Label

Sabtu, 11 Februari 2012

Puisi-puisi Tomas Transtroemer


RUMAH BIRU

Malam membelalakkan cahaya matahari. Aku berdiri di dalam hutan dan melihat rumahku dengan dinding-dinding birunya berkabut. Seolah aku baru saja mati dan melihat rumah itu dari sudut baru.

Rumah itu telah berdiri lebih dari 80 musim panas. Kayunya terisi, empat kali kegembiraan dan tiga kali kesedihan.Ketika seseorang yang tinggal di rumah itu meninggal, rumah itu dicat kembali. Orang yang mati itu mengecatnya tanpa kuas, dari dalam rumah. Di sudut lain ada lahan terbuka. Dulu sebuah kebun, sekarang belantara. Ombak rumputan liar yang tenang, pagoda-pagoda rumputan, tubuh teks membentang. Naungan rumput, armada Viking rumput, kepala-kepala naga, tombak, kekaisaran rumput. Di atasnya kebun cepat tumbuh itu menyanjung bayang-bayang bumerang, melemparnya lagi dan lagi. Terhubung pada seseorang yang jauh lebih lama tinggal di rumah itu. Hampir seorang anak. Hasil nuraninya, pikiran, pemikiran tentang keinginan: “Cipta ... gambar....”

Agar luput dari takdirnya dalam waktu.

Rumah itu mirip gambar seorang anak. Sifat kekanak-kanakan yang mewakilkan, tumbuh karena seseorang meninggalkan tuntutan menjadi seorang anak sebelum waktunya.Bukalah pintu-pintu, masuklah! Di dalam, kegelisahan tinggal di langit-langit dan kedamaian di dinding-dinding. Di atas tempat tidur menggantung sebuah lukisan amatir yang menggambarkan perahu berlayar tujuhbelas, laut kasar dan angin yang bingkai tersepuhnya tak dapat menundukkan.

Selalu begitu awal di dalam sini, di muka persimpangan jalan, di muka pilihan-pilihan yang tak dapat dibatalkan. Aku berterimakasih bagi hidup ini! Namun aku rindu pilihan. Semua sketsa ingin menjadi nyata.

Sebuah motor jauh di atas air memperluas cakrawala malam musim panas. Keriangan dan kesedihan keduanya membengkak di dalam kaca pembesar embun. Kita sebenarnya tak tahu itu, tapi kita merasakannya: hidup kita mempunyai kapal yang mengarungi rute yang sama sekali berbeda. Sementara itu matahari membakar di belakang pulau-pulau.


TOPAN ISLANDIA

Tidak ada gempa bumi, tapi gempa langit. Pengubah dapat melukisnya, terkunci tali-temali. Sebuah sarung tangan berputar cepat kini, beberapa mil dari tangannya. Bersua dengan topan, aku sedang menuju rumah di sudut lain ladang. Aku berkibar-kibar dalam topan. Aku difotoröntgen, kerangka tanganku dilepaskan.Kegugupan merajalela, sementara aku terpaku, aku hancur, aku dihancurkan dan terbenam di tanah kerontang! Betapa beratnya, semuanya terjadi tiba-tiba, betapa berat bagi kupu-kupu untuk menyeret sebuah perahu tongkang! Di sanalah akhirnya. Pertandingan gulat penghabisan dengan pintu. Dan kini di dalam. Dan kini di dalam. Di belakang kaca jendela yang besar. Betapa asing dan bagus temuan kaca—menjadi dekat tanpa terbentur... di luar, segerombol pelari tembus cahaya yang berukuran besar cepatcepat  melintasi dataran lava.Tapi aku tak berkibar-kibar lagi. Aku duduk di belakang kaca, masih, potret diriku.

  
JAWABAN BAGI SEBUAH SURAT

Di dasar laci aku temukan sebuah surat yang tiba kali pertama duapuluh enam tahun lalu. Surat yang ditulis dalam gugup,yang berlanjut untuk menghela napas saat tiba kedua kalinya. Sebuah rumah berjendela lima: melalui empat jendela, siang memancar jelas dan tenang. Jendela kelima bertemu langit gelap, guruh, dan topan. Aku berdiri di dekat jendela kelima. Surat itu.

Kadang jurang ngarai yang lebar memisahkan Selasa dari Rabu, tapi duapuluh enam tahun dapat berlalu dalam sekejap.Waktu bukan garis lurus, tapi sebuah labirin, dan jika kau menekan dirimu menentang dindingnya, di sebelah kanan, kau dapat mendengar langkahlangkah bergegas dan suara-suara, kau dapat mendengarkan dirimu berjalan cepat-cepat di sudut lain.

Apakah surat itu pernah dijawab? Aku tak ingat, sudah lama sekali.Ambang-ambang pintu lautan yang tak terkira jumlahnya terus menggelandang. Jantung terus melompat-lompat dari detik ke detik, seperti katak di rumput basah malam Agustus.

Surat-surat yang tak terjawab itu berkerumun di atas, seperti awan cirrostratus meramal topan. Mereka mengecilkan sinar-sinar matahari. Suatu hari aku harus membalasnya. Satu hari saat aku mati dan akhirnya bebas mengumpulkan pikiran-pikiran.Atau paling tidak jauh dari sana bahwa aku dapat menemukan kembali diriku. Ketika baru-baru ini tiba, aku berjalan-jalan di kota besar, di Jalan 125, di jalan-jalan sampah yang berangin dan menari-menari. Aku yang suka cari angin dan bergabung dengan kerumunan, sebuah huruf T dalam tubuh teks yang terhingga.


DI BAWAH NOL

Kita sedang ada di pesta yang tak menyukai kita. Akhirnya pesta itu melepaskan topengnya dan menunjukkan dirinya untuk apa sebenarnya dia: sebuah pelataran langsir. Raksasa tua duduk di atas rel, dalam kabut. Sepotong kapur menulis cakar ayam di pintu-pintu gerbong muatan.  

Tidak mesti diungkapkan, tapi di sini banyak kekerasan yang ditekan. Itulah sebabnya romannya sangat berat. Dan itulah sebabnya begitu sulit untuk melihat hal lainnya yang juga ada: silau matahari yang terbayang yang bergerak melintasi dinding rumah dan meluncur menuju hutan wajah-wajah kerlap-kerlip yang tak mengetahui, sebuah teks Injil yang terpanah tertulis: “Datanglah padaku, karena aku dimuati sangkalan-sangkalan seperti dirimu sendiri.”

Besok aku bekerja di kota lain. Aku mendesing ke sana melaui jam pagi berupa silinder biru-hitam. Orion melayang-layang di atas tanah membeku. Anak-anak berdiri dalam sebuah kerumunan yang bisu, menunggu bis sekolah, anak-anak yang tak didoakan siapa pun. Cahaya lambat-laun tumbuh seperti rambut kita.


*Tomas Transtroemer adalah sastrawan Swedia pemenang Hadiah Nobel 2011 untuk Sastra. Keempat
sajak di atas diindonesiakan oleh Atep Kurnia dari terjemahan Inggris Goran Malmqvist.

(Koran Tempo, 20 November 2011)
(Tomas Transtroemer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar