Label

Kamis, 28 April 2016

Dari Sejarah Hingga Mitologi Maritim


Puisi-puisi yang termuat dalam buku ini menghadirkan keunikan masing-masing dan mendadarkan keragamaan naratif dan gaya puitiknya sendiri, acapkali dengan nuansa lokalitas yang kuat, yang datang dari segala penjuru Indonesia.

Namun, umumnya, puisi-puisi tersebut menampilkan diri dan ‘menarasikan diri’ mereka kepada kami (para kurator) seputar tema-tema dan muatan yang berkisar tentang ‘sejarah maritim’ semisal puisi yang berjudul, Bila Roboh Tembok di Malaka, Papan di Djawa Kami Tegakkan (Chairil Gibran Ramadhan) sembari berusaha menampilkan lokalitas Betawi dengan kultur dan hikayatnya sendiri, isu-isu ekologi-bahari seperti puisi yang berjudul Mengaji Kepada Ikan-Ikan, dan ‘mitologi maritim’ serta kehidupan orang-orang ‘maritim’ semisal puisi-puisi yang mengangkat dan menarasikan kehidupan para nelayan seperti puisi yang berjudul Nelayan Pesisir, tentu dengan kekhasan masing-masing sesuai konteks sosiologis, historis, dan kulturalnya.

Nuansa lokalitas tentang kehidupan maritim itu contohnya diwakili oleh sejumlah puisi yang ditulis oleh para penulis dari Pulau Garam, Madura, sebagaimana yang mengangkat isu ekologi bahari juga relatif cukup banyak, di mana sisanya adalah menarasikan kemaritiman dalam konteks dan sudut pandang mitologi dan lokalitas yang dapat kami contohkan dengan puisinya Ni Wayan Eka Pranita Dewi yang berjudul Sarasvati.

Di luar itu, ada cukup banyak puisi-puisi yang berkisah tentang laut atau lanskap maritim dalam keterkaitannya dengan sentimentalitas dan pengalaman subjektif para penulisnya yang bersifat romantis dan bernuansa liris. Yang juga terhitung cukup banyak adalah puisi-puisi yang berusaha menggambarkan dan menarasikan kehidupan dan realitas para nelayan serta orang-orang bahari, seperti tampak dalam puisi yang berjudul Rokat Laut dan puisi yang berjudul Kidung Nelayan Kecil.

Dapat dikatakan, puisi-puisi yang masuk dan yang kemudian terseleksi memang umumnya menkontekskan diri mereka dengan lanskap dan konteks-dunia kemaritiman dan mengait-ngaitkan ikhtiar naratifnya dengan isu-isu yang bersentuhan dan memiliki keterkaitan dengan dunia bahari atau dengan dunia dan kehidupan maritim, meski memang berusaha melihat dan menampilkannya dari sudut pandang atau perspektif serta isu dan tema yang tidak sama, sesuai dengan selera dan kekhasan-nya masing-masing para penulisnya, kendati kami dapati dari ratusan puisi yang masuk tersebut, mayoritas memang memberi judul puisi-nya dengan menyisipkan kata ‘Laut’ dan banyak yang menggunakan ‘Laut’ itu sendiri sebagai judul, yang seakan-akan agar ‘sah’ atau dapat dianggap ‘sah’ dalam rangka memenuhi tema besar yang diinginkan pihak Dewan Kesenian Banten (DKB).

Dari segi stilistika dan bentuk naratif, puisi-puisi lirik cukup dominan, seperti puisi yang berjudul Jacht Verleden (Dino Umahuk) dan puisi yang berjudul Pendatang dari Laut (Herwan FR), meski ada sejumlah puisi berbentuk epik (epos dan hikayat) seperti puisi yang berjudul Lemuria (Doddy Achmad Fawzi).

Perlu juga dikatakan di sini, ada banyak puisi-puisi yang kuat dan memiliki aura yang mempesona yang ditulis para penulis muda, seperti para penulis dari Madura, di saat puisi-puisi yang kuat secara stilistik dan tematik masih dihadirkan oleh para penulis yang telah memiliki jam terbang lama alias para penyair kawakan, seperti Pranita Dewi, Wayan Jengki Sunarta, Marhalim Zaini, El Trip Ummiuki, Doddy Achmad Fawzi, Herwan FR, Dino Umahuk, Sindu Putra, Chairil Gibran Ramadhan, Isbedy Stiawan ZS, Dahta Gautama, Bambang Widiatmoko, Deddy Tri Riyadi, Husnul Khuluqi, Mahwi Air Tawar, Sofyan RH. Zaid, Dian Hartati, Mugya Syahreza Santosa, Alex R. Nainggolan dan yang lainnya.

Di sisi lain, bisa dibilang kami juga cukup berbangga dengan banyaknya para penulis dan atau penyair muda dan juga dengan kehadiran nama-nama baru (nama-nama yang setidak-tidaknya terbilang 'baru' dalam gelanggang perpuisian Indonesia) saat ini yang mampu memproduksi puisi-puisi yang segar dan memberikan harapan bagi kemajuan dan perkembangan sastra Indonesia, utamanya bagi perkembangan perpuisian Indonesia, seperti puisi-puisi yang ditampilkan oleh Marsten L. Tarigan, Zulkifli Songyanan, A’yat Kholili, A.Warits Zafa, Abdillah Mubarak Nurin, Ardian Je, Irwan Sofwan, Fajar Timur, Nita Nurhayati, Edward Maulana, dan yang lainnya, meski haruslah kami katakan bahwa puisi-puisi mereka belum dapat kami bilang sebagai karya-karya yang telah berhasil bersaing dengan para penyair yang lebih senior dari mereka.

Tetapi, bagi kami tidaklah cukup ruang untuk mengulas satu persatu puisi-puisi yang lolos seleksi, terlebih ulasan itu sudah dihadirkan oleh Bapak Maman S. Mahayana. Namun dapatlah kami katakan kekhasan puisi-puisi yang terpilih dalam Antologi Gelombang Puisi Maritim ini rupa-rupanya menghadirkan keragaman khazanah yang datang dari aneka konteks sosial-kultural Indonesia, seperti puisi-puisi pantun Melayu, baik yang liris maupun yang mendadarkan ‘permainan bahasa’ semisal puisi-puisi yang datang dari jazirah Sumatra, yang berusaha ‘memutakhirkan’ bentuk dan bunyi naratifnya dengan perkembangan sastra Indonesia saat ini, semisal puisinya Marhalim Zaini. Atau puisi-puisi yang datang dari Indonesia Timur yang berusaha mengangkat dan menarasikan mitologi dan hikayat yang bernuansa historis, seperti puisi yang berjudul Pelayaran yang Pernah Diwasiatkan Arung Matoa Wajo ke La Maddukelleng dan puisi yang berjudul Lontarak I Babad La Lagaligo.

Selebihnya, selain puisi-puisi yang menyuarakan dan menarasikan seputar sejarah maritim, ekologi bahari, kehidupan para nelayan atau orang-orang laut dan mitologi maritim, entah yang bergaya epik atau bernuansa liris, adalah puisi-puisi ‘lirik romantik’ yang ditulis dan disenandungkan dengan gaya naratif aku lirik yang berkisah menyangkut pengalaman-pengalaman penyair dengan laut, pantai, dan lanskap maritim, acapkali bernada sentimentil.

Dewan Kurator:
Toto ST Radik
Sulaiman Djaya
Wahyu Arya
M. R. Rinaldi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar