, paling-paling ikan asin, tahu, dan tempe yang dibeli dari pedagang keliling yang menggunakan sepeda.


Keberuntungan lainnya, sesampainya di rumah setelah diguyur hujan lebat itu, adalah ketika buku-buku catatan sekolahku tidak ikut basah karena kubawa dan kubungkus dengan kantong plastik. Ide untuk menggunakan kantong plastik yang agak tebal dan cukup besar untuk buku-buku itu berasal dari ibuku, dan terbukti lebih hebat dibandingkan teman-temanku yang menggunakan tas yang tembus air, hingga buku-buku mereka basah bila mereka kehujanan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar