Oleh Reza
Antonius Alexander Wattimena
Bagaimana
membaca pluralisme agama dan budaya dengan kaca mata ‘kontingensi’? Lebih dari
itu, bagaimana membaca hakekat kita sebagai manusia dengan sudut pandang yang
lebih segar, dinamis, serta toleran? Konflik antar maupun internal agama
dan konflik antar budaya telah seolah menjadi rutinitas di dalam masyarakat
kita. Sayangnya, rutinitas tersebut bersifat destruktif, dan cepat atau lambat
akan menghancurkan persatuan bangsa kita.
Fenomena bunuh
diri, depresi, dan stress temporal sampai permanen telah menjadi salah satu
‘rutinitas’ juga di kalangan pekerja di Jakarta. Bangsa kita tengah berjalan
menuju krisis yang lebih besar, baik sebagai komunitas maupun sebagai
individu-individu yang tergabung di dalam komunitas tersebut.
Bagaimana
memaknai semua ini? Richard Rorty mengajukan satu argumen yang cukup menarik,
yakni bahwa penyebab utama semua konflik politik di abad ke-20 adalah
absolutisasi konsep diri dan konsep komunitas yang kemudian prakteknya
didasarkan pada absolutisasi konsep tersebut. Bagaimana ini dijelaskan?
Filsafat Rorty
Sejak
pertengahan dekade 1980-an, Rorty banyak memfokuskan refleksinya di dalam ranah
filsafat politik dan filsafat social. Di
dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Postmodernist Bourgeois Liberalism;
The Priority of Democracy to Philosophy; Contingency, Irony, and Solidarity, dan
di dalam Achieving Our Country, ia merumuskan pandangannya mengenai
konsep diri (self), perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan
privat, solidaritas sosial, kultur demokrasi, dan politik kiri (leftist
politics).
Rorty
menyatakan bahwa cara berpikir kita haruslah dilepaskan dari cara berpikir
filsafat tradisional yang hendak mencari hakekat dan esensi dari segala
sesuatu. “Filsafat tradisional”, demikian tulisnya, “mencari pengetahuan yang
bersifat final, dan bila berhasil didapatkan, semua itu akan menghasilkan
kebudayaan yang dibekukan dan dehumanisasi manusia.”
Seluruh
filsafat sebelumnya, menurut Rorty, adalah pencarian kebenaran metafisis yang
bersifat mutlak untuk menyangkal kodrat kontingensi manusia. Dan berlawanan
dengan itu, Rorty secara gamblang mengajukan argumen bahwa justru manusia harus
meningkatkan kepekaan terhadap kontingensi dirinya sendiri, sehingga ia
terhindar dari dehumanisasi dan pembekuan atau stagnasi budaya.
Inilah yang
disebut sebagai cara berpikir antifondasionalisme. Intensi moral dari cara
berpikir ini adalah untuk mengembangkan semua kemungkinan-kemungkinan yang
dimiliki manusia dengan mengafirmasi kebebasannya, sekaligus mengembangkan
potensi-potensi yang mungkin saja tidak terpikirkan sebelumnya.
Salah satu yang
menjadi tujuan Rorty adalah untuk mengembalikan manusia pada kesadaran awalnya,
bahwa mereka adalah mahluk yang kontingen dan terbatas. Dengan argumen ini,
Rorty sebenarnya ingin mengkritik konsepsi manusia di dalam filsafat Cartesian
yang menekankan faktor keutuhan diri dan kodrat manusia yang bersifat tetap.
Cara pandang
Cartesian terhadap manusia hanyalah salah satu cara pandang yang bersanding
dengan berbagai cara pandang lainnya. Tidak ada analisis apapun yang mampu
memahami dan mengkonseptualisasi keutuhan kodrat manusia secara penuh.
Dalam hal ini,
Rorty memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche dan Freud. Memang, di
dalam berbagai tulisannya, Nietzsche dan Freud sudah mengakhiri semua usaha
filosofis untuk merumuskan kodrat esensial manusia.
Manusia itu
lebih merupakan suatu kontingensi yang berkembang terus menerus melalui
penemuan diri (self-discovery) dan pengaruh lingkungan sosial tempat ia
hidup dan berkembang.
Cara pandang
semacam ini juga menjadi dasar bagi pandangannya mengenai solidaritas sosial.
Argumennya begini, jika kita sudah menyadari sisi kontingensi dari diri
manusia, maka kebenaran pun sebenarnya bukan sesuatu yang ditemukan di dalam
realitas, tetapi sesuatu yang diciptakan.
Dan karena
kebenaran sendiri adalah sesuatu yang diciptakan, maka hakekat dari diri kita
dan komunitas di mana kita hidup pun sebenarnya diciptakan. Dengan bekal kesadaran
semacam ini, kita akan memperoleh lebih banyak kebebasan.
Solidaritas
kita terhadap manusia lain pun meningkat. Manusia tidaklah memiliki esensi yang
tetap. Tidak ada kodrat manusia yang bersifat metafisis yang mengikat seluruh
manusia di muka bumi ini di dalam konsep yang sama.
Sikap solider
kita terhadap manusia lain pun tidak lagi didorong oleh kesamaan kodrat, tetapi
oleh kebersamaan di dalam menciptakan diri yang kontingen secara terus menerus.
Di titik ini,
Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di satu sisi,
dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional berfokus
pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for objectivity).
Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif Rorty lebih
berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for solidarity).
Hasrat untuk
mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk memberikan fondasi yang kuat
bagi semua bentuk praktek sosial di dalam masyarakat dengan mengacu pada
prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran, rasionalitas, ataupun
prinsip-prinsip lainnya.
Kontras dengan
itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya untuk
mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan
bersama. Dalam kerangka ini, tidak ada pretensi untuk memberikan fondasi
metafisis yang tunggal dan universal. Yang penting adalah perumusan kerangka
kerja yang memungkinkan solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa
tercipta.
Anti
Liberalisme dan Pro Demokrasi Liberal
Dengan pola
argumen yang sama, Rorty kemudian menegaskan ketidaksetujuannya terhadap
liberalisme, sekaligus menyatakan kesetujuannya pada demokrasi liberal.
Baginya, liberalisme memberikan tempat terhormat bagi nilai-nilai liberal,
seperti keadilan dan kesetaraan.
Nilai-nilai
tersebut didasarkan pada fondasi metafisis tentang hakekat manusia. Artinya,
liberalisme mengklaim memahami secara penuh hakekat manusia, dan kemudian
merumuskan sebuah konsep masyarakat yang didasarkan pada pemahaman tentang
hakekat manusia tersebut.
Liberalisme
masih jatuh ke dalam filsafat fondasionalistik yang hendak mencari dasar-dasar
metafisis bagi suatu rumusan teoritis.
Guignon dan
Hiley berpendapat, bahwa pola yang sama dapat ditemukan di dalam kritik Michael
Sandel terhadap teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls. Sandel tidak
sepakat dengan pengandaian antropologis John Rawls yang cenderung
individualistik dan mencabut manusia dari pengaruh komunitasnya.
Jadi, konsepsi
keadilan Rawls masihlah didasarkan pada pandangan metafisis tentang siapa atau
apa itu manusia. Sementara, menurut Rorty, konsepsi keadilan tidak didasarkan
pada hakekat manusia yang bersifat tetap.
Untuk ini, ia
pun mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa “kita tidak akan
melukai tetangga kita dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak
ada Tuhan.” Artinya, masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis yang
dianut bersama, supaya mereka bisa hidup bersama.
Semua bentuk
konsepsi filosofis tentang hakekat manusia, tentang manusia sebagai subyek yang
aktif, tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang demokratis dan liberal.
Konsekuensi
dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk mencari dasar
moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara kehidupan publik dan
kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan potensi-potensi diri
dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah ruang yang bersifat
personal. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk berbicara mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.
Relasi antara
ruang publik dan ruang privat memang menjadi salah satu tema refleksi utama di
dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Misalnya, manakah di antara
kedua jenis ruang tersebut yang memiliki prioritas lebih tinggi?
Para sosiolog
dan para ahli kajian budaya menyatakan bahwa pemahaman tentang konsep ruang
publik dan ruang privat selalu ditentukan oleh faktor-faktor historis tertentu,
sehingga tidak bisa ditentukan secara universal. Bahkan, dalam banyak kasus,
misalnya dalam konteks refleksi feminisme, pembedaan ruang publik dan ruang
privat justru membenarkan sistem penindasan terhadap perempuan.
Jadi memang,
dua kategori ini terus menjadi kategori yang problematis di dalam
refleksi-refleksi sosial.
Kecenderungan
untuk merumuskan hakekat dari ruang publik maupun ruang privat manusia telah
menjadi kecenderungan dominan di dalam teori-teori sosial maupun filsafat
politik. Setidaknya, ada dua kecenderungan utama, yakni merumuskan suatu teori
yang mencoba menjelaskan relasi antara kehidupan privat dan kehidupan publik
secara jelas dan terpilah, atau menyatukan kedua “bentuk kehidupan” tersebut di
dalam satu konsep yang mencangkup semuanya.
Nah, Rorty
menolak semua bentuk kecenderungan semacam ini. Pada bagian pendahuluan buku Contingency,
Irony, and Solidarity, ia menulis, “buku ini mencoba untuk menunjukkan
bagaimana segala sesuatu dapat dilihat jika kita meninggalkan tuntutan akan
sebuah sebuah teori yang menyatukan yang publik dan yang privat, dan puas untuk
memperlakukan tuntutan akan penciptaan diri dan solidaritas manusia sebagai
sesuatu yang sah secara setara, namun selamanya tidak bisa diperbandingkan.” Dan
kesemua itu baru bisa terwujud di dalam masyarakat liberal.
Masyarakat
liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya gaya
berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk
kekejaman dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta.
Walaupun Rorty
menekankan bahwa liberalisme adalah paham yang sedapat mungkin akan mengurangi
semua bentuk kekejaman, ia tidak mengajukan jawaban atas pertanyaan mendasar
semacam ini, yakni “mengapa kekejaman adalah sesuatu yang buruk?”
Rorty yakin
bahwa pertanyaan semacam ini, dan juga semua pertanyaan yang bersifat moral
lainnya, sudah selalu terjebak di dalam perdebatan pemikiran antara Kant dan
Dewey. Kant berpendapat bahwa moralitas merupakan suatu arena tersendiri yang
perlu direfleksikan secara filosofis. Refleksi semacam itu akan akan membantu
kita menentukan kewajiban-kewajiban moral yang sudah inheren di dalam diri
kita.
Sementara,
Dewey berpendapat bahwa semua bentuk antara tindakan bermoral dan tindakan
tidak bermoral, antara kewajiban dan keutamaan, adalah bagian dari dualisme
moral yang justru ingin ditolaknya. Bagi Rorty sendiri, kedua bentuk filsafat
moral tersebut tidaklah memadai.
Tugas seorang
filsuf, bagi Rorty, bukanlah menentukan apa yang seharusnya dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Peran unik dari seorang filsuf moral adalah merumuskan
secara imajinatif cara-cara bagaimana manusia tidak lagi melakukan
kekejaman terhadap sesamanya.
Akan tetapi,
hal ini juga tidak hanya bisa dilakukan oleh seorang filsuf. Para penyair,
sejarahwan, dan novelis pun mampu melakukannya, bahkan dengan tingkat kedalaman
yang lebih daripada apa yang telah dirumuskan para filsuf.
Kontingensi dan
Solidaritas
Rorty mengajak
kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan,
kemiskinan, eksploitasi. Harapannya adalah, dengan menyaksikan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya,
kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak
kejam’ (less cruel).
Charles Guignon
dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk
menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan
argumentasi filsafatnya sendiri.
Selain berupaya
melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah
hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”,
demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang
esensial,.. di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan
sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan
tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai
sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman
dan penghinaan..”
Banyak pihak
yang menanggapi argumen Rorty ini secara kritis. Beberapa pemikir
mengkategorikan Rorty sebagai seorang relativis. Beberapa pemikir lainnya tidak
setuju dengan intensi Rorty yang seolah tidak mau memberikan justifikasi
rasional bagi liberalisme yang dianutnya.
Bahkan, ada
beberapa pemikir lainnya yang mencap pemikiran Rorty sebagai pemikiran yang
bersifat etnosentris. Tentu saja, ia kemudian menanggapi berbagai kritik ini.
Pertama-tama,
Rorty mau menanggapi para pemikir yang mengkritiknya sebagai seorang relativis.
Rorty membedakan antara relativisme dalam arti yang merusak (pernicious),
dan relativisme dalam arti tidak merusak (innocuous).
Dalam arti yang
merusak, relativisme dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada
banyak arti kata ‘benar’ di dalam kehidupan manusia, dan setiap kata tersebut memiliki
arti yang berbeda tergantung pada konteks yang berbeda pula. Pada titik ini,
orang bisa menarik kesimpulan bahwa arti kata ‘benar’ yang satu berada
kedudukan yang setingkat dengan arti kata ‘benar’ lainnya. Menurut Rorty,
pandangan ini memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya sendiri, sekaligus
tidak mungkin dianut oleh siapapun.
Sementara, ia
sendiri berpendapat bahwa pemikirannya lebih tepat dikategorikan dalam
relativisme yang tidak merusak, terutama karena ia masih percaya pada semua
praktek dan kebijakan yang diterapkan sekarang ini.
Kontras dengan
definisi sebelumnya, relativisme dalam arti yang tidak merusak adalah pandangan
yang menyatakan bahwa semua praktek dan kepercayaan kita sekarang sama tidak
perlu didasarkan pada fondasi filosofis macam apapun. Dengan kata lain,
relativisme yang dimaksud Rorty sebenarnya adalah suatu bentuk pragmatisme.
Rorty juga
sering dikritik sebagai seorang pemikir yang merumuskan etnosentrisme baru.
Menanggapi ini, ia pun membedakan antara etnosentrisme dalam arti yang merusak
di satu sisi, dan etnosentrisme dalam arti yang tidak merusak di sisi lain.
Dalam arti yang
merusak, etnosentrisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua orang
haruslah mengikuti cara hidup dan keyakinan kita, karena itu merupakan cara
hidup dan keyakinan yang paling rasional, obyektif, dan benar. Bagi Rorty, cara
pandang semacam ini sangatlah berbahaya. Ia bahkan mendeskripsikan pandangannya
sendiri sebagai suatu bentuk ‘etnosentrisme ringan’ (mild ethnocentrism),
yakni pandangan yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan apakah suatu
pandangan itu benar, obyektif, dan rasional adalah masalah prosedur
untuk menjustifikasi pandangan tersebut, dan prosedur itu sendiri tidak lagi
didasarkan pada satu budaya apapun.
Tujuan akhir
dari etnosentrisme semacam ini adalah suatu bentuk sikap setia terhadap
kebudayaan dan praktek sosial yang kita anut, tetapi sekaligus juga terbuka
pada kebudayaan maupun praktek-praktek sosial lainnya.
Belajar dari
Rorty
Dengan
demikian, Rorty adalah seorang relativis tanpa menghilangkan kemungkinan untuk
melakukan evaluasi kritis terhadap pandangan-pandangan yang berasal dari latar
belakang yang berbeda. Dia juga adalah seorang etnosentris yang memiliki
toleransi, dan berupaya menjauh dari sikap dogmatis.
Ia adalah
seorang liberal yang mendasarkan dirinya sepenuhnya pada demokrasi, dan bukan
pada filsafat tentang hakekat manusia. Dan, Rorty adalah seorang pragmatis yang
cukup puas dengan kontingensi sebagai bagian dari realitas dan kehidupan
manusia, daripada sibuk merumuskan teori tentangnya. Inilah ciri khas dari
filsafat politik Richard Rorty.
Rorty mau
mengajarkan kita untuk bersikap kontingen dengan kepercayaan-kepercayaan yang
telah kita anut. Artinya, kita diharapkan untuk bersedia hidup dalam
ketidakpastian, keterbukaan, dan toleransi dengan beragam nilai yang ada di
luar diri kita.
Mungkin, dengan
bersikap kontingen terhadap diri kita sendiri, kita bisa mulai terbuka tidak
hanya pada pluralitas nilai saja, tetapi pada pluralitas diri kita sendiri.
Jika sudah begitu, kebahagiaan tampaknya sudah berada di genggaman tangan.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar