Sekedar
Interupsi
Oleh
Sulaiman
Djaya*
Sebelum
saya sekedar membincang secara singkat dan santai seputar beberapa sajak yang
ada dalam antologi berjudul Dada Tuhan ini, saya terlebih dahulu menghadirkan
sebuah ilustrasi singkat, katakanlah semacam khazanah, yang dengannya menjadi
teman saya membaca.
Suatu
ketika Heidegger terkagum-kagum ketika membaca puisi-puisinya Friedrich
Holderlin, yang kala itu, sebagaimana dalam bahasa Heidegger sendiri yang bila
saya bikin longgar, telah menyadarkan kita tentang “seni melihat” yang selama
ini dilupakan para pemikir dan filsuf yang telah terjebak oleh paradigma
cartesianisme. “Seni melihat”, yang menurut saya, cukup berdekatan dalam artian
yang diperkenalkan Louis Massignon yang adalah juga mahagurunya Ali Syari’ati
dan seorang peneliti-pengulas sang sufi kontroversial yang legendaris, Mansoor
al Hallaj.
Bisa
jadi Heidegger memang agak berlebihan, mungkin karena terlampau antusias,
tetapi setidak-tidaknya sebagaimana didaku Heidegger, seni dan sastra lah, dan
utamanya puisi, yang justru mengafirmasi dan mampu melihat kehadiran dan
keberadaan “Ada” di saat para pemikir yang terjebak paradigma saintisme atau
pun cartesianisme sibuk memikirkannya, tetapi malah melupakan kehadiran “Ada”
itu sendiri.
Sebenarnya,
selain karena peristiwa kebetulan perjumpaannya dengan sajak-sajaknya Friedrich
Holderlin, Heidegger juga mendapatkan pencerahan filsafatnya dari
tulisan-tulisannya Nietzsche yang berhasil menyingkapkan basis hasrat manusiawi
(orphan) yang sebelum Nietzsche mewartakan pandangannya tidak diakui sebagai
entitas yang juga menjadi pemain utama gerak dan gairah hidup
manusia. Seperti kita tahu, para filsuf postmodern, hampir merupakan para
filsuf yang memiliki minat pada soal-soal literer dan mendapatkan inspirasinya
dari Nietzsche dan karya-karya kesusasteraan, semisal Jacques Derrida, sang
pengulas Mallarme itu.
Sementara
itu, sastra, utamanya puisi, yang bagi Heidegger didaku sebagai “berpikir
dengan cara lain” itu, bisa juga kita andaikan sebagai sebuah ikhtiar untuk
membuka sejumlah cakrawala dan horison baru bagi pemikiran, yang karena itu
merupakan antitesis terhadap dogma dan dogmatisme. Bila demikian, puisi lebih
merupakan sebuah upaya untuk “menolak betah”, justru karena ia senantiasa
bersikap kritis dan terbuka pada setiap pengecualian dan kebetulan. Hal
itu tentu saja berbeda dengan ilmu yang akan dipertanyakan bila ia tidak mampu
memberikan objektivitas dan validitas. Tetapi, tidak demikian dengan sastra,
dan utamanya puisi, yang senantiasa bergelut dengan pencarian akan yang sublim
dan yang mitis.
Hasrat
puisi, bila kita mengafirmasi wawasannya Hildegard Von Bingen, Nietzsche, dan
Heidegger, selalu berkait dengan pencarian memori dan hasrat purba manusiawi
yang terlupakan (the primitive orphan). Puisi, karena ia bukan ilmu atau
pun metodologi yang hendak mencapai objektivitas, hanya berkepentingan untuk
selalu membuka kemungkinan. Sebuah makna puisi tercipta bukan karena sebuah
puisi menghadirkan dirinya sebagai sains eksplanasi, tetapi karena ia mampu dan
sanggup memberikan wawasan dan cakrawala alternatif yang diabaikan
ilmu. Sebutlah sebagai contohnya, ketika sebuah puisi berbicara tentang
hasrat (keinginan), penderitaan, atau harapan. Atau ketika ia hanya
menggambarkan wawasan mitis tentang kerinduan manusiawi akan makna hidup dan
hasrat keindahan.
