JANGAN IKAT DAKU
Puisi Kazuo Shinkawa
Jangan ikat daku
Jangan ikat daku
Dengan sekeranjang makanan
Seperti sebungkus bawang
bakung.
Kuminta, jangan ikat daku!
Sebab aku telinga padi
Telinga padi berhektar-hektar
keemasan di musim gugur
Dan buah dada bumi yang
penyayang.
Jangan tempelkan daku
Seperti bangkai serangga di kertas
Seperti kartupos bergambar dari negeri dataran tinggi.
Kuminta, jangan tempelkan daku! Sebab aku lagi menjaring sayap-sayap,
Menjaring sayap-sayap gaib gemetaran
Yang terus bertiup menuju ufuk angkasa raya.
Jangan tuang aku!
Seperti susu ternoda kekesalan sehari-hari
Seperti sake hangat.
Kuminta, jangan tuang aku! Sebab aku adalah lautan
Yang pasang surutnya tak terduga
Yang mengalir tak henti-hentinya setiap malam.
Jangan cap daku
Sebagai anak gadis atau istri belaka.
Jangan biarkan daku terpaku di kursi kebiasaan
Sambil memanggilku ibu, kuminta. Sebab aku angin
Tahuku hanya kemana aku harus bertiup dan terbang
Menemukan pohon apel berbunga, menemukan musim semi.
Jangan pisahkan daku!
Seperti isi surat dengan koma atau titik
Dan sejumlah paragraf yang kalimat-kalimatnya berakhir dengan selamat tinggal!
Jangan bodohi aku, kuminta! Sebab aku
Adalah kalimat tanpa akhir, sebaris puisi
Yang mengalir bagaikan sungai
Dan terus mengalir, tak kunjung henti berhamburan, tak kunjung henti.
Jangan tempelkan daku
Seperti bangkai serangga di kertas
Seperti kartupos bergambar dari negeri dataran tinggi.
Kuminta, jangan tempelkan daku! Sebab aku lagi menjaring sayap-sayap,
Menjaring sayap-sayap gaib gemetaran
Yang terus bertiup menuju ufuk angkasa raya.
Jangan tuang aku!
Seperti susu ternoda kekesalan sehari-hari
Seperti sake hangat.
Kuminta, jangan tuang aku! Sebab aku adalah lautan
Yang pasang surutnya tak terduga
Yang mengalir tak henti-hentinya setiap malam.
Jangan cap daku
Sebagai anak gadis atau istri belaka.
Jangan biarkan daku terpaku di kursi kebiasaan
Sambil memanggilku ibu, kuminta. Sebab aku angin
Tahuku hanya kemana aku harus bertiup dan terbang
Menemukan pohon apel berbunga, menemukan musim semi.
Jangan pisahkan daku!
Seperti isi surat dengan koma atau titik
Dan sejumlah paragraf yang kalimat-kalimatnya berakhir dengan selamat tinggal!
Jangan bodohi aku, kuminta! Sebab aku
Adalah kalimat tanpa akhir, sebaris puisi
Yang mengalir bagaikan sungai
Dan terus mengalir, tak kunjung henti berhamburan, tak kunjung henti.
MARI KITA TINGGALKAN RUMAH
Puisi Ishigaki Rin
Rumah adalah bercak-bercak kudis di muka bumi
Bila anak-anak kita sudah mulai mendidih
Kerjanya hanya mengambil kudis-kudis itu.
Rumah adalah kain brokat emas dan selimut tebal
Bulu-bulu indah menciptakan burung yang indah
Pesta malam hari: kepura-puraan yang buruk.
Rumah adalah jambang-jambang bunga
Kita sirami, kita beri pupuk agar subur
Namun akar-akarnya segera pula merintangi kita.
Rumah adalah batu berat menekan
Sedikit rasa kemanusiaan, jadilah!
H betapa kecut lidahku!
Rumah adalah ruang penuh keharuan
Ke tempat itu setiap orang melarikan diri
Membawa harta rebutan.
Rumah adalah lemari besi terkunci rapat
Tiada yang berdaya
Membukanya dengan paksa.
Rumah adalah kuburan hidup sehari-hari
Namun orang berkata
Rumah bukan tempat istirah penghabisan.
Mereka pun menyayangi rumah
Karena rumah bukan tempat istirah terakhir
Mereka cinta rumah.
Cinta bagaikan kudis
Yang lengket pada kapas pembalut untuk anak-anak
Karena itu mari kota ingkari rumah.
Biar setiap orang berhamburan keluar
Bersin di lapangan luas terbuka
Seraya menolak rumah-rumah sempit mereka
Yang pintu-pintunya sengaja dibiarkan terkunci rapat.
Rumah adalah bercak-bercak kudis di muka bumi
Bila anak-anak kita sudah mulai mendidih
Kerjanya hanya mengambil kudis-kudis itu.
Rumah adalah kain brokat emas dan selimut tebal
Bulu-bulu indah menciptakan burung yang indah
Pesta malam hari: kepura-puraan yang buruk.
Rumah adalah jambang-jambang bunga
Kita sirami, kita beri pupuk agar subur
Namun akar-akarnya segera pula merintangi kita.
Rumah adalah batu berat menekan
Sedikit rasa kemanusiaan, jadilah!
H betapa kecut lidahku!
Rumah adalah ruang penuh keharuan
Ke tempat itu setiap orang melarikan diri
Membawa harta rebutan.
Rumah adalah lemari besi terkunci rapat
Tiada yang berdaya
Membukanya dengan paksa.
Rumah adalah kuburan hidup sehari-hari
Namun orang berkata
Rumah bukan tempat istirah penghabisan.
Mereka pun menyayangi rumah
Karena rumah bukan tempat istirah terakhir
Mereka cinta rumah.
Cinta bagaikan kudis
Yang lengket pada kapas pembalut untuk anak-anak
Karena itu mari kota ingkari rumah.
Biar setiap orang berhamburan keluar
Bersin di lapangan luas terbuka
Seraya menolak rumah-rumah sempit mereka
Yang pintu-pintunya sengaja dibiarkan terkunci rapat.
ANTARA
Puisi Taeko Tomioka
Ada dua kesedihan layak dibanggakan
Usai nutup pintu kamar di sebelah
Usai nutup pintu
Masuk rumah di sebelah lagi
Dan pergi ke jalan yang kelihatan lengang sebab gerimis
Ketika hari bergegas
Mana jalan yang mesti kutempuh
Apa yang mesti kulakukan
Menghadapi sesuatu yang tak mengandung harapan
Apa aku ini teman atau musuh
Siapa bisa kutanyai
Tentang soal nyata ini
Aku benci perang
Tetapi bukan pula penyinta perdamaian
Upayaku cukup dengan membiarkan mataku selalu terbuka
Hanya inilah kesedihan yang bisa kulakukan
Ada dua kesedihan layak dianggakan
Aku bersamamu
Aku tak memahamimu
Karena itu aku mengerti kau ada
Karena itu aku mengerti aku ada
Sedih karena tak memahami
Sedih karena kau adalah kau seperti adanya kau.
Ada dua kesedihan layak dibanggakan
Usai nutup pintu kamar di sebelah
Usai nutup pintu
Masuk rumah di sebelah lagi
Dan pergi ke jalan yang kelihatan lengang sebab gerimis
Ketika hari bergegas
Mana jalan yang mesti kutempuh
Apa yang mesti kulakukan
Menghadapi sesuatu yang tak mengandung harapan
Apa aku ini teman atau musuh
Siapa bisa kutanyai
Tentang soal nyata ini
Aku benci perang
Tetapi bukan pula penyinta perdamaian
Upayaku cukup dengan membiarkan mataku selalu terbuka
Hanya inilah kesedihan yang bisa kulakukan
Ada dua kesedihan layak dianggakan
Aku bersamamu
Aku tak memahamimu
Karena itu aku mengerti kau ada
Karena itu aku mengerti aku ada
Sedih karena tak memahami
Sedih karena kau adalah kau seperti adanya kau.
(Diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar