Oleh
Korrie Layun Rampan (Pengulas Sastra Indonesia)
Apakah sastra Indonesia
itu? Siapakah sastra Indonesia itu? Di manakah sastra Indonesia itu? Apakah
rumah sastra Indonesia itu? Mau apa sastra Indonesia itu? Hendak ke mana sastra
Indonesia itu? Saya tidak akan menjawab pertanyaan saya sendiri. Saya akan
menelusuri sastra Indonesia mutakhir dalam konteks arah atau kecenderungannya
pada masa akhir-akhir ini dan masa akan datang. Diakui, sastra futurisme pun
juga tidak akan mungkin meramalkan kemana sesungguhnya arah sastra suatu
komunitas, suatu etnik, atau sastra suatu bangsa.
Sebagaimana diketahui
bersama, sastra Indonesia lahir pada tahun 1920, saat Muhammad Yamin menulis
sajak “Tanah Air” di majalah lokal kebangsaan Jong Sumatera. Secara estafet
sajak modern itu ditulis oleh Amir Hamzah (Pujangga Baru), Chairil Anwar
(Angkatan 45), Subagio Sastrwowardoyo, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono,
Goenawan Mohamad (Angkatan 66), F. Rahardi, Linus Suryadi AG, Emha Ainun
Nadjib, Eka Budianta (Angkatan 80) dan Afrizal Malna, Seno Gumira Adjidarma,
Kriapur, Ayu Utami, Dee, Ahmadun Yosi Herfanda, Nirwan Dewanto, M. Fadjroel
Rachman, H.U. Mardi Luhung, Evi Idawati, Laksmi Pamuntjak (Angkatan 2000). Para
sastrawan ini telah meninggalkan jejak dalam perjalanan panjang sastra modern
Indonesia (1900-2015).
Jejak apakah yang telah
ditinggalkan para sastrawan itu dalam sastra Indonesia? Secara sederhana dapat
dirumuskan beberapa hal penting dari kehadiran para sastrawan ini dalam
perjalanan panjang sastra modern Indonesia. Dimulai dari Muhammad Yamin,
melahirkan genre baru dalam sastra Indonesia. Muhammad Yamin, pelahir genre
sastra puisi Indonesia modern. Dengan demikian, dia telah memulai bentuk baru
yang berbeda dari bentuk-bentuk puisi tradisional.
Amir Hamzah merevolusikan
bahasa dengan menggunakan bahasa baru yang berbeda dari bahasa pantun, syair,
gurindam, hikayat, riwayat dan berbagai jenis sastra lama. Di tangan Amir
Hamzah, bahasa menjadi dinamik, bercahaya, lentur dan baru. Dengan bahasa
itu dia menulis segala persoalan kejiwaan dan hidup percintaan maupun
kekhusukkan di dalam iman percaya kepada Tuhan. Sajak-sajak Amir Hamzah
memerdekakan bahasanya dari determinasi ruang lama dan kuno yang membelenggu,
dengan berbagai aturan yang mereduksi kreativitas.
Kehadiran Chairil Anwar,
membawa bentukan puisi melampaui Pujangga Baru yang melahirkan Belenggu;
membawa suasana dan situasi paling dinamik dalam sastra Indonesia modern.
Chairil merupakan pembaharu sejati dan peletak dasar sastra puisi paling
berkualitas. Sajak-sajaknya mencirikan perlompatannya dari puisi lisan menjadi
puisi tulisan; dan dari sastra bisu dengan tendensnya yang luas ke sastra
memberontak terhadap realitas indivindu, masyarakat luas, bangsa dan negara.
Sajak-sajaknya sensitif, meninggalkan sastra massal ke sastra keseorang yang
mengandung nilai-nilai universal. Dengan sajak-sajak yang demikian. dia muncul
sebagai individu dengan individualitas yang sangat kuat; sebagai pembaharau
yang memasukkan genre puisi Indonesia ke dalam rumah puisi dunia.
Idrus membawa cara baru
penulisan cerpen yang bersifat sketsais. Seperti diketahui, sketsa adalah
orat-oret atau lukisan yang belum selesai. Dengan demikian, fiksi-fiksi Idrus
merupakan ciptaan yang memiliki sifat sketsais. Secara metafora menunjukkan perlambangan
masyarakat Indonesia yang sedang berada di tengah transisi menjadi bangsa.
Fiksi-fiksi itu -termasuk drama- menunjukkan arah fiksi cerpen. Memperlihatkan
unsur karya yang belum menjadi, disamping jenis cerita Armijn Pane yang
berunsur ilmiah dan aliran yang dibawa Hamka sebagai aliran cerpen
kemasyarakatan.
Sitor Situmorang
mengangkat bentuk baru dalam puisi, cerpen, dan drama pada generasi Angkatan
45. Penggunaan bahasanya yang plastis, sangat dekat dengan Amir Hamzah dan
penggunaan ide-ide pikiran dalam sintaksis yang memikir. Dia dekat dengan
Chairil Anwar. Sitor menggunakan berbagai perangkat bentuk dan isi, untuk
mencapai ide-ide jenial tentang bentuk, tema dan pikiran. Di antara sajaknya
yang sangat individual dan merupakan tema romantisme seks paling indah dalam
sastra Indonesia. Dapat dilihat dalam sajaknya “La Ronde II”, seperti dikutip
berikut ini.
Sitor Situmorang
LA RONDE
II
Adakah yang lebih indah
dari bibir merekah?
Adakah yang lebih manis
dari gelap di bayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti
bahu?
Tapi rambutnya menuntun
tangan
hingga pinggulnya, penuh
saran.
Lalu paha, pualam pahatan
mendukung lengkung perut
Berkisar di pusat, lalu
surut
agak bawah, ke pusar
segala
Hitam pekat, siap menerima
dugaan indah.
Ah, dada yang lembut
menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!
Beberapa novel
Mochtar Lubis mengambil tema psikologi, kemasyarakatan, sosiologi dan dunia
perang. Fiksi-fiksi sastrawan ini sangat kuat dan memiliki nilai kesejarahan
dan nuansa politik seperti cerpen ”Nasionalis Nomor Satu” dan “Kuli Kontrak”.
Cerpen-cerpen ini menjadi penanda dan bukti sejarah perjuangan bangsa dan
upaya-upaya selanjutnya dalam mempertahankan kemerdekaan dan harkat bangsa.
Iwan Simatupang merupakan
novelis dan cerpenis yang membawa perubahan baru dan pembaruan dalam sastra
modern Indonesia. Kumpulan cerpennya Tegak Lurus dengan Langit dan novel
Merahnya Merah, Ziarah dan Kering telah menampakkan pembaruan dalam hal
struktur dan pemikiran. Iwan memperlihatkan fiksi modern yang berkelindan dalam
interour monolog yang menekankan arus kasadaran. Tokoh-tokoh Iwan lebih berupa
jelmaan manusia filsafati yang terbimbing dalam aliran eksistensialisme.
Dengan membawa tokoh-tokohnya
eksis dalam ranah kehidupan tumpah darahnya sendiri. Umar Kayam, Ahmad Tohari,
Linus Suryadi AG dan Korrie Layun Rampan membawa tokoh-tokoh kisah mereka ke
ranah nenek-moyang yang menentukan trah dan keberhasilan di dalam lakuan
perjuangan sehari-hari.
Umar Kayam memberhasilkan
tokoh-tokohnya di dalam kerja keras upaya menjadi diri mereka priyayi jelata
-bukan priyayi darah biru- sehingga mereka menjadi contoh yang nyata dari
perjuangan kemanusiaan. Ahmad Tohari membawa tokohnya berjuang di dunia
kebudayaan dengan membuka diri seluas-luasnya untuk landas tumpu budaya rakyat
kecil yang menjadi gantungan kehidupan. Linus Suryadi memperlihatkan budaya
bedinde (pembantu) -yang membantu luar dalam- sebagai bagian dari budaya daerah
yang hidup dengan realitas yang memungkinkan masyarakatnya bereksistensi.
Dalam realitas budaya
Jawa, anak dari hasil hubungan gelap - kaum bangsawan dengan gadis dari rakyat
jelata, diakui sebagai anak turunan kaum bangsawan, tetapi sang Ibu tetap
berada di luar garis. Korrie Layun Rampan dengan kisah-kisah esoterik dari
dunia Dayak, membawa pembaca kepada realitas keisolasian masyarakat pedalaman
terhadap dunia modern, dunia kemajuan. Mereka tetap saja terjelungkap di dalam
dunia yang jauh tertinggal di luar lingkaran realitas dunia global yang sudah
mencapai bulan.
Berbagai pikiran dan
bentuk ucap dari para sastrawan yang menjalani estafet dalam angkatan sastra
selanjutnya seperti yang dilakukan Iman Budhi Santosa dan Kusnin Asa. Menulis
tentang sepi -dan kehidupan yang ada di dalamnya- dan Emha Ainun Nadjib yang
mengestafeti keindahan nuansa religius sufi, kemudian mencirikan
sajak-sajak sufistik. Sajak-sajaknya yang mencirikan hal demikian terasa sangat
indah dan menjadi bagian penting perjalanan sastra Indonesia kiwari seperti
dapat dirasakan dari kutipan berikut ini.
Emha Ainun Nadjib
TIDUR HANYA PADA-MU
Tidur hanya bisa pada-Mu
Ketika larut badan tak
menggoda
Sudah khatam segala tangis
rindu
Tinggal jiwa kusut dan
sebuah lagu
Jiwa terjajah luka
Bersujud sepanjang masa
Di peradaban yang sakit
jiwa
Hanya bisa kupeluk guling
rahasia
Tidur hanya bisa pada-Mu
Ya, kekasih, tidur hanya
bisa pada-Mu
Kalau tak Kau eluskan
tangan
Bangunku tetap saja ke
dunia
Sejak semua telah
kuikrarkan
Cuma Engkau sajalah yang
kudambakan
Dengan sangat kumohonkan
tidur abadi
Agar kumasuki bangun yang
sejati
1986
Novel-novel Seno Gumira
Ajidarma (Naga Bumi I-II yang sangat tebal), Ayu Utami, Dee, M. Fadjroel
Rachman, Djenar Maesa Ayu, Lan Fang, Cok Sawitri dan lain-lain
memperlihatkan penjelajahan estetik yang sangat luas dengan intensitas cerita,
menjangkau ke berbagai dunia baru yang spektakuler. Karya-karya ini memasuki
era baru dan wilayah baru yang menjadi pertaruhan perkembangan dan pengembangan
sastra modern Indonesia.
Cerpen-cerpen Seno Gumira
Ajidarma dalam Saksi Mata; cerpen-cerpen Joni Ariadinata dalam Kastil Angin
Menderu; cerpen-cerpen Lan Fang dalam Yang Liu dan lain-lain. Cerpen-cerpen
Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Saya Monyet, Saia dan lain-lain.
Cerpen-cerpen Dee dalam Filosofi Kopi; cerpen-cerpen Khairul Jasmi dalam Ketika
Jenderal Pulang. Cerpen-cerpen Rama Dira dalam Kucing Kyoko, dan lain-lain
-jumlahnya puluhan- menunjukkan makin berkembangnya cerpen sebagai genre
sastra, setelah Muhammad Kasim dan Suman Hs. menulis cerpen-cerpen anekdot.
Sastra modern Indonesia
diperkaya oleh hadirnya penyair, dramawan, esais, cerpenis, kritikus sastra dan
novelis, menunjukkan kualitas mengagumkan. Nama-nama seperti Darman Moenir,
Juniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Wendoko, Tia Setiadi,
Micky Hidayat, Jamal T. Suryanata, Mahmud Jauhari Ali, Burhanuddin Soebely, Gus
tf, Ratih Kumala, Oka Rusmini, Isbedy Styawan ZS., Cecep Syamsul Hari, Jamal
D. Rahman, Triyanto Triwikromo, Evi Idawati, Cicilia Anggraini Oday, Agus
R. Sarjono, Theresia Ratu Angin, Hermiyana, Arif B. Prasetyo, Ma’mur Saadie,
Kinanthi Anggraini, Shantined, Cok Sawitri, Amien Wangsitalaja, Fakhrunnas MA
Jabbar, Sulaiman Djaya, Hasan
Al-Banna, Tomy Tamara, Benazir Nafilah, Wirja Taufan, Budhi Setyawan, Iverdixon
Tinungki, Pitres Sombowadila, Syaifuddin Gani, Abidah El-Qalieqy, Ulfatin Ch.,
Nenen Lilies A., Irianto Ibrahim, Juwairiyah Mawardy, Chen Chen, M. Fauzi,
Saifun Arif Kojeh, Ahmad David Khollillurrahman, Yusran Arifin, Raedu Basha,
Khoer Jurzani, Fandi Kachonk, A’yat Khalili, Fitri Yani dan ratusan nama yang
mengisi antologi Angkatan 2000 dalam Puisi Indonesia. Di antara mereka, berikut
ini dikutip puisi Vinca Dia Kathartika Pasaribu (lahir 1996) dan Laksmi
Pamuntjak (Pamuntjak, Amba: 2012: 75). Sebagai contoh bentuk ucap, imaji dan
metafor puisi dan daya bayang, pilihan kata, dan sintaksis novel
Indonesia mutakhir.
Vinca Dia Kathartika
Pasaribu
SETANGKAI
Aku setangkai sunyi
mengamini mekar janji
Di muara kelam malam
Debu gemintang berjajar
pada lusuh kerinduan
Rindu nyanyi diri
Rindu tenang hati
Rindu yang membuncah
laksana mata samudera
Aku setangkai perih yang
tiap malam turut berbaris
Memikul tandu-tandu luka,
menghantarnya ke larut doa
Satu per satu anyir yang
menganga disemayamkan dalam keranda raga
Di telapak tanganku, dupa
kutuk menyala
Getir aroma kepasrahan
Pasrah terbakar diri
Pasrah tertawan hati.
20-12-2012
Horison/Kakilangit, 9/210, Th. XLVIII, September 2013
"Kau tak perlu
bercerita,” bisik Samuel, “apabila kau belum siap.”
Perempuan itu memang tak
hendak berbagi tentang kematian Bhisma: setidaknya bukan sekarang. Ada padanya
yang ingin kembali ke awal mula: ke sebuah masa kecil di mana dunia hadir
sebagai sesuatu yang tak diketahui, sebagai mulut-mulut yang belum
bertutur-kisah, sebagai tubuh-tubuh yang belum mengenal haus dan lapar.
Bagaimana ia bermula, bagaimana Amba dan Bhisma bermula. Surat-surat itu: ah,
surat-surat itu. Surat-surat yang telah bertahun-tahun terkubur bersama darah,
tanah dan air. Tanah air, tumpah darahku. Seperti apa rasanya membaca
surat-surat yang ditulis untukmu beberapa tahun lampau, ketika dia bukan dia,
kamu bukan kamu, ketika dia belum mati, dan kamu adalah kamu yang lain?
Apa hak Samuel untuk
berpikir tentang ke-kamu-an seorang Amba dan Bhisma, ketika semakin lama dia
semakin tak mengenali dirinya sendiri? Ketika lidahnya semakin kelu dan
kata-katanya tinggal satu: maaf? Maaf sebab aku terlaklu bodoh untuk menjadi
berguna. Maaf sebab akun tak sanggup meringankan peneritaanmu. Maaf sebab aku
tak punya nama untuk kepedihanmu dan sebab setiap kali aku menatapi wajahmu,
aku melakukan sesuatu yang tak patut.
“Maafkan aku,” kata Samuel
sambil menyentuh tangan perempuan itu, “kau tahu kau tak perlu berbagi apa pun
dengan aku.”
“Jangan minta maaf,” sahut
Amba. “Tak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini, Samuel, daripada permintaan
maaf yang tak ada tempatnya.”
Semuel tak bersuara.
Perempuan itu berkata,
“Aku ingin ingat ke masa sebelum aku punya rasa gentar.”
Nah!
Ke arah manakah kecenderungan
sastra modern Indonesia terkini? Jawabannya sangat sederhana, yaitu:
1. Produktivitas. Tren
sastra Indonesia mutakhir haruslah berorientasi kepada prodiktivitas -semua
yang menyebut dirinya sastrawan harus produktif- dan dari situlah dapat dilihat
arah yang sebenarnya. Produktivitas itu akan tampak dalam produksi: sastra
anak, sastra remaja, sastra pop dan sastra serius. Semua bidang itu tak boleh
dinafikan -karena memiliki wilayah otonominya sendiri-sendiri- Di dalam semua
itulah kita dapat melihat arah sastra yang sebenarnya. Ke manakah sastra itu
menuju?
2. Inovasi. Tak ada sastra
yang menunjang kehidupan dan budaya suatu bangsa tanpa adanya inovasi dalam
penciptaan. Sebagaimana diketahui, inovasi adalah penemuan yang spektakuler,
membuka dan memberi ruang baru, sikap baru, tujuan baru, faham baru, dan
penciptaan baru. Dari kebaruan inovasi itulah dapat dilihat arah tujuan sastra
yang sesungguhnya.
3.Kreativitas. Sering
dikatakan, kreativitas bertolak belakang dengan produktivitas. Tanpa penciptaan,
tak mungkin juga dilihat ada kehidupan kreativitas. Itu sebabnya produktivitas
sangat penting dalam kreativitas. Kreativitas itu ada jika kreativitas
dilahirkan. Kreativitas adalah bentuk ciptaan, diangkat secara orisinal dan
unik. Berbeda dari hasil produksi yang mengikuti pakem dan kaidah konvensional.
Kreativitas menandai kebaruan, otensitisitas, keunikan, keutuhan, dan kualitas.
Kreativitas selalu membelakangi dan meninggalkan hal-hal normatif yang
mengukuhkan konvensi dalam tradisi yang telah diakui secara konvensional. Dari
segi itulah kita dapat melihat arah sastra modern Indonesia ke masa depan.
Sastra tidak akan ada
tanpa penciptaan! Apakah sastra kita surut ke belakang atau terus maju ke
depan? Sumber: http://demo.analisadaily.com/rebana/news/hendak-kemana-sastra-indonesia/138175/2015/05/31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar