Saya menerima berbagai
mail dari teman-teman “fb” yang bertanya tentang Johann Wolfgang von Goethe,
termasuk hubungannya dengan agama Islam. Sosok Goethe dan peranannya sebagai
perintis dialog Islam dan Barat dibicarakan dalam pengantar kumpulan puisi
Goethe "Satu dan Segalanya", Seri Puisi Jerman IV, diedit dan
diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser, penerbit Horison,
Jakarta 2007.
Goethe – Tokoh Jerman Terbesar
Oleh Berthold Damshäuser
“Beribu-ribu pikiran senantiasa naik-turun dalam diriku. Jiwaku bagaikan pesta
kembang api nan abadi, tak pernah istirah” (Johann Wolfgang von Goethe, 1780). “Goethe
bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah kebudayaan” (Friedrich Nietzsche,
1886).
Setelah terbitnya puisi Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht dan Paul Celan dalam
rangka Seri Puisi Jerman ini, kini – dalam jilid IV – kepada pembaca Indonesia
disajikan sebuah kumpulan puisi dari pujangga Jerman terbesar, yaitu Johann
Wolfgang von Goethe. Seperti telah terjadi pada puisi Brecht dan Celan, puisi
Goethe pun diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh kedua editor, yaitu Agus R.
Sarjono dan Berthold Damshäuser.
Kiranya puisi Goethe telah
ditunggu oleh pembaca Indonesia sejak berdirinya Seri Puisi Jerman ini. Memang,
puisi Goethe mutlak dihadirkan, karena ia, yang termasuk tokoh paling gemilang
dalam sejarah sastra dunia, jelas merupakan pujangga Jerman terbesar. Dan,
Goethe lebih dari pujangga, ia seorang universalis atau jenius universal,
mungkin yang terakhir, dan dalam hal ini dapat dibandingkan dengan Leonardo da
Vinci. Seperti Leonardo, Goethe pun tidak hanya menjadi sastrawan, pelukis dan
budayawan, melainkan juga saintis dan penemu.
Oevre Goethe, yang juga
politikus dan negarawan, begitu luas dan kaya. Untuk mengumpulkan semua teks
yang ditulisnya diperlukan ratusan jilid buku. Goethe adalah sebuah kebudayaan.
Kata-kata Nietzsche, filosof Jerman yang juga penyair itu kira-kira menandakan
betapa menakjubkan apa yang dihasilkan Goethe, betapa karya-karya Goethe dapat
memperkaya kita semua. Khususnya di Jerman, Goethe dipandang sebagai seorang
“pahlawan budaya”. Ribuan buku telah ditulis tentangnya, dan jumlahnya bertambah
terus. Analisis-analisis atas karyanya, biografi-biografi yang membicarakan
tiap detil dari kehidupan, bahkan ada beberapa "Kamus Goethe".
Lembaga Kebudayan Jerman, yang bertugas memperkenalkan bahasa dan budaya Jerman
di luar negeri memakai namanya. Di Indonesia ada dua Goethe-Institut, yaitu di
Jakarta dan Bandung.
Mengingat semua itu, patut
disayangkan bahwa baru segelintir buku terjemahan atas karya Goethe yang
diterbitkan di Indonesia, yaitu dramanya Ifigenenia di Semenanjung Tauris
(2001), diterjemahkan oleh Elisabeth Korah-Go, novelnya Penderitaan Pemuda
Werther (2000), diterjemahkan oleh Moh. Godjali Harun, serta dua terjemahan
drama Faust, yakni oleh Abdul Hadi W.M (1989) dan Agam Wispi (1999). Adapun
terjemahan atas puisi Goethe, keadaan lebih payah lagi. Puisi Goethe dalam
terjemahan Indonesia hanya dapat ditemukan dalam dua antologi, yaitu Puisi
Dunia (1952), diedit dan diterjemahkan oleh M. Taslim Ali, dan Malam Biru di
Berlin (1990), diedit dan diterjemahkan oleh Ramadhan K.H. dan Berthold
Damshäuser. Sedangkan jumlah dari semua terjemahan puisi Goethe itu tak sampai
dua puluh buah. Maka, benar-benar sudah saatnya, bahwa kini, agak terlambat,
terdapat sebuah kumpulan puisi Goethe dalam terjemahan Indonesia.
Johann Wolfgang von Goethe lahir pada tanggal 28 Agustus 1749 di kota Frankfurt
yang letaknya di pinggir sungai Main dan yang ketika itu pun telah termasuk
salah satu kota Jerman terpenting. Ia anak sulung dari delapan bersaudara,
tetapi hanya ia dan adik perempuannya bertahan hidup. Goethe berasal dari
keluarga burjuis beragama Protestan yang kaya, dan besar dalam keadaan makmur
dan tenteram. Ayahnya, Johann Caspar Goethe, seorang ahli hukum, pada umur 32
tahun memperoleh warisan kekayaan sehingga tak lagi perlu bekerja dan dapat
menikmati kehidupannya sebagai seorang cendekiawan dan pencinta kesenian yang
juga tertarik pada masalah ilmu alam. Ia mengumpulkan hasil kesenian, artefak
dan naturalia, dan memiliki perpustakaan dengan dua ribu jilid buku. Dalam
suasana subur demikian Johann Wolfgang besar, didukung pula oleh ayahnya yang
sendiri menjadi guru bagi anaknya, di samping mempekerjakan berbagai guru
privat yang datang ke rumah, sehingga Johann Wolfgang tak pernah pergi ke
sekolah umum. Dapat dibayangkan, betapa luas dan intensif pendidikan Goethe
muda. Antara lain, ia mempelajari berbagai bahasa (Latin, Yunani, Perancis,
Inggeris dan Ibrani), diberi bacaan karya sastra dan karya filsafat, juga
dilatih menari dan menunggang kuda. Sejak awal Goethe tertarik pada susastra
dan sebagai anak kecil berumur delapan tahun sudah mulai menulis puisi. Ia pun
sangat tertarik kepada dunia teater, dan ayahnya mendukung minat anaknya dengan
secara teratur mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya.
Dibekali pendidikan awal yang luar biasa itu, Goethe pada tahun 1765
meninggalkan Frankfurt dan atas perintah ayahnya mulai berkuliah di jurusan
hukum di Universitas Leipzig. Namun, Goethe, yang umurnya ketika itu baru 16
tahun, kurang tertarik pada ilmu hukum dan agak malas memenuhi tugasnya sebagai
mahasiswa jurusan hukum. Ia lebih suka mengikuti kuliah di bidang susastra.
Selain itu ia belajar melukis dan sibuk menulis karya sastra. Pada tahun 1767
ia umumkan bukunya yang pertama, sebuah kumpulan puisi berjudul Anette (nama
seorang gadis yang menjadi pacar Goethe di Leipzig), yang terbit secara anonim
dan mengandung puisi cinta yang agak epigonal bergaya rokoko. Ia pun menyusun
teks opera, drama-drama dll., tapi kemudian hari Goethe membuang hampir semua
karya itu. Masih di Leipzig, Goethe pada tahun 1768 menjadi sakit (muntah
darah), dan oleh ayahnya disuruh pulang ke Frankfurt. Ayahnya juga kurang puas
dengan kurang majunya anaknya belajar ilmu hukum.
Maka Goethe kembali ke Frankfurt sebagai orang yang gagal, paling sedikit di
mata ayahnya. Di Frankfurt, Goethe masih sakit-sakitan juga, walau diurus
dengan penuh pengertian oleh ibunya, Catharina Elisabeth Goethe. Barangkali
juga Goethe, sebagai pribadi yang cukup sensitif, ketika itu mengalami semacam
gangguan jiwa. Maka oleh ibunya ia diperkenalkan kepada semacam kelompok
kebatinan atau mistis. Goethe cukup tertarik kepada kegiatan kelompok itu, dan
selama berbulan-bulan menyibukkan diri dengan perihal mistik dan gaib. Kiranya,
pengalaman di bidang itu cukup mempengaruhi Goethe sebagai pribadi, dan juga
sebagai pemikir dan sastrawan.
Pada tahun 1770 ayahnya kehilangan kesabaran dan menyuruh Goethe pergi ke kota
Straßburg untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum pada universitas di
sana. Dan akhirnya Goethe memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa dan berhasil
memperoleh gelar Licentatius Juris yang hampir sepadan dengan gelar „doktor“.
Namun, kejadian yang bagi Goethe sendiri jauh lebih penting daripada
keberhasilan di bidang akademis ialah pertemuannya dengan Johann Gottfried
Herder, teolog, filosof, budayawan dan kritikus seni terkenal, yang ketika itu
hidup di Straßburg. Untuk pertama kalinya Goethe bertemu dengan seorang tokoh
yang ia rasakan sebagai pribadi yang superior. Ia terpesona oleh teori Herder
mengenai asal-usul bahasa dan tesisnya bahwa daya cipta bahasa terutama
terjelma dalam karya-karya sastra semua bangsa, termasuk sastra rakyat. Oleh
Herder ia didesak untuk tidak saja menghormati pujangga-pujangga Yunani,
melainkan juga tokoh-tokoh Eropa Tengah dan Utara seperti Shakespeare dan juga
susastra tradisional Germania dan Keltis serta apa yang oleh Herder disebutkan
Volkslied (lagu/puisi rakyat). Pengaruh Herder inilah yang kiranya membuat
Goethe begitu terbuka kepada kebinekaan khazanah susastra, kepada semua genre
dan kepada sastra semua bangsa.
Selama di Straßburg Goethe juga mulai berkembang menjadi sastrawan yang serius,
khususnya sebagai penyair. Terilhami oleh pengalaman cinta dengan pemudi
Friederike Brion di desa Sesenheim ia menuliskan kumpulan puisi Sesenheimer
Lieder (Dendang-dendang Sesenheim), karya pertamanya yang tidak lagi epigonal
dan membuktikan bahwa Goethe telah mampu mengembangkan gaya sendiri. Hubungan
cinta dengan Friederike akhirnya diputuskan begitu saja oleh Goethe, perilaku
yang akan menjadi tipikal baginya yang ternyata agak takut untuk mengikatkan
diri kepada manusia lain. Padahal ia sendiri kemudian mengaku, bahwa ia „hampir
mati karena berpisah dari Friederike“.
Sebelum hari ulang tahunnya yang ke-22 Goethe kembali ke Frankfurt dan untuk
sementara bekerja sebagai pengacara. Tapi, ia tidak puas dengan pekerjaan itu
dan segera berhenti. Ia mulai bergaul dengan kalangan sastrawan dan budayawan
dan menyusun drama Götz von Berlichingen yang terbit pada tahun 1773. Drama
tentang kesatria Götz von Berlichingen, tokoh historis dari abad ke-16, itu
dianggap semacam revolusi susastra, baik dari segi formal maupun isi. Karya itu
termasuk karya terpenting dari aliran Sturm und Drang (harfiah: "Badai dan
Desakan"), di mana Goethe dan Herder menjadi penggerak utama. Sturm und
Drang dapat digambarkan sebagai aliran antirasionalistis dan anti-pencerahan
yang mementingkan otonomi sang seniman sebagai jenius yang bebas dan tak
terikat. Dengan terbit dan dipentaskannya Götz von Berlichingen Goethe menjadi
sastrawan yang cukup terkenal di seluruh Jerman.
Pada awal tahun 1772 Goethe pindah ke Wetzlar dekat Frankfurt dan bersedia
meneruskan kariernya sebagai ahli hukum di Pengadilan kota itu. Namun, seperti
biasa ia kelak berhenti. Kehidupan Goethe di Wetzlar lebih diwarnai oleh cintanya
kepada Charlotte Buff, perempuan berumur 18 tahun yang telah bertunangan dengan
lelaki lain. Cinta yang tak sampai itu menyebabkan Goethe “melarikan diri” dari
Wetzlar. Namun, konstelasi segi tiga itu serta bunuh dirinya seorang pemuda
Wetzlar menjadi bahan dan alasan Goethe untuk menuliskan – dalam waktu empat
minggu – salah satu dari novel terkenal dalam sejarah sastra dunia: Die Leiden
des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werther) yang terbit pada tahun 1774.
Tokoh Werther, yang membunuh diri akibat cinta yang tak sampai, dalam
keunikannya sederajat dengan tokoh susastra seperti Don Quichote, Hamlet, Don
Juan atau Faust. Terbitnya novel itu membuat Goethe terkenal di seluruh Eropa,
dan novel itu - termasuk tokohnya - dikultuskan seperti sebelumnya mungkin tak
pernah terjadi pada sebuah karya sastra. Terjadilah “demam Werther”: Generasi
muda di seluruh Jerman berpakaian seperti Werther dalam novelnya, berbicara
dengan gaya Werther etc. Sekaligus, novel itu dianggap skandal karena dapat
diinterpretasi sebagai pembelaan tindakan bunuh diri. Apalagi ada berbagai
kasus bunuh diri setelah orang membaca novel itu yang menjadi puncak aliran
Sturm und Drang untuk genre epis.
Sekembalinya di Frankfurt Goethe berkarya terus dan menyusun berbagai drama,
antara lain Clavigo dan Stella. Pada akhir tahun 1774 ia berkenalan dengan Lili
Schönemann dan jatuh cinta. Cintanya dijawab dan mereka bertunangan resmi.
Namun, tiba-tiba Goethe kembali „melarikan diri“ dan memutuskan hubungan. Putus
asa dan berpakaian gaya Werther ia mengadakan perjalanan ke Swis. Pulang di
Frankfurt ia masih dalam keadaan bimbang, tak dapat memahami diri. Tapi
nasibnya membuka jalan baru untuk Goethe. Ia diberi peluang untuk memulai
kehidupan yang baru. Oleh Carl August, hertog di negara Weimar-Sachsen-Eisenach
di bagian timur Jerman, ia ditawari menjadi pejabat dalam pemerintahan
kehertogan di kota Weimar. Pada awalnya Goethe ragu, malah mau pergi ke Itali.
Tapi akhirnya ia setuju dan berangkat ke Weimar dalam kereta kuda yang
disediakan oleh hertog. Keputusan itu akan menentukan riwayat hidup Goethe
selanjutnya, karena Weimar lah akan menjadi “rumahnya” sampai akhir hidup. Dan
kota kecil Weimar akan menjadi “kota Goethe” dan berkat Goethe akan menjadi
sebuah pusat kebudayaan Eropa.
Pada abad ke-18 Jerman belum bersatu secara politis. Walau secara formal
dipimpin oleh kaisar, terdapat ratusan negara otonom (kerajaan, kehertogan,
kota etc.). Di antaranya ada beberapa yang kuat, khususnya Prusia dan Austria
yang senantiasa bersaing dan juga sempat saling memerangi, tapi kebanyakan
negara itu agak kecil dan lemah. Kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach salah satu
dari sekian negara kecil itu, dan dipimpin oleh seorang hertog yang memerintah
negaranya secara absolutistis. Carl August naik takhta pada tahun 1775, ketika
umurnya baru 18 tahun. Sebagai pribadi yang terbuka kepada kesenian dan
kesusastraan, ia sangat tertarik kepada Goethe, sang pujangga muda dan penulis
Werther terkenal itu, dan sangat puas ketika Goethe menerima panggilannya ke
Weimar. Carl August kemudian bukan saja menjadi atasan bagi Goethe, melainkan
juga pengagum, sahabat dan maesenasnya. Pada bulan November 1775 Goethe sampai di Weimar. Ia segera memulaikan tugasnya
sebagai pejabat, dan menempuh karier yang gemilang. Goethe akhirnya menjadi
menteri, bahkan perdana menteri, dan dianugrahkan gelar bangsawan, dengan
ditambahnya kata "von" pada namanya. Bermacam-macam kewenangan diberi
kepadanya. Goethe antara lain pernah memimpin resor pertahanan, pembangunan
jalan, keuangan, pertambangan, dan kebudayaan. Sebagai negarawan Goethe sangat
berjasa bagi kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach. Tidak saja karena ia seorang
menteri yang cekatan dan berinisiatif, melainkan juga karena ia menjadi
penasehat, bahkan semacam guru bagi Carl August.
Goethe sendiri menyebutkan kepindahannya ke dunia politik sebagai
"kepindahan ke dunia nyata". Ia menekuni tugas-tugasnya yang baru,
benar-benar menjadi politikus dan selama sepuluh tahun pertama di Weimar
produktifitas sebagai sastrawan agak menurun, kecuali di bidang puisi.
Perhatiannya lebih diarahkan ke ilmu alam: biologi, khususnya anatomi. Pada
tahun 1784 ia menemukan sebuah tulang kecil (os intermaxillare) pada kepala
manusia, yang ketika itu merupakan sebuah sensasi bagi para ahli yang
beranggapan bahwa tulang demikian hanya terdapat pada hewan. Goethe yang
"secara intuitif merasakan persaudaraan rahasia antara hewan dan
manusia" dengan penelitian tekun tokh membuktikan keterbalikannya. Tahun-tahun awal di Weimar tentu tetap diwarnai oleh bermacam-macam kegiatan
budaya yang dilakukan Goethe. Ia memanggil sekian banyak tokoh budaya ke
Weimar, antaranya Herder, dan memberi jawatan kepada mereka. Bersama
budayawan-budayawan itu Goethe dilibatkan dalam diskusi dan dialog yang subur.
Sedangkan kehidupan privat Goethe, yang tinggal dalam rumah mewah yang
dihadiahkan oleh Hertog Carl August kepadanya, tetap cukup menarik. Ia
berhubungan erat dengan isteri seorang pejabat lain, yaitu bangsawati Charlotte
von Stein. Wanita sensitif dan berpendidikan tinggi itu selama hampir sepuluh
tahun menjadi sahabat mungkin juga kekasih Goethe, dan banyak mempengaruhinya
menjadi pribadi yang matang dan berdisiplin.
Setelah sepuluh tahun di Weimar, Goethe mulai merasa jenuh. Ia kecewa bahwa
cita-citanya sebagai negarawan dan politikus kurang dapat diwujudkan.
Hubungannya yang ganjil dengan Charlotte von Stein juga tidak memuaskannya
lagi. "Saya harus kembali menguliti diri, seperti seekor reptil",
begitu komentarnya, ketika ia merencanakan suatu adegan baru dalam kehidupannya.
Pada tahun 1786 ia memohon kepada Hertog Carl August untuk diberi cuti, dan -
tanpa pamit kepada Charlotte - berangkatlah ia ke Itali, negara yang sejak dulu
diidamkannya. Semacam "pelarian diri" lagi yang terjadi.
Selama hampir dua tahun Goethe hidup di Itali, khususnya di Roma. Ia
mempelajari kesenian dan arsitektur klasik dari zaman Romawi dan Yunani, juga
kesenian renaissance. Dalam karya Raffael sebagai pembaharu zaman antike ia
melihat puncak kesenian Barat. Goethe merasa sangat diperkaya dan terilhami oleh
perjalanannya ke Itali, dan menemukan diri lagi sebagai seniman. Ia mulai giat
lagi berkarya, merampungkan versi bersajak dari drama Iphigenie auf Tauris
(Ifigenia di Semenanjung Tauris) serta drama Egmont, dan mulai menyusun drama
historis Torquato Tasso. Ia juga mengumpulkan bahan dan inspirasi untuk sebuah
kumpulan puisi yang gemilang, yaitu Römische Elegien (Elegi-elegi Roma) -
dirampungkan pada tahun 1790 - yang unsur-unsur erotisnya menandakan bahwa
Goethe selama di Itali juga menimbun pengalaman demikian. Di Itali, Goethe
merasa "lahir kembali". Sebagai manusia, dan sebagai seniman. Dan
masukan-masukan selama perjalanan ke Itali itu, khususnya di bidang estetika,
akan menjadi dasar bagi aliran atau zaman Klasik Jerman yang dipelopori oleh
Goethe, antaranya dengan karya-karyanya yang dihasilkan di Itali.
Pada tahun 1788 Goethe - yang umurnya kini hampir 40 tahun - kembali ke Weimar.
Sebagai pejabat - ia tetap berposisi menteri - ia tidak lagi bersedia mengurus
bidang yang kurang menarik perhatiannya, dan juga mengurangi tugas atau beban
administratif yang dulu dipikulnya. Hertog Carl August kecewa, tapi setuju
juga. Goethe memilih menangani bidang budaya dan ilmu pengetahuan. Ia menjadi
direktor Teater Kehertogan, Inspektur Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan di
Weimar dan kota universitas Jena, yang tidak jauh dari Weimar. Hubungannya
kepada ilmuwan-ilmuwan di Universitas Jena semakin erat, baik ke kalangan
humaniora - misalnya para filosof besar seperti Fichte, Schelling dan Hegel -
maupun kalangan ilmu alam, termasuk Alexander von Humboldt. Goethe memang
semakin tertarik pada ilmu alam, khususnya bidang optik.
Pada awalnya Goethe merasa sulit menyesuaikan diri lagi kepada suasana di
Weimar. Ia tidak merasa "di rumah". Hal ini berubah, ketika pada akhir
tahun 1788 ia berkenalan dengan Christiane Vulpius, seorang perempuan sederhana
dan tak berpendidikan yang umurnya saat itu 23 tahun. Christiane ia jadikan
kekasihnya dan hidup serumah dengan dia. Hal ini oleh warga kota Weimar, juga
oleh teman-teman Goethe termasuk Herder, dianggap kurang tepat atau bahkan
skandal. Apalagi, ketika pada tahun 1789 Christiane melahirkan putra mereka
yang diberi nama August, dan Goethe tokh tidak merasa perlu menikahinya. Goethe
disindir dan dicekam, namun ia tidak terlalu menggubrisnya. Baru pada tahun
1806 Goethe - agak terlambat - meresmikan hubungannya dengan Christiane dan
menjadikannya isterinya. Sampai ajal Christiane pada tahun 1815 mereka hidup
rukun dan cukup bahagia.
Faktor lain yang memungkinkan Goethe kembali merasa betah di Weimar adalah
kenyataan bahwa Weimar - bersama dengan Jena - semakin berkembang menjadi pusat
budaya Jerman. Semakin banyak tokoh berdatangan, termasuk pujangga dan
sejarahwan Friedrich von Schiller yang kelak akan menjadi rekan dan sahabat
Goethe yang terpenting. Kerja sama antara dua pujangga Jerman ini – mereka
sendiri menyebutkanya “persekutuan” - merupakan puncak zaman klasik Jerman dan
juga disebut “Klasik Weimar”. Kedua-duanya berkiblat pada kebudayaan dan
kesenian Yunani dan Romawi dan berusaha melahirkannya kembali dalam karya-karya
sendiri. Mereka saling mengilhami, bahkan menghasilkan karya bersama, yaitu
kumpulan epigram berjudul Xenien dan Tabulae Votivae. Mereka pun bersama-sama
menyunting majalah budaya, seperti Die Horen dan Propyläen, di mana mereka
memaparkan teori mereka tentang perihal estetika, susastra, teater, arsitektur
etc. Dalam sejarah budaya jarang terjadi kerja sama sesubur kerja sama antara
“dwitunggal” Goethe dan Schiller. Hanya, semua itu tidak berlangsung terlalu
lama, karena Schiller meninggal dunia pada tahun 1805, ketika umurnya baru 45
tahun.
Sejak perjalanannya ke Itali Goethe semakin produktif. Sebagai sastrawan ia
menghasilkan berbagai karya besar, di antaranya trilogi novel Wilhelm Meister
yang mulai ditulisnya pada tahun 1796, epos satiris Reineke Fuchs (1793) ,
jilid I dari dramanya yang terpenting Faust (1806) dan – tentu – banyak sekali
puisi. Di samping itu, Goethe juga menulis karya ilmiah, seperti Metamorphose
der Pflanzen (Metamorfosis Tumbuhan-tumbuhan), 1790, Beiträge zur Optik
(Sumbangan-sumbangan pada ilmu optik), 1791, serta Farbenlehre (Teori Warna),
1810. Bagi Goethe, karya ilmiahnya tak kalah pentingnya dibandingkan karya
susastranya, dan ia agak kecewa, ketika kebanyakan “penemuannya” kurang
diapresiasi oleh dunia akademis, hal yang umumnya berlaku sampai sekarang. Cara
penelitian Goethe memang sangat berbeda dari positivisme yang pada masa
hidupnya sudah mulai mendominasikan metode-metode ilmiah. Bagi Goethe sendiri,
fenomena-fenomena hanya akan benar-benar dipahami, bila – berdasarkan
penelitian empiris – dipandang secara holistis. “Tiada fenomena yang bisa
menerangkan diri sendiri; baru kalau banyak fenomena dipandang secara
sistematis dan menyeluruh, mereka dapat menyumbang pada sesuatu yang dapat
dianggap teori”. Demikian salah satu penjelasan Goethe. Pendekatan atau metode
ilmiah Goethe, yang pada tahun 1803 telah diberi nama “goetheanisme”, pada
zaman sekarang masih hidup juga, terutama di kalangan gerakan antroposofi yang
didirikan filosof dan mistikus Rudolf Steiner pada awal abad ke-20.
Di antara tahun 1788 dan 1815 Goethe tetap dilibatkan dalam hal-hal politik,
walau ia telah mengurangi beban administratifnya. Memang, tak ada jalan lain
baginya, karena begitu banyak peristiwa sejarah yang dampaknya terasa juga di
kehertogan Weimar. Pada tahun 1789 meletuslah Revolusi Perancis yang berakibat
pada perang antara pasukan revolusioner Perancis dan tentara koalisi
Prusia-Austria serta negara Jerman lainnya, termasuk Weimar. Goethe mendampingi
Hertog Carl August ke medan perang, dan dekat Mainz di bagian Barat Jerman ia
menyaksikan kekalahan tentara koalisi Jerman. Goethe risi terhadap dampak
Revolusi Perancis yang jelas merupakan ancaman terhadap sistem pemerintahan
absolutistis di Jerman. Walau ia dapat memahami cita-cita revolusi, ia dengan
tajam menolaknya. Bukan (saja) karena ia sebagian dari sistem lama, melainkan
karena ia menolak segala macam revolusi. Baginya, hanya reformasi alamiah
sanggup memecahkan masalah ketakadilan dan sebagainya. Konflik antara Perancis
revolusioner dan Jerman semakin panas, ketika Napoleon mulai berkuasa pada
tahun 1799. Kekalahan Austria pada tahun 1805 di Austerlitz menyebakan
berakhirnya “Kekaisaran Romawi Berkebangsaan Jerman” yang secara formal telah berlangsung
selama lebih dari delapan abad. Kaisar Franz II. terpaksa meletakkan
makhkotanya. Dan perang semakin mendekati Weimar. Prusia dan sekutunya pada
tahun 1806 dikalahkan tentara Napoleon dalam pertempuran di Jena, dan kota
Weimar diduduki pasukan Perancis. Penjarahan terjadi, dan rumah Goethe pun
diserbu perajurit Perancis. Dalam keadaan kacau demikian Goethe tetap menteri
kehertogan dan dilibatkan dalam perundingan diplomatis dengan pihak penjajah.
Dalam rangka Kongres Erfurt pada tahun 1808 di kota Erfurt dekat Weimar, Goethe
diterima oleh Napoleon yang ternyata pengagum beratnya. Kaisar Perancis itu
tidak saja menghadiahkan bintang kepada pujangga Jerman besar itu, melainkan
menawarkan kepadanya untuk pindah ke Paris “untuk di sana menulis drama-drama
kepahlawanan”. Goethe menolak, walau ia cukup terpesona oleh pribadi Napoleon.
Kemudian Goethe, yang tak pernah menjadi seorang nasionalis Jerman, mendukung
perlawanan atau perang kemerdekaan terhadap penjajah Perancis. Dan akhirnya
Napoleon memang dapat dikalahkan oleh Prusia dan sekutunya dalam pertempuran di
Leipzig pada tahun 1813. Dalam Kongres Wina pada tahun 1815 Eropa diatur secara
baru. Ide-ide revolusi kalah untuk sementara, dan mulailah zaman restorasi.
Kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach diuntungkan oleh keputusan-keputusan Kongres
Wina dengan dijadikan "Kehertogan Besar" dan dengan dianungrahkannya
gelar "Paduka Raja" kepada Hertog Carl August. Kemenangan
kekuatan-kekuatan konservatif tentu disambut oleh Menteri Goethe.
Pada tahun 1815 umur Goethe 66 tahun. Mulailah "masa tuanya", dan
dengan melepaskan jawatannya yang terakhir, yaitu kepemimpinan Teater
Kehertogan, ia pensiun sebagai pejabat. Sejak meninggalnya isterinya Christiane
pada tahun 1816, ia hidup bersama putranya August dan diurus oleh mantunya.
Sementara ini, Goethe telah menjadi sebuah legenda hidup dan semakin
dikultuskan oleh sastrawan dan budayawan muda yang "berziarah" ke
rumahnya dengan harapan diterima oleh Goethe. Produktivitas sebagai sastrawan
dan ilmuwan tidak menurun. Ia terus-menerus melengkapi otobiografinya Dichtung
und Wahrheit (Fiksi dan Kebenaran), banyak sekali menulis puisi, termasuk cukup
banyak aforisme, dan tetap mengadakan penelitian ilmiah. Antara sekian banyak
karya susastra yang dihasilkan pada masa tuanya, paling sedikit dua karya agung
yang perlu disebut, yaitu kumpulan puisinya West-Östlicher Diwan (Diwan
Barat-Timur) yang terbit pada tahun 1919, dan mahakaryanya Faust II (1831),
bagian II dari drama Faust yang termasuk drama paling penting dalam sejarah
sastra dunia.
Pada tahun 1822 Goethe mengalami serangan jantung yang pertama, dan selama satu
tahun agak sakit-sakitan. Setelah sembuh, ia semakin giat, sering mengadakan
perjalanan ke kota tetirah Karlsbad dan Marienbad di Bohemia. Di Marienbad ia
bertemu dengan Ulrike von Levetzow dan jatuh cinta kepada gadis yang berumur 19
tahun itu. Bahkan, ia bertekad menikahinya. Namun, lamaran resminya, yang
disampaikan kepada Ulrike melalui Hertog Carl August, ditolak dengan halus.
Goethe terpukul. Ia semakin menyepi, dan menyibukkan diri dengan berkarya. Pada
tahun 1828 Hertog Carl August meninggal dunia. Goethe kehilangan pendukungnya
yang paling setia. Pukulan nasib berikutnya adalah meninggalnya anak tunggalnya
August dalam perjalanan di Itali pada tahun 1830. Goethe semakin sepi. Sering
juga sakit-sakitan. Pada bulan Maret 1832 ia kembali mengalami serangan
jantung. Ditambah infeksi paru-paru, keadaanya menjadi parah. Ia meninggal
dunia dalam keadaan tenang pada tanggal 22 Maret 1832. Pujangga terbesar Jerman
dikebumikan di Weimar, di tempat kuburan para hertog Weimar, di samping
Friedrich von Schiller, rekan dan sahabatnya. Kuburannya sampai sekarang
menjadi tempat ziarah bagi para pengagumnya dan wisatawan dari mancanegara.
Riwayat hidup Goethe yang kami sajikan di atas tentu hanya merupakan riwayat
yang sesingkat-singkatnya, dan hanya dapat mengandung fakta-fakta yang paling
penting. Tetapi, bila dalam bagian berikut pengantar ini kami akan membicarakan
puisi Goethe - khususnya puisi-puisi yang dimuatkan dalam buku ini -, maka akan
disampaikan pula berbagai informasi tambahan tentang kehidupannya, khususnya
juga tentang keyakinan, kepercayaan atau pandangan hidup pujangga besar itu.
Goethe sendiri pernah mengatakan, bahwa karya-karyanya merupakan "pecahan
sebuah keyakinan yang menyeluruh", dan hal itu khususnya berlaku bagi
puisinya.
Goethe telah menuliskan ribuan puisi. Dari masa kanaknya sampai lanjut usia.
Sejak masa remajanya, produktifitas sebagai penyair tak pernah menurun, juga
selama dasawarsa pertama di Weimar, ketika ia lebih mementingkan tugasnya
sebagai pejabat. Menulis puisi bagi Goethe adalah satu kebutuhan yang mustahil
diabaikan. Puisinya diwarnai oleh kebinekaan yang luar biasa, baik formal
maupun tematis. Goethe menguasai semua bentuk puisi yang dikembangkan para
penyair di masa sebelumnya. Dari bentuk puisi klasik Yunani sampai bentuk puisi
Germania. Kita menemukan himne, balada, soneta, “puisi rakyat”, epigram etc.
etc. Terdapat puisi dengan metrum dan rima teratur, ada juga puisi bermetrum
bebas. Ia pun menemukan bentuk-bentuk baru dan menemukan gaya sendiri yang tak
tertiru penyair lain. Dari segi tema, puisi Goethe tak kalah beragam. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia dijadikan tema untuk puisinya.
Bahkan tema ilmiah ia sajikan dalam bentuk puisi, seperti misalnya Metamorphose
der Pflanzen (Metamorfosis Tumbuh-tumbuhan). Dan memang: alam atau ilmu alam,
filosofi atau manusia, semua itu bagi Goethe tak terpisahkan dari puisi.
Melalui puisi Goethe berusaha melihat dan memperlihatkan bahwa - sesuai dengan
ucapannya sendiri - "segala keduniawian mengandung rahasia luhur yang
nyata". Dan bila pengalaman pribadi atau kenyataan-kenyataan diolahnya
menjadi puisi, Goethe senantiasa berupaya memahami dan menerangkan hakekat kehidupan
manusia serta keteraturan spiritual yang berada di belakang semuanya yang
kentara. Puisi Goethe sebenarnya adalah dokumentasi dari sebuah perjalanan
batiniah. Dan puisi Goethe seolah merupakan kosmos tersendiri.
Kiranya tak dapat disangsikan: Goethe adalah penyair berbahasa Jerman yang
terbesar, dan termasuk penyair dunia yang terhebat. Terkadang memang orang
menyebutkan Hölderlin, Heine, Rilke atau Brecht sebagai penyair berbahasa
Jerman nomor wahid, tapi paling sedikit dari segi kebinekaan dan pengaruh atas
generasi-generasi berikutnya, oevre puitis Goethe lah yang paling berarti.
Tidak mudah bagi editor buku ini untuk menyusun kumpulan puisi Goethe yang agak
representatif. Kwantitas oevre puitis itu saja memustahilkan upaya demikian.
Namun, kami mengharap bahwa kami berhasil menyajikan sebuah kumpulan yang dapat
memberi gambaran yang cukup luas tentang keanekaan formal dan tematis kepuisian
Goethe, dan tentu kami telah memuatkan pula sekian dari puisinya yang paling
dikenal. Puisi-puisi Goethe kami sajikan dalam lima bagian, yaitu “Batas-batas
Manusia”, “Keping-keping Kebijaksanaan”, “Merindu Mati di Kobaran Api”, “Tak
Berkulit Tak Berbiji”, dan “Wasiat”. Judul-judul itu dipilih berdasarkan judul
atau teks puisi Goethe sendiri, kecuali “Keping-keping Kebijaksanaan” yang
merupakan ide editor. Pada dasarnya masing-masing puisi diatur secara
kronologis, walau prinsip itu tidak kami pegang dengan sangat ketat.
Dalam bagian I kumpulan ini, “Batas-batas Manusia” disajikan puisi Goethe yang
ditulisnya antara tahun 1771 dan 1785. Berarti, ditulisnya ketika ia masih
tinggal di Frankfurt atau bagian Barat Jerman serta selama dasawarsa pertamanya
di Weimar. Prometheus dan Ganymed mengawali bagian I. Ditulis pada tahun 1774,
kedua himne bermetrum bebas dan terkenal itu termasuk fase Sturm und Drang,
sekaligus merupakan sumbangan puisi Goethe terpenting kepada aliran yang ikut
ia pelopori itu. Khususnya tokoh Prometheus seperti digambarkan oleh Goethe,
yakni sebagai pencipta dan pemberani terhadap para dewa, berkaitan erat dengan
ide Sturm und Drang tentang seniman sebagai jenius dan pencipta yang serba
bebas dan mandiri. Sedangkan Ganymed dalam himne Goethe tampil sebagai tokoh
yang lunak, yang merindukan penciptanya dan bertemu dengannya melalui penyatuan
dengan alam. Jelas di situ unsur panteistis, salah satu petanda bahwa Goethe
pernah dipengaruhi oleh filosof Belanda Baruch Spinoza (1632-1677) yang
mengajar kesatuan antara Tuhan dan alam.
Himne-himne terkenal lain yang dihasilkan Goethe setelah pindah ke Weimar juga
kami muatkan dalam bagian I, yaitu Grenzen der Menschheit (Batas-batas
Manusia), Gesang der Geister über den Wassern (Nyanyian Ruh di Atas Air) serta
Das Göttliche (Keillahian). Juga berbentuk metrum bebas ketiga himne itu
mengandung renungan dan juga ajaran filosofis tentang manusia dan keillahian.
Goethe percaya mutlak kepada keillahian, namun ia tak pernah merasa terikat
oleh agama formal apa pun, dan khususnya tak pernah merasa dirinya menjadi
seorang Nasrani. Ia menolak kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai anak Tuhan
dan juru selamat. Membicarakan keillahian ia sering memakai kata “dewa” dan
dalam hal itu terasa betapa dekatnya Goethe pada mitologi Yunani. Kepercayaan
Goethe tak mungkin diringkaskan secara detil, ia pun tak pernah memegang ajaran
yang pasti dan bermacam-macam pandangan dapat ditemukan dalam karya-karyanya.
Misalnya, himne Gesang der Geister über den Wassern (Nyanyian Ruh di Atas Air)
dapat saja diinterpretasikan sebagai penggambaran reinkarnasi, mengingat bait
pertama yang berbunyi: Jiwa manusia/Serupa air:/Dari langit datang,/Ke langit
pergi,/Dan mesti kembali/Turun ke bumi,/Abadi silih berganti. Untuk mengetahui
inti kepercayaan Goethe, mungkin sebaiknya kita berpegang kepada sebuah
ucapannya dari tahun 1824: „Memikirkan maut, saya sama sekali tenang, karena
saya berkeyakinan, bahwa ruh kita tak mungkin sirna; ia adalah sesuatu yang
bergerak dari keabadian ke keabadian.“
Puisi-puisi lain dalam bagian I sangatlah berbeda dari himne-himne yang disebut
di atas. Terdapat dua puisi cinta yang sederhana, Wenn ich, liebe Lili (Andai
Aku Tak Cinta Kau) dan Woher sind wir geboren? (Dari Mana Kita Mengada?) yang
berlatarbelakang biografis. Yang pertama berkaitan secara langsung dengan Lili
Schönemann, sedangkan yang kedua pernah dikirim kepada sahabat perempuannya di
Weimar, Charlotte von Stein. Balada Heidenröslein (Mawar Tegalan) tak kalah
sederhana. Ia adalah contoh untuk sekian banyak puisi Goethe dan ditulisnya
dalam gaya puisi rakyat. Balada pendek ini yang dihasilkan Goethe di Straßburg
setelah bertemu dengan Herder telah dilagukan oleh komponis Jerman Franz
Schubert (1797-1828) dan sampai sekarang sering dinyanyikan dan dikenal oleh
hampir semua orang Jerman. Schubert jugalah yang melagukan balada dahsyat
Erlkönig (Raja Mambang) tentang makhluk spiritual yang sanggup mengancam jiwa
manusia. Alam dalam balada legendaris ini digambarkan Goethe sebagai sesuatu
yang begitu mengerikan. Bahan untuk balada ini Goethe temukan dalam cerita
rakyat Denmark yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Jerman oleh Herder.
Dibandingkan dengan suasana Erlkönig, sifat alam dalam terasa sangat berbeda
dalam dua puisi liris yang juga termasuk puisi Goethe yang sangat terkenal,
yaitu Wanderers Nachtlied (Dendang Malam Pengembara) dan Ein Gleiches (Yang Sepadan).
Kedua puisi itu sederhana, sekaligus sempurna. Isi dan bentuk (rima dan irama)
menyatu, sehingga menambah atau menghilangkan satu kata pun dari teksnya, akan
berarti menghancurkan keseluruhan struktur yang begitu terpadu.
Dalam bagian II, “Keping-keping Kebijaksanaan”, pembaca disajikan berbagai
karya yang dihasilkan bersama oleh Goethe dan "sekutunya" Schiller.
Kiranya hal itu pantas untuk sebuah kumpulan puisi Goethe, mengingat betapa
erat kerja sama antara kedua tokoh itu. Karya-karya itu juga mewakili dan
memberi contoh untuk fase "Klasik Tinggi" atau "Klasik
Weimar" yang diwarnai oleh "persekutuan" antara Goethe dan
Schiller. Karya-karya itu berupa dua kumpulan epigram yang mereka beri nama
Xenien (Xenia) dan Tabulae Votivae. Istilah xenia berasal dari bahasa Yunani
dan berarti "kado". Dalam hal ini, Goethe dan Schiller mengikuti
contoh pujangga Romawi Martial, yang pada abad pertama menyusun kumpulan
epigram dengan judul yang sama. Sedangkan tabulae votivae (bahasa latin)
artinya "papan kaul" dan berkaitan dengan kebiasaan orang Romawi,
juga orang Nasrani, untuk memasang papan atau gambar bertuliskan kaul atau
janji dalam rangka mohon bantuan kepada dewa-dewa atau Tuhan. Kedua istilah itu
oleh Goethe dan Schiller digunakan secara ironis, karena epigram-epigram
mereka, khususnya Xenien, sebenarnya merupakan polemik yang tajam dan keras.
Bersama-sama menulis epigram adalah ide Goethe pada akhir tahun 1795 dan
berlatar belakang rasa kesalnya karena kritik berbagai kalangan terhadap
majalah sastra dan budaya Die Horen, di mana Goethe, Schiller dan rekan-rekan
mempublikasikan esei-esei dan teori-teori "Klasik" mereka. Untuk
menjawab kritik itu, Goethe dan Schiller bersepakat untuk tiap hari menyusun
paling sedikit satu epigram sebagai kontra-kritik yang pedas, ironis, sekaligus
berisikan kebijaksanaan umum. Dan rencana itu terwujud juga, sehingga akhirnya
terdapat 414 Xenia dan 103 Tabulae Votivae yang mereka publikasikan pada akhir
tahun 1796. Reaksi dari lawan mereka datang segera, dan sebagian dari mereka
yang diserang - juga sebagai pribadi - menjawab dengan xenia sendiri.
Terjadilah apa yang dalam sejarah sastra Jerman disebut "Perang
Xenia", karena Goethe dan Schiller tentu menjawab dengan xenia yang baru
juga. Masing-masing epigram dalam Xenien dan Tabulae Votivae tidak ditulis
bersama-sama oleh Schiller dan Goethe, hanya keseluruhannya merupakan karya
bersama. Hingga sekarang para filolog pun tidak mengetahui persis epigram mana
yang ditulis oleh Goethe dan yang mana ditulis oleh Schiller. Namun dan
bagaimana pun, kedua kumpulan itu merupakan sebuah puncak "seni
berepigram". Bentuknya saja cukup menarik, yaitu distichon (puisi Yunani
dengan dua baris) bermetrum ketat, yakni hexameter dengan enam tekanan yang
disusul pentameter dengan lima tekanan. Untuk buku ini para editor memilih
kira-kira dua puluh epigram, di antaranya beberapa yang memberi gambaran cukup
jelas tentang pandangan hidup kedua tokoh itu. Misalnya Mein Glaube
(Kepercayaanku) yang berbunyi: Agama mana kuanut? Tiada dari yang kau sebut!/
Mengapa satu pun tiada? Karena agama.
Bagian III, "Merindu Mati di Kobaran Api", memuatkan puisi terpilih
dari sebuah mahakarya Goethe, yaitu West-Östlicher Diwan (Diwan Barat-Timur)
yang terbit pada tahun 1819 dan mulai ditulis Goethe pada tahun 1815. Karya itu
sudah termasuk karya Goethe yang biasanya disebut "karya Goethe tua".
Kumpulan puisi tebal dan terkenal ini, yang Goethe bagikan menjadi dua belas
„kitab", membuktikan betapa terbukanya Goethe terhadap dunia Timur,
khususnya juga terhadap agama Islam. Sebenarnya perhatian Goethe kepada agama
Islam telah terdapat sejak fase Sturm und Drang, ketika ia pada tahun 1772
menulis himne Mahomets Gesang (Dendang Nabi Muhammad). Bahkan, Goethe pada saat
itu mulai menyusun sebuah drama berjudul Mahomet (Muhammad), tapi tak pernah
merampungkannya. Kira-kira pada tahun 1810 Goethe mulai semakin tertarik kepada
dunia timur, belajar bahasa Arab dan Persia, membaca lagi Al Quran dan puisi
klasik dari Persia (Ferdusi, Rumi dan Hafiz) yang ketika itu telah terdapat
dalam terjemahan ke bahasa Jerman. Ia takjub oleh kekayaan puitis yang ia
temukan dalam karya-karya itu, dan dunia Timur lah ia duga sebagai sumber dan
tempat asalnya puisi. Dan ia merasa begitu dekat dengan pujangga Timur,
khususnya Hafiz, yang sangat ia kagumi. Puisi-puisi dalam Diwan Barat-Timur
membuktikannya, misalnya puisi Unbegrenzt (Tak Berbatas) di mana Goethe
bertutur langsung kepada Hafiz: Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang/Ingin aku
bertanding!/Nikmat dan siksa/Bagi sang kembar, kita berdua!
Agama Islam cukup menonjol
dalam Diwan Barat-Timur, dan sangatlah terasa simpati Goethe terhadap agama
itu. Dalam puisi Ich sah, mit Staunen und Vergnügen (Aku memandang, takjub dan
girang) ia sebutkan Al Quran sebagai Khasanah suci sang ilmu, dan dalam Kitab
Hikmah terdapat kalimat yang terkenal Bila makna Islam pada Tuhan berserah
diri,/Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati., yang sempat ditafsirkan
pengakuan Goethe sebagai orang Islam. Kiranya, tafsiran demikian berlebihan,
namun adalah kenyataan bahwa Goethe sangat menghargai kepercayaan Islam. Ia
sendiri tentu jauh dari semua sikap fundamentalistis atau ortodoks, dan
berbagai puisi dalam Diwan mungkin akan mengagetkan pembaca tertentu, bila –
dalam Kitab Kedai Minuman - misalnya ia tulis, bahwa Sang peminum, bagaimanapun
juga,/ Memandang wajahNya lebih segar belia. Tapi, dalam hal ini Goethe
sebenarnya mengikuti tradisi puisi sufi. Dan memang, sufisme serta pujangga
sufi seperti Hafiz yang ia rasakan sejalan dengan dia sendiri. Goethe sendiri
dalam Diwan telah menyumbangkan salah satu puisi sufi yang terindah, yaitu
Selige Sehnsucht (Rindu Dendam), tentang kupu-kupu yang merindu mati di kobaran
api sebagai lambang manusia yang merindukan cahaya Illahi.
Menuliskan Diwan Barat-Timur tidak berarti Goethe menjadi pujangga Timur atau
tiba-tiba kerkiblat kepada dunia timur belaka. Unsur-unsur budaya Yunani klasik
dan agama Nasrani dapat juga ditemukan dalam kumpulan puisi yang unik itu.
Unsur otobiografis pun tak dapat dinafikan, karena tokoh Suleika dalam Diwan
jelas berkaitan dengan Marianne von Willemer, salah seorang lagi dari sekian
perempuan yang pernah Goethe cintai. Diwan Barat-Timur adalah pemaduan atau
simbiosis antara aneka masukan, yang menjelma menjadi sesuatu yang besar dan
utuh. Dengan Diwan Goethe telah memberi sumbangan besar terhadap Weltliteratur
(sastra dunia), istilah yang tidak kebetulan ditemukan dan diperkenalkan oleh
Goethe sendiri. Segala pemisahan antara Timur dan Barat, antara Nasrani dan
Islam, etc. etc., tidak berlaku bagi Goethe. Ia telah mencipta sesuai dengan
ucapannya dalam Mukadimah Diwan: Yang kenal diri juga sang lain/Di sini pun kan
menyadari:/Timur dan Barat berpilin/Tak terceraikan lagi.//Arif berayun penuh
manfaat/Di antara dua dunia;/Melanglang timur dan barat/Mencapai hikmah mulia!
Puisi-puisi dalam bagian IV dan V dari kumpulan puisi Goethe ini juga termasuk
"karya Goethe tua" dan - kecuali soneta Natur und Kunst (Alam dan
Seni) yang ditulis pada tahun 1807 sehingga termasuk fase "Klasik
Tinggi" - semuanya ditulis setelah tahun 1815. Dalam bagian IV, "Tak
Berkulit Tak Berbiji", pembaca disajikan lagi berbagai Sprüche, setelah
dalam Kitab Hikmah dari Diwan Barat-Timur sudah dapat membaca berbagai contoh
karya pendek demikian, yang merupakan genre susastra yang dalam sejarah
kesusastraan Jerman mulai populer pada abad pertengahan, khususnya untuk
menyampaikan ajaran moral, hikmah atau kebijaksanaan umum. Semacam aforisme
bersajak, sehingga termasuk genre puisi. Goethe juga menulis banyak aforisme
berbentuk prosa yang kemudian dikumpulkan dalam Maximen und Reflexionen
(Prinsip-Prinsip dan Renungan), tapi di usia lanjut ia semakin cenderung
menyusun Sprüche. Ada saatnya di mana ia hampir tiap hari mencatat karya pendek
demikian yang bertemakan apa saja yang ia alami atau ia renungkan pada hari
itu. Caranya menggubah tema tidak setajam gaya dalam Xenien atau Tabulae
Votivae yang juga bersifat aforistis, dan untuk Sprüche ia tidak memilih metrum
Yunani, melainkan metrum yang biasanya digunakan dalam puisi rakyat Jerman, sehingga
Sprüche itu mirip peribahasa. Jumlah Sprüche yang ditulis Goethe hampir seribu
buah. Sebagian darinya Goethe kumpulkan di bawah judul Zahme Xenien (Xenia
Lunak).
Dalam bagian V berjudulkan "Wasiat" terdapat sepuluh lagi puisi
Goethe. Sebuah puisi-alam sederhana, Immer und Überall (Di Mana Saja dan
Senantiasa), mengawali bagian akhir buku ini dan disusul oleh Mignon atau
Kennst du das Land (Kenalkah kau negeri). Sajak itu, yang dimuatkan Goethe
dalam jilid III novelnya Wilhelm Meister, juga termasuk puisi Goethe yang
paling terkenal. Pembaca Jerman sangat menyenanginya, bukan saja karena isinya
yang romantis-misterius, melainkan juga karena bentuknya yang begitu indah
dengan keselerasan bunyi dan iramanya.
Kedelapan puisi lain dalam bagian "Wasiat" kiranya tak kurang indah,
dan sekaligus berisikan renungan yang filosofis dan/atau mistis. Dalam
puisi-puisi itu Goethe menyampaikan berbagai dasar-dasar dari pandangan
hidupnya dan mengangkat tema-tema yang dari dulu memainkan peranan penting
dalam pemikirannya. Dalam puisi Im Namen dessen (Atas Nama Dia) ia memaparkan,
betapa seluruh alam hanya merupakan variasi dari Sang Satu atau keillahian.
Bahwa ciptaan tidak pernah terpisah dari pencipta, dan bahwa Ia senantiasa
mewujudkan diri dalam ciptaanNya. Segala sesuatu menurut Goethe serba teratur
dan bermakna, tiada yang kebetulan. Dan Ia juga yang menjadi dasar dari apa
yang memberi makna kepada kehidupan manusia, yakni: Agama, saling percaya,
kasih, karsa, dan tenaga. Salah satu keyakinan dasar lain Goethe sampaikan
dalam puisi Was wär' ein Gott (Apa Artinya Tuhan). Di situ ia menyebutkan,
bahwa juga di dalam terdapat semesta, yakni sebuah mikrokosmos yang sejajar
dengan makrokosmos dan juga bersifat keillahian. Dalam puisi Vermächtnis
(Wasiat) ditambahkannya bahwa justeru dalam mikrokosmos itu, dalam diri
manusia, terdapatkan inti atau pusat yang mencerminkan keillahian serta
keteraturan kosmos, yaitu hati nurani manusia: Kini segeralah menuju diri:/Di
sana kan kau temukan inti, […] sang nurani yang mandiri/menjadi matahari bagi
hariadabmu. Goethe juga yakin, bahwa baik alam maupun manusia senantiasa harus
bergerak dan berubah. Tak mungkin dan tak boleh ada stagnasi. Dalam puisi Eins
und Alles (Satu dan segalanya) Goethe mengingatkan: Sang Abadi berkarya dalam tiap
insan/Karena segala harus runtuh sirna,/Jika hendak bertahan dalam Ada.
Sebagaimana sudah kami singgung di atas, Goethe tidak merasa terikat oleh suatu
konsep tertentu bila ia membicarakan perihal "keillahian". Terkadang
ia menyebutkan Tuhan atau Bapa, terkadang pula Sang Abadi dalam arti sesuatu
yang abstrak dan bukan-pribadi. Terdapat pula istilah seperti ruhdunia, Sang
Ada, dewa etc. Monoteisme, politeisme, panteisme, panenteisme, reinkarnasi,
semuanya dapat ditemukan dalam karya-karya Goethe, termasuk puisinya. Juga
unsur berbagai agama, baik Islam maupun Nasrani. Hal ini mengakibatkan, bahwa
penganut dari sekian agama, kepercayaan atau aliran mengklaim bahwa Goethe
adalah "seorang dari mereka". Padahal, Goethe tak mungkin
dikelompokkan begitu saja. Ia seorang pencari yang jujur dan merasa berhak dan
wajib untuk senantiasa berubah, termasuk dalam pendapat-pendapatnya. Namun,
dasar-dasar keyakinannya tidak berubah, dan salah satu darinya jelas kentara
pada awal puisi Vermächtnis (Wasiat) yang juga mengandung himbauan Goethe
kepada manusia: Tiada makhluk runtuh jadi tiada!/Sang Abadi tak henti berkarya
dalam segala,/Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia!/Abadilah ia: karena
hukum-hukum suci/Melindungi khasanah-khasanah hayati,/Dengannya semesta menghias
diri. Betapa penuh kepercayaan, betapa penuh harapan!
Pengulasan sepintas dan memang terpaksa kurang mendalam atas berbagai puisi
Goethe yang dimuatkan dalam buku ini kiranya pantas diakhiri dengan sebuah
puisi indah, sekaligus sarat makna, yaitu Wär nicht das Auge sonnenhaft (Andai
Sang Mata Tak Bersifat Mentari). Puisi itu ditulis Goethe sebagai pembukaan
Teori Warna, karya ilmiah Goethe yang legendaris itu. Itu sama sekali tidak
mengherankan. Goethe tidak mengenal perbedaan antara kebenaran sains dan agama,
dan baginya tak ada juga cara berbeda untuk menemukan kebenaran itu. Yang ia
anggap prasyarat untuk menemukan jalan kepada kebenaran, secara tidak langsung
disampaikannya dalam puisi tersebut:
Andai sang mata tiada bersifat mentari,
Mentari tak sanggup dilihat olehnya;
Andai dalam diri tiada daya Ilahi,
Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?
Menerjemahkan puisi Goethe merupakan tantangan besar dan kiranya hanya sanggup
dilakukan secara bersama oleh seorang penutur asli bahasa Jerman yang pencinta
puisi dan seorang penyair Indonesia. Namun, dengan cara demikian pun tidak
selalu terjamin bahwa keindahan puisi Goethe dapat dijelmakan dalam terjemahan
Indonesia. Keindahan sebuah puisi adalah hasil dari kesatuan isi dan bentuk.
Khususnya perihal bentuk pada banyak puisi Goethe, yaitu dipilihnya metrum
(irama) tertentu serta pentingnya rima akhir pada tiap baris, ternyata sangat
sulit untuk ditransfer ke dalam Indonesia yang memiliki „alat puitis“ yang
begitu berbeda daripada bahasa-bahasa Eropa. Sehingga perlu diakui, bahwa
bentuk khusus dalam banyak puisi Goethe tidak berhasil kami kopikan ke dalam
terjemahan kami. Walaupun demikian, saya cukup puas atas hasil terjemahan kami,
dan merasa bahagia melihat puisi Goethe yang kini berpakaian Melayu yang indah
juga. Untuk itu saya sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada sahabat
saya Agus R. Sarjono, koeditor dan rekan saya dalam proses penerjemahan. Semoga
upaya kami berdua dalam rangka menerjemahkan puisi Jerman ke bahasa Indonesia
akan berlanjut!
Bonn, September 2006
Daftar Pustaka
Conrady, Karl Otto: Goethe – Leben und Werk, Düsseldorf und Zürich 1999
Mommsen, Katharina: Goethe und der Islam., Frankfurt am Main 2001
Seiling, Max: Goethe als Esoteriker, Neuwied 1988.
Wilpert, Gero von: Goethe-Lexikon. Stuttgart 1998.