Kehidupan masyarakat Arab Jahiliah dapat dilihat dalam
karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliah
adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliah
tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum.
Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan “kemah”, alam
sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang
telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliah berakar jauh sekali,
bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam
catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliah dikenal sejak kira-kira satu
abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama
Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon,
mengatakan bahwa sastra Jahiliah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5
dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Puisi merupakan genre sastra Arab yang paling populer
pada masa Jahiliah dibandingkan dengan genre-genre yang lain.
Pada umumnya puisi Arab pada masa tersebut
mendeskripsikan keberadaan kemah, hewan sebagai
kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para
pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar,
keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita
pujaan.
Puisi pada masa jahiliah kebanyakan “dicatat” dalam
ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa harus
mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Para ruwat, pencerita,
merupakan para penghafal puisi dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah
Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra puisi itu bisa terjaga dari
generasi ke generasi. Di antara para pencerita yang dipandang memiliki hafalan
paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliah adalah Mukhrimah bin Naufal
dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya
sedikit puisi Arab Jahiliah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak
tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa
sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah
dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bahasa dan kandungan puisi Arab Jahiliah sangat
sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta
nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai
sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa puisi Arab
Jahiliah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Puisi
seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang
samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu
mengapresiasikan puisi imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki
pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, puisi
Arab Jahiliah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta
sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara
wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan
sajak.
Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap
puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki
kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang
penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam
sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam
mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh
anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti
akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan
ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang
tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu
dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat
mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik dalam bukunya yang
berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:
“Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan
seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah
itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai
aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil
memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara
perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama
bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah
dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan
menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan
kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluaskan kebaikan-kebaikan
mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi
yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda
kesayangan.”
Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan
seorang penyair. Sehingga sering kali mereka mengiming-imingi seorang penyair
yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan
suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Ada pula yang
menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi
antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf
dari seseorang penguasa.
Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata
orang Arab Jahiliah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah
sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi
orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi
sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh
sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di
zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya.
Masyarakat Jahiliah sering mengadakan festival sastra
secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka
juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni
ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni
yang paling bergengsi pada zaman Jahiliah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang
terletak di daerah Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar
seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang
terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha’if. Di tiga tempat ini,
masyarakat Jahiliah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak
bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan
karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang
telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik
akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan
digantungkan di dinding Kakbah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqat
(puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Kakbah).
Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman
Jahiliah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat,
karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Kakbah. Pada zaman
Jahiliah, menggantungkan sesuatu pada dinding Kakbah bukanlah hal yang aneh,
karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding
Kakbah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan
Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani
Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani
Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada
dinding Kakbah.
Puisi al-Mu’allaqat berbentuk qasidah (ode)
panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara,
dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqat,
puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1. As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang
Arab Jahiliah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah
berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.
2. Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta
emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah ditulis dengan
menggunakan tinta yang terbuat dari emas.
3. Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Kasidah-kasidah yang
terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah tersebut
adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi
yang lainnya.
4. As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang
panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah
tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan
oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Kakbah
tersebut ada tujuh buah.
5. Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah kasidah),
karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah itu terdiri dari
sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa
puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6. Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah
kasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Kakbah itu terdiri
dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat
bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi. Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair
al-Mu’allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin
Abi Sulma, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi'ah
al-Amiri, Amr' bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin
Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hiliziah al-Bakri, dan Umayyah bin ash-Shalt.
Penyair Jahiliah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak
termasuk penyair al-Mu’allaqat, adalah al-Khansa' (w. 664, penyair wanita dari
kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal
dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w. 531, dikenal dengan
nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama Asy-Syanfari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar