Rima News, Mon, 29/04/2013
- 09:05 WIB
Oleh Lutfi
Mardiansyah*
Kamis tanggal 18 April
2013 yang lalu, sekitar pukul setengah sebelas sebelum dzuhur, saya menembus
hujan sendirian dari Jatinangor menuju Bandung untuk menghadiri acara launching
buku kumpulan puisi Mazmur Musim Sunyi karangan penyair asal Banten, Sulaiman
Djaya di Auditorium B FPBS UPI. Begitu sampai, sebelum masuk ruangan, saya
membeli dulu buku tersebut serta mengambil makalah dari dua pembicara, yakni
Faisal Syahreza dan Heri Maja Kelana. Saya telat beberapa menit, diskusi telah
dimulai. Saya mengambil tempat duduk di sudut kiri dan mulai memperhatikan
jalannya diskusi.
Alih-alih fokus pada
pembahasan buku tersebut oleh kedua pembicara, saya malah memperhatikan ruangan
tempat acara tersebut digelar. Ruang yang elegan. Full AC. Betapa nikmatnya di
sini. Di kampus saya sendiri, tidak pernah ada acara seperti ini. Diskusi pun
hanya melingkar di selasar koridor kampus, itu pun susah sekali mencari kawan
berdiskusi. Mahasiswa kuliah dan pulang. Kampus sepi.
Acara terus berjalan.
Selesai pembahasan dari kedua pembicara, kemudian dibuka sesi tanya jawab. Pada
satu giliran saya ditunjuk untuk bertanya. Maka saya bertanya. Kemudian acara
diakhiri dengan pembacaan puisi. Saya juga diminta untuk membaca puisi. Maka
saya membaca puisi.
Singkat hikayat, seusai
acara saya kembali pulang ke Jatinangor dengan menumpang angkot Cicaheum-Ledeng
hingga terminal Cicaheum, lalu dilanjut dengan bis jurusan Bandung-Cirebon. Di
dalam bis, di Smoking Area saya buka kembali buku Mazmur Musim Sunyi. Saya
menemukan puisi berjudul “Monolog”. Ada bagian menarik di puisi itu, seperti
berikut:
Saya tahu seorang penyair
harus belajar
menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
Saya merenungi kalimat
tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya
bukan aku. “Aku” ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya
setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan
kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial
untuk dituliskan. Hampir selalu penyair menulis puisi awalnya dengan tema-tema
kedirian. Abang kita itupun, Chairil Anwar, banyak menulis puisi tentang
kedirian. Tetapi jika melulu bergulung-tema di situ, akan jadi belenggu
sendiri, belenggu yang menirai pandangan si penyair dari dunia di luar dirinya.
Saya lanjut membaca lagi
dan menemukan puisi dengan judul “Rubayyat Dua Matsnawi”. Puisi ini yang saya
baca di diskusi tadi. Larik pertama yang mengawali puisi ini mengejutkan saya,
begini bunyinya:
Di antara kau dan aku, ada
kematian yang telanjang,
Begini cara saya
menafsirkan larik tersebut, pertama-tama saya meletakkan diri saya sebagai
aku-lirik, maka jadilah aku-Lutfi atau katakanlah aku-lelaki, dengan begitu
kau-lirik yang muncul pada larik tersebut saya bayangkan sebagai kau-perempuan,
yang kemudian meletakkan relasi aku-kau ini sebagai relasi jantan-betina,
lelaki-perempuan, dapat konteks hubungan apapun, cinta misalnya. Lalu diksi
“telanjang” itu saya baca sebagai sebuah kondisi “terbuka” yang mengakibatkan
tersingkapnya segala yang tersembunyi. Maka saya bayangkan tubuh telanjang,
tentu saja tubuh perempuan, supaya lebih bergairah. Ketika seorang perempuan misalnya,
dalam keadaan mengenakan pakaian, ada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya yang
tak dapat kita terawang, sebabnya jelas karena terhalang oleh pakaian yang ia
kenakan. Tapi cobalah lepas segala pakaian itu dan perempuan tersebut berdiri
telanjang di depan kita, maka bagian-bagian yang tertutup tadi akan dapat kita
pandang, misalnya buah dadanya, putingnya, perutnya, rambut kemaluannya, dan
lain-lain, dan lain-lain.
Mungkin akan timbul
gugatan, “itu aurat!” Nah, bagus. “Aurat” ini saya tarik menjadi padanan
“hakikat”. Ketika seseorang telanjang, maka tampaklah auratnya. Berpadan dengan
ketika seseorang telah disingkapkan hijabnya, maka tampaklah hakikatnya.
Kemudian soal diksi
“kematian” yang dipasangkan dengan “telanjang” tersebut, menjadi terbaca
sebagai “hakikat kematian”. Kematian yang dicirikan dengan hilangnya nyawa,
kadang oleh sebagian orang dipandang sebagai berakhirnya kehidupan. Betulkah
sampai pada kematian kehidupan itu berakhir? Justru kematian hanya gerbang,
jalan yang membukakan “aurat” ke kehidupan yang sesungguhnya, yang abadi dan
kekal, yang tak tersentuh oleh kesementaraan.
Setelah menafsirkan
seperti itu, saya jadi mengubah subjek aku-kau sebelumnya, aku-lelaki dan
kau-perempuan menjadi aku-makhluk dan kau-Khalik, yang jika keduanya ingin
patrap dalam makrifat, tentu harus melewati jalan kematian terlebih dahulu,
jalan yang akan menyingkap “aurat” kehidupan yang sesungguhnya.
Puisi yang sekilas seperti
puisi cinta ini mendadak menampakkan wajah lain kepada saya: wacana teologi,
wabil khusus ihwal sufisme. Saya tahu penyairnya, Sulaiman Djaya, adalah salah
satu pemerhati tarekat yang hafal betul wacana-wacana tersebut. Memang kita
disuguhi puisi-puisi cinta lembut di dalam Mazmur Musim Sunyi ini, tetapi
puisi-puisi itu tidak lantas berhenti sampai di situ. Tidak, puisi cinta selalu
menyelam lebih dalam. Lebih dalam lagi.
*Penyair, tinggal di
Sukabumi