Puisi-puisi yang termuat
dalam buku ini menghadirkan keunikan masing-masing dan mendadarkan keragamaan
naratif dan gaya puitiknya sendiri, acapkali dengan nuansa lokalitas yang kuat,
yang datang dari segala penjuru Indonesia.
Namun, umumnya,
puisi-puisi tersebut menampilkan diri dan ‘menarasikan diri’ mereka kepada kami
(para kurator) seputar tema-tema dan muatan yang berkisar tentang ‘sejarah
maritim’ semisal puisi yang berjudul, Bila Roboh Tembok di Malaka, Papan di
Djawa Kami Tegakkan (Chairil Gibran Ramadhan) sembari berusaha menampilkan
lokalitas Betawi dengan kultur dan hikayatnya sendiri, isu-isu ekologi-bahari
seperti puisi yang berjudul Mengaji Kepada Ikan-Ikan, dan ‘mitologi maritim’
serta kehidupan orang-orang ‘maritim’ semisal puisi-puisi yang mengangkat dan
menarasikan kehidupan para nelayan seperti puisi yang berjudul Nelayan Pesisir,
tentu dengan kekhasan masing-masing sesuai konteks sosiologis, historis, dan
kulturalnya.
Nuansa lokalitas tentang
kehidupan maritim itu contohnya diwakili oleh sejumlah puisi yang ditulis oleh
para penulis dari Pulau Garam, Madura, sebagaimana yang mengangkat isu ekologi
bahari juga relatif cukup banyak, di mana sisanya adalah menarasikan
kemaritiman dalam konteks dan sudut pandang mitologi dan lokalitas yang dapat
kami contohkan dengan puisinya Ni Wayan Eka Pranita Dewi yang berjudul
Sarasvati.
Di luar itu, ada cukup
banyak puisi-puisi yang berkisah tentang laut atau lanskap maritim dalam
keterkaitannya dengan sentimentalitas dan pengalaman subjektif para penulisnya
yang bersifat romantis dan bernuansa liris. Yang juga terhitung cukup banyak
adalah puisi-puisi yang berusaha menggambarkan dan menarasikan kehidupan dan realitas
para nelayan serta orang-orang bahari, seperti tampak dalam puisi yang berjudul
Rokat Laut dan puisi yang berjudul Kidung Nelayan Kecil.
Dapat dikatakan,
puisi-puisi yang masuk dan yang kemudian terseleksi memang umumnya
menkontekskan diri mereka dengan lanskap dan konteks-dunia kemaritiman dan
mengait-ngaitkan ikhtiar naratifnya dengan isu-isu yang bersentuhan dan
memiliki keterkaitan dengan dunia bahari atau dengan dunia dan kehidupan
maritim, meski memang berusaha melihat dan menampilkannya dari sudut pandang
atau perspektif serta isu dan tema yang tidak sama, sesuai dengan selera dan
kekhasan-nya masing-masing para penulisnya, kendati kami dapati dari ratusan
puisi yang masuk tersebut, mayoritas memang memberi judul puisi-nya dengan
menyisipkan kata ‘Laut’ dan banyak yang menggunakan ‘Laut’ itu sendiri sebagai
judul, yang seakan-akan agar ‘sah’ atau dapat dianggap ‘sah’ dalam rangka
memenuhi tema besar yang diinginkan pihak Dewan Kesenian Banten (DKB).
Dari segi stilistika dan
bentuk naratif, puisi-puisi lirik cukup dominan, seperti puisi yang berjudul
Jacht Verleden (Dino Umahuk) dan puisi yang berjudul Pendatang dari Laut
(Herwan FR), meski ada sejumlah puisi berbentuk epik (epos dan hikayat) seperti
puisi yang berjudul Lemuria (Doddy Achmad Fawzi).
Perlu juga dikatakan di
sini, ada banyak puisi-puisi yang kuat dan memiliki aura yang mempesona yang
ditulis para penulis muda, seperti para penulis dari Madura, di saat
puisi-puisi yang kuat secara stilistik dan tematik masih dihadirkan oleh para
penulis yang telah memiliki jam terbang lama alias para penyair kawakan,
seperti Pranita Dewi, Wayan Jengki Sunarta, Marhalim Zaini, El Trip Ummiuki,
Doddy Achmad Fawzi, Herwan FR, Dino Umahuk, Sindu Putra, Chairil Gibran
Ramadhan, Isbedy Stiawan ZS, Dahta Gautama, Bambang Widiatmoko, Deddy Tri
Riyadi, Husnul Khuluqi, Mahwi Air Tawar, Sofyan RH. Zaid, Dian Hartati, Mugya
Syahreza Santosa, Alex R. Nainggolan dan yang lainnya.
Di sisi lain, bisa
dibilang kami juga cukup berbangga dengan banyaknya para penulis dan atau
penyair muda dan juga dengan kehadiran nama-nama baru (nama-nama yang
setidak-tidaknya terbilang 'baru' dalam gelanggang perpuisian Indonesia) saat
ini yang mampu memproduksi puisi-puisi yang segar dan memberikan harapan bagi
kemajuan dan perkembangan sastra Indonesia, utamanya bagi perkembangan
perpuisian Indonesia, seperti puisi-puisi yang ditampilkan oleh Marsten L.
Tarigan, Zulkifli Songyanan, A’yat Kholili, A.Warits Zafa, Abdillah Mubarak
Nurin, Ardian Je, Irwan Sofwan, Fajar Timur, Nita Nurhayati, Edward Maulana,
dan yang lainnya, meski haruslah kami katakan bahwa puisi-puisi mereka belum
dapat kami bilang sebagai karya-karya yang telah berhasil bersaing dengan para
penyair yang lebih senior dari mereka.
Tetapi, bagi kami tidaklah
cukup ruang untuk mengulas satu persatu puisi-puisi yang lolos seleksi,
terlebih ulasan itu sudah dihadirkan oleh Bapak Maman S. Mahayana. Namun
dapatlah kami katakan kekhasan puisi-puisi yang terpilih dalam Antologi
Gelombang Puisi Maritim ini rupa-rupanya menghadirkan keragaman khazanah yang
datang dari aneka konteks sosial-kultural Indonesia, seperti puisi-puisi pantun
Melayu, baik yang liris maupun yang mendadarkan ‘permainan bahasa’ semisal
puisi-puisi yang datang dari jazirah Sumatra, yang berusaha ‘memutakhirkan’ bentuk
dan bunyi naratifnya dengan perkembangan sastra Indonesia saat ini, semisal
puisinya Marhalim Zaini. Atau puisi-puisi yang datang dari Indonesia Timur yang
berusaha mengangkat dan menarasikan mitologi dan hikayat yang bernuansa
historis, seperti puisi yang berjudul Pelayaran yang Pernah Diwasiatkan Arung
Matoa Wajo ke La Maddukelleng dan puisi yang berjudul Lontarak I Babad La
Lagaligo.
Selebihnya, selain
puisi-puisi yang menyuarakan dan menarasikan seputar sejarah maritim, ekologi
bahari, kehidupan para nelayan atau orang-orang laut dan mitologi maritim,
entah yang bergaya epik atau bernuansa liris, adalah puisi-puisi ‘lirik
romantik’ yang ditulis dan disenandungkan dengan gaya naratif aku lirik yang
berkisah menyangkut pengalaman-pengalaman penyair dengan laut, pantai, dan
lanskap maritim, acapkali bernada sentimentil.
Dewan Kurator:
Toto ST Radik
Sulaiman Djaya
Wahyu Arya
M. R. Rinaldi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar