Oleh
Linda Christanty (penulis dan
jurnalis)
Saya
membaca beberapa berita di situs DW Indonesia seputar Indonesia yang menjadi
tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Salah satu berita yang ditulis
wartawannya dalam Bahasa Indonesia menyatakan bahwa dua penulis perempuan
Indonesia telah mempelopori pengungkapan peristiwa 1965. Ada kalimat seperti
ini dalam berita itu: “Dari 13-18 Oktober Indonesia akan tampil di Frankfurt
sebagai Tamu Kehormatan. Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa
Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.”
Itu
kebohongan yang luar biasa.
Sejumlah
wartawan Jerman yang datang ke Jakarta juga sempat bertanya kepada saya tentang
hal ini, seolah-olah ada gelombang atau fenomena baru tentang pengungkapan
peristiwa 1965 melalui novel atau karya fiksi yang dipelopori dua penulis
perempuan.
Saya
mengatakan bahwa fenomena atau kecenderungan khusus itu tidak ada sama sekali.
Saya hidup di Indonesia, saya penulis, dan saya mengetahui apa saja yang
terjadi di sini, di negara saya sendiri.
Penulisan
dan penerbitan novel atau karya fiksi yang mengisahkan peristiwa tersebut
bahkan telah dimulai tidak lama setelah Suharto berkuasa, ketika Noorca M.
Massardi menulis novel September, dengan perspektifnya yang kritis dan
menggugat militer. Umar Khayam menulis Sri Sumarah dan Bawuk yang juga
mengisahkan seputar peristiwa itu. Ahmad Tohari menulis dua novel tentang 1965
dengan tentara sebagai pahlawannya dan orang komunis yang bertobat. Mira W
menulis novel berlatar peristiwa ini dalam karyanya yang dikategorikan “novel
pop”. Penulis Indonesia, laki-laki maupun perempuan, mengisahkan peristiwa
tersebut dalam karya-karya mereka sejak masa Suharto sampai hari ini. Bre
Redana menerbitkan dua novel tentang 1965 pada tahun 2011, yakni Blues Merbabu
dan 65.
Kalau
harus menunjuk diri sendiri, saya juga menulis cerita-cerita pendek tentang
peristiwa 1965 di antara karya lain tentang penculikan aktivis, gerakan politik
melawan Suharto, masa pendudukan Jepang, transgender dan sebagainya itu. Selain
saya, banyak penulis lain yang menulis peristiwa 1965 dalam karya mereka.
Dengan perspektif yang beragam. Tapi dua karya terakhir yang rajin dibicarakan
di Jerman itu justru tidak menawarkan perspektif baru dibandingkan karya-karya
yang sudah muncul lebih dulu. Sosok-sosok yang diceritakan adalah korban-korban
yang sial atau hedonistik, yang sama sekali tidak bertentangan dengan
propaganda Orde Baru tentang peristiwa 1965. Karena itu, berita yang dimuat
dalam DW Indonesia tersebut sangat berlebihan.
Tetapi
lebih dari itu adalah tidak hanya peristiwa 1965 yang menjadi tema karya-karya
fiksi di Indonesia dari dulu sampai sekarang. Tema-tema kemanusiaan dan
kekerasan ketika Suharto berkuasa, konflik antarwarga, masalah agama, misteri,
alam gaib, urusan rumah tangga, cinta dan seks menjadi tema karya fiksi di
Indonesia hari ini. Sangat beragam, sangat kaya. Kalau Indonesia ingin
mengusung slogan “17 Ribu Pulau Imajinasi”, maka keberagaman itulah yang harus
ditampilkan di Frankfurt Book Fair pada bulan Oktober nanti.
Berita
yang menyatakan bahwa dua penulis perempuan Indonesia ini telah menjadi pelopor
bagi pengungkapan kembali peristiwa 1965 itu selain suatu kebohongan, juga penghinaan
yang luar biasa terhadap semua upaya siapa pun yang tanpa kenal lelah dengan
segala risikonya, baik komunitas, organisasi, para aktivis, dan anak-anak muda
dalam mengungkap kebenaran yang terkait peristiwa tersebut dari masa Suharto
hingga hari ini. Upaya-upaya mereka itu tidak dipicu oleh karya fiksi atau film
fiksi apa pun, melainkan karena keingintahuan mereka untuk menemukan kebenaran
dalam sejarah. Tidak hanya untuk peristiwa 1965, tetapi untuk berbagai
peristiwa politik dan ketidakadilan yang terjadi di masa Suharto dan di masa
sesudahnya.
Saya
mendukung Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tapi
tidak mendukung kebohongan atau manipulasi yang berlebihan untuk tujuan
perdagangan dengan alasan apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar