Label

Jumat, 29 Juli 2016

Rumah Berhantu


Cerpen Virginia Woolf

JAM berapa pun kau terbangun ada sebuah pintu menutup. Dari satu kamar ke kamar lain mereka berjalan, bergandengan tangan, menyingsing di sini, membuka di sana, memasti-pastikan-pasangan yang remang.

"Di sini kita meninggalkannya," dia, yang perempuan, berkata. Dan ia, yang lelaki, menambahkan, "Oh, tapi di sini juga!" "Di atas," dia berdesir. "Dan di taman," ia berbisik. "Pelan-pelan," mereka berkata, "atau kita mesti membangunkan mereka."

Tapi bukan soal kalian membangunkan kami. Oh, bukan itu. "Mereka akan menemukannya; mereka sedang menarik gorden," salah satu akan berkata, kemudian membaca satu atau dua halaman. "Kini mereka telah menemukannya," salah satu akan merasa pasti, menggaris batas bacaan dengan pensil. Dan kemudian, lelah membaca, salah satu akan bangkit dan menjumpai yang lainnya, rumah kosong, pintu tetap terbuka, hanya gelembung merpati hutan dengan muatan dan deruman mesin pengirik terdengar dari ladang. "Untuk apa aku masuk kemari? Apakah yang hendak kucari?" Apel-apel berada di loteng. Dan begitu turun lagi, taman masih seperti biasa, hanya buku tergelincir ke dalam rumputan.

Tetapi mereka telah menemukannya di ruang tamu. Tak seorang pun dapat melihat mereka. Kaca-kaca jendela memantulkan apel-apel, memantulkan bunga-bunga mawar; semua daun berwarna hijau di dalam kaca. Jika mereka bergerak di dalam ruang tamu, barulah apel menampilkan sisi kuningnya. Namun, sesaat kemudian, jika pintu terbuka, melintasi lantai, menempel di dinding-dinding, anting-anting dari genting-apa? Tanganku kosong. Bayangan seekor murai melintasi karpet; dari sumur-sumur kesunyian terdalam merpati hutan menebarkan gelembung suaranya. "Aman, aman, aman," nadi rumah berdenyut lembut. "Harta terpendam; kamar...." denyut itu berhenti sesaat. Oh, apakah itu harta terpendamnya?

Sesaat kemudian cahaya telah padam. Berarti di taman luar sana? Tetapi pohon-pohon menebarkan kegelapan bagi sorot matahari yang mengembara. Begitu bagus, begitu langka, dengan tenang terbenam di bawah permukaan, sinar yang kuketemukan selalu menyala di balik kaca. Maut adalah kaca; maut berada di antara kita; datang kepada yang perempuan terlebih dahulu, ratusan tahun yang lalu, meninggalkan rumah, mengunci semua jendela; kamar-kamar menjadi gelap. Ia meninggalkannya, ia meninggalkan dia, pergi ke Utara, pergi ke Timur, melihat bintang-bintang berputar di langit Selatan; mencari rumahnya, menemukannya tertimbun Kemuraman. "Aman, aman, aman," nadi rumah berdenyut riang. "Harta kepunyaanmu."

Angin menderu di jalan raya. Pohon-pohon membungkuk dan meliuk ke sana ke mari. Sorot cahaya bulan memercik dan jatuh dengan liar dalam hujan. Tetapi sorot cahaya lampu jatuh lurus dari jendela. Lilin menyala kaku dan tenang. Dengan mengembara ke seluruh rumah, membuka jendela-jendela, berbisik agar tak membangunkan kami, pasangan remang itu mencari kebahagiaan mereka.

"Di sini kita tidur," dia berkata. Dan ia menambahkan, "Ciuman-ciuman tanpa nomor." "Bangun di pagi hari-" "Perak di antara pohonan." "Di atas-" "Di taman-" "Ketika musim panas tiba-" "Di tengah salju musim dingin-" Pintu-pintu menutup di kejauhan, berdentam halus bagai denyut jantung.

Makin dekat mereka tiba; berhenti di pintu masuk. Angin luruh, hujan menggelincir perak pada kaca. Mata kami menjadi gelap; kami tak mendengar langkah apa pun di samping kami; kami tak melihat seorang wanita pun melebarkan jubah hantunya. Tangan yang lelaki melindungi lentera. "Lihat," ia mendesah. "Kedengarannya tidur. Cinta di atas bibir mereka."

Sambil membungkuk, menggenggam lampu peraknya di atas kami, lama mereka memandang, dan dalam. Lama mereka diam. Angin melaju lurus; api merunduk halus. Sorotan liar cahaya purnama melintasi lantai dan dinding, dan, bertemu, menodai peot wajah-wajah itu; wajah-wajah bosan; wajah-wajah yang mengejar orang-orang tidur dan mencari kebahagiaan tersembunyi mereka.

"Aman, aman, aman," jantung rumah berdetak bangga. "Bertahun-tahun lamanya-" ia mendesau. "Lagi kau menemukanku." "Di sini," dia berbisik, "tidur; membaca di taman; tertawa, menggulingkan apel di loteng. Di sini kita meninggalkan harta kita-" Dengan membungkuk, cahaya mereka mencabut penutup di atas mataku. "Aman! aman! aman!" nadi rumah berdenyut liar. Seraya terbangun, aku berteriak "Oh, inikah harta terpendam kalian? Cahaya di dalam hati."


Diterjemahkan oleh Dina Oktaviani dari ''Haunted House'' karya Virginia Woolf dalam Fifty Grand Stories.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar