Oleh Meuthia
Ganie-Rochman
Pada
tahun 1953, Boeke menulis karakateristik ekonomi yang bersifat dualistik di
negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Dualisme ekonomi adalah
keberadaan dua mode perekonomian dimana yang satu sudah mengikuti jaringan
kapitalisme dunia, sedangkan yang satu pertukarannya digerakan oleh logika
kultur lokal.
Tujuh
puluh tahun setelah Boeke menerbitkan buku tersebut, perekonomian Indonesia
sekarang hampir tidak ada yang luput dari kapitalisme dunia. Atau, jika konsep
kapitalisme terlalu problematik, cukup dikatakan bahwa hampir seluruh
perekonomian Indonesia dikoordinasi oleh lembaga perekonomian modern seperti
perbankan dan pajak oleh negara. Namun tanpa kita sadari terjadi dualisme lain
melanda logika ekonomi Indonesia yaitu ekonomi legal dan ilegal. Ini bukan
persoalan kategori saja, melainkan tentang berlangsungnya dua logika dan
kekuatan ekonomi yang mempengaruhi arah pembangunan Indonesia.
Perekonomian
legal terekam oleh indikator statistik yang jelas seperti sumbangan pada
PDB dan pajak. Ekonomi legal memungkinkan negara membuat rancangan yang
realsitis tentang pembangunan. Ekonomi legal juga memudahkan isu akuntabilitas
yang dituntut dari negara, atu antara pihak-pihak yang bekerja sama. Ekonomi
ilegal sebaliknya: sukar diprediksi arus mengalirnya, dan para aktornya sukar
dijangkau isu akuntabilitas. Ekonomi ilegal bisa saja memberi pendapatan pada
sejumlah anggota masyarakat, namun publik tidak punya aturan main di dalamnya.
Kegiatan
ekonomi ilegal meliputi semua transaksi yang tidak patut menurut hukum, seperti
korupsi, penambangan ilegal, penyelundupan, perjudian gelap, atau pengerahan
massa demonstrasi. Dari kasus yang ditangani KPK, didapat indikasi sangat
besarnya uang yang terlibat dalam transaksi ilegal ini dari korupsi saja. Para
pihak yang terlibat mengetahui bahwa transaksi ini melanggar hukum dan karena
itu mereka tidak dapat memunculkannya melalui saluran formal.
Ekonomi
ilegal dari korupsi bukan masalah kategori penyimpangan dan bahkan bukan
sekedar masalah uang yang hilang, misalnya dari pajak negara. Selama ini
penegak hukum dan publik hanya menilai dari kerugian finansial negara.
Padahal korupsi mempunyai dampak lebih luas dari itu baik secara ekonomi maupun
institusi masyarakat. Uang hasil korupsi tidak hanya dibelanjakan oleh
pelaku seperti dibelikan barang-barang konsumsi.
Sebagian
dari para koruptor menginginkan uang itu diputar kembali agar
berkesinambungan. Untuk “naik ke permukaan” uang itu harus dimasukkan
dalam kegiatan ekonomi legal seperti pembelian saham atau diputar dalam bisnis
tertentu. Namun berbeda dengan unit usaha lain, uang perusahaan dari
hasil korupsi tidak mempunyai basis strukturalnya. Uang ekonomi legal merupakan
hasil perputaran dalam struktur ekonomi. Ia merupakan hasil dari logika pasar
normal yang menentukan berapa nilai ekonomi dari sejumlah uang terhadap barang
nyata.
Bayangkan
jika berbagai kegiatan ekonomi yang berasal dari uang ‘mudah’ ini memasuki
pasar persaingan dengan pelaku ekonomi lain. Usaha-usaha ekonomi yang dicari
dengan proses dan kerja keras akan kalah bersaing dengan uang mudah ini.
Usaha yang didirikan dari hasil korupsi akan tidak segan membeli infrastruktur
yang lebih baik atau menggaji orang pintar dengan lebih baik. Sebaliknya, unit
usaha hasil korupsi sering serampangan dalam perhitungan bisnis. Jika ini cukup
banyak, maka akan merusak etika bisnis, menurunkan standar kompetensi dalam
pasar, merusak prinsip kehati-hatian, atau mendistorsi harga.
Sebagai
contoh, bayangkan jika uang hasil korupsi masuk ke dalam sektor properti. Pada
awalnya, harga tanah akan terdistorsi. Pemborongan lahan dengan uang mudah ini
akan meningkatkan harga tanah. Anggota masyarakat biasa yang mendapatkan
uangnya dengan kerja keras dan membutuhkan tanah harus membeli tanah yang
semakin membumbung.
Korupsi
juga banyak merusak sistem politik, lebih dari persoalan legitimasi yang jatuh
terhadap pemerintah dan para politisi. Masyarakat dengan sistem politik formal
yang sudah demokratis akan enggan mengikuti partisipasi politik. Seperti yang
terjadi di Indonesia, partisipasi dalam pemilu(kada) terus menurun secara
jelas. Jika tidak terjadi sesuatu perubahan yang meyakinkan, penulis meramalkan
bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif akan turun hingga di bawah
50 persen.
Uang
korupsi yang sistematis memudahkan muncunya kronisme dan politik dinasti.
Mereka memanfaatkan dana publik untuk menduduki posisi penting di daerah dan
nasional. Pada tingkat nasional akumulasi kekayaan dan pengaruh mengambil
bentuk lebih canggih yaitu masuk ke unit dan organisasi ekonomi yang sudah
mapan. Di tingkat daerah, wujudnya lebih kasar dan primitif seperti pemanfaatan
fasilitas publik, memaksa para investor memberikan upeti atau kedudukan famili
dalam perusahaan, atau para famili yang mendirikan usaha tanpa penglaman
sebelumnya.
Korupsi
jelas telah menghasilkan ketidakstabilan politik di daerah-daerah. Protes dan
pembangkangan telah terjadi di sejumlah daerah. Pembangunan stagnan dan
pemerintah daerah tidak mampu responsif dengan kebutuhan rakyat. Para calon
terpilih terikat pada utang budi dan beban biaya sebelumnya.
Pengembangan
kultur dan sistem politik dibunuh oleh distorsi sumber daya oleh para koruptor
dalam partai politik. Bahkan membunuh sistem partainya sendiri. Sistem demokrasi,
apalagi yang baru seperti Indonesia, masih harus diperbaiki terus menerus.
Misalnya, partai harus memerbaiki komunikasi politik dan penyerapan kebutuhan
pemilih. Pada tingkat yang lebih tinggi, partai harus mampu melakukan negosiasi
antara kepentingan pemilihnya dengan kepentingan yang lebih luas. Semua itu
membutuhkan pembangunan instrumen partai. Rakyat yang apatis akan menjadi tidak
demokratis secara terpaksa (desperately undemocratic) dengan memilih
calon semata dari daerahnya.
Pembangunan
demokrasi harus disertai politik masyarakat sipil yang baik. Artinya, sistem
politik bukan soal perwakilan tapi juga memperkuat kehidupan organisasi
masyarakat sipil agar mampu menangani persoalan publik dan kemasyarakat. Di
Indonesia, parlemen telah mengesyahkan UU Ormas yang akan menggerogoti energi
organisasi masyarakat. Parlemen sendiri merupakan cermin dari partai politik
yang gagal menjalankan fungsi sistem demokrasi. Korupsi telah merusak
organisasi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar