RUMAH
BIRU
Malam
membelalakkan cahaya matahari. Aku berdiri di dalam hutan dan melihat rumahku dengan
dinding-dinding birunya berkabut. Seolah aku baru saja mati dan melihat rumah
itu dari sudut baru.
Rumah
itu telah berdiri lebih dari 80 musim panas. Kayunya terisi, empat kali
kegembiraan dan tiga kali kesedihan.Ketika seseorang yang tinggal di rumah itu
meninggal, rumah itu dicat kembali. Orang yang mati itu mengecatnya tanpa kuas,
dari dalam rumah. Di sudut lain ada lahan terbuka. Dulu sebuah kebun, sekarang
belantara. Ombak rumputan liar yang tenang, pagoda-pagoda rumputan, tubuh teks
membentang. Naungan rumput, armada Viking rumput, kepala-kepala naga, tombak,
kekaisaran rumput. Di atasnya kebun cepat tumbuh itu menyanjung bayang-bayang
bumerang, melemparnya lagi dan lagi. Terhubung pada seseorang yang jauh lebih
lama tinggal di rumah itu. Hampir seorang anak. Hasil nuraninya, pikiran,
pemikiran tentang keinginan: “Cipta ... gambar....”
Agar
luput dari takdirnya dalam waktu.
Rumah
itu mirip gambar seorang anak. Sifat kekanak-kanakan yang mewakilkan, tumbuh karena
seseorang meninggalkan tuntutan menjadi seorang anak sebelum waktunya.Bukalah pintu-pintu,
masuklah! Di dalam, kegelisahan tinggal di langit-langit dan kedamaian di dinding-dinding.
Di atas tempat tidur menggantung sebuah lukisan amatir yang menggambarkan perahu
berlayar tujuhbelas, laut kasar dan angin yang bingkai tersepuhnya tak dapat
menundukkan.
Selalu
begitu awal di dalam sini, di muka persimpangan jalan, di muka pilihan-pilihan
yang tak dapat dibatalkan. Aku berterimakasih bagi hidup ini! Namun aku rindu
pilihan. Semua sketsa ingin menjadi nyata.
Sebuah
motor jauh di atas air memperluas cakrawala malam musim panas. Keriangan dan kesedihan
keduanya membengkak di dalam kaca pembesar embun. Kita sebenarnya tak tahu itu,
tapi kita merasakannya: hidup kita mempunyai kapal yang mengarungi rute yang
sama sekali berbeda. Sementara itu matahari membakar di belakang pulau-pulau.
TOPAN
ISLANDIA
Tidak
ada gempa bumi, tapi gempa langit. Pengubah dapat melukisnya, terkunci
tali-temali. Sebuah sarung tangan berputar cepat kini, beberapa mil dari
tangannya. Bersua dengan topan, aku sedang menuju rumah di sudut lain ladang.
Aku berkibar-kibar dalam topan. Aku difotoröntgen, kerangka tanganku
dilepaskan.Kegugupan merajalela, sementara aku terpaku, aku hancur, aku
dihancurkan dan terbenam di tanah kerontang! Betapa beratnya, semuanya terjadi tiba-tiba,
betapa berat bagi kupu-kupu untuk menyeret sebuah perahu tongkang! Di sanalah akhirnya.
Pertandingan gulat penghabisan dengan pintu. Dan kini di dalam. Dan kini di dalam.
Di belakang kaca jendela yang besar. Betapa asing dan bagus temuan kaca—menjadi
dekat tanpa terbentur... di luar, segerombol pelari tembus cahaya yang
berukuran besar cepatcepat melintasi
dataran lava.Tapi aku tak berkibar-kibar lagi. Aku duduk di belakang kaca, masih,
potret diriku.
JAWABAN
BAGI SEBUAH SURAT
Di
dasar laci aku temukan sebuah surat yang tiba kali pertama duapuluh enam tahun
lalu. Surat yang ditulis dalam gugup,yang berlanjut untuk menghela napas saat
tiba kedua kalinya. Sebuah rumah berjendela lima: melalui empat jendela, siang
memancar jelas dan tenang. Jendela kelima bertemu langit gelap, guruh, dan
topan. Aku berdiri di dekat jendela kelima. Surat itu.
Kadang
jurang ngarai yang lebar memisahkan Selasa dari Rabu, tapi duapuluh enam tahun dapat
berlalu dalam sekejap.Waktu bukan garis lurus, tapi sebuah labirin, dan jika
kau menekan dirimu menentang dindingnya, di sebelah kanan, kau dapat mendengar
langkahlangkah bergegas dan suara-suara, kau dapat mendengarkan dirimu berjalan
cepat-cepat di sudut lain.
Apakah
surat itu pernah dijawab? Aku tak ingat, sudah lama sekali.Ambang-ambang pintu lautan
yang tak terkira jumlahnya terus menggelandang. Jantung terus melompat-lompat dari
detik ke detik, seperti katak di rumput basah malam Agustus.
Surat-surat
yang tak terjawab itu berkerumun di atas, seperti awan cirrostratus meramal topan.
Mereka mengecilkan sinar-sinar matahari. Suatu hari aku harus membalasnya. Satu
hari saat aku mati dan akhirnya bebas mengumpulkan pikiran-pikiran.Atau paling
tidak jauh dari sana bahwa aku dapat menemukan kembali diriku. Ketika baru-baru
ini tiba, aku berjalan-jalan di kota besar, di Jalan 125, di jalan-jalan sampah
yang berangin dan menari-menari. Aku yang suka cari angin dan bergabung dengan
kerumunan, sebuah huruf T dalam tubuh teks yang terhingga.
DI
BAWAH NOL
Kita
sedang ada di pesta yang tak menyukai kita. Akhirnya pesta itu melepaskan
topengnya dan menunjukkan dirinya untuk apa sebenarnya dia: sebuah pelataran
langsir. Raksasa tua duduk di atas rel, dalam kabut. Sepotong kapur menulis
cakar ayam di pintu-pintu gerbong muatan.
Tidak
mesti diungkapkan, tapi di sini banyak kekerasan yang ditekan. Itulah sebabnya
romannya sangat berat. Dan itulah sebabnya begitu sulit untuk melihat hal
lainnya yang juga ada: silau matahari yang terbayang yang bergerak melintasi
dinding rumah dan meluncur menuju hutan wajah-wajah kerlap-kerlip yang tak
mengetahui, sebuah teks Injil yang terpanah tertulis: “Datanglah padaku, karena
aku dimuati sangkalan-sangkalan seperti dirimu sendiri.”
Besok
aku bekerja di kota lain. Aku mendesing ke sana melaui jam pagi berupa silinder
biru-hitam. Orion melayang-layang di atas tanah membeku. Anak-anak berdiri
dalam sebuah kerumunan yang bisu, menunggu bis sekolah, anak-anak yang tak
didoakan siapa pun. Cahaya lambat-laun tumbuh seperti rambut kita.
*Tomas
Transtroemer adalah sastrawan Swedia pemenang Hadiah Nobel 2011 untuk
Sastra. Keempat
sajak
di atas diindonesiakan oleh Atep Kurnia dari terjemahan Inggris Goran
Malmqvist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar