Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2010-2011)
Berdasarkan
riwayat keluarga, aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian
menjelang siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal
di tepi jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang
barangkali aku dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung yang
lewat dan segera mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita
beberapa orang di kampung kepadaku ketika aku telah dewasa.
Aku terlahir dari
keluarga miskin dan rumahku berada sendirian di tepi jalan dan sungai, tidak
seperti orang-orang kampung lainnya. Mayoritas keluarga dari pihak ibuku tidak
merestui pernikahan orang tua kami, dan karenanya aku selalu dikucilkan oleh
mereka dalam hal-hal urusan keluarga kakekku dari pihak ibuku.
Meskipun
demikian, orang-orang di kampungku, terutama kaum perempuan dan ibu-ibu, sangat
menghormati ibuku dan aku. Kakek dari pihak ibuku mirip orang Arab dan
berhidung mancung, dan tipikal fisik kakek dari pihak ibuku itu menurun
(diwariskan) kepada anak-anak pamanku (adik ibuku) yang semuanya berhidung
mancung –hingga sepupu-sepupuku (anak-anak paman, adik ibuku) mirip orang-orang
Iran dan Arab.
Dan memang, semua
orang di kampungku mengatakan bahwa pamanku (adik ibuku) adalah lelaki paling
ganteng di kampungku, hingga banyak perempuan yang suka kepadanya. Hanya saja,
Tuhan menjodohkannya dengan perempuan Betawi.
Nama kakekku dari
pihak ibuku adalah Haji Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun bekerja
sebagai petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan pohon-pohon
pandan. Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras kepadanya, ia
sedang menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon bambu, dan hanya
berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus menunggunya pulang
dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek tiriku (yang kurang
kusukai). Maklum, nenekku sudah meninggal ketika aku lahir.
Berkat kekayaan
kakekku dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh pendidikan
di perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata satu,
hingga ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan kakekku
tentu saja satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan anaknya di
perguruan tinggi.
Namun demikian,
meski kakekku orang kaya, keluargaku hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan
karena keluargaku tidak mau mengandalkan kekayaan kakekku. Menurutku hal itu
terjadi karena keluarga kami “disisihkan” oleh keluarga besar kami karena
mereka tidak menyetujui pernikahan orang tua kami. Dan karena itu ibuku harus
bekerja keras menjadi petani dan menanam apa saja yang dapat dijual dan
menghasilkan uang, seperti menanam sayur-sayuran, kacang dan rosella.
Ibuku adalah
perempuan yang dicintai oleh orang-orang di kampungku –terutama oleh kaum
perempuan. Dan setelah ia wafat, penghormatan orang-orang kampung itu beralih
kepadaku. Barangkali karena orang-orang di kampung tahu bahwa yang seringkali
bersamanya saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.
Ia adalah tipe
perempuan yang tidak suka mengobrol dan bergosip, dan hanya akan keluar rumah
jika ada keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan bagi dapur
dan untuk mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia sempat
mengajar ngaji beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan harus
mengoptimalkan keluarga dan harus istirahat karena telah banyak bekerja.
Di masa-masa
sulit, ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya kepada ibuku
apakah kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena itulah aku
seringkali membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan –yang berkat
kerjaku membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu, kami mendapatkan
beberapa liter beras sebagai upah.
Di masa-masa
panen, ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak kami untuk
turut memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu ikut dengan
ibuku. Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah
(mendapatkan 1/4 bagian) –sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di sawah-sawah
mereka, sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi mereka.
Demikianlah
cara-cara orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika
adik-adikku belum lahir, dan bapakku seringkali tidak ada di rumah, yang
karenanya sampai saat ini, aku adalah orang yang kurang menghormati bapakku.
Sehingga, dalam banyak hal, ketidaksetujuan keluarga besar kami dari pihak
ibuku, akhirnya dapat kumaphumi.
Sementara itu, di
masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi kembali,
ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga rosella, yang
kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di
kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk
membeli bahan-bahan pangan yang dihasilkan ibuku itu.
Dari penjualan
kacang, kacang panjang, kangkung, dan rosella (yang diolah menjadi kopi oleh
ibuku dan kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai sekolahku dan
sekolah kakak perempuanku.
Jika aku lebih dekat
dan lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku lah yang dapat kukatakan
sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku yang
ber-poligami dan sering tidak ada di rumah di masa kanak-kanak dan remajaku.
Selain menanam
sejumlah sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak, seperti
memelihara ayam dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada orang-orang
yang lewat yang hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar. Ternak-ternak
kami itu terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari besar
keagamaan, atau bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta
pernikahan anak mereka atau mengkhitankan anak mereka.
Dan aku pula yang
seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila mereka kebetulan sedang
dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak membelinya tanpa diduga.
Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih banyak dihabiskan dengan
ibuku –selain ibuku juga lah orang pertama yang mengajariku membaca dan mengaji
al Qur’an serta mengajariku tatacara sholat.
Di era 80-an itu,
selain ibuku, yang bekerja keras mencari uang untuk memenuhi dan mencukupi
kebutuhan keluarga kami adalah kakak pertamaku (aku adalah anak ketiga dari
lima bersaudara), seperti mengangkut batu-bata ke mobil truck, mencetak
batu-bata, dan yang lainnya. Dapat dikatakan, di masa-masa itu, aku dan kakak
pertamaku (lelaki) berbagi kerja dan tugas sesuai dengan kemampuan kami, di
mana aku sering bertugas membantu ibuku bekerja di sawah atau menyirami tanaman
yang ia tanam di samping rumah kami, di saat kakak pertamaku mencari uang
dengan pekerjaan-pekerjaan lain.
Bertahun-tahun
kemudian, tepatnya di era 90-an, ketika industri mulai banyak yang hadir di
sekitar tempat kami (meski agak jauh), yaitu ketika kakak pertamaku yang hanya
bersekolah sampai di sekolah menengah pertama, diterima menjadi karyawan
(buruh) di sebuah perusahaan kontraktor yang tengah membangun sebuah pabrik
kertas.
Keberuntungan pun
terus berlanjut, kala masa kerja kakakku di perusahaan kontraktor tersebut
berakhir karena pembangunan pabrik itu telah rampung, ia pun lalu diterima
sebagai karyawan pabrik kertas (yang dibangun perusahaan kontraktor itu), siap
beroperasi dan melakukan produksi.
Tak ragu lagi,
keadaan itu telah memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kami dan aku pun bisa
meneruskan pendidikanku ke sekolah menengah pertama setelah lulus sekolah
dasar, tepatnya di SMPN 1 Kragilan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat
melanjutkan di sekolah menengah pertama negeri, karena dengan demikian, aku
dapat melanjutkan pendidikanku dengan cukup murah, di saat sejumlah kawanku
banyak yang harus di sekolah swasta, semisal di SMP PGRI Kragilan (yang
biayanya lebih tinggi).
Sekedar informasi
tambahan, pendidikan sekolah dasarku hanya kutempuh selama lima tahun, karena
aku tak perlu menempuh kelas dua sekolah dasar berdasarkan pertimbangan kepala
sekolah dan para guru. Selama lima tahun menempuh pendidikan sekolah dasar
itulah aku selalu mendapatkan ranking (peringkat pertama) dan lulus di sekolah
dasar (SDN Jeruk Tipis 1 Kragilan) itu dengan peringkat pertama dan mendapatkan
nilai tertinggi dibandingkan murid-murid yang lain.
Di saat aku duduk
di kelas lima sekolah dasar di SDN Jeruk Tipis 1 itu pula, aku sempat menjadi
juara pertama lomba cerdas cermat untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di
tingkat Kecamatan dan juara satu tingkat Kabupaten untuk mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial.
Sementara itu,
selama dua tahun menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, aku harus
berjalan kaki sejauh lima kilometer lebih menuju sekolahku. Bila ada mobil
truck yang lewat atau melintas di saat aku berangkat atau pulang sekolah, aku
pun akan menumpang mobil tersebut. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali
memiliki sepeda ketika melihat banyak teman-temanku di sekolah memiliki sepeda,
namun aku tak berani memintanya kepada ibuku. Bagiku aku sudah sangat beruntung
dapat meneruskan pendidikanku, yang seringkali aku pun telat membayar iuran
sekolah, seperti membayar SPP atau biaya ujian.
Masalahnya adalah
ketika aku harus bersekolah dengan jalan kaki itu harus kujalani di masa-masa
musim hujan. Di masa-masa hujan itulah biasanya ketidakhadiranku di kelas lebih
banyak. Sebagai gantinya aku harus belajar di rumah lebih keras untuk mengejar
materi-materi mata pelajaran mata pelajaran yang tertinggal ketika aku tidak
dapat hadir di kelas. Tentu saja, prestasiku di sekolah menengah pertamaku
tidak sama ketika aku di sekolah dasar. Ketika menempuh pendidikan di sekolah
menengah pertama, paling-paling peringkatku di antara 7 atau 9, kalah dengan
anak-anak kota yang buku-buku mata pelajarannya lebih lengkap.
Tak jarang aku
harus meminjam buku-buku teman-temanku untuk sehari atau dua hari agar dapat
kusalin di buku-buku catatanku, yang dengan demikian aku tak mesti membeli
buku-buku paket yang seringkali diwajibkan sekolah untuk membelinya dari
sekolah. Pihak sekolah pun menjadi maklum ketika kujelaskan keadaan yang
sebenarnya ketika aku sering tidak membeli sejumlah buku paket –kecuali untuk
buku matematika dan fisika yang mau tak mau aku harus membelinya dari uang
jajan yang kutabung diam-diam alias tak kugunakan untuk jajan. (Bersambung)