(Foto oleh Kidung Purnama)
Oleh Sulaiman Djaya (Salah
seorang Kurator)
Pada 15-18 November lalu Temu Sastra
Mitra Praja Utama Ke-8 digelar di Kota Serang dan di kawasan masyarakat Kanekes
(Baduy) Banten. Sebagai provinsi muda, Banten kembali dipercaya sebagai tuan
rumah perhelatan sastra dan kebudayaan Mitra Praja Utama (MPU), setelah MPU
sebelumnya diadakan di Jogjakarta. Ini merupakan kali keduanya Banten kembali
menjadi tuan rumah penyelenggaraan perhelatan Kesusastraan Mitra Praja Utama
setelah sebelumnya menjadi tuan rumah di penyelenggaraan MPU perdana. Pada
penyelenggaran MPU kali ini, tema umum yang dipilih adalah “Mistisisme dalam
Kesusastraan”. Tentu saja, dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa
pertimbangan, yang meski tak terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas
dari upaya untuk mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan
“kultur” Banten sebagai tuan rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut
Banten secara kultural dan mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan
praktek magis di Nusantara”. Yang dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya
tersebut adalah budaya-budaya masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau
praktik-praktik kesaktian, kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang
memang sudah populer di Nusantara.
Apa yang dikemukakan Bruinessen tersebut
hanya sekeping contoh kecil tentang khazanah mistis dan magis di Banten, meski
tentu saja Bruinessen belum menyebut keseluruhan secara utuh kultur mistis dan
magis masyarakat Banten yang mewujud dalam ragam khazanah dan living culture,
semisal kesastraan magis yang hidup di Banten Selatan, seperti tradisi pantun
dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah banyak dikaji itu, namun masih
menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan juga Seni Dodod Banten Selatan
di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun Sunda Banten yang telah
berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam prakteknya. Dalam dua
contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan tak bisa diabaikan,
adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini pantun dan mantra yang
dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional tersebut.
Hal lain yang menarik adalah, meski
secara linguistis dan geografis Banten terbagi menjadi Banten Utara yang
didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam keseharian dan Banten Selatan
yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun memiliki kekhasan umum yang sama
dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi budaya, adat, dan sastra. Khusus
di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji khazanah penulisan dan
kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten, semisal kitab-kitab kuning
yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra lokal pantun dolanan dan
sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga akrab dengan khazanah
mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur Banten. Kekayaan itu akan
semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita dapat
mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam di era
Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.
Begitulah “Mistisisme dalam Kesusastraan”
dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII di Banten, yang selain ingin
menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah sastra yang belum maksimal
dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menimba dan menggali
kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan memberi wawasan, pintu,
dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra dan penulisan, dan
kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan lokal ini menyebar di
seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia. Hingga, dapat
dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan “covering” semata
dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang ditawarkan dan
disajikan Banten sebagai tuan rumah. Berkat kerja semua pihak, termasuk para
peserta anggota MPU itu sendiri, perhelatan ini berhasil dilaksanakan dengan
sukses dan baik. Semoga menjadi cermin bagi komitmen dan kepedulian kita dalam
rangka melakukan pembangunan intelektual dan kekuatan kultural bangsa kita. [*]