Keindahan
puisi itu, tentu juga, dapat dijelmakan sebagai sebuah meditasi atau pun
permainan. Hanya saja, kategori yang kedua, yaitu permainan, kadangkala gagal
memberikan keindahan dan aura dari yang sublim ketika ia meremehkan nada dan
wawasan yang mampu memunculkan kuriositas yang baru. Hingga suatu ketika
seorang filsuf dan penyair Renaissance, Francesco Patrizi, pernah berujar:
“Seorang penyair yang berhasil adalah ia yang mampu menciptakan keajaiban dalam
puisinya”. Apa yang dimaksud Patrizi itu, tak lain adalah ketika sebuah puisi
menjelma dan mewujud sebuah realitas dan dunia tersendiri bagi puisi itu
sendiri. Dan bila kita karikaturkan, Heidegger adalah seorang filsuf yang
menawarkan sebuah prasaran berpikir dengan modus puitis, berpikir puitis, dan
berpikir bersama puisi. Wawasan puitis adalah sebuah wawasan yang terus ragu
dan mencari, senantiasa mendulang kefanaan, justru karena ia selalu bergairah
dalam ikhtiar untuk menemukan bentuk-bentuk ungkapan dan penggambaran keindahan
itu sendiri.
Sementara
itu, wawasannya Francesco Patrizi, sang filsuf Renaissance itu, hendak
memandang sebuah puisi yang bisa kita bilang tak ubahnya sebuah nomos
(cakrawala mitis atau pun semesta makna) dan kosmologi dunia puitis itu
sendiri. Meski demikian, keindahan dan nomos sebuah puisi tak mesti
terlampau mendaku kerumitan. Sebab, seringkali ketajaman dan keindahan di satu
sisi, dan kemampuan sebuah puisi untuk mencipta semesta dan nomos, lebih sering
karena diolah dan dikemukakan lewat kejujuran, kepadatan, dan kesahajaan diksi,
parafrase dan keseluruhan simbolisasinya yang utuh yang sekaligus mampu
menciptakan bahasa bersama. Akhirnya, selain itu semua, puisi juga bisa
dikatakan sebagai pancaran dari “kosmologi bathin” yang diserap dari pengalaman
akan yang fana sekaligus penyelaman perasaan akan sesuatu yang tak terpahami
(tak dapat dikonsepsi), yang senantiasa mencari dan tak pernah puas dalam
pengembaraannya.
Ihwal Dada Tuhan
Demikian
puisi yang saya pahami, dan dengan pemahaman tersebut saya tuliskan “perspektif
singkat saya” ketika membaca beberapa puisi yang terkumpul dalam antologi Dada
Tuhan ini, yang ketika membaca beberapa puisi di dalamnya, saya teringat kepada
sejumlah puisi-puisinya Acep Zamzam Noor, yang bahkan dapat dibaca pada puisi
pertama yang berjudul “Seperti Sungai”: tariklah aku ke sungai-Mu // menjadi
rumput // yang tak henti digoyang arus. // jadikanlah aku kerikil // yang
ditampar deras // dan menemu hilir”, di mana sajak tersebut mengingatkan saya
pada sejumlah sajak-nya Acep Zamzam Noor yang mengambil dan menggunakan kiasan
meditasinya dari alam, dari lingkungan pegunungan dan pedesaan. Di sana, puisi
sebenarnya lebih merupakan upaya menghadirkan refleksi dari hal-hal yang akrab
dengan lingkungan dan keseharian seorang penyair.
Berhadapan
dan sekaligus “bercumbu” dengan alam tersebut, penyair tak ubahnya seorang
pelukis yang sama-sama berusaha menghadirkan keindahan dan “rasa estetik”,
meski dengan media dan instrument yang berbeda: kuas, kanvas, dan kata.
Kedua-duanya sama berusaha menghadirkan perumpamaan hidup, seperti bagaimana
Giovanni Segantini menggambar dan melukis sungai, pegunungan, senja atau
perempuan desa.
Bila
saya menggunakan analogi wawasan pembuka seperti yang telah saya katakan, maka
hal itulah yang dikatakan sebagai “seni melihat”, mengakrabi kehadiran “Ada”
dengan mata telanjang dan berusaha terlepas dari konseptualisasi dan kekerasan
kategorial yang malah membuat kita tidak dapat “melihatnya” dengan “apa
adanya”.
Itu
hanya satu sisi saja yang dapat saya tangkap ketika membaca sejumlah puisi yang
termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini, selain sejumlah puisinya yang
berbicara seputar ekstase yang sifatnya erotik, barangkali juga mistis, semisal
yang berjudul Iktikaf, di mana aspek “sufisme” dihancurkan, didekonstruksi, dan
“dileburkan” dengan idiom-idiom dan kosakata yang sekuler, profane, dan dengan
“organ-organ dan anasir-anasir tubuh telanjang perempuan” sekaligus meminjam
kiasan-kiasan dan kosakata religius. Saya tak tahu, dan karenanya saya hanya
berusaha menduga, barangkali hal itu dalam rangka mengaburkan batas erotik yang
“sufistik” dan yang “pornografik”. Barangkali juga hendak “meledek” sajak-sajak
sufistik yang berbicara seputar “mahabbah” kepada “Sang Khalik” tak ubahnya
sebagai pengalihan hasrat tubuh kita sendiri yang berusaha ditekan dan
dialihkan. Karena saya tak tahu dan hanya menduga, saya persilahkan kepada para
pembaca untuk berusaha menyelami dan “membacanya” sendiri, sebab itulah
salah-satu kosmos puisi: menyediakan dirinya bagai ragam kemungkinan dan
pembacaan.
Puisi
lainnya yang membuat saya tertarik adalah yang berjudul “Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich”
yang gaya sajak bebas dan prosaiknya amat memukau dan menggugah, selain juga
mengandung bujukan meditatif yang kuat dan dinarasikan dengan santai sekaligus
lantang. Puisi tersebut juga kaya dengan kiasan yang lentur dan pada saat
bersamaan menyediakan dirinya bagi ragam satir hidup yang menyangkut manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, sebagai warga Negara dalam
kondisi-kondisi eksistensial dan keterasingan, dalam kondisi-kondisi yang
menjebak kita, yang seringkali membuat kita tersudutkan, entah pada akhirnya
membuat kita menyerah atau malah membuat kita semakin bersitahan dan memiliki
kekuatan untuk bernegosiasi dengan hidup atau mencampakkannya. Puisi itu
menurut saya cukup instrospektif, selain telah membuktikan sebagai puisi yang
panjang tapi sanggup menjaga energinya untuk tidak runtuh saat menjadi sebuah
puisi yang panjang.
Demikianlah
catatan singkat saya, tentu karena saya tidak ingin “menghabiskan ruang dan
kemungkinan” yang akan disediakan oleh sejumlah puisi yang termaktub dalam
antologi Dada Tuhan itu sendiri justru apabila saya memaparkan “tafsir saya”
atas seluruh puisi-puisinya. Catatan ini hanya sekedar “pintu kecil” yang dapat
saya tawarkan, tentu hal itu pun sebagai salah-satu perspektif kecil saja, yang
saya serahkan kepada hadirin atau jamaah para pembaca, yang tentu saja, akan
menemukan dan mendapatkan banyak hal dan banyak tafsir pembacaan ketika membaca
sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini. Salam dan selamat
membaca!
*Penyair
Edisi
cetak esai ini dapat dibaca di antologi puisi Dada Tuhan karya Bode Riswandi