Oleh
Nazar Shah Alam (Penyair), tinggal di
Aceh
Saya
pernah membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan
benar, namun saya simpulkan saja seperti ini: Sebuah puisi yang bagus adalah
puisi yang tidak pergi jauh dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran,
salah satu caranya adalah dengan menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana
membuat sebuah puisi yang bagus, sebenarnya ini masalah selera. Orang acap
berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi untuk menentukan bagus atau kurang
bagusnya sebuah karya sama saja seperti menentukan bagus mana lagu dangdut dan
pop pada dua orang yang masing-masing menyukai salah satunya. Sulit sekali dan
tidak memiliki titik temu yang jelas. Namun itu, setidaknya ada beberapa cara
untuk menilai bagus-tidaknya sebuah puisi dengan berpijak pada landasan teori
dasar penciptaan puisi sebuah puisi. Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang
acap dibelakangi oleh penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang
sudah dibelakangi itu, ada beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap
dituruti. Dari situlah kemudian kita mulai menilai sebuah puisi.
Diksi
Penggunaan
diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata yang dipilih diharapkan bisa
memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi erat sekali kaitannya dengan
kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji) dan permajasan (kiasan).
Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan kebutuhan puisi, tidak
berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi segelap-gelapnya” hingga sulit
sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini: matahari jatuh ke pusat peradaban // menghancurkan
geliat musafir jengah //seperti cerobong telinga menitih hamparan laut.
Puisi
tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan pertimbangan menggunakan
kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang baik karena terasa sangat
berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan menemukan makna dari
rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan dengan puisi ini: Kabut
saban waktu mengerubungi langit // saban waktu menggelapi matahari
// berbenah pada musim ini // membuat tubuh sedikit melipir // sedikit
menguras keinginan // Desau selalu terdengar // Menyeruak hingga
labirin telinga // menyusupkan rayuannya (Cerita di Musim Lindap,
Afzhal Putra Armi, Serambi Indonesia, 18 September 2011)
Pemaknaan
dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis sedang ingin meninggalkan suatu
masalah, namun tetap saja tergoda dengan masalah yang sama. Diksi yang terpilih
dan bisa dimaknai secara gamblang atau tersirat. Inilah yang dimaksud
penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi Kepada Tangse karya
Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13 Maret 2011 berikut
menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab mampu memunculkan
imaji dan kesan yang bagus pada pembaca. Kemarin, kamu menangis // air
mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha, // menyapu tuan-tuanmu
sampai mereka tak berdaya bergulir ke ujung kakimu // dan dengan liur
kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka // singsing celana mau mengungsi;
entah ke mana
Selain
itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan bunyi) yang berlebihan
juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak mempermasalahkan hal ini,
sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal tersebut rasanya puisi
tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra yang menginginkan
keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca. Maka menggunakan
diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi tersebut sangat
menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.
Tema
Sebenarnya
dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak terlalu perlu dipermasalahkan.
Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya puisi yang diciptakan mengikuti
selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang untuk koran, tentunya. Namun hal
tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi bertema cinta yang dimuat di koran.
Sebut saja salah satunya puisi Surat Cinta karya Sulaiman Djaya
yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012. Bayangkan, di sebuah taman,
// aku duduk menunggu // dan kau tersenyum, berpayung hitam, // meski
tak ada hujan. // Di sebuah langit yang mendung // atau di
sebelah November yang agak ungu, // kita sekedar bertukar kata, tentang
apa saja: // tentang seorang malaikat, yang, entah kenapa // ingin
menjual sepasang sayapnya // karena bosan mengembara seperti kita.
Tentu
saja tema cinta tersebut mesti diracik sedemikian rupa agar mampu menembus
dominasi tema sosial di koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri
memang banyak sekali ditemui, apalagi pada para remaja. Walaupun demikian,
puisi cinta yang puitik tetap memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh
pada aturan. Tema puisi yang baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan
diri belaka di dalamnya, melainkan juga bisa menggugah orang lain yang
membacanya.
Rima
Pada
dasarnya puisi kontemporer sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama,
persajakan, atau bait. Hanya saja, kemudian puisi itu menjadi lebih indah
dibaca bila rimanya teratur dan rapi. Penggunaan rima dalam puisi kontemporer
tentu berbeda dengan penggunaan rima pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer,
rima yang digunakan lebih terbuka dan tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat
contohnya dalam puisi Sajak Sebelum Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi
Indonesia, 26 Juni 2011 berikut: Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi
puisi // Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal // Bersama
sepotong sunyi, malam pulang sendiri // Dan awan mengajak ruh memintal
mimpi // Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri // Dan di sana
ia jadi apa pun jadi
Puisi
tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat berbeda dengan puisi
lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi lama bersifat
mengikat dan mutlak.
Tipografi
Tata
wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah sangat bebas. Untuk puisi-puisi
tertentu tipografi memang sangat berpengaruh. Namun tipografi yang banyak
digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun tidak terikat jumlah baris.
Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris saja, satu kata saja, atau
kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu, lazimnya penulis menulis puisi
beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan penulis atau perasaan penulis dalam
menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi karya Hamdani Chamsyah, penulis
memakai bentuk spon. Salahkah jika kami murka? // Sedang kalian
menganiaya // Membunuh tanpa rasa.
Bentuk
puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah seperti puisi Makmur Dimila,
Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian Aceh, 8 Januari 2011 yang
menggunakan gaya prosa. Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul
awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau
lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang
duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak
September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau
tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir
menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus
biru!