Konser musikalisasi puisi bersama Intan Pertiwi dkk di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya di UPI Bandung 18 April 2013.
Label
- Arsip Sajak (67)
- Book Review (18)
- Galeri (21)
- Inspirasi (6)
- Khazanah (67)
- Kronik Sastra (18)
- Prosa (11)
Rabu, 29 Mei 2013
Jumat, 24 Mei 2013
Dari Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi
Mia Indria Di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi, Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013
Asep Bahri dan Encep Abdullah Menyenandungkan Dua Puisi karya Sulaiman Djaya: Memoar dan Entah Apa Namanya
Mia Indria dkk Di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi, Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013
Kamis, 23 Mei 2013
Ketika Membaca Sajak-sajak Rendra
Banten Raya 11 Mei
2013
Oleh Sulaiman Djaya
Kami duduk berdua di
bangku halaman rumahnya. Pohon jambu di halaman rumah itu berbuah dengan
lebatnya, dan kami senang memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang
berguguran. Tiba-tiba ia bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas
terbuka?” Aku hanya tertawa. Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti
menutup bajuku. Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori
rambutnya (Episode, Wahyu
Sulaiman Rendra). Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran, setelah
hak asasi di negara miskin ditekan demi kejayaan negara maju, bagaimanakah
wajah kemanusiaan? Di jalan orang dibius keajaiban iklan, di rumah ia tegang,
marah dan berdusta. Impian mengganti perencanaan. Penataran mengganti
penyadaran
(Sajak Tahun Baru 1990, Wahyu Sulaiman Rendra).
Saya membaca karya-karya
Rendra ketika saya menjadi mahasiswa di Ciputat, terutama Empat Kumpulan
Sajak, Potret Puisi dalam Pembangunan, Orang-Orang
Rangkasbitung, dan Balada Orang-Orang Tercinta. Sejumlah
sajak yang bagi saya lebih merupakan protest terhadap rezim kekuasaan yang suka
membuat daftar larangan, dan secara bersamaan, adalah vitalitas suara yang
mengekspressikan pembelaan-pembelaan untuk orang-orang pinggiran yang selama
masa paling produktif kepenyairan Rendra paling banyak merasakan efek samping
eksekusi kebijakan. Yang lainnya adalah sejumlah penolakan terhadap sikap
politik dan kebijakan ekonomi pem-beo-an. Dan Rendra bagi saya adalah vitalitas
dan perlawanan itu sendiri.
Tapi
tentu tidak sebatas itu saja, sebab Rendra adalah seorang penyair yang memiliki
kepekaan sekaligus kepedulian luar biasa pada kenyataan-kenyataan palsu, sikap
dan tingkah-polah pem-beo-an, pembodohan dan politik pengekangan sekaligus
pengekangan politik dalam institusi-institusi sosial, birokrasi, dan
pendidikan, pem-beo-an dan pembodohan yang menurut Rendra merupakan salah satu
penyebab matinya kreativitas dan kemandirian: Orang hanya bisa digerakkan,
tapi kehilangan daya geraknya sendiri. Ia hanyalah babi ternak yang asing
terhadap hidupnya sendiri. Rakyat menjadi bodoh tanpa opini. Di sekolah murid
diajar menghafal, berdengung seperti lebah, lalu akhirnya menjadi sarjana
menganggur. Di rumah ibadah orang nerocos menghafal, dan di kampung menjadi
pembenci yang tangkas membunuh dan membakar. Para birokrat sakit tekanan darah,
sibuk menghafal dan menjadi radio. Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan?
Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganya? Peradaban
penumpukan tak bisa dipertahankan (Sajak Tahun Baru 1990).
Sajak-sajak Rendra adalah
suara-suara yang datang dan disuarakan kembali dari latar keseharian dan
kenyataan-kenyataan sosial politik Indonesia di masa-masa ia menjalani hidup
kepenyairannya yang kadang riang dan kadang menyakitkan. Terlepas apakah isi
dan isu protest yang disuarakan Rendra tersebut masih relevan atau tidak untuk
saat ini, bagi saya yang menjadi identitas kepenyairan Rendra sekaligus yang
mungkin menjadi contoh teladan pada dirinya adalah spirit dan vitalitasnya
dalam membela orang-orang pinggiran dan protest lantangnya pada setiap
kepalsuan dan penyimpangan politik dan birokrasi. Kadang juga ada kesan dan
pencerapan saya sendiri bahwa Rendra juga mengejek secara halus para penyair
yang merasa nyaman di menara gading estetika kepenulisan mereka: Isolasi
hanya menghasilkan kesendirian tanpa keheningan. Luka orang lain adalah lukamu
juga. Juga ejekan kepada mereka yang selama ini mengorbankan bangsanya
sendiri: Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut
diburu dendam? Apa artinya tumpukan kekayaan bila bau busuk kemiskinan
menerobos jendela kamar tidurmu? (Sajak Tahun Baru 1990).
Di kalangan para penyair
sejamannya, Rendra bagi saya adalah seorang penyair-demonstran yang efek
sajak-sajaknya mampu memotivasi dan membangkitkan gerakan-gerakan protest kaum
muda dan mahasiswa. Ia adalah inspirator yang terjun langsung di lapangan,
bukan seorang inspirator yang bersuara dari dalam kamar. Ia liar seperti
Leopard, tangkas dan percaya diri seperti Elang, dan tentu saja romantis ala
ningrat dan pangeran Jawa. Dan di atas semuanya itu, Rendra bagi saya adalah
seubuah wawasan, sebuah sikap dan cara pandang seorang manusia dalam hidup.
Bahwa kepenyairan adalah komitmen dan kepedulian pada kenyataan dan keseharian
hidup itu sendiri. Tentang keberanian untuk bersuara keras dan terus terang
atas nama orang-orang yang “dipinggirkan” dan “terpinggirkan”, atas nama
kejujuran untuk mengkritik dan menolak korupsi dan penyimpangan-penyimpangan
yang merugikan dan membuat orang banyak menanggung penderitaan.
Dan juga, masih dalam
apresiasi subjektif saya, dualitas protest-kritiknya atas dan terhadap
mentalitas dan politik bangsa ini menjadikan sajak-sajaknya sebagai suara-suara
protest dan kritik yang adil dan imbang. Ia mengkritik dan memprotest
pembangunanisme yang berubah menjadi kesemena-menaan dan pembodohanisme
sekaligus dan bersamaan. Dan pada saat itu pula ia mengkritik mentalitas
kemalasan, mudah menyerah, dan sikap tak mau berjuang terhadap dan atas
orang-orang yang taat begitu saja pada mesin “kepatuhan rezim kekuasaan” yang
koruptif dan menyimpang, kritik yang disuarakannya dengan lembut dan halus,
dengan modus satir tersembunyi melalui mulut seseorang yang berdoa: Lindungilah
mereka dari kesabaran yang menjelma menjadi kelesuan, dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita..../....Lindungilah mereka dari berhala janji-janji,
dari hiburan yang dikeramatkan, dari iklan yang dimythoskan, dan dari sikap
mata gelap yang diserap tulang kosong (Doa untuk Anak Cucu).
Tetapi tentu saja saya
merasa hambar dan tidak lengkap bila saya hanya mengungkapkan kesan pecerapan
saya atas sajak-sajak kritik dan protestnya. Karena bagaimana pun saya tak bisa
melupakan sentuhan lembut lirisisme sajak-sajak di masa mudanya yang romantis,
layaknya lantunan-lantunan mazmur, seperti ketika saya membaca sajaknya yang
berjudul Episode: Kami duduk berdua di bangku halaman rumahnya. Pohon
jambu di halaman rumah itu berbuah dengan lebatnya, dan kami senang
memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang berguguran. Tiba-tiba ia
bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?” Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti menutup bajuku. Sementara itu aku
bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya.
Deskripsi dan pelukisan
detil tubuh, gerak, dan kata-kata dalam sajak tersebut membuat saya seolah-olah
tengah menonton sebuah adegan film drama-romantis yang bercerita tentang
sepasang kekasih yang duduk berduaan di dipan sebuah taman depan rumah si
perempuan. Dan Rendra memang mahir melukiskan detil, suasana, dan kiasan yang
indah dan padat dalam sajak-sajaknya. Kepadatan kiasan, detil, dan suasana yang
juga dicontohkannya dengan baik dan kuat dalam sajak yang berjudul Episode
itu. Setelah membaca sajak tersebut saya seolah telah menonton sebuah sandiwara
ala Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare yang kemudian membuat saya
berkhayal tentang hal-hal yang romantis dan mesra dengan seorang perempuan,
seorang mahasiswi ketika itu. Sebuah adegan yang intim dan menyentuh perasaan
saya sendiri ketika membacanya. Dan tentu saja sajak tersebut terasa kontras
dengan sajak-sajak kritik dan protestnya yang lantang, sinis, sarkastis, dan
mengandung amarah. Tapi meski begitu, saya harus mengakui bahwa yang romantis
dan yang sarkastis tersebut adalah sama-sama bahasa dan kata-kata
sajak-sajaknya Wahyu Sulaiman Rendra, seorang penyair dan dramawan yang dulu
bernama Willi(y)brodus Surendra Rendra.
Senin, 06 Mei 2013
Geliat Sastra di Banten
Oleh Budi Sabarudin
Sejak tahun 2000-an, setidak-tidaknya
iklim kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa lebih bergairah dibanding
era sebelumnya, terutama dalam dunia kepenyairan. Saat ini sudah muncul
nama-nama penyair muda yang telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri
dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten.
Sulaiman Djaya, penyair dan budayawan di
Banten mengatakan penyair-penyair muda itu di antaranya Irwan Sofwan, Halimah
Tusya Diah, Wulan Widari Endah, Wahyu Arya Wiyata, Rozi Kembara dan Sumala
Djaya. “Nama-nama yang telah saya sebutkan itu sudah mempublikasikan
karya-karyanya di media-media yang ada di Banten, Jakarta, Bandung dan beberapa
daerah lainnya. Mereka telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri dalam
dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten,” ungkapnya.
Salah satunya Rozi kembara dan Wahyu
Arya Wiyata yang telah mempublikasikan puisi-puisi mereka di Majalah Sastra
Horison, sedangkan Irwan Sofwan telah menyiarkan puisi-puisinya di Harian
Pikiran Rakyat. Sementara itu Sumala Djaya mempublikasi beberapa cerita
pendeknya di Majalah Hai, selain tentu saja nama-nama yang telah saya sebutkan
itu juga mempublikasi karya-karya mereka di Harian yang terbit di Banten
semisal Kabar Banten (dulu Fajar Banten) dan Radar Banten, dua Harian di Banten
yang setahu saya masih mempertahankan rubrik sastra dan budayanya.
Diakuinya, secara tradisi, gairah dan
geliat kepenulisan dan kesusastraan tak bisa dilepaskan dari keberadaan
komunitas-komunitas yang menjaga dan memelihara semangat dan kerja-kerja
kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Sebutlah Kubah Budaya, Rumah Dunia, dan
belakangan juga teman-teman yang menerbitkan berkala Tabloid CIKAL yang
menampung karya-karya kreativitas anak sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah. Juga, gairah dan geliat tersebut tak lepas dari peran-peran
individu yang memiliki komitmen pada dunia kepenulisan dan kesusastraan di
Banten. Di sini kita bisa menyebut nama-nama semisal Moh. Wan Anwar (Alm.),
Toto ST. Radik, Arip Senjaya, Gol A Gong dan sederet nama lain.
Kesalingterkaitan antara tradisi yang
ingin diciptakan komunitas dan kreativitas individual tak bisa dinafikan. Bahwa
benar kreativitas individual kadangkala tak meniscayakan keberadaan komunitas
secara mutlak, tetapi bagaimana pun sebuah institusi akan lebih menambah point
tersendiri sebagai keberlangsungan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan.
Begitu pula, kerja-kerja dan kreativitas kepenulisan dan kesusastraan yang
disokong dan diimbangi dengan spirit intelektualisme dan spirit membaca akan
menyumbang pada kekuatan dan kualitas kerja-kerja kepenulisan. Kita tak bisa
menafikan bahwa kemajuan dan perkembangan sebuah kebudayaan akan sangat terkait
dengan diskusi dan kekayaan wawasan.
“Untuk kasus Banten, geliat dan gairah
kepenulisandan kesusastraan yang telah saya maksudkan itu meluas juga hingga ke
kampus-kampus yang ada di Banten, semisal Universital Sultan Ageng Tirtayasa
dan Institut Agama Islam Negeri Banten, sekedar mencontohkan dua nama saja,”
katanya.
Meski demiian lanjut dia, tentulah masih
terlampau dini bagi kita untuk bergembira. Terlebih di beberapa segi, gairah
kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa masih bersifat artifisial semata,
untuk tidak menyebut belum matang dan dewasa. Hal ini tentu saja berbeda dengan
iklim yang hidup di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan mungkin daerah lain yang
lebih aktif dan beragam. Bahkan kita mungkin mesti berendah hati dan mengakui
bahwa kehidupan kebudayaan dan kesenian di Banten dalam beberapa hal memang
masih awam. Begitu pula, belum saatnya para penulis atau para penyair yang datang
dari generasi lebih muda mestilah masih harus membuktikan dedikasi dan kekuatan
karya-karya mereka di tahun-tahun mendatang, bukan malah langsung berpuas diri.
Ketika ditanya tentang kritik seni,
Sulaiman Djaya mengatakan aktivitas kehidupan dunia kepenulisan dan
kesusastraan meniscayakan juga keberlangsungan kritik dan diskusi, yang dengan
itu sebuah kehidupan kepenulisan dan kebudayaan senantiasa mau mengoreksi diri
secara simultan dalam rangka membangun dan memajukan gairah dan kerja-kerja
kebudayaan itu sendiri.” Tanpa kritik dan diskusi, seringkali kita malah lupa
diri, tak mampu melihat kekurangan dan kelemahan kita sebagai insan-insan
kesenian. Selain itu, gairah untuk membaca dan menggali wawasan sebanyak
mungkin tentu akan memperpanjang dan menambah usia serta kekuatan nyawa
kreativitas dalam dunia kepenulisan.”
Dia menegaskan, keberlangsungan gairah
dan kerja-kerja dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan hanya bisa diukur dan
tercermin lewat dan dari produktivitas dan kualitas karya-karya yang lahir dari
rahim keresahan dan kegelisahannya. Demikian pula, keberadaan forum-forum
selebrasi mestilah lebih dipahami sebagai wadah apresiasi, dimana yang akan
menjadi pembaca sebenarnya adalah mereka yang membeli karya-karya kita, hingga
mampu menghadirkan dan mengkomunikasikannya secara representatif dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik pembaca.***
(Sumber: Kabar Banten 03 Januari
2011)
Kamis, 02 Mei 2013
Sunyi yang Membentuk Sajak
Banten Raya 27 April 2013
Oleh Bagus Burham*
Setiap musim selalu menanggalkan
tandanya untuk tetap dinikmati oleh musim yang lain setelahnya. Itulah kesan
saya pada buku puisi “Mazmur Musim Sunyi” gubahan Sulaiman Djaya. Di sini
penyair menggarap peta jalan cerita hidup yang penuh dengan kesunyian. Sajak-sajak
yang terangkum dalam buku ini menyoalkan seputar hidupnya yang diselubungi oleh
cinta. Banyak sajak yang memperbincangkan masalah cinta yang disusun penuh
dengan metafor-metafor yang seakan hidup dan mempunyai makna yang arif dan
kaya. Di sinilah kerja yang baik dari penyair itu. Berpuisi secara total hingga
melahirkan sajak-sajak yang mempunyai album sendiri di hati pembacanya.
Buku ini juga memiliki daya pikat pada
setiap gaya bahasa yang ditampilkan. Personifikasi yang secara lembut mendaras
di dalamnya dengan penggunaan tipografi kontemporer ataupun kotak rapi –yang
kadang berada pada tubuh sajak-sajak naratifnya– serta-merta membawa kita terus
mengulangi membaca sajak-sajak yang halus dan renyah untuk diambil
kiasan-kiasan yang dimilikinya. Namun bukan berarti kita mencuri. Kita tidak
sedang membicarakan ajaran TS Eliot di sini. Maksud saya kita akan disuguhi
berbagai pilihan kata-kata untuk bagaimana menyusun sajak yang baik dengan
menggunakan paradoks, silogisme dan menyatukannya dengan realitas, yang
dengannya akan menimbulkan efek yang mengena dan terasa enak. Dikhususkan pada
para peminat puisi yang ingin lebih menggeluti dunia perpuisian yang semakin
bertambah ramai dengan munculnya buku sajak ini.
Judul dalam buku ini memang sangat klop dengan
isi di dalamnya. Banyak kata-kata yang bernyanyi yang berasal dari pikiran
penulis, tergubah dengan sangat merdu. Ia juga hadir membawa nuansa romantik
yang sudah lama, namun terkesan baru jika digubah olehnya. Banyak sajak yang
menyoal cinta, namun cinta itu tak kelihatan secara gamblang pada sajak-sajak
yang diruwatnya. Seperti Rubayyat Dua Mastnawi, Surat Cinta, Rubayyat Cinta,
Kotak Cinta Bulan April, Menulis Sajak Romantis, dan masih banyak lagi sajak
srupa yang bernafaskan cinta.
Sajak-sajak dalam buku ini tak
memerlukan perundingan yang sangat panjang untuk memahaminya. Pembaca tak harus
mempunyai kekayaan literatur yang melimpah untuk mengerti isi dalam sajak-sajak
buku ini, sebab bahasa yang dipilinkan dalam sajak-sajak yang terangkum di buku
ini adalah bahasa sehari-hari yang sederhana dan sangat menyenangkan bagi para
peminat tema cinta, terutama puisi.
Usaha
Menyambung para Pendahulu
Seperti pengantar yang terangkum pada
buku sajak ini yang ditulis oleh Sulaiman Djaya, ia hanya memungut kembali
puing-puing keruntuhan, batu bata yang ia miliki dan ditumpuknya di atas sekian
batu bata milik para penulis dan pemikir terdahulu. Dalam kecendekiaan yang di
milikinya, ia meminjam pandangan ini dari Bataille dan Derrida. Bahwa apakah
dengan menulis ia sebenarnya tengah mencari identitas, hanya waktu dan
perjalanannya di dunia puisi yang akan menjawabnya.
Puisi seperti halnya mesin foto kopi, telah
menyetak-melipat gandakan usaha-usaha untuk terus melanjutkan apa yang telah
diperbuat oleh para pendahulu terhadap puisi. Meski usaha itu tak pernah
diproklamirkan seorang penyair di dunia ini, namun bagi mereka yang berhasrat
ingin mewarisi tekad itu, maka dengan meninggalkan tanda berupa tinta kerjanya,
ia akan dikenang dan dikenal sebagai penyair, meski ia mengakui itu atau tidak
pada dirinya. Inilah jalan puisi itu. Puisi yang bagi sebagian orang hanya
angin lalu, diucapkan bila merasa patah hati, atau tengah iba dengan keadaan
sekitar, semisal masalah sosial dan kemiskinan adalah seperti kulit kuaci yang
terbuang semenjak isinya digigit mulut. Namun masyarakat penyair yang hidup di
bawahnya sadar akan jalan yang mereka pilih. Demi tercapainya sebuah estetika
yang terus harus dilanjutkan oleh generasi muda; generasi penerus. Maka puisi
akan terus hidup dalam rutinitas dan kesehariaan hingga penyair terakhir telah
tahu takdirnya di hari akhir.
Judul
: Mazmur Musim Sunyi
Penulis : Sulaiman Djaya
Penerbit : Kubah Budaya
Cetakan : I,Januari 2013
Tebal : 105 halaman
ISBN : 978-602-19376-2-4
Penulis : Sulaiman Djaya
Penerbit : Kubah Budaya
Cetakan : I,Januari 2013
Tebal : 105 halaman
ISBN : 978-602-19376-2-4
*Penikmat dan penulis puisi. Bergiat di
Komunitas Kopi, Kudus, Jawa Tengah.
Langganan:
Postingan (Atom)