Dalam ragam riwayat
disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas[1] as adalah pria yang berperawakan tinggi,
tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok
dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu
ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).
Dalam sejarah dan ragam
nukilan riwayat, Abul Fadhl Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala.
Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai
manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia
memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam
untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.
Perjuangan di Karbala
telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai
salah satu pahlawan yang sangat legendaris. Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin
Assajjad as berkata: “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan
(sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada
hari kiamat.”[2]
Imam Assajad as dalam
doanya untuk Abbas as juga berucap: “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas.
Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”
Dalam peperangan dan
perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh
musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan
para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat
agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.[3]
Sang Purnama Bani Hasyim
adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat
tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para
pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup
bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam
Husain as.
Namun, selama terjadi
peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang
bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat
instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di
tangannya.
Dalam penantian instruksi
dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada
beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang
Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata:
“Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”[4]
Beliau juga mengatakan:
“Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk
anak-anak itu.”[5]
Hazrat Abul Fadhl Abbas as
lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati
Abul Fadhl Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti
nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit
tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas
merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:
“Tuhanku, Junjunganku, aku
berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air
untuk anak-anak itu.”[6]
Abul Fadhl Abbas kemudian
meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa qirbah (kantung air dari kulit)
menuju sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu
pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera
mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as
tersebut.
Pemandangan seperti itu
tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abul Fadhl Abbas
segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang
Abul Fadhl Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kuda Abul
Fadhl Abbas bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya,
penjagaan sungai EuFrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar
yang teguh itu.
Sambil menahan letih dan
rasa haus yang mencekiknya, Abul Fadhl Abbas turun ke sungai dengan kudanya.
Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia
meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air
itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya
yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.
Air di telapak tangannya
langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk
air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]
Hazrat Abul Fadhl Abbas as
kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi
pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam.
Namun, perjalanan Abul Fadhl Abbas tetap dihadang musuh. Ia tidak diperkenankan
membawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut.
Kali ini pasukan Umar bin
Sa’ad semakin garang. Abul Fadhl Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang
di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak
anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang
benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abul Fadhl Abbas
menyambar musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali
porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa itu.
Menyaksikan kehebatan dan
ketangguhan Abul Fadhl Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan
langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk
bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik
pepohonan kurma.
Saat Abul Fadhl Abbas
lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga
bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke
tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abul Fadhl Abbas pun putus dan
terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar qirbah air dan
pedangnya.
Dengan satu tangan dan
sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga
tewas. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah
kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan,
dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”[8]
Hazrat Abul Fadhl Abbas as
tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat
pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail
Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan
pedangnya ke arah bahunya. Abul Fadhl Abbas pun tak sempat menghindar lagi.
Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan
Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.
Dalam keadaan tanpa
tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan
menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah
sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan
habisnya harapan Abul Fadhl Abbas.
Aksi pembantaian ini
berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan
itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya.
Abul Fadhl Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan
berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih
tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai
Abu Abdillah.”[9]
Suara dan ratapan Abbas
ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliau pun beranjak ke
arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba
dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara
ajaib kuda itu dapat berucap berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak
melihat ke tanah?”[10]
Imam lantas melihat ke
tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas
tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ
pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan
penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis
tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit
dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan
musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil
memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu.
Di tengah isak tangisnya,
Imam juga berucap kepada Abul Fadhl Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]
Jasad Abul Fadhl Abbas
yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian
bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab,
selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak
kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di
perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”
Imam Husain as kembali
mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl
Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam. “Wahai
kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku
melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu,
sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan
mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan
tanah di wajahmu.”
Kata-kata Abbas itu semakin
meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan
tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik
mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam
perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu
beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.
Abul Fadhl Abbas pun gugur
tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas
mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak
kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari
puterinya, Sakinah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia
telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar
janji?”
Pertanyaan Sakinah nampak
sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum
kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman
sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam
surga.”[12]
Berita pilu ini tak urung
segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab
Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!”
“Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah
kepergianmu!”[13] Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian
Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh
buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang
punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”[14]
Catatan:
[1] Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya
adalah Fatimah Al-Kilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin.
Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah
mempunyiai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim,
serta seorang puteri. Abu Fadhl Abbas gugur di Karbala saat masih berusia 34
tahun. (Sardar Karbala hal.341).
[2] Sardar Karbala hal.240
[3] Muntaha Al-Amaal hal.279
[4] Anwar Assyahadah hal.76
[5] Sardar Karbala hal.287
[6] Anwar Assyahadah hal.78
[7] Bihar Al-Anwar juz 45 hal.41
[8] Ramz Al-Mushibah hal.307
[9] Nadhm Azzahra hal.120
[10] Anwar Assyahadah hal.99
[11] Nasikh Attawarikh juz 2 hal.346
[12] Sugand Nameh Ali Muhammad hal.310
[13] Kibrit Al-Ahmar hal.162
[14] Muhayyij Al-Ahzan, Muthabiq Al-Waqayi’ wa Al-hawadits juz 3 hal.19