Label

Kamis, 20 Maret 2014

Ekonomi Dualistik Setelah Reformasi

Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Pada tahun 1953, Boeke menulis karakateristik ekonomi yang bersifat dualistik di negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Dualisme ekonomi adalah keberadaan dua mode perekonomian dimana yang satu sudah mengikuti jaringan kapitalisme dunia, sedangkan yang satu pertukarannya digerakan oleh logika kultur lokal.

Tujuh puluh tahun setelah Boeke menerbitkan buku tersebut, perekonomian Indonesia sekarang hampir tidak ada yang luput dari kapitalisme dunia. Atau, jika konsep kapitalisme terlalu problematik, cukup dikatakan bahwa hampir seluruh perekonomian Indonesia dikoordinasi oleh lembaga perekonomian modern seperti perbankan dan pajak oleh negara. Namun tanpa kita sadari terjadi dualisme lain melanda logika ekonomi Indonesia yaitu ekonomi legal dan ilegal. Ini bukan persoalan kategori saja, melainkan tentang berlangsungnya dua logika dan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi arah pembangunan Indonesia.

Perekonomian legal terekam oleh indikator statistik yang jelas seperti sumbangan pada PDB  dan pajak. Ekonomi legal memungkinkan negara membuat rancangan yang realsitis tentang pembangunan. Ekonomi legal juga memudahkan isu akuntabilitas yang dituntut dari negara, atu antara pihak-pihak yang bekerja sama. Ekonomi ilegal sebaliknya: sukar diprediksi arus mengalirnya, dan para aktornya sukar dijangkau isu akuntabilitas. Ekonomi ilegal bisa saja memberi pendapatan pada sejumlah anggota masyarakat, namun publik tidak punya aturan main di dalamnya.

Kegiatan ekonomi ilegal meliputi semua transaksi yang tidak patut menurut hukum, seperti korupsi, penambangan ilegal, penyelundupan, perjudian gelap, atau pengerahan massa demonstrasi.  Dari kasus yang ditangani KPK, didapat indikasi sangat besarnya uang yang terlibat dalam transaksi ilegal ini dari korupsi saja. Para pihak yang terlibat mengetahui bahwa transaksi ini melanggar hukum dan karena itu mereka tidak dapat memunculkannya melalui saluran formal.

Ekonomi ilegal dari korupsi bukan masalah kategori penyimpangan dan  bahkan bukan sekedar masalah uang yang hilang, misalnya dari pajak negara.  Selama ini penegak hukum dan publik hanya menilai dari kerugian finansial negara.  Padahal korupsi mempunyai dampak lebih luas dari itu baik secara ekonomi maupun institusi masyarakat.  Uang hasil korupsi tidak hanya dibelanjakan oleh pelaku seperti dibelikan barang-barang konsumsi.

Sebagian dari para koruptor menginginkan uang itu diputar kembali agar berkesinambungan.  Untuk “naik ke permukaan” uang itu harus dimasukkan dalam kegiatan ekonomi legal seperti pembelian saham atau diputar dalam bisnis tertentu.  Namun berbeda dengan unit usaha lain, uang perusahaan dari hasil korupsi tidak mempunyai basis strukturalnya. Uang ekonomi legal merupakan hasil perputaran dalam struktur ekonomi. Ia merupakan hasil dari logika pasar normal yang menentukan berapa nilai ekonomi dari sejumlah uang terhadap barang nyata.

Bayangkan jika berbagai kegiatan ekonomi yang berasal dari uang ‘mudah’ ini memasuki pasar persaingan dengan pelaku ekonomi lain. Usaha-usaha ekonomi yang dicari dengan proses dan kerja keras akan kalah bersaing dengan uang mudah ini.  Usaha yang didirikan dari hasil korupsi akan tidak segan membeli infrastruktur yang lebih baik atau menggaji orang pintar dengan lebih baik. Sebaliknya, unit usaha hasil korupsi sering serampangan dalam perhitungan bisnis. Jika ini cukup banyak, maka akan merusak etika bisnis, menurunkan standar kompetensi dalam pasar, merusak prinsip kehati-hatian, atau mendistorsi harga.

Sebagai contoh, bayangkan jika uang hasil korupsi masuk ke dalam sektor properti. Pada awalnya, harga tanah akan terdistorsi. Pemborongan lahan dengan uang mudah ini akan meningkatkan harga tanah. Anggota masyarakat biasa yang mendapatkan uangnya dengan kerja keras dan membutuhkan tanah harus membeli tanah yang semakin membumbung.

Korupsi juga banyak merusak sistem politik, lebih dari persoalan legitimasi yang jatuh terhadap pemerintah dan para politisi. Masyarakat dengan sistem politik formal yang sudah demokratis akan enggan mengikuti partisipasi politik. Seperti yang terjadi di Indonesia, partisipasi dalam pemilu(kada) terus menurun secara jelas. Jika tidak terjadi sesuatu perubahan yang meyakinkan, penulis meramalkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif akan turun hingga di bawah 50 persen.

Uang korupsi yang sistematis memudahkan muncunya kronisme dan politik dinasti. Mereka memanfaatkan dana publik untuk menduduki posisi penting di daerah dan nasional. Pada tingkat nasional akumulasi kekayaan dan pengaruh mengambil bentuk lebih canggih yaitu masuk ke unit dan organisasi ekonomi yang sudah mapan. Di tingkat daerah, wujudnya lebih kasar dan primitif seperti pemanfaatan fasilitas publik, memaksa para investor memberikan upeti atau kedudukan famili dalam perusahaan, atau para famili yang mendirikan usaha tanpa penglaman sebelumnya.

Korupsi jelas telah menghasilkan ketidakstabilan politik di daerah-daerah. Protes dan pembangkangan telah terjadi di sejumlah daerah. Pembangunan stagnan dan pemerintah daerah tidak mampu responsif dengan kebutuhan rakyat. Para calon terpilih terikat pada utang budi dan beban biaya sebelumnya.

Pengembangan kultur dan sistem politik dibunuh oleh distorsi sumber daya oleh para koruptor dalam partai politik. Bahkan membunuh sistem partainya sendiri. Sistem demokrasi, apalagi yang baru seperti Indonesia, masih harus diperbaiki terus menerus. Misalnya, partai harus memerbaiki komunikasi politik dan penyerapan kebutuhan pemilih. Pada tingkat yang lebih tinggi, partai harus mampu melakukan negosiasi antara kepentingan pemilihnya dengan kepentingan yang lebih luas. Semua itu membutuhkan pembangunan instrumen partai. Rakyat yang apatis akan menjadi tidak demokratis secara terpaksa (desperately undemocratic) dengan memilih calon semata dari daerahnya.

Pembangunan demokrasi harus disertai politik masyarakat sipil yang baik. Artinya, sistem politik bukan soal perwakilan tapi juga memperkuat kehidupan organisasi masyarakat sipil agar mampu menangani persoalan publik dan kemasyarakat. Di Indonesia, parlemen telah mengesyahkan UU Ormas yang akan menggerogoti energi organisasi masyarakat. Parlemen sendiri merupakan cermin dari partai politik yang gagal menjalankan fungsi sistem demokrasi. Korupsi telah merusak organisasi ini.

Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog organisasi, mengajar di Universitas Indonesia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar