Romo Magnis yang kami
hormati, izinkanlah kami mengaku dosa: di Pilpres besok, kami akan golput.
Begini, Romo. Kami tahu
kalau dalam opini yang dimuat di Kompas (12/3) kemarin, Romo sudah panjang
lebar menyampaikan ketidaksepakatan pada warga negara yang memilih untuk golput
pada Pemilihan Presiden 2019. Walaupun secara garis besar, layaknya kaset tembang
kenangan, Romo masih mengulang-ulang narasi klasik yang sudah disampaikan lima
tahun lalu; bahwa esensi Pemilu bukanlah memilih yang terbaik, melainkan
mencegah yang buruk berkuasa.
Tapi kalau boleh kami
memberikan sejumlah catatan, dalam tulisan tersebut Romo kelihatannya lebih
tertarik untuk melabeli dan mencaci-maki orang yang golput daripada memenangkan
pikiran mereka lewat argumen logis. Paling tidak ada beberapa julukan menarik
yang Romo alamatkan pada mereka – dan kami juga tentunya – yang memilih golput:
“bodoh”, “just stupid”, “berwatak
benalu”, “kurang sedap”, “secara mental tidak stabil”, “psycho-freak”, “tanda kebodohan”,
“sikap parasit”, “tak peduli politik”, dan “mental yang lemah”.
Luar biasa.
Kami cukup bisa mengerti
hinaan “bodoh” dan “kurang sedap” (mungkin karena kurang micin, Romo), tapi
“mental tidak stabil”? Aduh, Romo. Setahu kami, halaman opini media nasional
sekelas Kompas bukanlah tempat dimana ejekan itu bisa enteng dilontarkan. Tidakkah
kompetisi copras-capres ini sudah cukup parah merusak pergaulan hidup kita?
Mengapa harus ditimbun lagi dengan celaan yang tidak sensitif terhadap mereka
yang mengalami persoalan kejiwaan?
Terlepas dari kecanggihan
pilihan diksi Romo, ada juga kesan yang timbul dari tulisan ini bahwa sikap
golput seolah bersifat non-politis. Romo menyebutkan bahwa penyebab golput
adalah masalah teknis akibat pemilih tidak dapat datang ke tempat pemungutan
suara, karena seseorang tak mau repot memilih, hanya mikirin karier sendiri,
atau semata berlandaskan kekecewaan yang berujung “menggerutu dan golput”.
Tentu segala julukan yang
disemburkan di atas tidak serta merta membuat tulisan Romo jadi nir-argumen.
Paling tidak, setelah bersusah payah memilah yang mana argumen dan yang mana
sentimen, kami bisa merangkum tiga “rayuan” untuk membujuk orang agar berpikir
kembali soal golput.
Pertama, perihal argumen lawas tadi: bahwa kita tak memilih
yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Memang dalam tulisan
ini Romo sudah menyebutkan bahwa di diri kedua calon presiden terdapat
kekurangan, tapi mestinya ada yang bisa dipilih dari dua pilihan kurang baik
ini. Tapi persoalannya Romo, logika lesser evil model begini
merupakan penghalang besar jika kita masih mengharapkan perbaikan politik
Indonesia. Rakyat diberi pilihan yang terbatas oleh para elit politik dan
setiap lima tahun sekali ditodong untuk memilih calon-calon buruk. Kalau begini
mah bukan pemilihan namanya, tapi penodongan.
Memaklumi logika ini terus-menerus hanya akan membuat standar kita soal politik
makin nyungsep. Bisa jadi lama-kelamaan kita akan menganggap normal kasus
pelanggaran HAM yang tak terungkap, serangan kepada organisasi anti-korupsi,
perusakan lingkungan, penggusuran paksa, dan sebagainya. Memangnya ini yang
Romo harapkan?
Argumen kedua berkutat
pada begitu pentingnya perhelatan pemilihan presiden 2019 nanti untuk
menentukan masa depan bangsa. Karenanya, jika sekarang hanya tersedia dua
pilihan, kenyataan itu harus bisa diterima. Mungkin benar bahwa Pemilu 2019
merupakan perhelatan penting, namun jelas ia bukan satu-satunya jalan untuk
menentukan masa depan bangsa. Mampuslah kita jika masa depan bangsa hanya
ditentukan oleh Pemilu yang sedari awal diakui hanya menyediakan dua pilihan
kacrut ini. Sudah ditodong, disuruh pasrah pula. Karena itu, sistem politik
perlu perbaikan serius sehingga tidak lagi menghasilkan opsi medioker yang
terus dimaklumi kekurangannya.
Lalu ketiga, meski
memilih dalam pemilu tidak wajib secara hukum, namun bagi Romo ia wajib secara
moral. Dari seluruh kekonyolan yang sudah dipaparkan, boleh jadi ini argumen
Romo yang paling ngawur. Bagaimana mungkin kewajiban dan ‘kadar’ moral
seseorang diukur dari mencoblos atau tidaknya ia di TPS? Taruhlah ada seorang
ibu yang anaknya dibunuh tentara dalam peristiwa 1998. Ia merasa dalam Pemilu
saat ini, di kedua kubu terdapat sosok-sosok pelanggar HAM. Tak bermoralkah
jika ia kemudian memilih untuk tidak memilih karena mencoblos salah satu kubu
berarti menyalahi prinsip dan hati nuraninya? Apakah tindakannya itu “kurang
sedap”?
Romo, cuplikan kisah di
atas menunjukkan bahwa mereka yang memilih untuk tidak memilih tidaklah
terbatas pada mereka yang terhambat urusan teknis, malas bangun pagi, kebelet
liburan, atau hanya memikirkan karir. Semisal ada serikat buruh yang mendeklarasikan
golput karena kedua kandidat tidak punya
komitmen kuat untuk pemenuhan hak-hak asasi manusia. Masa kita mau dengan
sompral mengatakan ratusan atau bahkan ribuan anggota serikat buruh itu
gerombolan benalu malas yang tak peduli politik?
Contoh lain, kemarin di
Palu ada kelompok korban tsunami yang menyatakan golput karena kecewa dengan
cara penanganan bencana pemerintah dan menganggap lawan petahana tak layak
memimpin. Apakah ini berarti para korban itu memiliki mental yang lemah atau
bahkan secara kolektif mengidap psycho-freak? Bagi kawan-kawan Papua yang
merasa siapapun presiden terpilih tidak akan mendatangkan perubahan berarti
bagi kondisi di tanah mereka, apakah mereka kaum yang bodoh?
Cercaan Romo yang
dialamatkan kepada mereka yang golput adalah kritik yang salah alamat dan
kesiangan. Seharusnya kritik Romo terlebih dahulu disampaikan jauh-jauh hari
kepada para elit yang menentukan dua calon yang dianggap kurang baik itu. Jika
memang Pemilu 2019 dianggap momentum penting bagi masa depan bangsa, seharusnya
rakyat tidak lagi disodori pilihan buruk oleh elit politik. Namun anehnya, baik
pemerintah, media, cendekiawan, rohaniawan, filsuf, kelompok masyarakat sipil,
hingga buzzer politik
ramai-ramai mendiskreditkan golput. Seolah problem sistem politik oligarkis,
kriminalisasi merajalela, maupun elit politik yang korup dari ujung jempol kaki
sampai ujung rambut ini masih kalah membahayakan dari sekelompok orang yang
memilih untuk tak memilih.
Katakanlah mereka yang
golput ini adalah orang-orang yang tidak dapat diyakinkan oleh kedua calon.
Lantas kenapa Romo harus mengata-ngatai mereka yang golput, bukan sebaliknya,
mengatakan “bodoh” dan kawan-kawannya itu kepada dua pasangan calon yang tak
juga meyakinkan pemilih? Akhirnya lagi-lagi para sobat benalu kayak kita yang
harus menanggung beban, “Kalau gak nyoblos, kamu cacat moral” Idih, enak aja.
Yang kami ketahui Romo,
jauh dari segala prasangkamu soal benalu-benaluan, gerakan golput yang muncul
hari ini merupakan sikap politik yang menuntut koreksi atas sistem politik yang
hampir tertutup bagi agenda perubahan. Terlihat jelas dalam kampanye maupun
debat, kedua calon tidak punya komitmen pemenuhan agenda HAM, anti-korupsi,
lingkungan hidup, dan lainnya. Karenanya, gerakan golput 2019 tidak bisa lagi
disamakan dengan gerakan tidak memilih partai politik pada tahun 1971. Golput
kini mencoba melampaui konteks
elektoralnya dan meleburkan diri pada gerakan
politik yang lebih luas. Justru saat ini, mereka yang memilih menjadi golput
mengambil keputusannya berlandaskan pada kesadaran politik, bukan
ketidakpedulian. Pemilihan 2014 sudah cukup mengajarkan kepada kita bahwa
mencegah yang terburuk berkuasa tidak lagi relevan dalam memajukan kepentingan
publik.
Karena itulah kami memilih
golput, Romo. Dan sayangnya, keputusan kami belum akan goyah, meskipun isi
media nasional sudah dijejali oleh segala rupa pamflet heboh seperti opini Romo
tempo hari. Paling banter kami akan mengkompilasi segala hinaan tersebut – psycho freak,
benalu, golongan pucuk tai, pecundang, dan seterusnya – untuk mentertawakannya
di lain kesempatan. Hinaan Romo kami pastikan akan terus dikenang sebagai
monumen kolosal penanda blunder, kegamangan dan kepongahan kaum intelektual
hari-hari ini.
Tentu tertawanya tidak
bakal lama-lama, Romo. Bagaimanapun juga kita tak punya banyak waktu. Memilih
untuk golput hanyalah awal dari perjalanan panjang, dan masih banyak pekerjaan
yang harus dibereskan. Tapi yang jelas, kami harap Romo masih mau mengawasi
kiprah benalu-benalu tercintamu ini. Syukur-syukur kalau mau menulis lagi
tentang kami. Bagaimanapun, kami selalu butuh asupan humor segar untuk bahan obrolan
di perjalanan.
Teriring
salam,
Sobat
Benalu Seluruh Indonesia (Sumber:
https://www.sorgemagz.com/surat-dari-para-benalu/).